Banyak
definisi yang dimunculkan ketika orang berbicara tentang kehidupan. Ada yang
mengatakan bahwa hidup itu adalah perjuangan, hidup itu adalah pengorbanan,
hidup itu adalah sementara, dan sebagainya. Tidak ada yang salah dengan semua
definisi ini. Namun, bukan berarti semua definisi itu bisa ditelan semua orang
mentah-mentah. Sebab, ibarat obat, relevansi obat tersebut dengan kita tetap
yang terpenting, di samping kualitas obat itu sendiri. Pendeknya, orang
memandang hidup dan menjalaninya dengan cara yang berbeda-beda.
Beberapa
orang menjalani hidup seolah-olah hari esok tidak akan lagi ada. Mereka
menggunakan waktu untuk semua hal yang mereka senangi. Beberapa lagi menjalani
hidup seperti orang yang melihat ke belakang. Mereka menggunakan waktu seperti
orang yang dihantui oleh masa lalu. Ada pula, beberapa orang yang menjalani
hidup seperti orang yang berlari sambil menengadah. Mereka berlari di atas
pundak orang lain. Begitulah fenomena orang hidup.
Hidup
adalah tentang eksistensi diri. Eksistensi berhubungan dengan keberadaan orang
lain. Pendek kata, orang yang hidup adalah orang yang eksistensinya bisa
dirasakan oleh orang lain. Karena bagaimanapun juga, manusia adalah makhluk
sosial, dan kehidupannya ada karena adanya kehidupan manusia lainnya. Bukan
karena dia makan, bernafas, bergerak, dan ciri-ciri biologis lainnya.
Kata
Hamka, jika hidup hanya sekedar hidup, monyet di hutanpun hidup. Kata William
Wallace, setiap manusia pasti mati, tapi tidak semua manusia benar-benar hidup.
Jadi, hidup bukan tentang bagaimana kita menghabiskan waktu, tapi tentang
bagaimana kita membuat waktu yang kita lalui itu bisa membuat kita hidup di
hati dan pikiran orang lain.
Suatu
ketika, kita mendapatkan tugas dari guru filsafat. Kita ke pustaka, kita
browsing mencari informasi tentang Aristoteles, Emanuel Kant, John Dewey, dan
lain sebagainya. Padahal, kita tidak pernah mengenal mereka. Kita hanya tahu
mereka dari pembicaraan orang, dari buku-buku, dari media, dan dari media
informasi lainnya. Kita melakukan itu karena kita percaya bahwa pikiran
orang-orang itu bisa membantu kita. Artinya, tampa kita sadari, mereka hidup di
hati dan pikiran kita.
Ketika
lainnya, kita pulang dan tiba-tiba merasa tidak nyaman dengan segala yang ada
di rumah. Saat itu, biasanya kita akan mencari teman curhat, mendengarkan
musik, membaca puisi, dan lain sebagainya. Kita percaya bahwa dengan curhat,
mendengarkan music, memahami puisi tersebut bisa membantu kita, paling tidak
melepaskan sesak yang ada di dalam dada. Padahal, teman curhat, pembuat music,
penulis puisi bukanlah siapa-siapanya kita, tapi bisa lebih kita percayai
ketimbang keluarga sendiri.
Dari
kedua contoh kasus di atas, dapat ditarik sebuah asumsi penting. Asumsi
tersebut adalah bahwa ada dua hal yang membuat manusia itu hidup. Pertama
pikiran, kedua rasa. Buah pikiran membuat Plato dkk. hidup di hati dan pikiran
kita meskipun kita sendiri tidak pernah tahu apakah orang-orang ini benar-benar
ada. Ikatan rasa membuat teman curhat, puisi, music hidup di hati dan pikiran
kita. Kita merasa terwakili oleh mereka, padahal mereka bukan siapa-siapanya
kita.
Jadi,
jika ingin menjadi manusia yang benar-benar hidup seperti disiratkan oleh Hamka
dan William Wallace, kita mesti mengasah otak supaya bisa melahirkan pikiran-pikiran
yang bermanfaat bagi kehidupan itu sendiri. Jika tidak bisa, paling tidak, kita
bisa memberikan rasa kepada manusia lainnya. Rasa itu yang paling utama adalah
rasa nyaman dan rasa dihargai. Rasa adalah bekal yang diberikan Tuhan sejak
sebelum kita lahir. Jadi, tidak ada alasan tidak mampu atau alasan apapun.
No comments:
Post a Comment