Saturday, November 16, 2013

Manusia dan Kehidupan

Banyak definisi yang dimunculkan ketika orang berbicara tentang kehidupan. Ada yang mengatakan bahwa hidup itu adalah perjuangan, hidup itu adalah pengorbanan, hidup itu adalah sementara, dan sebagainya. Tidak ada yang salah dengan semua definisi ini. Namun, bukan berarti semua definisi itu bisa ditelan semua orang mentah-mentah. Sebab, ibarat obat, relevansi obat tersebut dengan kita tetap yang terpenting, di samping kualitas obat itu sendiri. Pendeknya, orang memandang hidup dan menjalaninya dengan cara yang berbeda-beda.
Beberapa orang menjalani hidup seolah-olah hari esok tidak akan lagi ada. Mereka menggunakan waktu untuk semua hal yang mereka senangi. Beberapa lagi menjalani hidup seperti orang yang melihat ke belakang. Mereka menggunakan waktu seperti orang yang dihantui oleh masa lalu. Ada pula, beberapa orang yang menjalani hidup seperti orang yang berlari sambil menengadah. Mereka berlari di atas pundak orang lain. Begitulah fenomena orang hidup. 
Hidup adalah tentang eksistensi diri. Eksistensi berhubungan dengan keberadaan orang lain. Pendek kata, orang yang hidup adalah orang yang eksistensinya bisa dirasakan oleh orang lain. Karena bagaimanapun juga, manusia adalah makhluk sosial, dan kehidupannya ada karena adanya kehidupan manusia lainnya. Bukan karena dia makan, bernafas, bergerak, dan ciri-ciri biologis lainnya.
Kata Hamka, jika hidup hanya sekedar hidup, monyet di hutanpun hidup. Kata William Wallace, setiap manusia pasti mati, tapi tidak semua manusia benar-benar hidup. Jadi, hidup bukan tentang bagaimana kita menghabiskan waktu, tapi tentang bagaimana kita membuat waktu yang kita lalui itu bisa membuat kita hidup di hati dan pikiran orang lain.
Suatu ketika, kita mendapatkan tugas dari guru filsafat. Kita ke pustaka, kita browsing mencari informasi tentang Aristoteles, Emanuel Kant, John Dewey, dan lain sebagainya. Padahal, kita tidak pernah mengenal mereka. Kita hanya tahu mereka dari pembicaraan orang, dari buku-buku, dari media, dan dari media informasi lainnya. Kita melakukan itu karena kita percaya bahwa pikiran orang-orang itu bisa membantu kita. Artinya, tampa kita sadari, mereka hidup di hati dan pikiran kita.
Ketika lainnya, kita pulang dan tiba-tiba merasa tidak nyaman dengan segala yang ada di rumah. Saat itu, biasanya kita akan mencari teman curhat, mendengarkan musik, membaca puisi, dan lain sebagainya. Kita percaya bahwa dengan curhat, mendengarkan music, memahami puisi tersebut bisa membantu kita, paling tidak melepaskan sesak yang ada di dalam dada. Padahal, teman curhat, pembuat music, penulis puisi bukanlah siapa-siapanya kita, tapi bisa lebih kita percayai ketimbang keluarga sendiri.
Dari kedua contoh kasus di atas, dapat ditarik sebuah asumsi penting. Asumsi tersebut adalah bahwa ada dua hal yang membuat manusia itu hidup. Pertama pikiran, kedua rasa. Buah pikiran membuat Plato dkk. hidup di hati dan pikiran kita meskipun kita sendiri tidak pernah tahu apakah orang-orang ini benar-benar ada. Ikatan rasa membuat teman curhat, puisi, music hidup di hati dan pikiran kita. Kita merasa terwakili oleh mereka, padahal mereka bukan siapa-siapanya kita.
Jadi, jika ingin menjadi manusia yang benar-benar hidup seperti disiratkan oleh Hamka dan William Wallace, kita mesti mengasah otak supaya bisa melahirkan pikiran-pikiran yang bermanfaat bagi kehidupan itu sendiri. Jika tidak bisa, paling tidak, kita bisa memberikan rasa kepada manusia lainnya. Rasa itu yang paling utama adalah rasa nyaman dan rasa dihargai. Rasa adalah bekal yang diberikan Tuhan sejak sebelum kita lahir. Jadi, tidak ada alasan tidak mampu atau alasan apapun.

No comments:

Post a Comment