Sunday, September 15, 2013

“Kudeta Bahasa” Indonesia

Bahasa merupakan salah satu media berkomunikasi yang digunakan manusia. Oleh karena itu, up date menjadi ciri mutlak yang mesti ada pada setiap bahasa. Artinya, bahasa harus selalu berkembang karena manusia berkembang. Inilah yang membedakan bahasa manusia dengan bahasa binatang. Kambing di belahan bumi manapun, dari masa ke masa hanya bisa mem”mbek” untuk berkomunikasi. Makanya, media komunikasi yang digunakan kambing ini tidak bisa dikatakan sebagai bahasa.
Pada proses perkembangannya, antara manusia dengan bahasa kadang terjadi masalah. Masalah tersebut adalah ketidakseimbangan perkembangan manusia dengan bahasa. Masalah ini menjadi meruncing karena manusia suka-suka saja dalam menggunakan, bahkan kadang membabi-buta dalam menyerap bahasa lain yang bukan bahasa ibunya. Akibatnya, muncullah “tokoh-tokoh” bahasa aneh, seperti; Syahrini dengan “sesuatu” dan “cetar”nya, Vicky Prasetyo dengan “konspirasi kemakmuran” dan “kudeta hati”nya.
Sebenarnya, fenomena Syahrini maupun Vicky adalah cerminan dari dunia yang menjadi motif/latar belakang mereka, yaitu dunia keartisan dan dunia politik di Indonesia. Sebagai akibatnya, bahasa yang aneh-aneh tersebut dengan cepat berkembang dan dimasyarakatkan oleh masyarakat pada umumnya. Tokoh-tokoh yang memiliki kompetensi di bidang bahasa tentu tidak berdaya. Sebab, bangsa dan tanah air kita ini kan dikuasai sepenuhnya oleh “politisi” dan “artis”.
Setiap hari kita menonton televisi. Dari pagi hingga pagi lagi, apa yang kita lihat? Kalau boleh dikategorisasi, yang kita lihat adalah dunia politik dan dunia keartisan. Jadi, tidak salah kalau selanjutnya, anak-anak muda juga mengikutinya. Bahasa gaul, alay, banci, dan lainnya adalah wujud sahih dari pengaruh tersebut. Sebab, begitulah rupa bahasa orang hebat, orang yang tiap hari kita jumpai di televisi.
Walau terkesan berlebihan, saya tidak bisa mencegah pikiran nakal saya untuk memaksa tangan menuliskan apa yang menggangggunya. Saya menyebut fenomena ini sebagai wujud dari “kefakiran dan kekufuran” bangsa ini terhadap bahasanya sendiri. Kefakiran dalam hal ini mengacu kepada rendahnya pengetahuan dan pemahaman kita terhadap bahasa kita, bahasa Indonesia. Sedangkan kekufuran mengacu kepada ketidakmampuan kita sebagai warga negara dalam menjaga amanah sumpah pemuda. Ketidakmampuan menjaga amanah ini jelas terlihat dari kebiasaan kita menggampangkan bahasa Indonesia, bangga berbahasa asing yang belum tentu benar, hingga kerakusan dalam menyerap bahasa asing.   
Pada tahun 2008, Saya mendampingi seorang akademisi bahasa Indonesia yang sedang melakukan tes kemampuan menyimak bahasa Indonesia kepada mahasiswa bahasa jurusan/program bahasa Indonesia. Hasilnya, nilai rata-rata yang didapat adalah 5 dari 10 nilai maksimal yang ditetapkan. Saat itu Saya berpikir, bagaimana jika yang dites adalah mahasiswa jurusan atau program studi lainnya? Secara teknis, hasilnya tentu tidak akan lebih baik dari ini.
Pada tahun 2008 ini pula, seorang akademisi bahasa Jepang Univesitas Pendidikan Indonesia, Bandung menulis tentang hasil tes menulis yang telah berkali-kali dilakukan kepada beberapa generasi mahasiswanya di jurnal “gakkai”, Bandung. Dia mengatakan bahwa kemampuan menulis dalam berbahasa Indonesia memiliki korelasi yang signifikan dengan kemampuan menulis berbahasa Jepang. Mahasiswa yang bisa memiliki kemampuan menulis berbahasa Jepang yang baik cenderung memiliki kemampuan menulis berbahasa Indonesia yang baik pula.    
Pada tahun 2010, Saya membaca sebuah laporan hasil observasi seorang guru besar bahasa Inggris. Hasil observasi tersebut memunculkan kesimpulan bahwa pembelajaran bahasa Indonesia sebagai mata kuliah umum ternyata hanyalah sekadar formalitas saja. Sebab, di lapangan, perkuliahan berjalan dengan arah yang tidak jelas. Bahkan, cenderung dianggap sebagai lahan alternatif bagi dosen-dosen yang jam/beban mengajarnya kurang.
Mencermati ketiga fenomena di atas, kita tentu tidak bisa mengabaikan poinnya. Sebab, apa gunanya tes dan pembelajaran jika kita mengabaikan poinnya. Poinnya adalah bahwa kefakiran/kemiskinan kita tentang pengetahuan/pemahaman berbahasa Indonesia tampa kita sadari telah mulai berkembang menjadi kekafiran terhadap bahasa nasional sendiri. Kita memberikan perhatian lebih kepada bahasa asing, namun menggampangkan bahasa sendiri. Jika kebiasaan ini tidak segera dicarikan solusinya, barangkali pada saat era pasar bebas, orang asing yang datang akan banyak yang salah tafsir, turut menggampangkan, bahkan mengkudeta jati diri kita.

No comments:

Post a Comment