Perilaku adalah isu yang
paling popular di segala aspek kehidupan manusia. Makanya, perilaku menjadi
motif dan cara favorit bagi semua orang. Seorang individu, menjadikan perilaku
yang baik sebagai motif untuk mendapatkan perlakuan yang sama. Paling tidak,
supaya tidak mendapatkan yang sebaliknya, atau terhindar dari orang yang
berperilaku tidak baik. Sesuatu yang sangat manusiawi sekali sesuai dengan
hakikat kemanusiaan manusia. Bagi pemerintah, perilaku yang baik menjadi motif
primadona untuk memuluskan pemerintahannya dan menjalankan sistem sosial (hubungan
pemerintah dengan rakyat). Bahkan, bagi para politisi sekalipun, perilaku yang
baik menjadi cara favorit dalam melariskan janji-janji politiknya.
Begitu pentingnya perilaku,
semua unsur, mulai dari unsur pemerintah, unsur agama, unsur budaya, unsur
pendidikan, hingga ke unsur antah berantah mempolitisasi pembentukan perilaku dengan
dalih tanggung jawab. Dampaknya, bermunculanlah berbagai macam program untuk
memperbaiki perilaku, terutama perilaku generasi muda sebagai implikasi dari
perasaan tanggung jawab di atas. Bahkan, saking merasa bertanggung jawabnya,
mereka suka lupa diri sehingga melakukan hal-hal yang berseberangan dengan
perilaku yang baik itu sendiri.
Unsur yang paling aktif
dalam membuat program perbaikan perilaku ini adalah; unsur pendidikan, unsur
agama, dan unsur budaya. Dari ketiga unsur ini, yang paling menonjol adalah
unsur pendidikan. Programnya yang ternama saat ini adalah “pendidikan
karakter”. Pendidikan karakter di sekolah dianggap sebagai cara yang paling
baik untuk memperbaiki perilaku anak bangsa. Meskipun, mereka tahu persis bahwa
sebagian besar para koruptor yang tertangkap adalah orang-orang yang berlatar
pendidikan/sekolah yang tinggi, bukan orang-orang yang tidak sekolah.
Hippias, salah seorang
filosuf Yunani dari kalangan sofis mengatakan bahwa perilaku manusia dibentuk
oleh qudrat, bukan oleh undang,
agama, dan budaya. Qudrat tersebut
sama persis dengan hakikat individu sebagai homo
humanus (budaya). Hal ini juga senada dengan hakikat qudrat-iradat dalam konteks agama, dan individuasi id ego, dan super ego dalam konteks psikologinya Freud. Begitu juga dengan
hakikat everyman dies, not everyman
really lifesnya Wallace di Skotlandia atau human right yang mendasari HAM.
Qudrat adalah kuasa
atau potensi yang dimiliki oleh manusia sebagai individu. Sedangkan Iradat adalah keinginan manusiawi dari
seorang manusia. Manusia sebagai individu terdiri dari dua unsur, yaitu fisik
dan nonfisik. Unsur fisik
itu adalah kepala, badan, kaki, dan organ-organ lainnya. Unsur
nonfisik ialah rasa dan pikiran. Kedua unsur ini memiliki potensi dan keinginan.
Potensi kedua unsur ini berujung pada dua hal pula, yaitu positif dan negatif.
Siapapun orangnya, tua-muda, kuat-lemah, pintar-bodoh, kaya-miskin,
kiai-bajingan, semuanya memiliki potensi positif dan negatif dalam dirinya (baik
fisik dan nonfisik). Bahkan, seorang alim sekalipun, matanya bisa saja
digunakan untuk melihat gadis ataupun untuk melirik istri orang. Tangannya bisa
saja digunakan untuk membelai ataupun memukul. Kakinya bisa saja dilangkahkan ke mesjid atau ke tempat
maksiat sekalipun. Intinya, siapapun dia, selama menjadi manusia, tidak
akan luput dari kedua potensi positif dan negatif ini.
Seseorang yang hanya
menonjolkan qudrat positifnya
cenderung menjadi orang yang arogan dan ingin menguasai orang lain. Sama
seperti orang pintar yang selalu menonjolkan kepintarannya, dia cenderung akan menjadi
orang yang sombong dan membodohi orang lain. Sebaliknya, orang yang hanya
menonjolkan qudrat negatifnya,
cenderung menjadi orang yang gampang berputus asa. Namun, meski demikian, kedua
ujung qudrat, potensi positif dan
negatif harus tetap menyatu di dalam diri manusia supaya manusia bisa
menjalankan fungsinya sebagai makhluk yang terus berubah mencapai bentuk yang
lebih. Makanya, ada ungkapan, tidak ada manusia yang
sempurna. Kata Heraclytus, manusia itu sungai, relatif, berubah dari waktu ke
waktu.
Sebaliknya, meskipun semua manusia memiliki 2 (dua) potensi positif-negatif
(qudrat), manusia hanya punya 1 (satu)
keinginan (iradat) yang sifatnya
positif. Di dalam budaya Minang, iradat
manusiawi ini dijelaskan melalui ungkapan “condong
mato ka nan rancak, tunggang salero ka nan lamak”. Artinya, pada hakikatnya
mata memiliki kecenderungan/keinginan untuk melihat yang indah, dan seleranya
cenderung/ingin untuk mencicipi yang enak. Kecenderungan keinginan yang seperti
ini berlaku untuk semua manusia di dunia. Bukankah Anda juga begitu? Silahkan
buktikan sendiri.
Kesadaran akan qudrat (potensi positif-negatif) dan iradat (keinginan positif) inilah
seharusnya yang membentuk perilaku manusia. Bukan surga-neraka, bukan
mulia-hina, bukan tinggi-rendah, dan lain sebagainya. Sebab, seiring berubahnya
masa, manusiapun berubah. Ada
masanya manusia lemah, baik dalam konteks agama, sosial-budaya, dan ekonomi.
Saat itu, manusia jadi lupa akan neraka dan menggunakan agama sebagai alat
untuk membodohi orang lain. Saat itu, manusia lupa akan kemuliaan dan
memanfaatkan posisinya yang terhormat untuk menguasai orang lain dan mewujudkan
keinginan-keinginannya.
Kesadaran akan qudrat dan iradat anak-anak membuat banyak orang tua jompo di Jepang yang
tidak mau dirawat oleh anak-anak pada masa tuanya. Mereka merasa malu dirawat,
sebab perawatan anak-anak tersebut lebih banyak diurus oleh panti/orang lain
dibandingkan mereka sebagai orang tua. Kesadaran akan qudrat dan iradat juga
membuat hitam-putih, keriting-lurus, tinggi-rendah, bisa hidup berdampingan
dengan harmonis penuh sikap saling-menghargai. Bahkan, bekerja sama dengan baik membentuk sebuah persatuan
yang kokoh.
Poin dari uraian di atas
adalah bahwa masalah perilaku adalah masalah kesadaran akan qudrat dan iradat. Bukan masalah sekolah dan surau. Selain ilham, butuh proses
dari dini dan memakan waktu untuk melahirkannya. Oleh karena itu, sekolah dan
surau bukanlah wadah utama. Wadah utama mestilah dari rumah dan lingkungan.
Sekolah, surau, undang-undang dan aturan adalah fasilitas penunjang. Ibarat
kendaraan yang bagus, rumah adalah bengkel tempat merakit perilaku, sekolah,
surau dan aturan adalah salon tempat memperhalus perilaku tersebut. Jika tidak,
sekolah dan surau hanya akan jadi kambing hitam, undang-undang dan aturan hanya
akan jadi bahan olok-olok.
Apakah kita mau sekolah dan
surau kita selalu menjadi kambing hitam? Apakah kita mau hukum kita
terus-menerus menjadi bahan olok-olok?
No comments:
Post a Comment