Allah
akan mencabut nikmat yang telah Dia berikan kepada manusia yang mengingkarinya.
Peringatan ini sering diperingatkan oleh tokoh-tokoh masyarakat kepada umat
dengan berbagai cara dan terjemahan. Ada yang menerjemahkan nikmat itu sebagai
waktu/kesempatan, harta, kedudukan, anak-istri, dan lain sebagainya.
Andai
nikmat itu tentang waktu/kesempatan, tentunya peringatan ini akan sangat
menyentuh manusia lanjut usia. Jika nikmat itu tentang harta, tentunya
peringatan ini akan sangat menyentuh para hartawan. Andai nikmat itu, jabatan,
tentunya peringatan ini akan sangat berpengaruh terhadap para pejabat.
Sepertinya nikmat ini pilih kasih.
Masalah
yang muncul adalah, jika benar nikmat itu tentang waktu/kesempatan, harta,
jabatan, dan anak-istri, rasanya Tuhan tidak perlu mencabutnya. Karena, seiring
perputaran bumi, manusia pasti menua, harta pasti habis, jabatan pasti
berakhir, anak-istri pasti mati. Lalu, nikmat apakah sebenarnya yang dimaksud?
Belakangan
saya mencoba berfikir bak seorang ulul
albab. Hasilnya, saya menerjemahkan nikmat itu sebagai rasa-rasa
kemanusiaan. Rasa yang saya maksud adalah rasa yang hakiki, yaitu rasa
harap/ingin dan rasa cemas/tidak ingin. Rasa harap akan kesenangan, kebahagian,
kebanggaan, dan lain-lain. Rasa cemas akan kesedihan, kegelisahan, ketakutan,
dan lain sebagainya.
Rasa
adalah bekal yang diberikan semenjak manusia masih dalam kandungan. Sedangkan
waktu/kesempatan, harta, kedudukan adalah nikmat yang diperoleh oleh usaha
manusia. Poinnya, yang Allah cabut adalah nikmat yang dia berikan bukan nikmat
yang kita usahakan. Nikmat yang diberikan ini sifatnya relatif, abadi jika
manusia menjaganya, hilang dicabut jika manusia tidak bisa menjaganya.
Sementara itu, nikmat yang diusahakan sifatnya temporer, tergerus oleh
perputaran waktu.
Orang
tua yang mendapat nikmat adalah orang tua yang bisa menjaga hati, perasaan, dan
fikirannya dalam perubahan waktu. Dia menembus batas ruang dan waktu karena hati,
perasaan, dan fikirannya yang tetap melahirkan semangat untuk itu. Dia diterima
semua orang, tua-muda karena wadah pikiran, hati, dan emosinnya yang luas. Bukan
orang tua yang rajin “bermake-up ria” untuk bisa menyembunyikan keriput dan ubannya.
Bukan pula orang tua yang suka memosisikan diri dan menonjolkan uban atau
pengalaman mengkonsumsi asam garam kehidupannya untuk dalih mendidik yang muda.
Sebaliknya,
anak muda yang begitu cepat nikmat dicabut darinya adalah anak muda yang hati, perasaan,
dan fikirannya terprovokasi oleh kemilau kesucian/kemuliaan bawaan uban, harta,
dan jabatan. Perilaku dan perkataannya mendustai hakikat dirinya sendiri. Perilaku
dan perkataan/cara bertutur yang disibukkan oleh menggurui, sinisme, imitatif, dan
kekakuan. Tidak penuh keceriaan dan keakraban seperti layaknya anak-anak muda.
Terakhir,
manusia yang nikmat telah mulai dicabut Allah darinya ialah manusia yang
mengabaikan rasa-rasa kemanusiaan. Manusia yang tidak malu, bahkan bangga
dengan dosa-dosa. Manusia yang lupa bahwa manusia lainnya juga sama seperti
dirinya. Manusia yang hanya melihat kebenaran dari satu sudut pandang, yaitu
dari sisi dirinya. Naudzubillahi. “Ya Allah, jangan cabut nikmat kemanusiaanku”.
No comments:
Post a Comment