Sunday, February 10, 2013

Bahasa, Skema, dan Image Budaya


Bahasa mencerminkan pikiran, pikiran mencerminkan budaya, budaya mencerminkan orangnya. Artinya, bahasa yang dikeluarkan seseorang baik disadari atau tidak merupakan jelmaan dari pikiran (scheme) dan persepsi budaya terhadap sesuatu (image). Oleh karena itu, sebuah kata bisa memiliki image yang berbeda di daerah geografis dan atau daerah budaya yang berbeda meskipun memiliki kedudukan dan arti yang sama. Misalnya, kata “kau/engkau”, meskipun sama-sama memiliki kedudukan sebagai kata ganti dan sama-sama berarti sebagai orang kedua tunggal, imagenya berbeda menurut tempat dan konteks penggunaan tersebut.
Di mesjid (konteks keagamaan) kata “kau/engkau” mengandung image keagungan karena bisa digunakan kepada Tuhan, nabi, dan sebagainya. Di Palembang/Pekan Baru (konteks budaya Melayu), kata “kau” mengandung image biasa-biasa saja. Sedangkan di Sumatra Barat (konteks budaya Minangkabau), kata “kau” memiliki image yang kurang baik/negatif. Makanya, ketika Anda bertanya “kapan kau datang?” kepada seorang teman Palembang/Pekan Baru. Anda akan mendapatkan jawaban yang layak, bahkan mungkin dilengkapi dengan senyum manis. Namun, jika pertanyaan itu Anda ungkapkan kepada teman Sumatra Barat, hanya ada dua kemungkinan. Anda mendapatkan jawaban tidak menyenangkan atau tidak mendapatkan jawaban plus tatapan penuh kebencian. 
Contoh lainnya adalah kata sandang "si". Ketika kuliah di Bandung, saya pernah ditanya oleh seorang dosen, "dengan siapa ke sana, Hendri?". Saya jawab, "dengan si Sonda, Pak". Saat itu, saya lihat kening dosen tersebut agak mengerut. Namun, sebelum saya bertanya, beliau dengan senang hati menjelaskan bahwa menggunakan kata sandang "si" kepada orang dianggap kurang sopan bagi orang Bandung. Meskipun sudah mendengar keterangan ini. Bagi saya dan teman-teman bukan Sunda, image negatif tersebut hanya ada di kepala tapi tidak di perasaan. Karena, kenyataannya, meskipun telah tahu, kening kami tidak pernah berkerut mendengar kata sandang tersebut digunakan terhadap kami sekalipun. 
Di dalam ilmu budaya, fenomena budaya yang terkandung di dalam bahasa ini bagian dari wujud istilah “homo humanus”. Sedangkan di dalam ilmu bahasa diistilahkan dengan kajian “linguistic cognitive”. Kedua teori (budaya dan bahasa) ini memiliki motif yang sama, yaitu bahwa segala ucapan seseorang pada dasarnya memiliki motif karena pasti dipengaruhi (baik langsung/tidak langsung) oleh skema yang terbentuk dalam kepala/dada sebagai bagian dari proses budaya. Walaupun wujud praktisnya terkesan arbitere (mana suka). Oleh karena itu, teori arbitere bahasa, linguistic cognitive, dan homo humanus haruslah dipahami sebagai teori yang saling melengkapi, dan bukan pertentangan.
Di dalam film “good will huting”, terjadi dialog antara seorang mahasiswi Harvard University dengan seorang pemuda pengangguran cerdas.
Mahasiswi:  This is my phone number. Maybe someday we
 can drink some coffee together.
Pemuda:      Yeah. Maybe we can get some caramel too.
Dari dialog di atas terlihat penggunaan bahasa yang sekilas terlihat mana suka karena tidak sesuai dengan referensi sebenarnya. Namun, pemilihan bahasa ini sebenarnya memiliki motif yang bisa dipahami oleh keduanya. Motif itu adalah kemungkinan terjadinya jalan-jalan, persahabatan, bahkan mungkin kencan. Motif dari penggunaan bahasa yang seperti inilah yang sebenarnya berusaha dijelaskan oleh linguistic cognitive. Sedangkan dari aspek budaya, pemilihan tuturan “drink some coffee” dan atau “get some caramel” adalah berhubungan dengan image minum kopi atau makan bersama dalam kebiasaan-kebiasaan yang lazim di lingkungan terjadinya tuturan, yaitu aktivitas untuk menjalin hubungan keakraban ke depan.
Dahulu, ketika kita mendengar sesuatu tuturan yang berhubungan dengan cinta. Kita akan teringat dengan warna merah. Karena cinta identik dengan warna merah. Hal ini sejalan dengan munculnya tuturan-tuturan dalam bahasa Indonesia, seperti; “pipi bersemu merah” “sapu tangan merah”, “surat bertinta merah”, “sampul merah”, dan lainnya.  Pada aspek budaya, perkawinanpun didominasi oleh warna merah. Artinya, merah identik dengan cinta karena didukung oleh bahasa dan budaya.
Belakangan ini, kita diserbu oleh budaya luar, terutama budaya dari Asia Timur, seperti Jepang dan Korea. Tiba-tiba saja, warna merah ataupun merah muda menjadi kurang popular digunakan di dalam penyebutan warna. Orang Indonesia lebih suka menggunakan kata “pink” seolah-olah warna pink adalah milik Indonesia dan cinta dalam konteks budaya Indonesia diwakili oleh warna pink.
Padahal, ketika TK, saat anak-anak belajar tentang warna sambil menyanyi, semua tahu bahwa “balonku ada lima”, tidak diperkenalkan istilah warna pink. Lalu, ketika mereka remaja dan malu-malu bertemu dengan orang yang ditaksir, tuturan yang digunakan tetap saja “pipinya bersemu merah” bukan "pipinya bersemu pink". Pada akhirnya, ketika melangsungkan perkawinan, tempat pesta juga didominasi oleh warna merah. Hal seperti ini tentulah tidak bisa dikatakan  segai sesuatu yang arbitere atau bahkan fenomena kebetulan, tapi dipengaruhi oleh image warna dalam persepsi bahasa dan budaya terkait.
Di Jepang, pink memiliki kedudukan yang sama dengan merah/merah muda di Indonesia, yaitu mewakili cinta. Maka, setiap berhubungan dengan cinta, warna yang muncul adalah pink, seperti “sampul pink”, “kertas pink”, hingga tuturan “pipinya bersemu pink”. Pendek kata, bahasanya mencerminkan orang dan budayanya. Pada akhirnya, ingin rasanya menggunakan kata "lucu" terhadap penggunaan gaya "imitasi buta" ini. Sayangnya, makna kata inipun sudah bergeser. Lucu tidak lagi tentang sesuatu yang berpotensi memancing rasa geli dan atau reaksi tawa. Tapi, juga tentang sesuatu yang bagus dan menakjubkan. Namun, apapun alasannya, kata-kata tertentu terutama yang mengandung muatan agama dan budaya harus dijaga biar tidak ternoda oleh interfensi si "buta yang sok gaya". 

No comments:

Post a Comment