Friday, April 11, 2014

Demokrasi Hutang


Bagi seseorang yang meminjam barang/jasa kepada orang lain, barang/jasa tersebut menjadi hutang. Sedangkan bagi orang yang memberikan, pinjaman itu disebut piutang. Hutang-piutang ini akan mengikat kedua belah pihak sampai masalah hutang-piutang itu selesai. Bahkan, ada hutang-piutang akan mengikat orang hingga ajal menjemputnya. Semua orang menyadari besarnya pengaruh hutang ini dalam hidupnya. Makanya, ketika seseorang meninggal, siapa saja itu, ahli warisnya akan selalu meminta kepada siapa saja untuk menghubungi ahli waris jika ada hutang-piutang yang belum diselesaikan almarhum/almarhumah.
Wujud hutang itu sendiri ada banyak. Ada hutang uang, hutang beras, hutang budi, bahkan ada hutang nyawa. Seluruh sebutan tersebut bisa dikelompokkan menjadi dua, yaitu; 1) hutang materi (uang, beras, dll.), dan 2) hutang non materi (budi, nyawa, dll.). Hutang materi biasanya hanya mengikat orang hingga hutang tersebut diselesaikan. Sedangkan hutang non materi, tidak pernah akan selesai hingga ajal menjemput seseorang. Makanya, ada pameo di tengah-tengah masyarakat yang menyatakan bahwa “hutang emas bisa diganti, hutang budi dibawa mati”.  
Lalu, apa hubungan hutang ini dengan sistem sosial seperti yang tersirat lewat judul di atas? Perihal ini, agaknya kita perlu sedikit berpikir liar dan tidak boleh terbelenggu oleh data-data yang berasal dari pelaku sejarah. Ibnu Kaldun mengatakan bahwa pahamilah sejarah dengan belajar dari tabiat jaman, bukan penuturan pelaku sejarah. Poinnya, jangan membuat kesimpulan berdasarkan penuturan pihak terkait, kesimpulan harus berdiri sendiri berdasarkan analisa terhadap apa yang terjadi secara utuh dan menyeluruh.
Pada masa Yunani klasik, negara dibangun dengan modal loyalitas warga negara dalam membayar pajak. Loyalitas ini dibangun dengan sebuah sistem sosial, yaitu prinsip hubungan antara pemerintah dengan warga negara. Sistem sosial ini menjadi senjata pamungkas pemerintah karena mampu menggerakkan warga negara tampa perlawanan dalam mewujudkan segala program, keinginan, dan perintah pemerintah. Meskipun harus melakukan hal yang berat, termasuk membayar pajak dalam jumlah yang besar.
Sistem sosial Yunani ini bisa disebut dengan “sistem mitologi dewa”. Segala program yang dilakukan pemerintah pasti dihubungkan dengan dewa. Karena itulah, warga Yunani tidak memprotes pajak yang tinggi, mereka takut dianggap melawan dewa. Jika pemerintah mengetengahkan dewa Perang, maka semua masyarakat akan ketakutan dan mau melakukan apapun asal dewa Perang tidak murka. Jika pemerintah mengetengahkan dewa Apollo, maka semua masyarakat akan mati-matian menyerahkan hasil bumi dan lautnya demi dewa tersebut.
Sistem Yunani Klasik ini sangat mirip dengan sistem yang ditanamkan oleh rezim Tokugawa dalam sistem sosial Jepang. Tokugawa menjalankan pemerintah dengan menegakkan mitologi kedewaan kaisar sebagai simbol dari kepala negara. Sedangkan pemerintah adalah kaki tangan dewa yang sedang melaksanakan tugas suci. Karena itu, tidak mematuhi dan tidak mendukung pemerintah sama saja dengan melawan kepada dewa. Bahkan, jika gagal dalam melaksanakan tugas mengabdi pada kaki tangan pemerintah, seseorang warga negara halal untuk dieksekusi.
Beda wujud tapi sama hakikatnya dengan kedua negara di atas, Indonesia juga mempunyai sistem sosial yang unik. Sistem sosial yang selalu diterapkan penguasa Indonesia dari dulu hingga sekarang adalah sistem sosial hutang-piutang. Jadi, jika di Yunani klasik dan Jepang era Tokugawa, penguasa mengikat rakyatnya dengan mitologi dewa, penguasa di Indonesia mengikat rakyatnya dengan hutang. Hebatnya, sistem sosial hutang ini bisa bertahan dari jaman penjajahan hingga jaman sekarang.
Pada jaman penjajahan, masalah dominan yang membuat para petani, nelayan, rodi dan romusha tidak bisa lari dari tirani tuan penguasa baru (penjajah) adalah karena masalah hutang-piutang. Penguasa baru ini mengikat masyarakat dengan menggunakan “coki duo lokang”. Penguasa ini memberi mereka upah yang tidak layak, lalu menjelma menjadi pahlawan bernama rentenir, dan menghibur dengan judi. Pada jaman Orde Lama dan Orde Baru, penguasa yang banyak berhutang. Sedangkan sistem sosial yang digunakan adalah sistem asal bapak senang. Jadi, bentuknya saja yang beda, hakikatnya sama saja. Sebab, hutang penguasa itu masyarakat juga yang menanggung, hanya saja mereka tidak tahu.  
Pada jaman reformasi, sistem sosial Indonesia katanya direformasi menjadi demokrasi. Penguasa tidak boleh suka-sukanya saja, apapun kebijakan yang diambil mesti transparan hingga rakyat tahu. Penguasa harus demokratis terutama dalam mengatur rakyatnya. Oleh karena itu, penguasa sekarang menggunakan sistem asal rakyat senang, kebalikan dari Orla dan Orba.
Untuk membuat rakyat senang. Secara umum, pemerintah menerapkan dua sistem sosial, yaitu “gotong royong” dan hutang-piutang. Sistem “gotong royong” ini membuat semua warga negara memiliki perasaan yang sama. Suara seorang Habibi sama saja rasanya dengan suara seorang tukang bakso. Tukang bakso mana yang tidak akan merasa senang? Asal rakyat senang kan?
Sistem sosial kedua adalah sistem hutang-piutang. Melalui sistem ini, penguasa sekarang memberikan kesempatan dan fasilitas yang seluas-luasnya kepada semua masyarakat untuk bisa menikmati barang-barang lux. Fasilitas ini sering kita kenal dalam bahasa kerennya sebagai kredit ringan. Siapa yang tidak merasa senang jika diberi kesempatan punya mobil, motor, dan peralatan lainnya walau hanya sebentar? Masyarakat terlena dengan perasaan senang sampai keringat kering dan barang-barang tersebut kembali ditarik kapitalis pemiliknya.
Bukankah seperti ini yang terjadi pada masyarakat kita sekarang ini? Tak apa-apa tak punya “garasi”, yang penting punya mobil. Tak apa-apa tak punya “sapi”, yang penting punya motor. Lebih baik mimpi makan roti dari pada nyata makan singkong. Berutanglah jangan membeli lunas! Sebab, hutang itu mudah, lunas itu susah. Miris.

No comments:

Post a Comment