A.
Pendahuluan
Malam-malam bainai
yo mamak
Malam-malam
bajapuik yo sayang
Sambanyo lamak yo
mamak
Si Gulai paku
Petikan syair lagu di atas adalah salah satu dari lagu yang memang secara
langsung menyoroti prosesi perkawinan tradisional di Minangkabau. Petikan
syair di atas adalah bagian dari cerminan kemeriahan pesta perkawinan di
Minangkabau. Ada cerita tentang senangnya mengikuti prosesi malam bainai, ada cerita
tentang masakan yang enak-enak, dan ada cerita tentang keramaian yang penuh
dengan kebahagiaan. Ada pula cerita tentang kerinduan muda-mudi dengan
suasana selama prosesi malam
bainai.
Petikan lagu di
atas sengaja saya angkat guna menimbulkan suasana senang dan lapang sebelum
memasuki pembahasan tulisan ini. Siapa tahu, lagu tersebut bisa
mencairkan suasana sehingga membuat tulisan ini akan mengalir dengan lancar,
dan memberikan pencerahan kepada yang membacanya. Paling tidak, untuk
menjernihkan pemikiran penulis sendiri supaya bisa menyampaikan pendapat dengan
objektif, baik, dan tidak menyinggung orang lain.
Menikah adalah satu
dari beberapa kebahagiaan yang mendapatkan tempat istimewa di dalam kehidupan
bermasyarakat. Ini bisa dilihat jelas dari acara selamatan yang dilakukan
ketika seseorang menikah. Seorang bujangan akan menabung buat
“membesarkan” hari pernikahannya, orang tua bahkan akan rela berutang demi
pesta pernikahan putranya, sanak saudara juga tak ketinggalan beriuran untuk
menunjukkan perannya masing-masing. Hal ini saja cukup rasanya untuk
menunjukkan bahwa momentum perubahan status dari bujangan menjadi suami/istri
merupakan sesuatu momentum yang tak terlupakan, sehingga semua tidak mau
ketinggalan dan ingin berkontribusi di dalamnya.
Karena pesta
pernikahan tradisional ini, dari kalangan seniman Minangkabau lahirlah kidung “malam
bainai”, dari tokoh adat itu sendiri lahirlah “pidato siriah-pinang”,
kepada pihak yang terkait langsung dialamatkan gelar “rajo-ratu sahari”.
Antusiasme menyambut dan melaksanakan pernikahan ini kadang membuat banyak
orang lupa untuk melihat ke dalam dirinya sendiri. Lupa akan keadaan
diri, lupa akan lingkungan, bahkan lupa akan hakikat pernikahan itu
sendiri. Setidaknya, pandangan ini sudah banyak muncul dari pihak yang
berada di luar lingkup pernikahan dan pesta tersebut. Akibatnya,
“kebiasaan” pelaksanaan pesta pernikahan ini menjadi catatan tersendiri yang
harus “tidak boleh dibiasakan”. Ujung-ujungnya, karena sudah menjadi
kebiasaan, adat setempatpun jadi kambing hitam. Adat perkawinan
Minangkabau mulai dijadikan perdebatan. Mulai dari proses prapernikahan
hingga proses pascapernikahan.
Akibatnya, pada
saat seperti sekarang ini, masa di mana pengaruh modernisasi datang dari segala
arah, orang mulai mengenyampingkan adat tanpa proses peradilan yang
benar. Peradilan yang benar di sini adalah tidak mencari akar
permasalahan dan menelusuri aturan adat yang sebenarnya. Orang-orang
langsung saja menghakimi “Malam Bainai” sebagai tradisi yang
bertentangan dengan ajaran Islam. Begitu juga dengan proses “Manukuak
Hari Mancari Ukua Jangko”, prosesi acara “Maminang”, hingga proses “Baralek”
setelah pernikahan. Oleh karena itu, melalui tulisan ini, saya bermaksud
untuk meluruskan pemahaman tentang proses pernikahan menurut pemahaman saya
tentang adat perkawinan Minangkabau.
B. Pembahasan
Pembahasan tentang
perkawinan menurut adat Minangkabau ini akan saya kelompokkan pada tiga (3) sub
pokok bahasan, yaitu; 1) Hakikat Perkawinan, 2) Prapernikahan, 3)
Pascapernikahan.
1. Hakikat Perkawinan
Motif saya
menggunakan kata “perkawinan”, bukan “pernikahan” pada bahasan tentang hakikat
perkawinan ini adalah berhubungan langsung dengan “maqom” adat sebagai
kebenaran yang sifatnya kelompok. Sedangkan pernikahan adalah bahasa
agama tentang masalah ini, kebenarannya bersifat mutlak. Sungguh, saya
tidak sanggup dan tidak mau untuk membicaran kebenaran yang sifatnya
mutlak. Karena saya manusia, hanya bisa bertanggung jawab pada manusia,
belum siap jika saat ini dihadapkan kepada Tuhan.
Dari pidato pasambahan adaik tentang perkawinan, nikah dikatakan
sebagai proses peralihan mandat dari orang tua pihak perempuan kepada laki-laki
yang akan menjadi suami anaknya. Hal ini dibunyikan dengan kata-kata “ijab
nikah kabua bajawek, hukum putuih tampek bagantuang”. Sementara itu,
perkawinan dianggap sebagai ikatan antara kedua belah pihak sebagai tindak
lanjut dari rencana pernikahan tersebut. Tidak tentang kedua pengantin,
tapi tentang kedua keluarga, tentang kedua kampung, bahkan tentang kedua
daerah, jika daerahnya berbeda. Hal ini dikatakan dengan ungkapan “nikah
jo parampuan, kawin korong jo kampuang”. Karena itu pula, di dalam
konteks adat perkawinan Minangkabau ada istilah “adaik nan taradaik”.
Yaitu, lembaga adat yang menfalisitasi peleburan, penyesuaian, demi menyatukan
dua kutub dengan latar dan kebiasaan yang berbeda. Disebut “adaik nan
taradaik” adalah karena sifat kelembagaannya yang sementara. Yang
abadi adalah hakikat adatnya, yaitu perkawinan kedua pihak yang ditandai oleh
proses pernikahan anak, kemenakan, cucu mereka.
Hal di atas di
dalam pidato adat dibunyikan dengan kata-kata “rundingan bajuru baso,
bakawua niniak jo mamak, urang sumando korong jo kampuang, mancari ukua jo
jangko, ukua jangko bapatuik jo mungkin”. Artinya, seluruh pihak
terlibat dalam proses perkawinan, proses penyatuan untuk menyongsong hari depan
yang lebih baik. Oleh karena itu, dalam proses perkawinan adat
Minangkabau, banyak sekali pihak yang terlibat langsung mulai dari persiapan
hingga setelahnya. Semua pihak tersebutpun sudah jelas peran dan
fungsinya masing-masing. Niniak
mamak sebagai kepala acara, urang sumando dengan fungsi siaganya “manyilau
nan dakek manjalang nan jauah”, bako dengan peran dan fungsi
perlengkapannya, dan masih banyak fungsi dan peran lainnya yang tidak bisa
disebutkan satu persatu karena merupakan bagian dari “adaik salingka nagari”,
lain lubuk lain ikannya.
Oleh karena itu,
bisa disimpulkan bahwa hakikat perkawinan yang tercermin dalam ungkapan pidato pasambahan adaik, dari
peran dan fungsi pihak-pihak yang terkait adalah proses penyatuan dua keluarga,
dua kampung, pendeknya dua pihak, demi untuk mempersiapkan hari depan yang
lebih baik. Jadi, wajar sebuah proses perkawinan di Minangkabau terkesan
seperti sebuah seremoni yang besar dan menguras banyak energi. Namun,
meskipun demikian, bukan berarti kita bisa menilai bahwa prosesi perkawinan
menurut adat Minangkabau tersebut sebagai sebuah proses pemborosan dan proses
yang bertele-tele. Seperti isu yang sengaja diangkat oleh orang-orang
yang tidak bertanggung jawab.
Menanggapi isu
tersebut, menurut adat Minangkabau, prosesi perkawinan itu sendiri
dikelompokkan pada tiga jenis. Yaitu; 1) Perkawinan Kulansiang Batu/Hari, 2) Perkawinan Kulansiang
Bulan, 3) Perkawinan Kulansiang
Matohari. Tingkatan ini berhubungan langsung dengan keadaan ekonomi
kedua pihak yang menyelenggarakan acara perkawinan. Di dalam adat,
kelanjutan dari pengelompokan ini ditandai dengan jumlah pihak yang akan
diundang serta perlakuan yang akan dilakukan pada pihak-pihak tertentu, dalam
hal ini niniak mamak dan pihak-pihak yang menurut status
adatnya adalah yang mulia atau ditinggikan. Berdasarkan ini, isu yang
mencuat seperti di atas layak dikatakan sebagai sebuah kesalah-pahaman.
Wajar jika mencuat dalam kepala orang luar Minangkabau, tidak jika
mencuat dalam kepala orang Minangkabau. Karena, isu yang seharusnya
adalah, tentang keMinangkabauan si penyebar dan pengompor isu. Bukan tentang
kelayakan adat perkawinan Minangkabau.
2. Prapernikahan
Ada banyak bentuk
prosesi yang dilaksanakan sebelum proses pernikahan dilaksanakan. Seperti “Maresek”, “Maminang”, “Balatak
Tando/Batimbang Tando/Babaluak/Basaluak Tando/Batuka Tando”, “Malam Bainai”, dan lain
sebagainya. Akan tetapi, karena keterbatasan, saya hanya membahas
beberapa hal yang pernah saya pelajari dan pahami dengan baik dari beberapa
tokoh tradisional adat Minangkabau. Yaitu; a) Maminang, b) Manukuak Hari
Mancari Ukua Jangko, 3) Balatak Tando, Batuka Tando, Batimbang Tando,
Babaluak/Basaluak Tando, 4) Malam Bainai.
a. Maminang
Maminang ini bisa dipadankan dengan kata melamar dalam bahasa
Indonesia. Hanya saja, kata maminang ini secara pragmatis mengacu kepada
makna dan relasi makna yang terkait dengannya. Di dalam adat Minangkabau,
kata maminang ini merujuk kepada benda-benda yang
disajikan dalam proses maminang tersebut. Benda-benda itu
disebut dengan “urang nan limo badunsanak”, yaitu; siriah, pinang, gambia, sadah,
tambakau. Benda ini adalah bahan yang nantinya akan dicampurkan
sedemikian rupa untuk dicicipi oleh pihak yang akan dilamar, sekaligus sebagai
pertanda maksud kedatangan si pelamar. Oleh karena itu tata-saji sirih-pinang cs ini mesti betul-betul diperhatikan.
Mengenai tata-saji
ini, perhatian utama biasanya akan tertuju kepada siriah. Sedangkan
yang lainnya cukup disajikan dengan memperhatikan nilai estetika umum.
Penyajian siriah harus dalam bentuk susunan secara
berderet dengan rapi, dengan bagian gagang siriah menghadap ke atas. Susunan
siriah ini tidak boleh diikat. Namun, jika diikat dengan tujuan supaya
susunannya tidak kacau, jangan lupa melepaskan ikatannya sebelum diberikan
kepada pihak yang akan dilamar. Orang yang arif dan ketat tentang adat
Minangkabau biasanya akan memperhatikan betul tata-saji siriah ini. Karena hal ini berhubungan
dengan jalannya proses rundingan nantinya.
Susunan siriah seperti dikatakan di atas mengandung
makna bahwa telah ada kesepakatan dan perencanaan dari pihak keluarga yang
datang. Tidak adanya ikatan menunjukkan bahwa kesepakatan dan rencana
mereka itu sifatnya adalah draf, bukan harga mati. Sedangkan gagangnya
menghadap ke atas berhubungan dengan tujuan kemudahan dalam mengambil satu atau
dua lembar dari daun siriah tersebut tampa mengganggu keelokan
susunannya. Hal ini mengandung makna bahwa pihak yang datang bersedia
menerima masukan dan perubahan berdasarkan hasil musyawarah dan rundingan
bersama kedua belah pihak. Pada akhirnya, ketika proses pelamaran
selesai, siriah tersebut akan diikat dengan sistem
simpul khusus (buhua sentak). Lalu, perwakilah pihak yang dilamar
akan mengambil satu atau beberapa lembar daun siriah dan benda lainnya untuk membuat satu “pakapuran”,
satu porsi siriah yang akan dicicipi. Simpul
ikatan buhua sentak mengandung makna bahwa segala
sesuatunya bisa saja berubah demi kebaikan bersama, karena semuanya tergantung
Tuhan. Sedangkan proses mencicipi siriah menunjukkan bahwa pihak yang dilamar
menerima lamaran dengan senang hati.
b. Manukuak Hari Mancari Ukua Jangko
Manukuak Hari
Mancari Ukua Jangko sebenarnya adalah
salah satu falsafah tertua di Minangkabau yang mengandung nilai yang sangat
universal sehingga bisa bertahan dan memasuki seluruh aspek kehidupan
manusia. Salah satunya adalah aspek prosesi perkawinan. Disebut
tertua karena falsafah ini awalnya berkembang dari jaman manusia Minangkabau
hidup dari hasil hutan. Berhubungan dengan mitos pembukaan lahan, memecah
bebatuan, menebang kayu, yang sulit dijelaskan karena identik dengan logika
mistika. Akan tetapi, karena nilai utamanya yang sesuai dan tidak luntur
oleh perkembangan pemikiran manusia. Falsafah ini bertahan bahkan
menjelma ke dalam segala aspek kehidupan. Nilai tersebut adalah sikap
untuk selalu mempersiapkan diri, siaga terhadap segala kemungkinan demi
kelancaran dan hasil yang baik. Layaknya “hope for the best, plan for the
worst”nya manusia sekarang.
Ciri khas dari
prosesi Manukuak Hari Mancari
Ukua Jangko dalam konteks
adat perkawinan ini adalah harus dilaksanakan di tempat pihak perempuan, tidak
boleh di tempat laki-laki. Hal ini berhubungan dengan topik utama yang
akan dimusyawahkan, yaitu mengenai waktu pernikahan, dan kodrat perempuan itu
sendiri. Artinya, dilaksanakan di tempat pihak perempuan supaya pemilihan
hari nantinya benar-benar hari di mana kedua calon pengantin berada dalam
kondisi yang siap. Kondisi ini lebih mengacu kepada pihak perempuan
karena kodrat perempuan yang memang mengalami kondisi yang membuatnya kadang
tidak siap secara bathin alias tidak suci.
Pembicaraan lainnya
pada saat prosesi ini adalah menyatakan tentang jenis dan bentuk acara yang
akan dilaksanakan oleh kedua belah pihak, agar keduanya siap dan tahu apa yang
mesti dilakukan nantinya. Saat inilah sebenarnya kejujuran dan
keterbukaan sangat dibutuhkan. Jika kemampuan hanya untuk melaksanakan
perkawinan kulansiang hari,
maka jangan katakan kulansiang
bulan, apalagi kulansiang
matohari. Kenyataannya, karena rasa malu dan ego yang tidak berdasar,
prosesi ini banyak menjadi ajang pamer. Efeknya, nilai utama hilang
berganti dengan nilai ekonomis. Hari yang dipilih bukan hari terbaik buat
para calon pengantin, tapi hari terbaik buat pihak-pihat terkait. Seperti
hari setelah gajian bagi pegawai, hari panen buat petani, dan hari pasar buat
pedagang. Sayangnya lagi, hal ini diwariskan, sehingga generasi muda
tidak lagi menangkap makna utama dari prosesi manukuak
hari mancari ukua jangko.
c. Balatak, Batuka, Batimbang, Babaluak/Basaluak Tando
Proses lamaran/meminang atau manukuak hari biasanya
diakhiri dengan sebuah prosesi penanda bahwa telah terjadi kesepakatan antara
kedua belah pihak calon pengantin. Penanda kesepakatan tersebut tidak selalu
sama bentuk dan aturannya di seluruh wilayah Minangkabau. Setidaknya, ada
empat (4) bentuk pennda kesepakatan, yaitu; 1) Balatak Tando, 2) Batuka Tando, 3)
Batimbang Tando, 4) Babaluak/Basaluak Tando.
1) Balatak
tando adalah penanda
kesepakatan di mana hanya pihak pelamar yang memberikan sesuatu benda sebagai
tanda kesepakatan. 2) Batuka
Tando ditandai dengan
tukar-menukar benda penanda antara kedua belah pihak. Tidak ada aturan khusus
mengenai mutu dan bentuk barang pada dua istilah penanda ini (1 dan 2).
Sementara itu, untuk 3) Batimbang Tando, kedua belah
pihak saling bertukar benda yang mutu dan bentuknya sama. Biasanya berupa
perhiasan. Lalu, 4) Babaluak/Basaluak
Tando memiliki konsep
tersendiri. Pihak laki-laki menyerahkan keris, pihak perempuan menyerahkan kain
panjang/songket. Di samping sebagai penanda proses kesepakatan, keempat bentuk
penanda kesepakatan ini juga mengandung makna bahwa kedua belah pihak bersedia
menerima keputusan adat jika ternyata di belakang hari pihak mereka
melanggar/menciderai kesepakatan.
d. Malam
Bainai
Malam bainai merupakan malam di mana calon pengantin wanita didandani dengan
memasangkan cat kuku dari daun inai. Malam ini mirip dengan malam melepas
masa lajang. Karena pada malam tersebut biasanya calon pengantin wanita
akan dikunjungi oleh kawan-kawan dekatnya. Pengantin wanita akan diberi
kesempatan untuk berbincang-bincang dan berbagi kebahagiaan dengan
teman-temannya. Tentunya dalam ikatan norma dan etika yang sesuai dengan
etika perempuan sebagai limpapeh
rumah nan gadang. Bukan kesempatan untuk bersenang-senang
menghabiskan malam.
Malam bainai ini biasanya dilaksanakan sehari sebelum proses pernikahan
dilaksanakan. Prosesinya dimulai semenjak sore hari, di mana calon pengantin
perempuan akan dimandikan oleh beberapa orang wanita. Wanita-wanita yang
memandikan ini biasanya adalah bako yang telah memasuki usia tidak
produktif. Selanjutnya, setelah proses pemandian selesai, pada
waktu kira-kira selepas Isya sebelum tamu berdatangan, wanita-wanita tadi
memasangkan inai ke kuku calon pengantin perempuan.
Ada dua objek yang
sangat menarik untuk diperhatikan pada prosesi malam bainai ini, yaitu; wanita-wanita yang
terlibat memandikan dan memasangkan inai, pemilihan inai itu sendiri sebagai
hiasan jari. Menurut penjelasan beberapa tokoh adat, malam bainai itu sendiri mengandung makna
penyucian. Makanya ada proses memandikan sampai mendandani dengan
inai. Selanjutnya, pelaksana dari prosesi ini adalah para wanita-wanita
yang telah tidak produktif berkaitan langsung dengan logika bahwa yang melaksanakan
prosesi penyucian harus yang suci pula. Oleh karena itu, pelaksananya
adalah wanita-wanita yang secara biologis tidak lagi akan kedatangan tamu
“bulanan”.
Terakhir, pemilihan
inai mengandung dua makna, yaitu makna lahiriah dan makna bathiniah.
Makna lahiriah adalah karena inai tidak akan menghalangi wudhuk.
Sedangkan makna bathiniah adalah karena inai adalah jenis tumbuhan yang bisa
menghalangi aliran pengaruh jahat yang bisa mengganggu si pemakai inai.
oleh karena itu, bisa diasumsikan bahwa inai dipilih karena multiguna yang
terkandung di dalamnya. Jadi, jika nanti ada yang was-was ketika mendaki
gunung, camping, dan
lainya. Lebih baik menggunakan inai dari pada magnet, tanpa lupa tentunya
bahwa yang paling utama adalah berserah diri kepada Tuhan.
3. Pascapernikan
Berbicara masalah
pascapernikahan tentunya topik utamanya adalah hal yang berkaitan dengan pesta
perkawinan itu sendiri dan proses pemberian gelar sebagai tanda pengakuan
terhadap perubahan status dari bujangan menjadi suami, dari seorang anak
menjadi seorang laki-laki yang telah matang. Prosesi pesta perkawinan ini
sendiri disebut dengan baralek,
sedangkan untuk prosesi pemberian gelar disebut dengan batagak gala.
a. Baralek
Baralek ini di
dalam adat Minangkabau dibagi dalam dua kategori utama, yaitu menurut kondisi
kemampuan dan menurut wilayah adat. Menurut kondisi kemampuan, ada tiga
jenis baralek, yaitu; kulansiang
hari, kulansiang bulan, kulansiang matohari. Sedangkan menurut
wilayah adat, alek itu terdiri dari alek larak lereang, alek jamuan,
alek cancang tandeh. Alek
larak lereng merupakan alek dari daerah luhak Tanah Data, alek jamuan dari luhak Agam, dan alek cancang tandeh dari luhak Limopuluah koto.
Selanjutnya, alek kulansiang hari merupakan jenis alek yang dilaksanakan jika kondisi
kemampuan terbilang rendah. Artinya, alek ini sifatnya kecil secara ekonomi dan
hanya melibatkan pihak terkait saja. Sedangkan alek kulansiang bulan adalah alek yang secara ekonomi bersifat menengah
dan melibatkan undangan yang terbatas. Terakhir, alek kulansiang matohari adalah jenis alek yang secara ekonomi bersifat besar dan
melibatkan banyak sekali undangan.
Poin utama yang
bisa dipetik di sini adalah, bahwa adat Minangkabau tidaklah kaku. Akan
tetapi, mencermati perbedaan kemampuan masyarakat yang tentunya
berbeda-beda. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa
aturan adat kadang memaksa orang untuk berhutang ketika hendak menikah, bahkan
terkadang membuat takut muda-mudi untuk menikah secara beradat.
b. Batagak Gala
Seperti yang
disinggung di atas bahwa batagak
gala dalam konteks adat
perkawinan ini berhubungan dengan perubahan status seorang anak laki-laki
menjadi laki-laki dewasa. Artinya, gelar ini bisa dikatakan sebagai
semacam pengakuan terhatap kematangan seorang laki-laki, sekaligus identitas
sosialnya. Karena, gelar yang diberikan adalah gelar dari salah seorang mamak dalam kaum. Biasanya pemberian
gelar tersebut dilakukan dengan terlebih dahulu mempertimbangkan kedekatan
karakter antara pemegang gelar pendahulu dengan yang akan dianugerahi gelar.
Hal yang harus
diingat, bahwa dengan melekatnya gelar ini pada diri sesorang. Berarti dia
telah dihargai oleh adat sebagai seorang laki-laki Minangkabau dewasa, bukan
anak-anak lagi. Bagi yang mendapat gelar harus bisa menjaga sikap dan
berfikir, berkata, dan berlaku layaknya orang dewasa. Sedangkan bagi
masyarakat sekitar, juga harus mulai untuk melibatkan dan memperlakukan dia
dalam acara adat dan keseharian sesuai dengan status dan tempatnya. Yaitu
sebagai seorang dewasa yang punya tanggung jawab.
E. Penutup
Dari penjabaran di
atas dapat ditarik beberapa poin penting yang agaknya memiliki nilai yang
tinggi, sekaligus akan menjadi daya tarik yang luar biasa tentang adat
perkawinan Minangkabau. Poin-poin tersebut tentunya merupakan potensi
adat yang mesti terus dijaga dan dilestarikan. Jika perlu dikembangkan
agar nilai-nilai yang terkandung di dalamnya terus bertahan. Poin-poin
tersebut adalah;
1. Hakikat adat perkawinan Minangkabau
bukanlah tentang pernikahan laki-laki dengan perempuan saja. Tetapi
tentang penyatuan dua pihak/kubu yang berbeda untuk menuju hari depan yang lebih
baik.
2. Prosesi adat perkawinan Minangkabau
bukanlah seremoni tanpa arti yang tidak sesuai dengan nilai kemajuan.
Melainkan, prosesi yang kaya akan nilai-nilai kemajuan itu sendiri.
Seperti yang terkandung dalam prosesi Mancari
Ukua Jangko dan prosesi Maminang.
3. Malam Bainai itu memiliki makna yang mirip dengan
berwuduk sebelum shalat. Yaitu untuk menyucikan diri sebelum beribadah,
dan bukankah menikah itu ibadah?
4. Adat perkawinan Minangkabau bisa
dikatakan sebagai wujud dari kebersamaan yang apik. Karena, meskipun
tidak ada aturan tertulis, semua pihak terkait secara spontan memahami peran,
fungsi dan apa yang mesti dilakukan jika salah seorang yang terkait dengannya
akan menikah.
F. Referensi
Dahrizal, Musra Kt.
Jo. Mangkuto. 2008. Wawancara/Diskusi.
Zalman, Hendri.
2010. "Kumpulan Pidato Pasambahan Adaik Minangkabau Nagari
Batubanyak" (tidak diterbitkan).
No comments:
Post a Comment