Wednesday, August 21, 2013

Ya Allah, Jangan Cabut Nikmat yang Ini!

Allah akan mencabut nikmat yang telah Dia berikan kepada manusia yang mengingkarinya. Peringatan ini sering diperingatkan oleh tokoh-tokoh masyarakat kepada umat dengan berbagai cara dan terjemahan. Ada yang menerjemahkan nikmat itu sebagai waktu/kesempatan, harta, kedudukan, anak-istri, dan lain sebagainya.
Andai nikmat itu tentang waktu/kesempatan, tentunya peringatan ini akan sangat menyentuh manusia lanjut usia. Jika nikmat itu tentang harta, tentunya peringatan ini akan sangat menyentuh para hartawan. Andai nikmat itu, jabatan, tentunya peringatan ini akan sangat berpengaruh terhadap para pejabat. Sepertinya nikmat ini pilih kasih.
Masalah yang muncul adalah, jika benar nikmat itu tentang waktu/kesempatan, harta, jabatan, dan anak-istri, rasanya Tuhan tidak perlu mencabutnya. Karena, seiring perputaran bumi, manusia pasti menua, harta pasti habis, jabatan pasti berakhir, anak-istri pasti mati. Lalu, nikmat apakah sebenarnya yang dimaksud?
Belakangan saya mencoba berfikir bak seorang ulul albab. Hasilnya, saya menerjemahkan nikmat itu sebagai rasa-rasa kemanusiaan. Rasa yang saya maksud adalah rasa yang hakiki, yaitu rasa harap/ingin dan rasa cemas/tidak ingin. Rasa harap akan kesenangan, kebahagian, kebanggaan, dan lain-lain. Rasa cemas akan kesedihan, kegelisahan, ketakutan, dan lain sebagainya.
Rasa adalah bekal yang diberikan semenjak manusia masih dalam kandungan. Sedangkan waktu/kesempatan, harta, kedudukan adalah nikmat yang diperoleh oleh usaha manusia. Poinnya, yang Allah cabut adalah nikmat yang dia berikan bukan nikmat yang kita usahakan. Nikmat yang diberikan ini sifatnya relatif, abadi jika manusia menjaganya, hilang dicabut jika manusia tidak bisa menjaganya. Sementara itu, nikmat yang diusahakan sifatnya temporer, tergerus oleh perputaran waktu.
Orang tua yang mendapat nikmat adalah orang tua yang bisa menjaga hati, perasaan, dan fikirannya dalam perubahan waktu. Dia menembus batas ruang dan waktu karena hati, perasaan, dan fikirannya yang tetap melahirkan semangat untuk itu. Dia diterima semua orang, tua-muda karena wadah pikiran, hati, dan emosinnya yang luas. Bukan orang tua yang rajin “bermake-up ria” untuk bisa menyembunyikan keriput dan ubannya. Bukan pula orang tua yang suka memosisikan diri dan menonjolkan uban atau pengalaman mengkonsumsi asam garam kehidupannya untuk dalih mendidik yang muda.
Sebaliknya, anak muda yang begitu cepat nikmat dicabut darinya adalah anak muda yang hati, perasaan, dan fikirannya terprovokasi oleh kemilau kesucian/kemuliaan bawaan uban, harta, dan jabatan. Perilaku dan perkataannya mendustai hakikat dirinya sendiri. Perilaku dan perkataan/cara bertutur yang disibukkan oleh menggurui, sinisme, imitatif, dan kekakuan. Tidak penuh keceriaan dan keakraban seperti layaknya anak-anak muda.
Terakhir, manusia yang nikmat telah mulai dicabut Allah darinya ialah manusia yang mengabaikan rasa-rasa kemanusiaan. Manusia yang tidak malu, bahkan bangga dengan dosa-dosa. Manusia yang lupa bahwa manusia lainnya juga sama seperti dirinya. Manusia yang hanya melihat kebenaran dari satu sudut pandang, yaitu dari sisi dirinya. Naudzubillahi. “Ya Allah, jangan cabut nikmat kemanusiaanku”.      

No comments:

Post a Comment