Saturday, March 29, 2014

Perilaku, Qudrat dan Iradat


Perilaku adalah isu yang paling popular di segala aspek kehidupan manusia. Makanya, perilaku menjadi motif dan cara favorit bagi semua orang. Seorang individu, menjadikan perilaku yang baik sebagai motif untuk mendapatkan perlakuan yang sama. Paling tidak, supaya tidak mendapatkan yang sebaliknya, atau terhindar dari orang yang berperilaku tidak baik. Sesuatu yang sangat manusiawi sekali sesuai dengan hakikat kemanusiaan manusia. Bagi pemerintah, perilaku yang baik menjadi motif primadona untuk memuluskan pemerintahannya dan menjalankan sistem sosial (hubungan pemerintah dengan rakyat). Bahkan, bagi para politisi sekalipun, perilaku yang baik menjadi cara favorit dalam melariskan janji-janji politiknya.
Begitu pentingnya perilaku, semua unsur, mulai dari unsur pemerintah, unsur agama, unsur budaya, unsur pendidikan, hingga ke unsur antah berantah mempolitisasi pembentukan perilaku dengan dalih tanggung jawab. Dampaknya, bermunculanlah berbagai macam program untuk memperbaiki perilaku, terutama perilaku generasi muda sebagai implikasi dari perasaan tanggung jawab di atas. Bahkan, saking merasa bertanggung jawabnya, mereka suka lupa diri sehingga melakukan hal-hal yang berseberangan dengan perilaku yang baik itu sendiri.
Unsur yang paling aktif dalam membuat program perbaikan perilaku ini adalah; unsur pendidikan, unsur agama, dan unsur budaya. Dari ketiga unsur ini, yang paling menonjol adalah unsur pendidikan. Programnya yang ternama saat ini adalah “pendidikan karakter”. Pendidikan karakter di sekolah dianggap sebagai cara yang paling baik untuk memperbaiki perilaku anak bangsa. Meskipun, mereka tahu persis bahwa sebagian besar para koruptor yang tertangkap adalah orang-orang yang berlatar pendidikan/sekolah yang tinggi, bukan orang-orang yang tidak sekolah.
Hippias, salah seorang filosuf Yunani dari kalangan sofis mengatakan bahwa perilaku manusia dibentuk oleh qudrat, bukan oleh undang, agama, dan budaya. Qudrat tersebut sama persis dengan hakikat individu sebagai homo humanus (budaya). Hal ini juga senada dengan hakikat qudrat-iradat dalam konteks agama, dan individuasi id ego, dan super ego dalam konteks psikologinya Freud. Begitu juga dengan hakikat everyman dies, not everyman really lifesnya Wallace di Skotlandia atau human right yang mendasari HAM.
Qudrat adalah kuasa atau potensi yang dimiliki oleh manusia sebagai individu. Sedangkan Iradat adalah keinginan manusiawi dari seorang manusia. Manusia sebagai individu terdiri dari dua unsur, yaitu fisik dan nonfisik. Unsur fisik itu adalah kepala, badan, kaki, dan organ-organ lainnya. Unsur nonfisik ialah rasa dan pikiran. Kedua unsur ini memiliki potensi dan keinginan. Potensi kedua unsur ini berujung pada dua hal pula, yaitu positif dan negatif.
Siapapun orangnya, tua-muda, kuat-lemah, pintar-bodoh, kaya-miskin, kiai-bajingan, semuanya memiliki potensi positif dan negatif dalam dirinya (baik fisik dan nonfisik). Bahkan, seorang alim sekalipun, matanya bisa saja digunakan untuk melihat gadis ataupun untuk melirik istri orang. Tangannya bisa saja digunakan untuk membelai ataupun memukul. Kakinya bisa saja dilangkahkan ke mesjid atau ke tempat maksiat sekalipun. Intinya, siapapun dia, selama menjadi manusia, tidak akan luput dari kedua potensi positif dan negatif ini.
Seseorang yang hanya menonjolkan qudrat positifnya cenderung menjadi orang yang arogan dan ingin menguasai orang lain. Sama seperti orang pintar yang selalu menonjolkan kepintarannya, dia cenderung akan menjadi orang yang sombong dan membodohi orang lain. Sebaliknya, orang yang hanya menonjolkan qudrat negatifnya, cenderung menjadi orang yang gampang berputus asa. Namun, meski demikian, kedua ujung qudrat, potensi positif dan negatif harus tetap menyatu di dalam diri manusia supaya manusia bisa menjalankan fungsinya sebagai makhluk yang terus berubah mencapai bentuk yang lebih. Makanya, ada ungkapan, tidak ada manusia yang sempurna. Kata Heraclytus, manusia itu sungai, relatif, berubah dari waktu ke waktu.        
Sebaliknya, meskipun semua manusia memiliki 2 (dua) potensi positif-negatif (qudrat), manusia hanya punya 1 (satu) keinginan (iradat) yang sifatnya positif. Di dalam budaya Minang, iradat manusiawi ini dijelaskan melalui ungkapan “condong mato ka nan rancak, tunggang salero ka nan lamak”. Artinya, pada hakikatnya mata memiliki kecenderungan/keinginan untuk melihat yang indah, dan seleranya cenderung/ingin untuk mencicipi yang enak. Kecenderungan keinginan yang seperti ini berlaku untuk semua manusia di dunia. Bukankah Anda juga begitu? Silahkan buktikan sendiri.
Kesadaran akan qudrat (potensi positif-negatif) dan iradat (keinginan positif) inilah seharusnya yang membentuk perilaku manusia. Bukan surga-neraka, bukan mulia-hina, bukan tinggi-rendah, dan lain sebagainya. Sebab, seiring berubahnya masa, manusiapun berubah. Ada masanya manusia lemah, baik dalam konteks agama, sosial-budaya, dan ekonomi. Saat itu, manusia jadi lupa akan neraka dan menggunakan agama sebagai alat untuk membodohi orang lain. Saat itu, manusia lupa akan kemuliaan dan memanfaatkan posisinya yang terhormat untuk menguasai orang lain dan mewujudkan keinginan-keinginannya.
Kesadaran akan qudrat dan iradat anak-anak membuat banyak orang tua jompo di Jepang yang tidak mau dirawat oleh anak-anak pada masa tuanya. Mereka merasa malu dirawat, sebab perawatan anak-anak tersebut lebih banyak diurus oleh panti/orang lain dibandingkan mereka sebagai orang tua. Kesadaran akan qudrat dan iradat juga membuat hitam-putih, keriting-lurus, tinggi-rendah, bisa hidup berdampingan dengan harmonis penuh sikap saling-menghargai. Bahkan, bekerja sama dengan baik membentuk sebuah persatuan yang kokoh.
Poin dari uraian di atas adalah bahwa masalah perilaku adalah masalah kesadaran akan qudrat dan iradat. Bukan masalah sekolah dan surau. Selain ilham, butuh proses dari dini dan memakan waktu untuk melahirkannya. Oleh karena itu, sekolah dan surau bukanlah wadah utama. Wadah utama mestilah dari rumah dan lingkungan. Sekolah, surau, undang-undang dan aturan adalah fasilitas penunjang. Ibarat kendaraan yang bagus, rumah adalah bengkel tempat merakit perilaku, sekolah, surau dan aturan adalah salon tempat memperhalus perilaku tersebut. Jika tidak, sekolah dan surau hanya akan jadi kambing hitam, undang-undang dan aturan hanya akan jadi bahan olok-olok.
Apakah kita mau sekolah dan surau kita selalu menjadi kambing hitam? Apakah kita mau hukum kita terus-menerus menjadi bahan olok-olok?   

No comments:

Post a Comment