Ada banyak hal yang menyebabkan
susahnya pembudayaan adat Minangkabau di bumi Minangkabau itu sendiri.
Akan tetapi, di dalam pandangan saya sebagai salah seorang anak Minangkabau
yang lahir dan dibesarkan di Minangkabau, ada dua persoalan pokok yang
menyebabkannya; 1) tidak sampainya komunikasi budaya tentang pemahaman hakikat
adat Minangkabau dalam beberapa generasi, 2) Kekufuran orang Minangkabau
terhadap potensi keMinangkabauannya sendiri. Oleh karena itu, tanpa
bermaksud menggurui, saya memberanikan diri menulis opini ini. Harapan
saya tidaklah besar, setidaknya tulisan ini bisa menjadi semacam pikiran
pembanding, untuk kembali menjaga dan melestarikan warisan nenek moyang kita.
1. Hakikat adat
Minangkabau
Pernahkah Anda mempelajari falsafah
adat Minangkabau secara tradisional? Di surau, di sasaran, atau secara
pribadikah Anda belajar dengan seorang pemangku adat? Saya pernah belajar
secara pribadi dengan dua orang guru dari latar yang berbeda. Guru yang
pertama adalah Basri Malin Bungsu (almarhum), seorang tokoh adat dari
Batubanyak. Latar belakang beliau adalah seorang ulama dan seniman
salawek dulang. Yang kedua, yaitu Busra Dahrizal Katik jo Mangkuto (Mak
Katik). Hubungan guru-murid dengan yang kedua adalah hubungan yang agak
aneh, karena saya belajar dengan beliau hanya melalui tanya-jawab dan diskusi.
Bahkan, kadang kegiatan belajar tersebut hanya sambil duduk bersama minum kopi,
bahkan kadang hanya melalui telpon dan berkirim email. Tidak seperti guru
pertama yang hubungan guru-murid diijab-kabulkan lewat seremoni mandabiah ayam
dan berdoa bersama.
Dari yang pertama, saya mendapat
pelajaran bahwa hakikat adat Minangkabau itu berkaitan dengan dua istilah
utama, yaitu adaik dan limbago. Adaik adalah nyawa, limbago adalah
tubuh. Lalu, yang kedua mengajarkan kepada saya bahwa adat itu ada semenjak
manusia dilahirkan dari rahim ibunya hingga kembali ke rahim Allah, atau
meninggal dunia. Orang yang tidak beradat sama dengan orang yang mati,
atau orang yang tidak benar-benar hidup. Adat adalah marwah yang membuat
manusia jadi hidup. Begitulah petuah dari kedua guru tersebut.
Awalnya saya cukup susah untuk
memahami yang dimaksudkan dari pernyataan dua guru adat Minangkabau di
atas. Akan tetapi, setelah saya “membuka mata”, tidak butuh banyak
referensi tentang ilmu budaya untuk bisa memahami hal tersebut. Cukup
dengan hanya memahami istilah dalam ilmu budaya tentang homo sapient dan
homo humanus, saya bisa memahami maksud kedua guru di atas. Istilah homo
sapient dan homo humanus yang diperuntukkan untuk mengatakan manusia yang berbudaya
jelas mensyiratkan bahwa manusia dikatakan berbudaya jika berfikir dan
mempunyai nilai-nilai kemanusiaan. Pendek kata, budaya adalah cerminan
dari pikiran, rasa, nurani manusia itu sendiri.
Jika kita hubungkan secuil teori
tentang hakikat budaya ini dengan hakikat adat Minangkabau seperti yang
diterangkan kedua guru tadi. Dapat dipahami bahwa sebenarnya sudah sangat
benar materi tentang hakikat adat yang beliau-beliau ajarkan. Hanya saja,
karena keterbatasan latar belakang keilmuan memutuskan rantai komunikasi yang
membuat permata ilmu yang bersumber dari materi adat tersebut seperti susah
untuk sampai ke masyarakat. Sayangnya pula, orang-orang yang katanya
Minangkabau dan mendapatkan kesempatan untuk memiliki latar keilmuan yang
tinggi, tidak tergerak untuk meraih dan menyambungkan lagi rantai yang terputus
tersebut.
Oleh karena itu, saya memberanikan
diri untuk mengupas hakikat adat Minangkabau tersebut dengan sedikit
menghubungkanya dengan hakikat budaya di atas. Di awal sudah
dikatakan bahwa secara tradisional, untuk memahami hakikat adat Minangkabau
diketengahkan dua poin utama. yaitu adaik dan limbago. Jika adaik mengacu
kepada marwah, limbago mengacu kepada batang tubuh. Maka, bisa
disimpulkan bahwa hakikat adat Minangkabau itu sebenarnya sama dengan hakikat
manusia. Untuk mengetahui hakikat manusia, tentunya kita mesti mengetahui
apa itu manusia.
Manusia terdiri dari fisik dan
nonfisik. Fisik adalah limbago, nonfisik adalah adaik. Artinya,
kepala, badan, tangan dan kaki adalah bagian dari limbago. Sedangkan akal
pikiran, perasaan, dan hati nurani adalah adaik. Jadi, bisa dikatakan
bahwa adaik adalah cerminan dari pikiran, rasa, dan hati nurani manusia,
sedangkan limbago adalah organ-organ yang berfungsi untuk membudayakan adaik
sekaligus menjadi motif kenapa adaik itu harus dibudayakan. Di dalam
petuah adat ditegaskan dengan pernyataan “cupak tagak dek lanjuangnyo, adaik
tagak dek limbago”.
Baik limbago ataupun adaik mempunyai
potensi yang sama yang berujung pada kebaikan, keindahan, kenyamanan, dan lainnya.
Sama seperti nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung dalam cultural
universal. Di dalam petuah adat Minangkabau, hal ini dibunyikan
dengan ungkapan condong mato ka nan rancak, tunggang salero ka nan lamak.
Hal-hal yang manusiawi dari manusia, bawaan dari fisik maupun
nonfisiknya. Seperti mata, yang selalu ingin melihat yang indah, perasaan
yang selalu menginginkan kesenangan, dan hati yang selalu menginkan
ketenangan. Inilah yang pada dasarnya disebut dengan kebutuhan dasar
fisikal, emotional, dan spritual manusia.
Namun, karena manusia hidup tidak
sendiri, atau dalam ilmu sosial dikatakan bahwa manusia adalah makhluk
sosial. Maka, adaik (baca; pikiran, rasa, nurani) manusia akan merasakan
adanya benturan dalam memenuhi kebutuhan kemanusiaan di atas. Karena,
manusia lain tentunya juga mempunyai kebutuhan dan masalah yang sama.
Misalnya, ingin memiliki dan menjaga istrinya yang cantik dan akan bermasalah
atau merasa tidak nyaman jika istrinya tersebut dilirik orang lain. Meskipun
ia menyadari bahwa hal tersebut adalah manusiawi.
Oleh karena itu, manusia berkumpul,
lalu bermusyawarah membicarakan hal ini, maindang manampi bareh, mamiliah atah
ciek-ciek, manggantuangan ka tiang tujuah. Maka, lahirlah kunci adat
lokal yang merupakan perwujudan dari ungkapan lamak dek awak katuju dek
urang. Begitulah hakikat dari adat Minangkabau, menurut petuah dan
ungkapan adat Minangkabau. Mungkin mirip dengan Cultural Universal,
mungkin sama dengan teori Freud, ataupun Koentjaraningrat. Saya rasa itu
bukan masalah, masalah yang sebenarnya adalah bagaimana menemukan dan
menjadikan persamaan atau kemiripan tersebut untuk saling menghargai satu
dengan lainnya.
2. Kekufuran
terhadap Potensi Adat
Memang bumi Minangkabau tak lagi
seperti dulu. Tak lagi melahirkan putra-putra seperti Tan Malaka, Hatta, Hamka,
dan lainnya. Akan tetapi, tak ada yang bisa menyangkal bahwa secara
umum, pendidikan di Minangkabau sudah bisa dikatakan lebih baik dari
sebelumnya. Bahkan tidak sedikit dari pelajar Minangkabau yang terbilang
pintar tersebar di beberapa daerah bahkan di luar negeri. Jika dicoba
untuk mengumpulkan, barangkali secara intelektual, di segala bidang ilmu, mulai
dari ekonomi, sejarah, budaya, agama, teknik, dan lainnya, Minangkabau memiliki
ahli di tiap bidang tersebut. Pendek kata, dari aspek ini, kita yakin
bahwa Minangkabau akan semakin baik ke depannya. Karena secara
intelektual, masyarakat Minangkabau, baik di darek maupun di rantau sudah
semakin lebih baik. Kita optimis, tidak akan ada masalah yang tidak akan
terpecahkan, jika kita duduk bersama, saling menerima, saling berdamai, dan
saling memahami tempat kita masing-masing.
Akhir-akhir ini, ada isu yang mencuat
dan berkembang tentang eksistensi adat dan agama di Minangkabau.
Karenanya, kita sama-sama bisa mendengar, membaca, dan menyaksikan berapa
banyak pembicaraan, tulisan, seminar yang hebat dan menarik. Hampir semua
masalah fital, khususnya yang menyangkut masalah ekonomi dan moralitas menjadi
topik utama yang katanya berada dalam kondisi kritis. Kambing hitamnya
adalah para tokoh adat dan adat Minangkabau yang tidak lagi berjalan dengan
benar, sudah melenceng dari yang benar, sehingga perlu diluruskan
kembali. Cara berfikir intelek yang sangat susah untuk dipahami oleh
pikiran saya yang hanya ditanak di Minangkabau.
Oleh karena itu, saya mengikuti
perbincangan masalah adat Minangkabau tersebut, baik yang lisan maupun yang
tertulis melalui media cetak dan informasi dari beberapa teman aktifis yang
terlibat. Satu hal yang sangat menarik perhatian saya adalah, saya hampir
tidak menemukan satu pembicaraan ataupun tulisan selain tulisan Wisran Hadi
(almarhum) yang berusaha mengupas masalah Minangkabau dengan bahasa
Minangkabau. Padahal, tema utamanya adalah demi Minangkabau. Saya
sempat bertanya kepada seorang praktisi budaya Minang, Mak Katik, mengapa Mamak
tidak mencoba mengupasnya? Jawab beliau, ambo cuma bisa manulih jo bahaso
Minang, samintaro urang-urang inginnyo ditulih dalam bahaso Indonesia, sia nan
ka mambaco.
Mendengar jawaban itu saya langsung
tercenung. Saya teringat pameo lama “bahasa adalah pintu
ilmu”. Jika orang Minangkabau sendiri mengatakan bahwa bahasa Minangkabau
tidak layak untuk diketengahkan, tentunya hanya ada dua kemungkinan yang akan
terjadi; 1) hakikat adat itu sendiri akan tergerus, karena orang tidak lagi
merasa perlu memasuki rumah lewat pintu, 2) isi rumah (baca; materi adat)
tidaklah penting, karena tidak mengandung nilai ilmu. Karena itu, saya
memberanikan diri mengatakan bahwa bukan adat Minangkabaunya yang bermasalah,
akan tetapi manusianyalah yang punya masalah.
Sebagai orang Minangkabau, apalagi
sebagai orang yang secara intelektual, power, finansial lebih dari kebanyakan,
memang sudah seharusnya menerapkan moto “hope for the best, plan for the
worst”. Terutama untuk hari depan yang lebih baik bagi masyarakat dan
adat Minangkabau. Akan tetapi, mesti dipahami bahwa perubahan dalam
konteks ini tidak bisa serta-merta. Tidak bisa dengan kecerdasan
intelektual yang tinggi, tidak bisa dengan power, tidak bisa dengan uang yang
banyak, bahkan ikrar sumpah sakti sekalipun. Karena ini bukan perubahan
sistem yang berisi jaringan kabel, ini perubahan pandangan, pola hidup, di mana
subjeknya adalah manusia dengan latar dan warna yang berbeda-beda.
Kita tidak bisa mengatakan bahwa kita
mengerti surau kalau tidak pernah tinggal dan menuntut ilmu di sana.
Meskipun kita telah khatam masalah pengelolaan mosque ataupun langgar.
Kita tidak bisa mengatakan bahwa kita mengerti adat Minangkabau kalau kita
tidak tumbuh di sana, berpartisipasi membaca pasambahan takziah, jamuan, dan
acara seremoni adat lainnya. Meskipun, secara akademik kita adalah
seorang Doktor atau bahkan Profesor di bidang ilmu budaya. Kita tidak
bisa mengatakan bahwa kita mengerti “si Rubiah” yang tiap hari hanya jadi
tukang tanak nasi, karena kita adalah Doktor, ahli sastra feminis, atau karena
kita adalah ahli surah psikologi Freud. Saat kita ngotot, maka saat itu
sebenarnya kita sedang melemahkan sendi-sendi surau itu sendiri, memperkosa nilai-nilai
adat, dan menghancurkan hati “si Rubiah”.
Penyebabnya, yaitu kita terlalu
arogan, pikiran kita terbelenggu oleh nilai rasa sehingga kufur terhadap
potensi lokal, potensi yang terkandung dalam adat Minangkabau itu
sendiri. Mulai dari yang terkandung dalam bahasa Minangkabau, seremoni
adat Minangkabau, filosofi adat Minangkabau, masakan Minangkabau, pakaian
Minangkabau, dan lain sebagainya. Buktinya, saya belum mendengar ada
seorangpun Doktor masakan Minang, meskipun saat ini barangkali kita punya beberapa
Doktor tata boga. Meskipun randang kini dikenal sebagai salah satu makanan
terlezat sedunia. Saya belum mendengar adanya orang Minang yang menjadi
Doktor randai, meskipun randai saat ini saya dengar sudah diajarkan hingga ke
beberapa negara seperti Jepang dan Amerika. Apa lagi Doktor bahasa
Minangkabau di dalam kondisi seperti sekarang ini. Kondisi di mana orang Minang
sendiri menganggapnya tidak layak untuk diketengahkan. Yang agak
menggembirakan, saya pernah mendengar ahli batik arang Sawahlunto, sayangnya
dia bukan orang Minangkabau.
Salah satu solusinya, kumbalikan
puntiang ka hulunyo, bak sumbahyang bawakatu, baradaik tantu bakutiko.
Artinya, jangan arogan, pahami tempat masing-masing, lewati prosedur yang
benar. Hargai adat dengan mempelajari sumber dan materinya, terjemahkan dengan
bahasanya, perlihatkan referensinya di lapangan. Jika ingin membudayakan
adat Minangkabau atau mengajarkannya dengan benar kepada generasi Minangkabau,
mulailah dengan membudayakan penggunaan bahasa Minangkabau. Karena, kita
tak bisa menutup mata bahwa sumber adat Minangkabau pasti menggunakan bahasa
Minangkabau. Bahkan, sumber-sumber tersebut cenderung menggunakan bahasa
berkias yang tidak mudah untuk dipahami begitu saja. Jadi, bagaimana
mungkin bisa dikatakan bahwa kita berusaha meluruskan pemahaman adat Miangkabau
kepada generasi muda kita, jika dalam praktiknya, secara jelas-jelas kita telah
merendahkan bahasanya dan lebih memilih untuk membudayakan bahasa lain yang
juga belum tentu benarnya secara keilmuan.
Terakhir, merubah ataupun memperbaiki
pemahaman tentang budaya sama dengan memahami dan merubah manusia. Tidak
bisa serta-merta, harus berproses secara kontiniu. Akan tetapi, kita
mesti optimis, karena yang namanya manusia pasti bisa berubah. Hanya ada
dua hal yang bisa merubah manusia; 1) dirinya sendiri, 2) “sahabat
dekat”nya. Pendek kata, jika ingin berkontribusi dalam memperbaiki
pemahaman tentang budaya Minangkabau, akrablah dengan adat Minangkabau.
Pelajari hakikatnya, terima dan hargai keberadaannya, berdamai dengan ego dan
selera. Ibaratnya, jika pergi menghadiri undangan alek jamuan, niatkan
untuk baradaik, gunakan “pakaian” baradaik. Kalau mau makan enak dan santai,
restoran itu tempatnya.
No comments:
Post a Comment