(Linguistik Kognitif sebagai Filsafat
di dalam Bahasa)
Bahasa
mencerminkan pikiran, pikiran mencerminkan budaya, budaya mencerminkan
orangnya. Artinya, bahasa yang dikeluarkan seseorang baik disadari atau tidak
merupakan jelmaan dari pikiran (scheme) dan persepsi budaya
terhadap sesuatu (image) (Hitomi, 2006). Oleh karena itu, sebuah
kata bisa memiliki image yang berbeda di daerah geografis dan
atau daerah budaya yang berbeda meskipun memiliki kedudukan dan arti yang sama.
Misalnya, kata “kau/engkau”, meskipun sama-sama memiliki kedudukan sebagai kata
ganti dan sama-sama memiliki arti sebagai orang kedua tunggal, imagenya
berbeda berdasarkan tempat dan konteks penggunaan kata tersebut.
Di
dalam konteks ceramah/khutbah/dakwah, kata “kau/engkau” bisa dikatakan tidak mengandung image negatif
karena pada umumnya terjemahan orang kedua di dalam ayat Al-Quran dan Hadits ke
dalam bahasa Indonesia sering menggunakan kata tersebut. Serupa dengan
konteks dakwah, dalam konteks sosial, di Palembang/Pekan Baru (konteks budaya
Melayu), kata “kau” juga tidak mengandung image negatif
sehingga sangat lazim digunakan. Sebaliknya, dalam konteks sosial di Sumatra
Barat (budaya Minangkabau), kata “kau” memiliki image yang
kurang baik/negatif. Makanya, ketika Anda bertanya menggunakan pertanyaan
“kapan Kau datang?” kepada seorang teman Palembang/Pekan Baru. Anda akan
mendapatkan jawaban yang layak, bahkan mungkin dilengkapi dengan sebuah senyuman
manis. Akan tetapi, jika pertanyaan itu Anda ajukan kepada seorang teman
Sumatra Barat, hanya ada dua kemungkinan yang akan terjadi; pertama, Anda
mendapatkan jawaban tidak menyenangkan, kedua, Anda diabaikan.