Bagi seseorang yang meminjam barang/jasa kepada orang lain, barang/jasa
tersebut menjadi hutang. Sedangkan bagi orang yang memberikan, pinjaman itu
disebut piutang. Hutang-piutang ini akan mengikat kedua belah pihak sampai
masalah hutang-piutang itu selesai. Bahkan, ada hutang-piutang akan mengikat
orang hingga ajal menjemputnya. Semua orang menyadari besarnya pengaruh hutang
ini dalam hidupnya. Makanya, ketika seseorang meninggal, siapa saja itu, ahli
warisnya akan selalu meminta kepada siapa saja untuk menghubungi ahli waris
jika ada hutang-piutang yang belum diselesaikan almarhum/almarhumah.
Wujud hutang itu sendiri ada banyak. Ada hutang uang, hutang beras,
hutang budi, bahkan ada hutang nyawa. Seluruh sebutan tersebut bisa
dikelompokkan menjadi dua, yaitu; 1) hutang materi (uang, beras, dll.), dan 2)
hutang non materi (budi, nyawa, dll.). Hutang
materi biasanya hanya mengikat orang hingga hutang tersebut diselesaikan.
Sedangkan hutang non materi, tidak pernah akan selesai hingga ajal menjemput
seseorang. Makanya, ada pameo di tengah-tengah masyarakat yang menyatakan bahwa
“hutang emas bisa diganti, hutang budi dibawa mati”.
Lalu, apa hubungan hutang
ini dengan sistem sosial seperti yang tersirat lewat judul di atas? Perihal
ini, agaknya kita perlu sedikit berpikir liar dan tidak boleh terbelenggu oleh
data-data yang berasal dari pelaku sejarah. Ibnu Kaldun mengatakan bahwa pahamilah
sejarah dengan belajar dari tabiat jaman, bukan penuturan pelaku sejarah.
Poinnya, jangan membuat kesimpulan berdasarkan penuturan pihak terkait,
kesimpulan harus berdiri sendiri berdasarkan analisa terhadap apa yang terjadi
secara utuh dan menyeluruh.
Pada masa Yunani klasik, negara dibangun dengan modal loyalitas warga
negara dalam membayar pajak. Loyalitas ini dibangun dengan sebuah sistem
sosial, yaitu prinsip hubungan antara pemerintah dengan warga negara. Sistem
sosial ini menjadi senjata pamungkas pemerintah karena mampu menggerakkan warga
negara tampa perlawanan dalam mewujudkan segala program, keinginan, dan
perintah pemerintah. Meskipun
harus melakukan hal yang berat, termasuk membayar pajak dalam jumlah yang besar.
Sistem sosial Yunani ini bisa disebut dengan “sistem mitologi dewa”.
Segala program yang dilakukan pemerintah pasti dihubungkan dengan dewa. Karena
itulah, warga Yunani tidak memprotes pajak yang tinggi, mereka takut dianggap
melawan dewa. Jika pemerintah mengetengahkan dewa Perang, maka semua masyarakat
akan ketakutan dan mau melakukan apapun asal dewa Perang tidak murka. Jika
pemerintah mengetengahkan dewa Apollo, maka semua masyarakat akan mati-matian
menyerahkan hasil bumi dan lautnya demi dewa tersebut.
Sistem Yunani Klasik ini sangat mirip dengan sistem yang ditanamkan oleh
rezim Tokugawa dalam sistem sosial Jepang. Tokugawa menjalankan pemerintah
dengan menegakkan mitologi kedewaan kaisar sebagai simbol dari kepala negara. Sedangkan
pemerintah adalah kaki tangan dewa yang sedang melaksanakan tugas suci. Karena
itu, tidak mematuhi dan tidak mendukung pemerintah sama saja dengan melawan
kepada dewa. Bahkan, jika gagal dalam melaksanakan tugas mengabdi pada kaki
tangan pemerintah, seseorang warga negara halal untuk dieksekusi.
Beda wujud tapi sama hakikatnya dengan kedua negara di atas, Indonesia
juga mempunyai sistem sosial yang unik. Sistem sosial yang selalu diterapkan penguasa
Indonesia dari dulu hingga sekarang adalah sistem sosial hutang-piutang. Jadi, jika di Yunani klasik dan
Jepang era Tokugawa, penguasa mengikat rakyatnya dengan mitologi dewa, penguasa
di Indonesia mengikat rakyatnya dengan hutang. Hebatnya, sistem sosial hutang
ini bisa bertahan dari jaman penjajahan hingga jaman sekarang.
Pada jaman penjajahan, masalah dominan yang membuat para petani, nelayan,
rodi dan romusha tidak bisa lari dari tirani tuan penguasa baru (penjajah) adalah
karena masalah hutang-piutang. Penguasa baru ini mengikat masyarakat dengan
menggunakan “coki duo lokang”. Penguasa ini memberi mereka upah yang tidak
layak, lalu menjelma menjadi pahlawan bernama rentenir, dan menghibur dengan
judi. Pada jaman Orde Lama dan Orde Baru, penguasa yang banyak berhutang. Sedangkan sistem sosial yang digunakan
adalah sistem asal bapak senang. Jadi, bentuknya saja yang beda, hakikatnya
sama saja. Sebab, hutang penguasa itu masyarakat juga yang menanggung, hanya
saja mereka tidak tahu.
Pada jaman reformasi, sistem sosial Indonesia katanya direformasi
menjadi demokrasi. Penguasa tidak boleh suka-sukanya saja, apapun kebijakan
yang diambil mesti transparan hingga rakyat tahu. Penguasa harus demokratis
terutama dalam mengatur rakyatnya. Oleh karena itu, penguasa sekarang
menggunakan sistem asal rakyat senang, kebalikan dari Orla dan Orba.
Untuk membuat rakyat
senang. Secara umum, pemerintah menerapkan dua sistem sosial, yaitu “gotong
royong” dan hutang-piutang. Sistem “gotong royong” ini membuat semua warga
negara memiliki perasaan yang sama. Suara seorang Habibi sama saja rasanya
dengan suara seorang tukang bakso. Tukang bakso mana yang tidak akan merasa senang?
Asal rakyat senang kan?
Sistem sosial kedua adalah sistem hutang-piutang. Melalui sistem ini,
penguasa sekarang memberikan kesempatan dan fasilitas yang seluas-luasnya
kepada semua masyarakat untuk bisa menikmati barang-barang lux. Fasilitas ini
sering kita kenal dalam bahasa kerennya sebagai kredit ringan. Siapa yang tidak
merasa senang jika diberi kesempatan punya mobil, motor, dan peralatan lainnya
walau hanya sebentar? Masyarakat
terlena dengan perasaan senang sampai keringat kering dan barang-barang
tersebut kembali ditarik kapitalis pemiliknya.
Bukankah seperti ini yang
terjadi pada masyarakat kita sekarang ini? Tak apa-apa tak punya “garasi”, yang
penting punya mobil. Tak apa-apa tak punya “sapi”, yang penting punya
motor. Lebih baik mimpi
makan roti dari pada nyata makan singkong. Berutanglah jangan membeli lunas! Sebab,
hutang itu mudah, lunas itu susah. Miris.
No comments:
Post a Comment