Bahasa mencerminkan pikiran, pikiran mencerminkan budaya, budaya
mencerminkan orangnya. Artinya, bahasa yang dikeluarkan seseorang baik disadari
atau tidak merupakan jelmaan dari pikiran (scheme) dan persepsi
budaya terhadap sesuatu (image). Oleh karena itu, sebuah kata bisa memiliki image yang
berbeda di daerah geografis dan atau daerah budaya yang berbeda meskipun
memiliki kedudukan dan arti yang sama. Misalnya, kata “kau/engkau”, meskipun
sama-sama memiliki kedudukan sebagai kata ganti dan sama-sama berarti sebagai
orang kedua tunggal, imagenya berbeda menurut tempat dan konteks
penggunaan tersebut.
Di mesjid (konteks keagamaan) kata
“kau/engkau” mengandung image keagungan karena bisa digunakan
kepada Tuhan, nabi, dan sebagainya. Di Palembang/Pekan Baru (konteks budaya Melayu), kata
“kau” mengandung image biasa-biasa saja. Sedangkan di Sumatra
Barat (konteks budaya Minangkabau), kata “kau” memiliki image yang
kurang baik/negatif. Makanya, ketika Anda bertanya “kapan kau datang?” kepada
seorang teman Palembang/Pekan Baru. Anda akan mendapatkan jawaban yang layak,
bahkan mungkin dilengkapi dengan senyum manis. Namun, jika pertanyaan itu Anda
ungkapkan kepada teman Sumatra Barat, hanya ada dua kemungkinan. Anda
mendapatkan jawaban tidak menyenangkan atau tidak mendapatkan jawaban plus
tatapan penuh kebencian.
Contoh lainnya adalah kata sandang
"si". Ketika kuliah di Bandung, saya pernah ditanya oleh seorang
dosen, "dengan siapa ke sana, Hendri?". Saya jawab, "dengan si
Sonda, Pak". Saat itu, saya lihat kening dosen tersebut agak mengerut.
Namun, sebelum saya bertanya, beliau dengan senang hati menjelaskan bahwa
menggunakan kata sandang "si" kepada orang dianggap kurang sopan bagi
orang Bandung. Meskipun sudah mendengar keterangan ini. Bagi saya dan
teman-teman bukan Sunda, image negatif tersebut hanya ada di
kepala tapi tidak di perasaan. Karena, kenyataannya, meskipun telah tahu,
kening kami tidak pernah berkerut mendengar kata sandang tersebut digunakan
terhadap kami sekalipun.
Di dalam ilmu budaya, fenomena budaya yang terkandung di dalam bahasa
ini bagian dari wujud istilah “homo humanus”. Sedangkan di dalam ilmu
bahasa diistilahkan dengan kajian “linguistic cognitive”. Kedua teori
(budaya dan bahasa) ini memiliki motif yang sama, yaitu bahwa segala ucapan
seseorang pada dasarnya memiliki motif karena pasti dipengaruhi (baik
langsung/tidak langsung) oleh skema yang terbentuk dalam kepala/dada sebagai
bagian dari proses budaya. Walaupun wujud praktisnya terkesan arbitere (mana
suka). Oleh karena itu, teori arbitere bahasa, linguistic
cognitive, dan homo humanus haruslah
dipahami sebagai teori yang saling melengkapi, dan bukan pertentangan.
Di dalam film “good will huting”, terjadi dialog antara seorang
mahasiswi Harvard University dengan seorang pemuda
pengangguran cerdas.
Mahasiswi: This is my phone number. Maybe someday we
can
drink some coffee together.
Pemuda: Yeah.
Maybe we can get some caramel too.
Dari dialog di atas terlihat penggunaan bahasa yang sekilas terlihat
mana suka karena tidak sesuai dengan referensi sebenarnya. Namun, pemilihan
bahasa ini sebenarnya memiliki motif yang bisa dipahami oleh keduanya. Motif
itu adalah kemungkinan terjadinya jalan-jalan, persahabatan, bahkan mungkin
kencan. Motif dari penggunaan bahasa yang seperti inilah yang sebenarnya
berusaha dijelaskan oleh linguistic cognitive. Sedangkan dari aspek
budaya, pemilihan tuturan “drink some coffee” dan atau “get some
caramel” adalah berhubungan dengan image minum kopi atau
makan bersama dalam kebiasaan-kebiasaan yang lazim di lingkungan terjadinya
tuturan, yaitu aktivitas untuk menjalin hubungan keakraban ke depan.
Dahulu, ketika kita mendengar sesuatu tuturan yang berhubungan dengan
cinta. Kita akan teringat dengan warna merah. Karena cinta identik dengan warna
merah. Hal ini sejalan dengan munculnya tuturan-tuturan dalam bahasa Indonesia,
seperti; “pipi bersemu merah” “sapu tangan merah”, “surat bertinta merah”,
“sampul merah”, dan lainnya. Pada aspek budaya, perkawinanpun didominasi
oleh warna merah. Artinya, merah identik dengan cinta karena didukung oleh
bahasa dan budaya.
Belakangan ini, kita diserbu oleh budaya luar, terutama budaya dari Asia
Timur, seperti Jepang dan Korea. Tiba-tiba saja, warna merah ataupun merah muda
menjadi kurang popular digunakan di dalam penyebutan warna. Orang Indonesia
lebih suka menggunakan kata “pink” seolah-olah warna pink adalah
milik Indonesia dan cinta dalam konteks budaya Indonesia diwakili oleh
warna pink.
Padahal, ketika TK, saat anak-anak belajar tentang warna sambil menyanyi,
semua tahu bahwa “balonku ada lima”, tidak diperkenalkan istilah warna pink.
Lalu, ketika mereka remaja dan malu-malu bertemu dengan orang yang ditaksir,
tuturan yang digunakan tetap saja “pipinya bersemu merah” bukan "pipinya
bersemu pink". Pada akhirnya, ketika melangsungkan perkawinan, tempat
pesta juga didominasi oleh warna merah. Hal seperti ini tentulah tidak bisa
dikatakan segai sesuatu yang arbitere atau bahkan fenomena kebetulan, tapi
dipengaruhi oleh image warna dalam persepsi bahasa dan budaya
terkait.
Di Jepang, pink memiliki kedudukan yang sama dengan merah/merah muda di Indonesia,
yaitu mewakili cinta. Maka, setiap berhubungan dengan cinta, warna yang muncul
adalah pink, seperti “sampul pink”, “kertas pink”, hingga tuturan “pipinya
bersemu pink”. Pendek kata, bahasanya mencerminkan orang dan budayanya. Pada
akhirnya, ingin rasanya menggunakan kata "lucu" terhadap penggunaan gaya "imitasi buta" ini. Sayangnya, makna kata inipun sudah bergeser.
Lucu tidak lagi tentang sesuatu yang berpotensi memancing rasa geli dan atau
reaksi tawa. Tapi, juga tentang sesuatu yang bagus dan menakjubkan. Namun, apapun alasannya, kata-kata tertentu terutama yang mengandung muatan agama dan budaya harus dijaga biar tidak ternoda oleh interfensi si "buta yang sok gaya".
No comments:
Post a Comment