Bahasa
merupakan salah satu media berkomunikasi yang digunakan manusia. Oleh karena
itu, up date menjadi ciri mutlak yang
mesti ada pada setiap bahasa. Artinya, bahasa harus selalu berkembang karena
manusia berkembang. Inilah yang membedakan bahasa manusia dengan bahasa binatang.
Kambing di belahan bumi manapun, dari masa ke masa hanya bisa mem”mbek” untuk
berkomunikasi. Makanya, media komunikasi yang digunakan kambing ini tidak bisa
dikatakan sebagai bahasa.
Pada
proses perkembangannya, antara manusia dengan bahasa kadang terjadi masalah. Masalah
tersebut adalah ketidakseimbangan perkembangan manusia dengan bahasa. Masalah ini
menjadi meruncing karena manusia suka-suka saja dalam menggunakan, bahkan kadang
membabi-buta dalam menyerap bahasa lain yang bukan bahasa ibunya. Akibatnya,
muncullah “tokoh-tokoh” bahasa aneh, seperti; Syahrini dengan “sesuatu” dan “cetar”nya,
Vicky Prasetyo dengan “konspirasi kemakmuran” dan “kudeta hati”nya.
Sebenarnya,
fenomena Syahrini maupun Vicky adalah cerminan dari dunia yang menjadi motif/latar
belakang mereka, yaitu dunia keartisan dan dunia politik di Indonesia. Sebagai
akibatnya, bahasa yang aneh-aneh tersebut dengan cepat berkembang dan
dimasyarakatkan oleh masyarakat pada umumnya. Tokoh-tokoh yang memiliki
kompetensi di bidang bahasa tentu tidak berdaya. Sebab, bangsa dan tanah air
kita ini kan dikuasai sepenuhnya oleh “politisi” dan “artis”.
Setiap
hari kita menonton televisi. Dari pagi hingga pagi lagi, apa yang kita lihat? Kalau
boleh dikategorisasi, yang kita lihat adalah dunia politik dan dunia keartisan.
Jadi, tidak salah kalau selanjutnya, anak-anak muda juga mengikutinya. Bahasa gaul,
alay, banci, dan lainnya adalah wujud sahih dari pengaruh tersebut. Sebab,
begitulah rupa bahasa orang hebat, orang yang tiap hari kita jumpai di televisi.
Walau
terkesan berlebihan, saya tidak bisa mencegah pikiran nakal saya untuk memaksa
tangan menuliskan apa yang menggangggunya. Saya menyebut fenomena ini sebagai
wujud dari “kefakiran dan kekufuran” bangsa ini terhadap bahasanya sendiri. Kefakiran
dalam hal ini mengacu kepada rendahnya pengetahuan dan pemahaman kita terhadap
bahasa kita, bahasa Indonesia. Sedangkan kekufuran mengacu kepada ketidakmampuan
kita sebagai warga negara dalam menjaga amanah sumpah pemuda. Ketidakmampuan
menjaga amanah ini jelas terlihat dari kebiasaan kita menggampangkan bahasa
Indonesia, bangga berbahasa asing yang belum tentu benar, hingga kerakusan
dalam menyerap bahasa asing.
Pada
tahun 2008, Saya mendampingi seorang akademisi bahasa Indonesia yang sedang
melakukan tes kemampuan menyimak bahasa Indonesia kepada mahasiswa bahasa jurusan/program
bahasa Indonesia. Hasilnya, nilai rata-rata yang didapat adalah 5 dari 10 nilai
maksimal yang ditetapkan. Saat itu Saya berpikir, bagaimana jika yang dites
adalah mahasiswa jurusan atau program studi lainnya? Secara teknis, hasilnya
tentu tidak akan lebih baik dari ini.
Pada
tahun 2008 ini pula, seorang akademisi bahasa Jepang Univesitas Pendidikan
Indonesia, Bandung menulis tentang hasil tes menulis yang telah berkali-kali
dilakukan kepada beberapa generasi mahasiswanya di jurnal “gakkai”, Bandung. Dia mengatakan bahwa kemampuan menulis dalam berbahasa
Indonesia memiliki korelasi yang signifikan dengan kemampuan menulis berbahasa
Jepang. Mahasiswa yang bisa memiliki kemampuan menulis berbahasa Jepang yang
baik cenderung memiliki kemampuan menulis berbahasa Indonesia yang baik pula.
Pada
tahun 2010, Saya membaca sebuah laporan hasil observasi seorang guru besar bahasa
Inggris. Hasil observasi tersebut memunculkan kesimpulan bahwa pembelajaran
bahasa Indonesia sebagai mata kuliah umum ternyata hanyalah sekadar formalitas
saja. Sebab, di lapangan, perkuliahan berjalan dengan arah yang tidak jelas. Bahkan,
cenderung dianggap sebagai lahan alternatif bagi dosen-dosen yang jam/beban
mengajarnya kurang.
Mencermati
ketiga fenomena di atas, kita tentu tidak bisa mengabaikan poinnya. Sebab, apa
gunanya tes dan pembelajaran jika kita mengabaikan poinnya. Poinnya adalah
bahwa kefakiran/kemiskinan kita tentang pengetahuan/pemahaman berbahasa
Indonesia tampa kita sadari telah mulai berkembang menjadi kekafiran terhadap
bahasa nasional sendiri. Kita memberikan perhatian lebih kepada bahasa asing,
namun menggampangkan bahasa sendiri. Jika kebiasaan ini tidak segera dicarikan
solusinya, barangkali pada saat era pasar bebas, orang asing yang datang akan
banyak yang salah tafsir, turut menggampangkan, bahkan mengkudeta jati diri
kita.
No comments:
Post a Comment