Tuesday, May 27, 2014

Si Anak Babe dan Si Anak Sekolahan


Feminisme dikenal sebagai paham yang memperjuangkan perempuan sehingga bisa berada pada tempat yang semestinya. Secara khusus, paham ini diartikan sebagai gerakan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Poin pokok dari feminisme ini adalah pahamnya bukan orangnya. Jadi, kaum feminis bukan perempuan saja. Laki-laki yang juga memiliki paham yang sama tentang perempuan juga disebut sebagai feminis.

Di dalam dunia filsafat, khususnya pada abad pertengahan, juga muncul dua golongan dengan pahamnya masing-masing. Golongan pertama disebut dengan golongan patris dengan paham patristikismenya, golongan kedua golongan skolastis dengan paham skolastikismenya. Sejarah mencatat, kedua paham dan penganutnya ini disinyalir sebagai masalah yang menyebabkan sebuah agama pada masa itu mengalami kemunduran.
Patristikisme adalah rujukan dari “Si Anak Babe” yang saya tulis pada judul di atas. Patristikisme ini berasal dari kata Patri yang secara harfiah berarti Bapa, yaitu panggilan untuk tokoh agama tertentu. Paham Patristikisme berarti paham yang mengkultuskan seseorang, yaitu Si Patri/Si Bapa. Jika perintah berasal dari Si Bapa, maka semua akan ikut. Jika yang bicara adalah Si Bapa, maka semua akan mendengar karena itulah kebenaran.
Kemudian, Skolastikisme merupakan rujukan dari “Si Anak Sekolahan” yang saya tulis pada judul di atas. Skolastikisme berasal dari kata Skol yang secara harfiah berarti sekolah. Skolastikisme berarti paham yang mengkultuskan sekolah sebagai ukuran dari kualitas seseorang. Jika yang bicara adalah dari kalangan akademis, maka semua akan ikut begitu saja. Tak peduli dan tak mau mencari tahu benar-tidaknya isi dari pembicaraan tersebut.
Meskipun kedua paham di atas identik dengan agama tertentu pada abad pertengahan, salah besar kalau kita merasa paham itu telah mati. Paham tersebut sebenarnya telah berhasil bereinkarnasi dan hidup dalam tubuh agama kita (saya Muslim) pada masa modern ini. Patristik berkembang menjadi kebiasaan mengkultuskan seseorang dan keturunannya. Skolastik berkembang menjadi kebiasaan menggradasikan seseorang berdasarkan pendidikan.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa si anu dianggap lebih dari yang lain hanya gara-gara dia anak bapaknya. Seorang bujang yang jalan berdua dengan seorang gadis dicibirkan, dipandang hina secara berlebihan hanya gara-gara dia anak seorang kiai. Di samping itu, banyak anak seusia si bujang yang jalan berangkulan mesra dengan gadis, bahkan berulang-ulang dianggap fenomena biasa dan bisa diterima.
Pada saat yang sama, kita juga bisa menemukan dengan gampangnya seseorang yang diterima dengan mudah di dunia kerja hanya karena dia adalah lulusan sekolah elit. Ada calon guru honorer yang diterima gara-gara dia lulusan sekolah hebat meskipun itu bukan sekolah kependidikan, dan menyingkirkan calon lain yang merupakan lulusan sekolah kependidikan. Ada calon penerjemah baik yang tidak diterima hanya gara-gara dia lulusan sebuah pesantren tradisional dan isu terorisme.
Al Ghazali berpesan bahwa pendidikan itu adalah untuk memanusiakan manusia, bukan untuk mengkultuskan manusia atas nama profesionalisme. Hal ini dipertegas oleh Ibnu Rusyd dengan pernyataan bahwa kebaikan itu ditentukan oleh kualitas individu. Jadi, baik-buruknya seseorang ditentukan oleh kualitas orang itu sendiri, bukan oleh keturunannya, bukan pula oleh status pendidikannya.
Laisal fata man yaquulu kaana abi. Walakinnal fata man yaquulu haa ana dza”. Bukanlah laki-laki orang yang mengatakan ini Bapak saya. Laki-laki adalah yang mengatakan inilah saya. Pesan ini juga berlaku untuk orang yang menilai. Jadi, jangan menilai orang dari keturunannya, jangan menilai dari latar belakang pendidikannya! Nilailah sesuai dengan kualitas individunya!

No comments:

Post a Comment