Saturday, April 21, 2012

Kufur terhadap Potensi Lokal (Pandangan Awal tentang Masalah dalam Pembudayaan Adat Minangkabau)


Ada banyak hal yang menyebabkan susahnya pembudayaan adat Minangkabau di bumi Minangkabau itu sendiri.  Akan tetapi, di dalam pandangan saya sebagai salah seorang anak Minangkabau yang lahir dan dibesarkan di Minangkabau, ada dua persoalan pokok yang menyebabkannya; 1) tidak sampainya komunikasi budaya tentang pemahaman hakikat adat Minangkabau dalam beberapa generasi, 2) Kekufuran orang Minangkabau terhadap potensi keMinangkabauannya sendiri.  Oleh karena itu, tanpa bermaksud menggurui, saya memberanikan diri menulis opini ini.  Harapan saya tidaklah besar, setidaknya tulisan ini bisa menjadi semacam pikiran pembanding, untuk kembali menjaga dan melestarikan warisan nenek moyang kita.

1.    Hakikat adat Minangkabau

Pernahkah Anda mempelajari falsafah adat Minangkabau secara tradisional? Di surau, di sasaran, atau secara pribadikah Anda belajar dengan seorang pemangku adat?  Saya pernah belajar secara pribadi dengan dua orang guru dari latar yang berbeda.  Guru yang pertama adalah Basri Malin Bungsu (almarhum), seorang tokoh adat dari Batubanyak.  Latar belakang beliau adalah seorang ulama dan seniman salawek dulang.  Yang kedua, yaitu Busra Dahrizal Katik jo Mangkuto (Mak Katik).  Hubungan guru-murid dengan yang kedua adalah hubungan yang agak aneh, karena saya belajar dengan beliau hanya melalui tanya-jawab dan diskusi.  Bahkan, kadang kegiatan belajar tersebut hanya sambil duduk bersama minum kopi, bahkan kadang hanya melalui telpon dan berkirim email.  Tidak seperti guru pertama yang hubungan guru-murid diijab-kabulkan lewat seremoni mandabiah ayam dan berdoa bersama. 
Dari yang pertama, saya mendapat pelajaran bahwa hakikat adat Minangkabau itu berkaitan dengan dua istilah utama, yaitu adaik dan limbago.  Adaik adalah nyawa, limbago adalah tubuh.  Lalu, yang kedua mengajarkan kepada saya bahwa adat itu ada semenjak manusia dilahirkan dari rahim ibunya hingga kembali ke rahim Allah, atau meninggal dunia.  Orang yang tidak beradat sama dengan orang yang mati, atau orang yang tidak benar-benar hidup.  Adat adalah marwah yang membuat manusia jadi hidup.  Begitulah petuah dari kedua guru tersebut.
Awalnya saya cukup susah untuk memahami yang dimaksudkan dari pernyataan dua guru adat Minangkabau di atas.  Akan tetapi, setelah saya “membuka mata”, tidak butuh banyak referensi tentang ilmu budaya untuk bisa memahami hal tersebut.  Cukup dengan hanya memahami istilah  dalam ilmu budaya tentang homo sapient dan homo humanus, saya bisa memahami maksud kedua guru di atas.  Istilah homo sapient dan homo humanus yang diperuntukkan untuk mengatakan manusia yang berbudaya jelas mensyiratkan bahwa manusia dikatakan berbudaya jika berfikir dan mempunyai nilai-nilai kemanusiaan.  Pendek kata, budaya adalah cerminan dari pikiran, rasa, nurani manusia itu sendiri.
Jika kita hubungkan secuil teori tentang hakikat budaya ini dengan hakikat adat Minangkabau seperti yang diterangkan kedua guru tadi.  Dapat dipahami bahwa sebenarnya sudah sangat benar materi tentang hakikat adat yang beliau-beliau ajarkan.  Hanya saja, karena keterbatasan latar belakang keilmuan memutuskan rantai komunikasi yang membuat permata ilmu yang bersumber dari materi adat tersebut seperti susah untuk sampai ke masyarakat.  Sayangnya pula, orang-orang yang katanya Minangkabau dan mendapatkan kesempatan untuk memiliki latar keilmuan yang tinggi, tidak tergerak untuk meraih dan menyambungkan lagi rantai yang terputus tersebut.
Oleh karena itu, saya memberanikan diri untuk mengupas hakikat adat Minangkabau tersebut dengan sedikit menghubungkanya dengan hakikat budaya di atas.   Di awal sudah dikatakan bahwa secara tradisional, untuk memahami hakikat adat Minangkabau diketengahkan dua poin utama. yaitu adaik dan limbago.  Jika adaik mengacu kepada marwah, limbago mengacu kepada batang tubuh.  Maka, bisa disimpulkan bahwa hakikat adat Minangkabau itu sebenarnya sama dengan hakikat manusia.  Untuk mengetahui hakikat manusia, tentunya kita mesti mengetahui apa itu manusia.
Manusia terdiri dari fisik dan nonfisik.  Fisik adalah limbago, nonfisik adalah adaik.  Artinya, kepala, badan, tangan dan kaki adalah bagian dari limbago.  Sedangkan akal pikiran, perasaan, dan hati nurani adalah adaik.  Jadi, bisa dikatakan bahwa adaik adalah cerminan dari pikiran, rasa, dan hati nurani manusia, sedangkan limbago adalah organ-organ yang berfungsi untuk membudayakan adaik sekaligus menjadi motif kenapa adaik itu harus dibudayakan.  Di dalam petuah adat ditegaskan dengan pernyataan “cupak tagak dek lanjuangnyo, adaik tagak dek limbago”.
Baik limbago ataupun adaik mempunyai potensi yang sama yang berujung pada kebaikan, keindahan, kenyamanan, dan lainnya.  Sama seperti nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung dalam cultural universal.   Di dalam petuah adat Minangkabau, hal ini dibunyikan dengan ungkapan condong mato ka nan rancak, tunggang salero ka nan lamak.  Hal-hal yang manusiawi dari manusia, bawaan dari fisik maupun nonfisiknya.  Seperti mata, yang selalu ingin melihat yang indah, perasaan yang selalu menginginkan kesenangan, dan hati yang selalu menginkan ketenangan.  Inilah yang pada dasarnya disebut dengan kebutuhan dasar fisikal, emotional, dan spritual manusia.
Namun, karena manusia hidup tidak sendiri, atau dalam ilmu sosial dikatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial.  Maka, adaik (baca; pikiran, rasa, nurani) manusia akan merasakan adanya benturan dalam memenuhi kebutuhan kemanusiaan di atas.  Karena, manusia lain tentunya juga mempunyai kebutuhan dan masalah yang sama.  Misalnya, ingin memiliki dan menjaga istrinya yang cantik dan akan bermasalah atau merasa tidak nyaman jika istrinya tersebut dilirik orang lain.  Meskipun ia menyadari bahwa hal tersebut adalah manusiawi. 
Oleh karena itu, manusia berkumpul, lalu bermusyawarah membicarakan hal ini, maindang manampi bareh, mamiliah atah ciek-ciek, manggantuangan ka tiang tujuah.  Maka, lahirlah kunci adat lokal yang merupakan perwujudan dari ungkapan lamak dek awak katuju dek urang.   Begitulah hakikat dari adat Minangkabau, menurut petuah dan ungkapan adat Minangkabau.  Mungkin mirip dengan Cultural Universal, mungkin sama dengan teori Freud, ataupun Koentjaraningrat.  Saya rasa itu bukan masalah, masalah yang sebenarnya adalah bagaimana menemukan  dan menjadikan persamaan atau kemiripan tersebut untuk saling menghargai satu dengan lainnya.

2.    Kekufuran terhadap Potensi Adat

Memang bumi Minangkabau tak lagi seperti dulu. Tak lagi melahirkan putra-putra seperti Tan Malaka, Hatta, Hamka, dan lainnya.  Akan tetapi, tak ada yang bisa menyangkal bahwa secara umum,  pendidikan di Minangkabau sudah bisa dikatakan lebih baik dari sebelumnya.  Bahkan tidak sedikit dari pelajar Minangkabau yang terbilang pintar tersebar di beberapa daerah bahkan di luar negeri.  Jika dicoba untuk mengumpulkan, barangkali secara intelektual, di segala bidang ilmu, mulai dari ekonomi, sejarah, budaya, agama, teknik, dan lainnya, Minangkabau memiliki ahli di tiap bidang tersebut.  Pendek kata, dari aspek ini, kita yakin bahwa Minangkabau akan semakin baik ke depannya.  Karena secara intelektual, masyarakat Minangkabau, baik di darek maupun di rantau sudah semakin lebih baik.  Kita optimis, tidak akan ada masalah yang tidak akan terpecahkan, jika kita duduk bersama, saling menerima, saling berdamai, dan saling memahami tempat kita masing-masing. 
Akhir-akhir ini, ada isu yang mencuat dan berkembang tentang eksistensi adat dan agama di Minangkabau.  Karenanya, kita sama-sama bisa mendengar, membaca, dan menyaksikan berapa banyak pembicaraan, tulisan, seminar yang hebat dan menarik.  Hampir semua masalah fital, khususnya yang menyangkut masalah ekonomi dan moralitas menjadi topik utama yang katanya berada dalam kondisi kritis.  Kambing hitamnya adalah para tokoh adat dan adat Minangkabau yang tidak lagi berjalan dengan benar, sudah melenceng dari yang benar, sehingga perlu diluruskan kembali.  Cara berfikir intelek yang sangat susah untuk dipahami oleh pikiran saya yang hanya ditanak di Minangkabau.
Oleh karena itu, saya mengikuti perbincangan masalah adat Minangkabau tersebut, baik yang lisan maupun yang tertulis melalui media cetak dan informasi dari beberapa teman aktifis yang terlibat.  Satu hal yang sangat menarik perhatian saya adalah, saya hampir tidak menemukan satu pembicaraan ataupun tulisan selain tulisan Wisran Hadi (almarhum) yang berusaha mengupas masalah Minangkabau dengan bahasa Minangkabau.  Padahal, tema utamanya adalah demi Minangkabau.  Saya sempat bertanya kepada seorang praktisi budaya Minang, Mak Katik, mengapa Mamak tidak mencoba mengupasnya? Jawab beliau, ambo cuma bisa manulih jo bahaso Minang, samintaro urang-urang inginnyo ditulih dalam bahaso Indonesia, sia nan ka mambaco.
Mendengar jawaban itu saya langsung tercenung.  Saya teringat pameo lama  “bahasa adalah pintu ilmu”.  Jika orang Minangkabau sendiri mengatakan bahwa bahasa Minangkabau tidak layak untuk diketengahkan, tentunya hanya ada dua kemungkinan yang akan terjadi; 1) hakikat adat itu sendiri akan tergerus, karena orang tidak lagi merasa perlu memasuki rumah lewat pintu, 2) isi rumah (baca; materi adat) tidaklah penting, karena tidak mengandung nilai ilmu.  Karena itu, saya memberanikan diri mengatakan bahwa bukan adat Minangkabaunya yang bermasalah, akan tetapi manusianyalah yang punya masalah.
Sebagai orang Minangkabau, apalagi sebagai orang yang secara intelektual, power, finansial lebih dari kebanyakan, memang sudah seharusnya menerapkan moto “hope for the best, plan for the worst”.  Terutama untuk hari depan yang lebih baik bagi masyarakat dan adat Minangkabau.  Akan tetapi, mesti dipahami bahwa perubahan dalam konteks ini tidak bisa serta-merta.  Tidak bisa dengan kecerdasan intelektual yang tinggi, tidak bisa dengan power, tidak bisa dengan uang yang banyak, bahkan ikrar sumpah sakti sekalipun.  Karena ini bukan perubahan sistem yang berisi jaringan kabel, ini perubahan pandangan, pola hidup, di mana subjeknya adalah manusia dengan latar dan warna yang berbeda-beda. 
Kita tidak bisa mengatakan bahwa kita mengerti surau kalau tidak pernah tinggal dan menuntut ilmu di sana.  Meskipun kita telah khatam masalah pengelolaan mosque ataupun langgar.  Kita tidak bisa mengatakan bahwa kita mengerti adat Minangkabau kalau kita tidak tumbuh di sana, berpartisipasi membaca pasambahan takziah, jamuan, dan acara seremoni adat  lainnya.  Meskipun, secara akademik kita adalah seorang Doktor atau bahkan Profesor di bidang ilmu budaya.  Kita tidak bisa mengatakan bahwa kita mengerti “si Rubiah” yang tiap hari hanya jadi tukang tanak nasi, karena kita adalah Doktor, ahli sastra feminis, atau karena kita adalah ahli surah psikologi Freud.  Saat kita ngotot, maka saat itu sebenarnya kita sedang melemahkan sendi-sendi surau itu sendiri, memperkosa nilai-nilai adat, dan menghancurkan hati “si Rubiah”.
Penyebabnya, yaitu kita terlalu arogan, pikiran kita terbelenggu oleh nilai rasa sehingga kufur terhadap potensi lokal, potensi yang terkandung dalam adat Minangkabau itu sendiri.  Mulai dari yang terkandung dalam bahasa Minangkabau, seremoni adat Minangkabau, filosofi adat Minangkabau, masakan Minangkabau, pakaian Minangkabau, dan lain sebagainya.  Buktinya, saya belum mendengar ada seorangpun Doktor masakan Minang, meskipun saat ini barangkali kita punya beberapa Doktor tata boga. Meskipun randang kini dikenal sebagai salah satu makanan terlezat sedunia.  Saya belum mendengar adanya orang Minang yang menjadi Doktor randai, meskipun randai saat ini saya dengar sudah diajarkan hingga ke beberapa negara seperti Jepang dan Amerika.  Apa lagi Doktor bahasa Minangkabau di dalam kondisi seperti sekarang ini. Kondisi di mana orang Minang sendiri menganggapnya tidak layak untuk diketengahkan.  Yang agak menggembirakan, saya pernah mendengar ahli batik arang Sawahlunto, sayangnya dia bukan orang Minangkabau.
Salah satu solusinya, kumbalikan puntiang ka hulunyo, bak sumbahyang bawakatu, baradaik tantu bakutiko.  Artinya, jangan arogan, pahami tempat masing-masing, lewati prosedur yang benar. Hargai adat dengan mempelajari sumber dan materinya, terjemahkan dengan bahasanya, perlihatkan referensinya di lapangan.  Jika ingin membudayakan adat Minangkabau atau mengajarkannya dengan benar kepada generasi Minangkabau, mulailah dengan membudayakan penggunaan bahasa Minangkabau.  Karena, kita tak bisa menutup mata bahwa sumber adat Minangkabau pasti menggunakan bahasa Minangkabau.  Bahkan, sumber-sumber tersebut cenderung menggunakan bahasa berkias yang tidak mudah untuk dipahami begitu saja.  Jadi, bagaimana mungkin bisa dikatakan bahwa kita berusaha meluruskan pemahaman adat Miangkabau kepada generasi muda kita, jika dalam praktiknya, secara jelas-jelas kita telah merendahkan bahasanya dan lebih memilih untuk membudayakan bahasa lain yang juga belum tentu benarnya secara keilmuan.
Terakhir, merubah ataupun memperbaiki pemahaman tentang budaya sama dengan memahami dan merubah manusia.  Tidak bisa serta-merta, harus berproses secara kontiniu.  Akan tetapi, kita mesti optimis, karena yang namanya manusia pasti bisa berubah.  Hanya ada dua hal yang bisa merubah manusia; 1) dirinya sendiri, 2) “sahabat dekat”nya.  Pendek kata, jika ingin berkontribusi dalam memperbaiki pemahaman tentang budaya Minangkabau, akrablah dengan adat Minangkabau.  Pelajari hakikatnya, terima dan hargai keberadaannya, berdamai dengan ego dan selera.  Ibaratnya, jika pergi menghadiri undangan alek jamuan, niatkan untuk baradaik, gunakan “pakaian” baradaik. Kalau mau makan enak dan santai, restoran itu tempatnya.

No comments:

Post a Comment