Saya
memang tidak tertarik masalah politik. Bagi saya, menikmati segelas kopi dan
mendengar celotehan “tukang angkek” dalam mengolah nomor kode buntut togel
lebih mencerahkan ketimbang celoteh dalam “Jakarta Lawyers Club” sekalipun. Di
kedai kopi saya bisa melihat langsung anak-anak bangsa yang terintimidasi
membenci diri mereka sendiri hingga melakukan hal-hal yang meningkatkan
kebencian itu. Sedangkan di Jakarta
lawyers club, saya melihat om-om dan tante-tante beradu argumentasi tentang
nasib kedai kopi dengan menggunakan dasi dan rok mini. Saya yakin, bahwa mereka
tidak pernah bergelut bersama nuansa kedai kopi seperti yang saya lakukan
hampir setiap hari. Asumsinya, saya setuju dengan pernyataan seorang raja Odysseus
ketika membujuk Achiles, “abaikanlah politik, karna politik itu berisi orang
besar sibuk menyusun pidato di tengah-tengah orang kecil yang sekarat”.
Pada jaman Achiles, peran manusia dalam kehidupan
dikelompokkan sekurang-kurangnya menjadi tiga. Yaitu; 1) Bangsawan kerajaan, 2)
Prajurit, 3) Kaum religius/ terpelajar. Politik adalah mainannya kaum bangsawan
kerajaan dan membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan masalah kerajaan
dan kedaulatannya. Prajurit adalah orang-orang yang memainkan peran sebagai penjaga
keamanan dan ketertiban dari segala macam ancaman. Kaum religius dan terpelajar
adalah orang-orang yang berperan dalam mengembangkan cara berfikir masyarakat
menuju pemikiran yang lebih maju dan religius.
Sedangkan masyarakat umum, berada di bawah lindungan tiga unsur di atas.
Mereka bekerja, mereka belajar, mereka bermain, tampa harus memikirkan
keamanan, kenyamanan, dan ketertiban. Mereka hanya perlu membayar pajak, dan
bersiap jika sewaktu-waktu kerajaan memanggil untuk berjuang membela negara.
Saya
menyampaikan ini bukan untuk membandingkan. Poin yang ingin saya sampaikan
adalah bahwa segalanya mempunyai wilayah dan waktunya masing-masing. Politik
punya wilayah sendiri, pendidikan punya wilayah sendiri, agama punya wilayah
sendiri. Tidak campur baur seperti yang
terjadi di negara kita ini. Politik menjadi penguasa tunggal yang mempunyai
jurus pamungkas ajian sapujagat. Saat
sekarang ini, rasanya tidak ada lagi ruang di Indonesia ini yang luput dari
pantauan politik. Pendidikan dipolitisasi, budaya dipolitisasi, bahkan agamapun
dipolitisasi. Asumsinya, politik di negeri ini adalah Joker merah, raja yang
bertahta sendiri.
Status
politik sebagai joker merah sangat nyata terasa di wilayah manapun. Penandanya sederhana saja, yaitu proyek atau
program cepat saji. Padahal yang mau disajikan adalah yang “itu-itu” juga. Lalu siapakah yang mengarahkan politik ke
hal-hal seperti ini? Untuk mengetahuinya gampang-gampang-susah. Gampang karena selalu ada kontrak politik,
susah karena pemegang kontrak dan yang membuat kontrak kadang tidak pernah
kontak. Semuanya disubkan, sama seperti lintasan jalan yang sengaja dibuat
berliku-liku. Biar sopir tidak terlalu heboh dengan kenaikan BBM, biar
masyarakat kelamaan di angkutan umum dan memaklumi membayar ongkos yang mahal. Jika tidak demikian, tentunya semua tidak
akan bisa bergerak, sama seperti jalanan Jakarta yang terus macet. Begitulah politik
di Indonesia mendidik dengan menjajah anak bangsanya sendiri.
Untuk
lebih sahih, saya akan memberikan beberapa contoh kasus. Kasus tersebut dikelompokkan berdasarkan dua
subjek, yaitu kalangan atas (decision makers) dan kalangan bawah (masyarakat
dan pelaksana). Untuk menyorot kalangan
atas, saya akan mengetengahkan kasus proyek di dunia pendidikan, untuk kalangan
bawah saya ketengahkan kasus krisis akal sehat dan kemanusiaan yang menyeret
dunia keagamaan. Akan tetapi, hebatnya,
baik kasus di dunia pendidikan, agama, ataupun di masyarakat umum, menunjukkan
solusi yang identik. Identik jika dilihat dari sudut pandang pendekatan yang
digunakan dalam menyelesaikan masalah. Untuk lebih jelasnya, berikut
pembahasannya.
1.
Kasus di Ranah
Pendidikan dan Solusinya
Isu
tentang rendahnya mutu pendidikan membangkitkan birahi para elitis dunia pendidikan
Indonesia untuk berkaca ke dunia luar dan merancang berbagai program. Program
tersebut bermuara pada tiga komponen utama pendidikan, yaitu guru, siswa, dan
metodologi. Khusus untuk masalah
utak-atik metodologi saya tidak akan membahasnya, karna dalam masyarakat
akademik sudah mendarah-daging pameo “ganti mentri ganti kurikulum”. Jadi,
pembahasan difokuskan pada guru dan siswa.
Pemerintah,
DPR, dan para elitis dunia pendidikan gerah melihat rendahnya mutu pendidikan
Indonesia. Kambing hitam yang pertama adalah peserta didik atau siswa itu
sendiri. Untuk itu, perlu diadakan
pemerataan pendidikan. Standarnya adalah proyek yang namanya Ujian Nasional
(UN). Lucunya, program ini terputus begitu saja, sama seperti siswa yang lulus
UN, coret baju, selamat tinggal SMA. Padahal masalah yang sering dihadapi oleh
Perguruan Tinggi (PT) adalah terputusnya komunikasi pendidikan antara SMA
dengan PT, seperti yang disampaikan oleh Prof. Dr. Chaedar Awasilah.
Di
sisi lain, faktor untuk menunjang UN itu sendiri hanya bisa dilihat di atas
kertas lewat buku laporan bantuan dana pendidikan, dana BOS, dan lain-lain.
Kenapa saya katakan demikian? Karna kenyataannya, jangankan di daerah-daerah
Indonesia bagian barat seperti di Sumatra atau Indonesia bagian timur seperti di
Sulawesi dan Irian, di wilayah pulau Jawa saja, unsur-unsur penting penunjang
perbaikan pendidikan itu masih terabaikan di sana-sini. Kita masih sering
melihat di televisi tentang sekolah yang tidak layak di pulau Jawa, bahkan yang
terakhir, sampai dunia dihebohkan oleh pelajar di Banten yang terpaksa
menyabung nyawa melewati jembatan sekarat demi bisa bersekolah.
Selanjutnya,
kambing hitam yang kedua adalah guru. Guru dianggap tidak profesional di
bidangnya. Oleh karena itu perlu diprofesionalkan. Muncullah proyek atau
program sertifikasi dan Pendidikan Profesi Guru (PPG). Seluruh calon guru mesti
mengikuti PPG selama satu sampai dua tahun, dan yang sudah menjadi guru mesti
mengikuti program sertifikasi jika mereka menginginkan kesejahteraan. Motif dan
program yang aneh jika kita memandang dari sisi kemanusiaan, dan bukankah
hakikat pendidikan itu untuk memanusiakan manusia.
Dari
deskripsi singkat di atas, kita akan menyorot dua hal, yaitu UN dan PPG. UN
adalah alat ukur yang telah distandardisasi di tingkat pusat, telah teruji
validitas dan realibilitasnya. Begitu juga dengan PPG, kedua menu ini adalah
masakan ahli-ahli di bidang pendidikan
itu sendiri. Fakta ini tidak akan terbantahkan. Akan tetapi, menjadikan UN
ataupun PPG sebagai syarat mutlak kelulusan adalah hal yang sangat menggelikan.
Mungkin banyak para ahli pendidikan yang akan membantah, terutama mereka yang
menjadi PR dari proyek ini. Jika itu
terjadi, saya tentu tidak berdaya. Saya hanya mengatakan, “lihatlah mata
anak-anak itu sebelum UN, maka Anda akan stres menunggu saat pengumuman
kelulusan datang. Lihatlah mata mereka yang gagal, kalau Anda sanggup, katakan
bahwa inilah yang terbaik, demi bangsa, demi negara”. Itu jawaban saya secara
kemanusiaan.
Secara
logika, saya akan mempertanyakan status Perguruan Tinggi pencetak guru. Setahu
saya, sebelum ada PPG, sebuah PT Kependidikan setidaknya butuh tiga sampai
empat tahun untuk mencetak tenaga pengajar/calon guru. Sementara PPG hanya butuh paling lama dua
tahun untuk melaksanakannya. Asumsinya, jika sistem PT Kependidikan bisa
dimetaforakan dengan sistem manual penetasan telur yang butuh waktu kurang
lebih dua sampai tiga mingguan, PPG adalah sistem mekanik Jepang yang bisa
menetaskan telur hanya dalam hitungan hari. Akan tetapi, pendidikan tentunya
bukanlah sebuah mesin, dan peserta didik bukanlah sebuah anak ayam yang jika
sudah menetas hubungannya dengan cangkang dan mesin penetas akan terputus
begitu saja.
Saya
yakin, gambaran saya di atas sudah tergambar dengan sangat jelas pula di dalam
kepala para elitis pemerintahan, DPR, dan pendidikan. Lalu apa yang membuat
program ini tetap bertahan? Asumsi saya ialah karena ini adalah proyek, ada
“kepentingan” yang menjadi motif utamanya. Berdasarkan asumsi ini, saya
mengatakan bahwa ini adalah pertanda manusia telur. Manusia yang lupa terhadap
cangkang dan induknya karena lahir tidak melalui proses alami, tapi
dimekanisasikan lewat pendekatan industrialisasi. Karna, manusia produksi rahim, melalui proses
yang panjang, proses pemasukan ruh, proses pematangan rasa, dan proses-proses
lainnya.
Manusia
telur tidak akan memiliki sensitivitas, karena mereka tidak memiliki rasa.
Logika mereka tidak liar, karena semuanya berjalan secara mekanis dan ekonomis.
Manusia ini sama dengan manusia yang terjangkit sindrom Mak Erot. Mementingkan
hasil dari pada proses. Lebih mementingkan mekanisasi atau birokrasi laporan
pembukuan dari pada manusia-manusia yang tertulis di dalam buku. Lupa bahwa tujuan
dari tes ataupun standar adalah untuk mencari poin. Poin itu singkatnya adalah
tentang kesimpulan apa yang diperoleh sebagai bagian dari proses belajar. Bukan
angka-angka di atas kertas. Poin itu berhubungan dengan faktor paedagogik,
kognitif, dan psikomotor. Apa gunanya tes, jika tidak ada yang dipelajari, jika
tidak ada perubahan pada ketiga faktor ini.
2.
Proyek di
Ranah Agama dan Solusinya
Isu
kekerasan dan moralitas biasanya cenderung memojokkan ranah agama dan pendidikan.
Jika masalah kekerasan terjadi di kalangan pelajar, seperti tawuran,
perkelahian seorang siswa dengan siswa lain yang direkam temannya, dan lainnya
jelas mengkerdilkan dunia pendidikan. Sudah banyak kepala sekolah, guru yang
dikorbankan gara-gara masalah ini. Siswa yang berkelahi, guru, bahkan kepala
sekolah yang dimutasikan. Seolah-olah masalah tersebut adalah tanggung-jawab
mutlak pihak sekolah. Sedangkan jika
masalah ini terjadi di tengah-tengah masyarakat umum, seperti tawuran
antar-warga, pemuda gara-gara acara dangdutan, kambing hitamnya adalah agama.
Isu yang mengemuka adalah rendahnya pemahaman keagamaan.
Belakangan,
masalah kenakalan remaja ataupun masyarakat umum ini bergeser dari isu
kekerasan ke isu-isu moralitas seperti kekerasan seksual, pergaulan bebas, dan
lain sebagainya. Masalah ini biasanya langsung mengkerdilkan pemuka agama.
Buruknya pendidikan agama membuat rendahnya pemahaman agama, sehingga moralitas
bangsapun turut rendah. Hal ini biasanya
dipicu oleh penangkapan pasangan selingkuh oleh satpol PP, pergaulan bebas di
antara remaja, sampai penemuan bayi hasil hubugan gelap di parit-parit.
Tidak
ada solusi yang jelas dari pemerintah. Biasanya solusi diusulkan oleh
kelompok-kelompok tertentu layaknya pengajuan proposal sebuah proyek. Jika
presentasinya bagus, bisa diatur kontraknya, maka jalanlah proyek yang disebut
solusi tersebut. Solusi yang paling sering adalah pelatihan ESQ ataupun
pesantren kilat. Sebuah program hebat yang cara kerjanya tak jauh beda dengan sim salabim abra
kadabra. Kenapa saya katakan demikian? Karena program ini biasanya dilaksanakan
pada momen-momen tertentu saja, seperti masa liburan, sebelum UN, momen penerimaan mahasiswa baru,
ada bencana, dan momen-momen lainnya.
Mengenai solusi ESQ dan pesantren kilat ini, seorang
guru besar psikologi Universitas Indonesia (maaf, saya lupa nama beliau)
mengatakan bahwa beliau tidak menemukan satupun tulisan di jurnal Ilmiah dari
seluruh Negara di dunia, khususnya yang punya koneksi dengan UI yang membahas
tentang ESQ dan khasiat-khasiatnya yang dahsyat tersebut. Keterangan yang ada
tentang ESQ dan pesantren kilat hanyalah berupa testimoni dari beberapa orang
saja.
Artinya, kita menyelesaikan masalah pendidikan dan
social dengan cara yang aneh. Karena, kata Tan Malaka, masalah pendidikan dan
masalah social tidak bisa diselesaikan oleh kekuatan sebesar apapun, oleh otak
sehebat apapun, selain melalui proses yang logis, sistematis, dan membutuhkan
waktu. UN, PPG, ESQ, dan Pesatren kilat jelas tidak memenuhi syarat logis,
sistematis, dan membutuhkan waktu tersebut. Sebab, dari segi waktu, semua
solusi ini jelas instan sekali. Sedangkan dari segi sistematika, proses/ cara
kerja semua solusi inipun jelas susah untuk diterima oleh logika. Apa bedanya
dengan Mak Erot atau obat-obat alternatif yang sering muncul di iklan-iklan
belakangan ini? Yang penting ada yang mengeluarkan testimony tentang
keampuhannya, tak peduli logis atau tidak, apa lagi ilmiah atau tidak.
Akhirnya, sampailah kita pada kesimpulan yang tidak
bisa untuk ditolak. Dunia pendidikan kita, dunia agama kita, dunia
social-budaya kita, dunia politik kita telah terjangkit sindrom Mak Erot. Lebih
baik hasil sesaat dari pada melakukan proses yang menyita waktu.
No comments:
Post a Comment