A. PENDAHULUAN
Nan lumpuah pahuni rumah (yang lumpuh penghuni
rumah)
Nan buto pahambuih saluang (yang buta peniup saluang/
alat untuk peniup api yang
terbuat dari bambu)
Nan pakak palapeh badia (yang tuli penekan pelatuk
Senapan.
Setidaknya ada tiga pesan yang bisa ditangkap dari ungkapan adat
Minangkabau di atas, yaitu:
1.
Tidak ada satupun ciptaan
Tuhan yang sia-sia/ tidak berguna
2.
Adat Minangkabau sangat
menghargai nilai-nilai kemanusiaan
3.
Setiap orang secara fitrah
memiliki potensi/ talenta.
Dari tahun ke tahun, bangsa Indonesia selalu berusaha untuk
menemukan jati diri dan menggali segala potensi yang ada di dalamnya melalui
berbagai cara, salah satunya adalah dengan mengadakan perbaikan secara kontiniu
terhadap sektor pendidikan. Demi proses perbaikan pendidikan tersebut, berbagai
sistem pendidikan dari beberapa negara maju telah diambil sebagai pedoman, dan
berbagai perombakanpun telah dilakukan, mulai dari tingkat pembuatan kebijakan
hingga ke tataran pelaksanaan di sekolah. Alhasil, didapati kenyataan bahwa
kurikulum merupakan unsur pendidikan yang paling sering jadi “bulan-bulanan”
dari proses perombakan tersebut.
Kesan yang paling menonjol yang terjadi dalam proses perbaikan
pendidikan Indonesia adalah, selalu saja terlihat emosional. Kemajuan
pendidikan negara-negara barat seolah-olah merupakan ayat suci yang mutlak
harus ditiru, sehingga kompleksitas keadaan, potensi, bakat peserta didik dan
lingkungannya menjadi terlupakan. Ujung-ujungnya; bagaimana mungkin kita akan
bisa mendapatkan baju yang pas, jika kita bercermin kepada tubuh orang lain?
Mungkin bajunya akan kebesaran, atau mungkin juga warnanya tidak akan sesuai
dengan warna kulit kita. Barangkali itulah fenomena yang akan terjadi.
Akhirnya, benar kata pepatah, “buruk muka cermin dibelah”. Nampaknya, ini
pulalah yang berusaha diingatkan oleh Alwasilah (2008:116) melalui istilah
“kufur terhadap kearifan lokal”.
Pada tahun 2003, agaknya kesadaran untuk mencoba melihat secara
mendalam dan mencoba menemukan potensi diri mulai menjadi acuan dalam
mengembangkan dan memajukan pendidikan di Indonesia. Hal ini ditandai dengan
keluarnya UU No. 20 Tahun 2003 tentang pendidikan, dan PP No. 19/ 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan. Kedua aturan di atas memberikan ruang yang bagi
bakat, minat, dan kemampuan untuk berperan aktif dalam memajukan pendidikan.
Sebenarnya, pesan yang terkandung di dalam aturan di atas bukanlah
barang baru dalam dunia pendidikan Indonesia. Jauh sebelum Indonesia
merdeka, sudah ada lembaga pendidikan di Indonesia yang menerapkan konsep
pendidikan berdasarkan pengembangan bakat dan minat tersebut, salah satunya
ialah sebuah sekolah setingkat SMA yang dikenal dengan nama Institut Nasional
Syafe’i Kayu Tanam.
B. PEMBAHASAN
I. Sejarah Singkat INS Kayu Tanam
Sebelum dikenal dengan sebutan Institut Nasional Syafe’i (INS)
Kayu Tanam, sekolah ini bernama Indonesisch Nederland School. Di kalangan
pelajar dan masyarakat Sumatera Barat, sekolah ini kadang dipelesetkan dengan
sebutan ”Ingat Nasib Sendiri”. INS Kayu Tanam didirikan oleh Muhammad Syafe’i
pada tanggal 31 Oktober 1926. Sejak berdiri hingga perang kemerdekaan,
perguruan ini telah berkibar namanya bersamaan dengan berkibarnya nama
Perguruan Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara di pulau Jawa.
Sebagai lembaga pendidikan swasta, INS juga mengalami pasang surut
di dalam proses perkembangannya. Sejak berdirinya pada tahun 1926 hingga
tahun-tahun awal kemerdekaan Indonesia, INS mengalami masa kejayaannya. Bahkan
hanya dalam tempo 13 tahun, tepatnya pada tahun 1939 INS Kayutanam telah
menempati areal seluas 18 hektar, dengan fasilitas ruang kelas, bengkel kerja,
dua asrama, dan tiga perumahan guru. Ada pula ruang makan dengan dapur
kolektif, satu taman bacaan, poliklinik, gedung pertunjukan berikut lapangan
sepak bola, atletik, tenis, ruang senam, dan kolam renang, pertokoan, koperasi,
dan restoran. Selebihnya ditata untuk mendukung keperluan pembelajaran siswa.
Adapun jumlah murid INS saat itu mencapai 500 orang yang berasal dari seluruh
Indonesia.
Akan tetapi, semenjak Indonesia mulai menerapkan sistem
sentralisasi dalam dunia pendidikannya, cahaya INS pun mulai meredup.
Penyeragaman kurikulum dan standar evaluasi/ kelulusan secara nasional
berdampak buruk terhadap INS Kayu Tanam. Kemandirian yang menjadi ciri khas INS
dilumpuhkan oleh nominal-nominal di atas kertas yang menjadi standar kelulusan
buatan “pusat”, perlahan-lahan INS pun mulai kesepian peminat. Akan tetapi,
meskipun demikian, “ruh” pendidikan INS yang dikibarkan oleh Mohammad Syafe’i
tetap hidup di hati para siswa-siswanya, khususnya para lulusannya yang banyak
berhasil menjadi tenaga kerja mandiri dan menciptakan berbagai lapangan
pekerjaan.
II. Filosofi INS Kayu Tanam
Filosofi pendidikan di INS Kayu Tanam dituangkan oleh Muhammad
Syafe’i dalam bentuk pesan-pesan kepada siswanya, di antaranya;
1.
Jadilah engkau menjadi
engkau!
2.
Janganlah meminta buah
mangga dari pohon rambutan, tetapi jadikanlah setiap pohon berbuah manis!
3.
Diplomamu adalah
kemampuanmu berdiri sendiri dalam masyarakat, tanpa menggantungkan diri dan
hidupmu pada lowongan-lowongan yang terdapat di kantor-kantor pemerintah
kolonial.
Ketiga ucapan beliau di atas sebenarnya berangkat dari kearifan
dalam menangkap pesan yang terkandung di dalam filosofi adat Minangkabau,
tahimpik nak di ateh takuruang nak di lua (terhimpit ingin di atas terkurung
ingin di luar), dan alam takambang jadi guru (alam terkembang menjadi guru).
Tentunya di bawah kerangka adaik basandi syara’, syara’ basandi kitabullah
(adat berdasarkan agama, agama berdasarkan kitab Allah).
Melalui ketiga ucapan di atas, beliau berusaha mengajarkan
kemandirian, optimisme, dan kreatifitas kepada para siswanya. Pesan
kemandirian, optimisme, dan kreatifitas ini menjadi sebuah kekuatan yang luar
biasa karena didukung oleh kekuatan budaya dan agama (adaik basandi Syara’,
syara’ basandi kitabullah). Jika kita cermati, hal ini sebenarnya senada dengan
filosofi Bushidou dalam dunia pendidikan Jepang yang dinyatakan Maruyama (1997:
85) dalam bukunnya Studi Sejarah Intelektual Jepang Masa Tokugawa.
Kemandirian menurut Muhammad Syafe’i adalah sesuatu yang mutlak
harus dimiliki oleh setiap siswa. Karena itu, untuk memberikan keteladanan
kepada siswa-siswanya, Muhammad Syafe’i tidak pernah bersedia menerima bantuan
dari pihak pemerintah, pejabat, persatuan wali nagari se Sumatera Barat,
apalagi dari pemerintah kolonial Belanda. Untuk membangun dan membiayai INS
Kayu Tanam, beliau menjalin hubungan dengan organisasi buruh kereta api (VBPSS)
yang berpusat di Padang, dan perantau Minangkabau yang tergabung dalam ”Medan
Perdamaian” di Jakarta. Selebihnya, adalah ikhtiar sendiri, mulai dari
honorarium guru, buku-buku Engku Syafe’i, sampai pada penggalangan dana melalui
aktivitas siswa, seperti pertunjukan sandiwara, penjualan hasil-hasil
kerajinan, bahkan melalui pertandingan sepak bola (Navis, 1984).
III. Sistem Pendidikan INS Kayu Tanam
Seiring dengan keluarnya UU No. 20 Tahun 2003 tentang pendidikan,
pasal 12 ayat 1 butir b dan PP No. 19/ 2005, bab IV pasal 19, INS Kayu Tanampun
akhirnya mendapatkan pengakuan secara nasional sekaligus landasan untuk
meneruskan dan mengembangkan kurikulumnya. Landasan tersebut berbunyi sebagai
berikut;
1.
UU No. 20 Tahun 2003, pasal 12 ayat 1 butir b
“Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak
mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya”
2.
PP No. 19/ 2005, bab IV pasal 19
“Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara
interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk
berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa,
kreativitas, dan ke-mandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan
fisik serta psikologis peserta didik”
Kurikulum
Kurikulum yang dikembangkan di INS Kayu Tanam ini adalah Kurikulum
SMA Berbasis talenta. Kurikulum ini memberi panduan bagi kepala sekolah dan
guru di INS Kayutanam Sumatera Barat untuk menyusun program kegiatan dan
pelaksanaan kegiatan serta penilaiannya.Talenta yang dikembangkan terdiri dari
dua kategori; 1) talenta yang berhubungan dengan kapasitas akademik/
intelektual dan keterampilan peserta didik, 2) talenta yang berhubungan dengan
fitrah diri peserta didik sebagai makhluk ciptaan tuhan (Spitual Intelegence).
Dari kurikulum seperti ini, siswa diharapkan memperoleh
kesempatan; a) belajar untuk beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
b) belajar untuk memahami dan menghayati, (c) belajar untuk mampu melaksanakan
dan berbuat secara efektif, d) belajar untuk hidup bersama dan berguna untuk
orang lain, dan (e) belajar untuk membangun dan menemukan jati diri dan
talentanya melalui proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, melibatkan
hati nurani (engku guru memberi kasih kepada peserta didik) dan menyenangkan.
Sesuai dengan namanya, yaitu kurikulum berbasis talenta, maka
potensi intelegensi, potensi spritual, dan potensi keterampilan menjadi
instrumen utama yang digunakan dalam menata setiap mata pelajaran di INS Kayu
Tanam. Setiap desain mata pelajaran diarahkan untuk membangun dan mengembangkan
talenta siswa-siswanya. Untuk tujuan itu, misalnya, pembelajaran Bahasa
Indonesia di INS Kayu Tanam diarahkan untuk mengembangkan talenta peserta didik
di bidang; 1) jurnalis, 2) cerpenis, 3) novelis, 4) penulis naskah (drama,
skenario film/ sinetron), 5) penulis buku, 6) pengajar Bahasa Indonesia, 7)
penerjemah, 8) editor buku/ majalah, 9) reporter/ presenter TV, 10) kejujuran
dan akhlak mulia.
Pendekatan/ Metode Pembelajaran
Pendekatan yang dikembangkan di INS Kayu Tanam ini diilhami oleh
cara-cara Muhammad Syafe’i dalam mengajar. Berdasarkan keterangan AA Navis
(penulis, alumni INS), ada dua cara mengajar yang sangat membekas di kalangan
para siswa; 1) beliau menyuruh siswa memanggil dengan sebutan akrabnya “engku”
bukan bapak guru, 2) suatu ketika, saat beliau mengajar perihal pisang, beliau
tidak berceramah memberikan penjelasan kepada siswa di kelas, tetapi langsung
mengajak siswa ke kebun untuk melihat dan menanam pohon pisang.
Jika kita cermati kedua pendekatan yang beliau terapkan di atas,
kita dapat menangkap pesan sebagai berikut:
1.
Engku Syafe’i berusaha
menjalin hubungan kedekatan dan komunikatif dengan siswanya. Sebutan engku
sebenarnya mengajarkan pada kita bahwa untuk menciptakan suasana dialog dalam
proses belajar-mengajar yang komunikatif, seorang guru mesti menunjukkan sikap
kerendahan hati kepada siswa. Barangkali inilah realisasi/ bentuk penerapan
dari apa yang ditegaskan oleh Socrates (469-399 BC): to gain knowledge through
dialectic conversation, disciplined conversations, and intellectual midwife.
The distinctive function of philosophy is the interpretation of meaning.
2.
Engku Syafe’i telah
menerapkan konsep pempelajaran kontekstual, yang pada tahun 1995 diperkenalkan
oleh seorang pakar pendidikan barat Zahorik dengan istilah Contextual Teaching
and Learning.
3.
Melalui pendekatan kedua
beliau telah mengajarkan dasar-dasar kemandirian kepada siswa. Penggunaan alam
sekitar sebagai instrumen langsung, jelas memudahkan siswa untuk merumuskan
sendiri konsep keilmuan, karena siswa mendapat pengalaman langsung selama
proses pembelajaran berlangsung.
Cara dan pemanfaatan alam lingkungan yang diterapkan Muhammad
Syafe’i dalam proses pembelajaran ini mengingatkan kita pada konsep Quantum
Teaching Learning, yaitu konsep disain lingkungan belajar yang alami dan
menyenangkan yang diperkenalkan oleh Bobi De Porter puluhan tahun setelahnya.
Bahkan, konsep ini tampaknya bisa menjadi salah satu realisasi dari
pembelajaran berfikir kritis yang dikatakan Alwasilah (2008) dalam Filsafat
Bahasa dan Pendidikan. Karena konsep Alam takambang jadi guru ini, memberikan
kesempatan kepada siswa untuk bisa terlibat dengan objek/ pengetahuan secara
utuh, dan konsep tahimpik nak di ateh takuruang nak di lua menuntun siswa untuk
selalu memberikan reaksi terhadap apa yang dilihat, didengar, dirasa, dialami,
ada, dan tidak ada selama proses pembelajaran berlangsung.
C. PENUTUP
Di dalam sistem sosial Minangkabau, ada pola hubungan yang
diistilahkan dengan sebutan mamak-kamanakan dan induak bako-anak pisang. Mamak
adalah sebutan untuk saudara laki-laki ibu, dan kakamakan adalah anak-anak dari
saudara perempuan kita. Sedangkan induak bako merupakan saudara laki-laki
bapak, dan anak pisang adalah anak-anak dari saudara laki-laki kita. Para
anak-anak ini ditegaskan untuk selalu menjaga dan melindungi mamak ataupun
induak bakonya, dan sebaliknya mamak dan induak bako juga mesti memperhatikan
dan menyayangi kamanakan dan anak pisangnya. Saya fikir seperti inilah
seharusnya kearifan lokal dipahami, karena kearifan lokal tentunya bisa menjadi
anak pisang yang akan membuat Indonesia kokoh dengan menyokong dari segala arah
Daftar Pustaka
Alwasilah,
A. Chaedar. 2008. Pokoknya BHMN: Ayat-ayat Pendidikan Tinggi. Bandung: CV.
Lubuk Agung.
Amir.
1997. Adat Minangkabau: Pola dan Tujuan Hidup Orang Minangkabau. Jakarta:
Mutiara Sumber Widya.
Maruyama,
Masao.1997. Studi Sejarah Intelektual Jepang Masa Tokugawa. Yogyakarta:
Yayasan Karti Sarana.
Navis,
Navis, AA 1984. Alam Terkembang Jadi Guru : Adat dan Kebudayaan Minangkabau
Jakarta : Gratiti Press.
http://cabiklunik.blogspot.com/2008/02/tradisi-bijak-kayutanam.html.
No comments:
Post a Comment