Feminisme
dikenal sebagai paham yang memperjuangkan perempuan sehingga bisa berada pada
tempat yang semestinya. Secara khusus, paham ini diartikan sebagai gerakan
untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Poin pokok dari feminisme ini adalah
pahamnya bukan orangnya. Jadi, kaum feminis bukan perempuan saja. Laki-laki
yang juga memiliki paham yang sama tentang perempuan juga disebut sebagai
feminis.
Di
dalam dunia filsafat, khususnya pada abad pertengahan, juga muncul dua golongan
dengan pahamnya masing-masing. Golongan pertama disebut dengan golongan patris
dengan paham patristikismenya, golongan kedua golongan skolastis dengan paham
skolastikismenya. Sejarah mencatat, kedua paham dan penganutnya ini disinyalir
sebagai masalah yang menyebabkan sebuah agama pada masa itu mengalami
kemunduran.
Patristikisme
adalah rujukan dari “Si Anak Babe” yang saya tulis pada judul di atas.
Patristikisme ini berasal dari kata Patri yang secara harfiah berarti Bapa,
yaitu panggilan untuk tokoh agama tertentu. Paham Patristikisme berarti paham
yang mengkultuskan seseorang, yaitu Si Patri/Si Bapa. Jika perintah berasal
dari Si Bapa, maka semua akan ikut. Jika yang bicara adalah Si Bapa, maka semua
akan mendengar karena itulah kebenaran.
Kemudian,
Skolastikisme merupakan rujukan dari “Si Anak Sekolahan” yang saya tulis pada
judul di atas. Skolastikisme berasal dari kata Skol yang secara harfiah berarti
sekolah. Skolastikisme berarti paham yang mengkultuskan sekolah sebagai ukuran
dari kualitas seseorang. Jika yang bicara adalah dari kalangan akademis, maka
semua akan ikut begitu saja. Tak peduli dan tak mau mencari tahu benar-tidaknya
isi dari pembicaraan tersebut.
Meskipun
kedua paham di atas identik dengan agama tertentu pada abad pertengahan, salah
besar kalau kita merasa paham itu telah mati. Paham tersebut sebenarnya telah
berhasil bereinkarnasi dan hidup dalam tubuh agama kita (saya Muslim) pada masa
modern ini. Patristik berkembang menjadi kebiasaan mengkultuskan seseorang dan
keturunannya. Skolastik berkembang menjadi kebiasaan menggradasikan seseorang
berdasarkan pendidikan.
Sudah
menjadi rahasia umum, bahwa si anu dianggap lebih dari yang lain hanya
gara-gara dia anak bapaknya. Seorang bujang yang jalan berdua dengan seorang
gadis dicibirkan, dipandang hina secara berlebihan hanya gara-gara dia anak
seorang kiai. Di samping itu, banyak anak seusia si bujang yang jalan
berangkulan mesra dengan gadis, bahkan berulang-ulang dianggap fenomena biasa
dan bisa diterima.
Pada
saat yang sama, kita juga bisa menemukan dengan gampangnya seseorang yang
diterima dengan mudah di dunia kerja hanya karena dia adalah lulusan sekolah
elit. Ada calon guru honorer yang diterima gara-gara dia lulusan sekolah hebat
meskipun itu bukan sekolah kependidikan, dan menyingkirkan calon lain yang
merupakan lulusan sekolah kependidikan. Ada calon penerjemah baik yang tidak diterima
hanya gara-gara dia lulusan sebuah pesantren tradisional dan isu terorisme.
Al
Ghazali berpesan bahwa pendidikan itu adalah untuk memanusiakan manusia, bukan
untuk mengkultuskan manusia atas nama profesionalisme. Hal ini dipertegas oleh
Ibnu Rusyd dengan pernyataan bahwa kebaikan itu ditentukan oleh kualitas
individu. Jadi, baik-buruknya seseorang ditentukan oleh kualitas orang itu sendiri,
bukan oleh keturunannya, bukan pula oleh status pendidikannya.
“Laisal fata man yaquulu kaana abi. Walakinnal
fata man yaquulu haa ana dza”. Bukanlah laki-laki orang yang mengatakan ini
Bapak saya. Laki-laki adalah yang mengatakan inilah saya. Pesan ini juga
berlaku untuk orang yang menilai. Jadi, jangan menilai orang dari keturunannya,
jangan menilai dari latar belakang pendidikannya! Nilailah sesuai dengan
kualitas individunya!
No comments:
Post a Comment