A. Renungan Filantropis
Ini merupakan salah satu tugas yang paling saya sukai sekaligus paling saya benci selama kuliah dengan Prof. Dr. Chaedar Alwasilah. Saya benci karena tugas ini mengingatkan pada ungkapan khas Urang Awak, “bak bilah panggiriak basi, bilah ka tingga bilah juo, tuah tahimpik sajak dulunyo” . Artinya, saya merasa seperti orang yang disuruh melubangi besi dengan bilah (bambu), yang mana saya adalah bilahnya, dan si pemberi tugas adalah besinya. Mungkinkah bilah akan bisa melakukan tugasnya? Kata teman saya mungkin, tapi sulit diketahui kapan selesainya. Anehnya, saya selalu menyelesaikan tugas yang saya benci ini.
Belakangan saya merasa mendapatkan sesuatu, ternyata kedongkolan saya itu malah menjadi kekuatan di bawah sadar yang memunculkan hal-hal aneh atau ide-ide liar dalam menuntaskan tugas-tugas tersebut. Di sini pula saya mulai merasakan arti pesan “Tahimpik nak di ateh, takuruang nak di lua”, yang ternyata sangat membantu saya dalam menyelesaikan tugas seperti ini. Akhirnya, dengan berat hati saya katakan, mohon maaf, saya sering membayangkan ingin menghajar Bapak ketika mengerjakan tugas-tugas seperti ini. Mudah-mudahan, dengan izin-Nya, tulisan yang ini bisa melakukannya, atau paling tidak bisa menggelitik perasaan akedemik pembaca.
B. Pembahasan
1. Perihal Judul
Kalau saya tidak salah, MKDU merupakan singkatan dari Mata Kuliah Dasar Umum. Sehuhubungan dengan penamaan ini, saya rasa saya cukup memahami image yang berkembang di lingkungan mahasiswa maupun pengajar seputar perkuliahan yang berada di bawah naungan MKDU ini. MKDU menurut pengamatan saya (saya juga pernah mengajar MKDU ISBD), sepertinya tidak mendapat perhatian yang serius baik oleh kalangan mahasiswa, dosen, maupun pihak universitas sendiri. Pendek kata, MKDU selalu dianak-tirikan pada pelaksanaannya, meskipun paling diutamakan ketika terjadi penyusunan jadwal perkuliahan.
Ada tiga pengalaman menarik yang saya alami ketika mengajar MKDU ISBD; 1) pengalaman dengan mahasiswa, 2) pengalaman dengan rekan pengajar/ dosen, 3) pengalaman dengan pihak universitas. Pengalaman dari mahasiswa berupa permintaan untuk tidak diberi tugas pribadi yang dibawa pulang, alasannya, “ini kan cuma MKDU Pak... ”. Sedangkan dari rekan-rekan sesama pengajar saya mendapat pengalaman berupa rendahnya minat dan semangat mengajar di MKDU. Hal ini terbukti dari keengganan dari tenaga pengajar yang sudah bertitel Doktor (S3) ketika diminta untuk mengajar MKDU. Seandainya, sudah terlanjur keluar SK mengajar dari Rektorat, biasanya pengajar yang bersangkutan akan menyerahkan pelaksanaannya pada tenaga pengajar juniornya. Alasannya pun sama, biasa MKDU. Terakhir dari universitas saya mendapat pengalaman buruk ketika menerima honor. Setelah dua semester mengajar MKDU sebanyak 12 SKS (enam SKS untuk satu semester), honor yang saya dapat jauh berada di bawah honor mengajar dua (2) SKS selama satu semester di Program Studi. Jumlah honor ini berlaku sama untuk semua mata kuliah yang berada di bawah naungan MKDU, hanya saja kenapa? untuk hal yang ini saya tidak tahu alasannya. Yang jelas, beginilah paradigma yang terbentuk seputar MKDU.
Berdasarkan pengalaman di atas, saya merasa studi kasus penulisan ini bagi saya terkesan terlalu dipaksakan untuk “mendampingi” judul “besar”, MKDU Bahasa Indonesia gagal. Apalagi, kita tidak bisa menutup mata dari paradigma lainnya yang berkembang di kalangan mahasiswa bahwa skripsi itu urusan mahasiswa dengan pembimbing. Barangkali hal ini tidak sesuai dengan yang tertulis dalam “kertas suci” tujuan perkulian baik MKDU maupun Prodi, namun, inilah kenyataannya. Pendek kata, saya mau menyatakan bahwa judul ini akan pas jika diterapkan pada MKDU yang sudah tertata dengan baik, mulai dari tahap defenitif hingga ke tahap pelaksanaan dan evaluasi (dosen dan pihak universitas/ pihak MKDU) di lapangan. Adanya solusi yang diajukan peneliti berupa redefenisi MKDU, dapat diasumsikan sebagai bentuk dari belum tertatanya MKDU ini secara defenitif yang menunjukkan MKDU terkait langsung dengan penulisan skripsi. Jadi, judul ini terasa seperti sebuah judul tulisan jurnalis yang memang tujuan utamanya memberikan “ledakan” kepada pembaca, dan rasanya kurang cocok dalam konteks tulisan ini.
2. Perihal Tradisi Menulis
Indonesia tidak memiliki tradisi menulis yang baik, bahkan barangkali tidak memiliki tradisi menulis sama sekali. Hal ini bisa terlihat dari fakta-fakta berikut; 1)banyaknya lembaran tulisan tentang sejarah berbagai daerah dan wilayah di Indonesia yang tidak dimiliki ataupun ditulis oleh orang Indonesia, tapi justru ditemukan di luar negeri dan ditulis oleh pihak luar, 2) mulai punahnya beberapa kebudayaan dan bahasa daerah mengindikasikan bahwa budaya dan tradisi menulis Indonesia memang lemah. Dan bukankah hal ini juga salah satu penyebab yang melatar-belakangi keluarnya UU Pendidikan tahun 2003 yang memberi tempat lebih luas untuk mengembangkan potensi daerah. Sayang tidak menyentuh secara spesifik pada usaha penggairahan budaya menulis dalam proses pelestarian budaya dan bahasa tesebut. Hanya ditanggapi dalam bentuk formalitas yang sebagian besar mengarah kepada kesenian.
Tinjauan sekilas di atas saya ajukan bukanlah untuk mengamini temuan penulis perihal kegagalan MKDU Bahasa Indonesia ini. Akan tetapi, untuk melatar-belangi pandangan saya dalam menanggapi temuan tersebut. Bukankah Alwasilah (2008: 143-144) menyatakan bahwa ada tiga paradigma tentang MKDU Bahasa Indonesia; 1) cerminan kesalahan dalam memaham nasionalisme, 2) penjatahan lahan bagi dosen-dosen tertentu, 3) untuk menyambung tali yang terputus antara tingkat sebelum Perguruan Tinggi menuju perguruan tinggi.
Dari ketiga paradigma di atas jelas menyiratkan kesimpang-siuran defenisi dan keberadaan mata kuliah ini. Kalaupun mau diambil yang bernilai positif, poin tiga agaknya adalah bagian yang patut diperjuangkan. Akan tetapi, terkesan terlalu abstrak untuk diterapkan di lapangan. Karena, rasanya akan sangat susah membangun pondasi bersamaan dengan menata bangunan, apalagi dengan tukang yang bekerja karena paradigma kedua yang dinyatakan Alwasilah di atas. Pondasi itulah kultur literasi, sedangkan bangunannya adalah pendidikan yang diperoleh mahasiwa di Prodi masing-masing, yang terdiri dari berbagai mata kuliah yang lumayan banyak.
Sebagai sebuah kultur, maka saya berkeyakinan bahwa kultur literasi memerlukan proses yang panjang dan berkesinambungan. Diperlukan sebuah formula yang mempunyai tujuan jangka panjang dan jangka tertentu. Formula yang mempersatukan proses pembelajaran mulai dari tingkat dasar (SD) sampai ke tingkat Perguruan Tinggi secara berkesinambungan. Tentunya yang tidak kalah penting adalah dukungan tenaga pendidik yang betul-betul kompeten, serta materi dan pendekatan yang sesuai dengan setiap jenjang pendidikan yang ada. Karena, proses yang berkesinambungan dan tenaga pendidik yang kompetenlah yang bisa melahirkan sebuah kultur. Bagaimana mungkin berasa, kalau hanya seketika. Artinya, tidak mungkin mengharapkan kultur menulis dari MKDU, walaupun hanya pondasinya saja.
3. Perihal Tenaga Profesional
Masih berlatarkan pernyataan Alwasilah (2008: 143-144) perihal paradigma MKDU di sub bab di atas, bahwa salah satu paradigma tentang MKDU Bahasa Indonesia adalah sebagai lahan bagi dosen-dosen tertentu. Maka, saya ingin mempertanyakan kembali masalah keprofesionalan tenaga pengajar ini. Kata “dosen-dosen tertentu” di sini tentulah berkonotasi yang kurang baik. Paling tidak, tidak begitu terberdayakan di Prodi karena hal yang bisa bermacam-macam. Yang jelas, tentunya tidak sejalan dengan yang makna profesional yang diajukan peneliti, yaitu seorang penulis.
Sehubungan dengan itu, agaknya kita perlu mengamati kembali orang-orang yang relevan dengan persyaratan yang diajukan peneliti tersebut. Secara umum, dapat dikatakan bahwa yang relevan teresebut adalah tenaga pengajar/ dosen yang telah mendapat titel Doktor (S3). Kalaupun ada yang Magister, saya rasa jumlahnya belumlah memadai. Dugaan ini saya ambil berdasarkan banyaknya jurnal-jurnal di banyak Universitas yang tidak lagi lulus akreditasi ataupun yang sepi dari tulisan dosen. Kalaupun syarat profesionalisme seperti itu terpenuhi, saya mensinyalir masalah profesionalisme yang lain, yaitu kebersediaan dan tanggung-jawab dari dosen itu sendiri.
Sudah bukan rahasia lagi, bahwa dosen yang berkualifikasi S3 biasanya sibuk dengan jadwal di Pascasarjana ataupun di tempat-tempat lain, sementara dosen S2 yang produktif menulis juga biasanya sibuk dengan kegiatan menulisnya (baca proyeknya). Mau tak mau, MKDU pun kembali menjadi lahan tenaga pengajar/ dosen yang tersisa. Jelaslah masalah dalam hal ini adalah, bagaimana membuat tenaga profesional seperti yang digambarkan tadi bisa diberdayakan untuk mengajar MKDU Bahasa Indonesia dengan penuh rasa tanggung-jawab. Hal ini tentunya menuntut kerja keras dari semua pihak terkait, khususnya para petinggi Perguruan Tinggi. Saya memberikan penekanan pada para petinggi, karena saya tidak begitu optimis dengan wacana redefenisi profesi dosen. Karena wacana biasanya hanya di atas kertas, tidak di lapangan. Begitulah kenyataannya “kultur” akademik kita.
4. Perihal Skripsi
Ketika masih menjalani perkuliahan S1, mata kuliah metodologi penelitian adalah salah satu mata kuliah yang tidak begitu digemari. Meskipun dari awal sudah digadang-gadang bahwa perkuliahan tersebut sangat menentukan keberhasilan dalam penulisan skripsi, tetap saja keadaan tidak berubah. Gejala yang samapun saya rasakan saat mengikuti perkuliahan sekarang, meskipun tidak kentara karena kehadiran mahasiswa yang cukup tinggi dan dan tugas yang selalu dilaksanakan dan diserahkan kepada dosen. Akan tetapi, karena langsung terlibat di dalamnya, saya bisa merasakan bahwa paradigma bahwa masalah tesis adalah tergantung dosen pembimbing nanti tetap saja kuat dalam wacana teman-teman mahasiswa. Artinya, saya ingin menyatakan bahwa ternyata menulis atau khususnya karya ilmiah (skripsi dan tesis) belum lagi menjadi kesadaran akademik di kalangan mahasiswa sampai jenjang S2 sekalipun.
Kenapa masalah di atas bisa terjadi? Asumsi saya, kultur literasi itu memang belum lahir di Indonesia. Kenapa masih belum lahir? Karena memang tidak mewarisi kultur tersebut dan belum mempunyai formula untuk menciptakannya. Buktinya, tidak ada yang bisa menyanggah bahwa ada semacam jarak antara tiap jenjang sekolah, mulai dari jenjang dasar sampai ke jenjang Perguruan Tinggi. Jarak ini khususnya perihal materi keilmuan yang dikuasai siswa yang ditunjukkan oleh gejala kurang siapnya siswa ketika memasuki jenjang yang lebih tinggi khususnya dari pra-Perguruan Tinggi ke Perguruan Tinggi. Untuk itu, guna menyukseskan kultur literasi, kita harus bisa membangun sebuah program yang berkesinambungan. Karena menurut saya, hanya proses berkesinambungan yang bisa melahirkan rasa, dan kultur pada dasarnya lahir dari sebuah rasa, bukan program satu semesteran.
Terakhir, salah satu masalah yang sering ditemui ketika menulis sebuah karya ilmiah adalah penekanan pada teori yang selalu dilakukan oleh setiap dosen khususnya pada tahap penulisan proposal. Pada umumnya, menulis proposal merupakan awal jumpa bagi mahasiswa dengan penulisan karya ilmiah (baca: skripsi) yang dibimbing dosen. Pendek kata, mahasiswa ini belumlah percaya diri apalagi fokus pada masalah yang akan ditelitinya. Rata-rata pengalaman yang didapat di awal jumpa ini dirusak oleh hal yang berkaitan dengan teori, inilah yang sering membuat mahasiswa tidak bisa fokus dan menjadi lemah semangat dalam menulis.
C. Penutup
Masalah menulis adalah salah satu masalah pendidikan Indonesia secara nasional. Lemahnya tradisi menulis memang merupakan salah satu sejarah buruk kebudayaan kita. Karena itu, kita perlu menciptakan sebuah budaya menulis atau yang sering dikenal di lingkungan akedemik belakangan dengan kultur literasi. Namanya budaya (kultur), tentu membutuhkan proses yang panjang dan memakan waktu yang lama. Untuk itu, tentunya mesti didukung oleh sebuah program yang berkesinambungan dan ditangani oleh tenaga-tenaga yang profesional.
Redefenisi MKDU Bahasa Indonesia dan profesi dosen memang sebuah wacana yang sangat layak untuk dilakukan, apa lagi dalam hubungannya dengan pelajaran menulis akademik di Perguruan Tinggi. Tapi bukan berarti MKDU ini bisa dijadikan indikator untuk melihat keberhasilan mahasiswa dalam menulis skripsi, terlalu memaksa rasanya. Hal ini disebabkan karena MKDU Bahasa Indonesia diikuti oleh mahasiswa-mahasiswa dari berbagai Prodi yang berbeda, dan hanya dilaksanakan selama satu semester. Akan lebih berterima jika diarahkan ke penulisan artikel ilmiah ataupun makalah popular. Kita barangkali akan bisa mendapatkan produk tulisan mahasiswa dan memanfaatkan publikasi di media massa (minimal media lokal) sebagai sarana untuk menarik minat dan memberi motivasi kepada mahasiswa. Di samping itu, barangkali kita akan mendapatkan efek positif yang luar biasa, berupa pengaruh psikologis, yaitu membuat mahasiswa bisa merasakan indahnya menulis
Referensi
Alwasilah, A. Chaedar. 2008. Pokoknya BHMN: Ayat-ayat Pendidikan Tinggi. Bandung: CV. Lubuk Agung.
Alwasilah, A. Chaedar dan Alwasilah, Senny Suzanna. 2008. Pokoknya BHMN: Ayat-ayat Pendidikan Tinggi. Bandung: CV. Lubuk Agung.
Navis, AA 1984. Alam Terkembang Jadi Guru : Adat dan Kebudayaan Minangkabau Jakarta : Gratiti Press.
No comments:
Post a Comment