Monday, June 22, 2020

Bahasa, Budaya dan Jiwa Bangsa (Linguistik Kognitif sebagai Filsafat di dalam Bahasa)


Bahasa, Budaya dan Jiwa Bangsa
(Linguistik Kognitif sebagai Filsafat di dalam Bahasa)

Bahasa mencerminkan pikiran, pikiran mencerminkan budaya, budaya mencerminkan orangnya. Artinya, bahasa yang dikeluarkan seseorang baik disadari atau tidak merupakan jelmaan dari pikiran (scheme) dan persepsi budaya terhadap sesuatu (image) (Hitomi, 2006). Oleh karena itu, sebuah kata bisa memiliki image yang berbeda di daerah geografis dan atau daerah budaya yang berbeda meskipun memiliki kedudukan dan arti yang sama. Misalnya, kata “kau/engkau”, meskipun sama-sama memiliki kedudukan sebagai kata ganti dan sama-sama memiliki arti sebagai orang kedua tunggal, imagenya berbeda berdasarkan tempat dan konteks penggunaan kata tersebut.
Di dalam konteks ceramah/khutbah/dakwah, kata “kau/engkau” bisa dikatakan tidak mengandung image negatif karena pada umumnya terjemahan orang kedua di dalam ayat Al-Quran dan Hadits ke dalam bahasa Indonesia sering menggunakan kata tersebut. Serupa dengan konteks dakwah, dalam konteks sosial, di Palembang/Pekan Baru (konteks budaya Melayu), kata “kau” juga tidak mengandung image negatif sehingga sangat lazim digunakan. Sebaliknya, dalam konteks sosial di Sumatra Barat (budaya Minangkabau), kata “kau” memiliki image yang kurang baik/negatif. Makanya, ketika Anda bertanya menggunakan pertanyaan “kapan Kau datang?” kepada seorang teman Palembang/Pekan Baru. Anda akan mendapatkan jawaban yang layak, bahkan mungkin dilengkapi dengan sebuah senyuman manis. Akan tetapi, jika pertanyaan itu Anda ajukan kepada seorang teman Sumatra Barat, hanya ada dua kemungkinan yang akan terjadi; pertama, Anda mendapatkan jawaban tidak menyenangkan, kedua, Anda diabaikan. 
Contoh lainnya adalah kata sandang "si". Ketika kuliah di Bandung, saya pernah ditanya oleh seorang dosen, "dengan siapa ke sana, Hendri?", Saya jawab, "dengan si Sonda, Pak". Saat itu, saya lihat kening dosen tersebut agak mengerut. Namun, sebelum saya bertanya, beliau dengan senang hati menjelaskan bahwa menggunakan kata sandang "si" kepada manusia, apa lagi seorang teman dianggap kurang sopan bagi orang Sunda. Meskipun sudah mendengar keterangan ini, bagi saya dan teman-teman yang tidak berasal/dibesarkan dalam budaya Sunda, image negatif tersebut hanya ada di kepala tapi tidak masuk atau tidak menyentuh nilai rasa. Kenyataannya, meskipun telah tahu, kening kami tidak pernah berkerut mendengar kata sandang “si” tersebut digunakan kepada kami sekalipun. 
Di dalam ilmu budaya, fenomena budaya yang terkandung di dalam bahasa ini bagian dari wujud istilah “homo estheticus”. Sedangkan di dalam ilmu bahasa diistilahkan sebagai bagian dari bentuk “linguistic cognitive”. Kedua teori (budaya dan bahasa) ini memiliki motif yang sama, yaitu bahwa segala ucapan seseorang pada dasarnya memiliki motif. Motif tersebut dipengaruhi (langsung/tidak langsung) oleh skema yang terbentuk di dalam kepala atau dada manusia terkait (Sutedi, 2003). Skema ini adalah bagian dari proses budaya yang melekat pada penganut budaya serta penutur asli sebuah bahasa (Hitomi, 2006). Oleh karena itu, teori kearbitreran di dalam ilmu bahasa, linguistic cognitive, dan homo estheticus di dalam ilmu budaya haruslah dipahami sebagai teori yang saling melengkapi, bukan sebaliknya dijadikan sebagai bahan pertentangan.
Di dalam sebuah film yang berjudul “Good Will Hunting”, film yang mengisahkan tentang sorang pemuda jenius tapi bernasib kurang beruntung, terdapat dialog menarik antara si jenius dengan seorang mahasiswi Harvard University. Penggalan dialongnya adalah seperti berikut ini.
Mahasiswi       : There’s my number. Maybe we can go out for coffee sometime.
Pemuda           : Alright, yeah. Maybe we can just get together and each a bunch
  of caramel.
Mahasiswi       : What do you mean?
Pemuda           : When you think about it, it’s as arbitrary as drinking coffee.

Dari dialog di atas terlihat penggunaan bahasa yang sekilas terlihat arbitrer karena terkesan asal-asalan dan tidak sesuai dengan tujuan komunikasi sebenarnya. Namun, pemilihan bahasa ini sebenarnya memiliki motif yang bisa dipahami oleh keduanya. Motif itu adalah kemungkinan terjadinya jalan-jalan, persahabatan, bahkan mungkin kencan. Motif dari penggunaan bahasa yang seperti inilah yang sebenarnya dimaksudkan oleh linguistic cognitive. Sedangkan dari aspek budaya, pemilihan tuturan “drinking coffee” dan atau “eat bunch of caramel” adalah berhubungan dengan image dari “drinking coffee” atau “eac bunch of caramel” dalam kehidupan sosial-budaya yang telah menjadi kebiasaan yang lazim di lingkungan terjadinya tuturan, yang merupakan lambang dari upaya untuk menjalin hubungan keakraban.
Sama juga dengan fenomena penggunaan bahasa di film di atas, di Indonesia, dahulu ketika kita mendengar sesuatu tuturan yang berhubungan dengan cinta, biasanya selalu dilambangkan dengan warna merah. Hal ini sejalan dengan munculnya tuturan-tuturan dalam bahasa Indonesia, seperti; “pipi bersemu merah” “sapu tangan merah”, “surat bertinta merah”, “surat bersampul merah”, dan lain sebagainya.  Pada acara-acara kebudayaan, misalnya perkawinan, pun didominasi oleh warna merah. Artinya, merah bisa dikatakan sebagai lambang budaya Indonesia tentang cinta karena didukung oleh bahasa dan kebiasaan, bahkan kepercayaan masyarakat.
Senada dengan itu, pada tahun 1990-an, ketika dunia perfileman Indonesia diserbu oleh berbagai film-film luar negeri yang memperkenalkan aneka ragam budaya dari Asia Timur, seperti: China, Jepang, dan Korea. Tiba-tiba saja, warna merah sebagai lambang cinta seperti diurai di atas menghilang begitu saja. Bahkan, warna merah muda juga sangat jarang terdengar penggunaannya. Orang Indonesia lebih suka menggunakan kata “pink” seolah-olah warna pink adalah milik Indonesia dan cinta dalam konteks budaya Indonesia diwakili oleh warna pink. Padahal, jika kita telusuri dari segi bahasa, khususnya rasa bahasa, tuturan “pipinya bersemu pink” pasti akan terasa aneh karena tidak relevan dengan image yang tertanam di dalam kognisi masyarakat Indonesia. Artinya, dari rasa bahasa itu seharusnya kita menyadari bahwa pink bukanlah warna cinta yang dilambangkan di dalam budaya Indonesia.
Di samping itu, kita semua sebagai orang Indonesia tentu bisa bercermin dari diri kita sendiri. Ketika kita belajar di TK atau SD, saat kita belajar tentang warna sambil bernyanyi, di dalam lagu “balonku ada lima”, tidak diperkenalkan istilah warna pink. Lalu, ketika kita tumbuh menjadi remaja dan malu-malu bertemu dengan orang yang ditaksir, tuturan yang digunakan tetap saja “pipinya bersemu merah” bukan "pipinya bersemu pink". Berikutnya, ketika dewasa dan melangsungkan pernikahan, tempat pesta juga didominasi oleh warna merah. Fenomena bahasa dan kebiasaan masyarakat seperti ini tentulah tidak bisa dikatakan  sebagai sesuatu yang arbitrer atau bahkan fenomena kebetulan saja. Pasti ada yang mempengaruhi, yaitu image warna dalam persepsi bahasa dan budaya Indonesia.
Di Jepang, warna pink memiliki kedudukan yang sama dengan merah/merah muda di Indonesia, yaitu mewakili cinta. Maka, setiap berhubungan dengan cinta, warna yang muncul adalah pink, seperti “sampul pink”, “kertas pink”, hingga tuturan “pipinya pink” (Yamamoto, 2011). Artinya, orang Jepang menggunakan warna pink/merah muda untuk melambangkan cinta. Pemilihan warna pink ini adalah karena pengaruh kebiasaan atau budaya, dan penggunaan warna tersebut merupakan bagian dari wujud kecintaan terhadap budayanya. Cintailah bahasa dan budaya Indonesia karena bahasa dan budaya adalah cerminan diri kita.  

Referensi
Hitomi, Taniguchi. 2006. Ninchi Gengogaku.Tokyo: Hitsuji Shobo.
Sutedi, Dedi. 2003. Dasar-Dasar Linguistik Bahasa Jepang. Bandung: Humaniora Utama Press.
Yamamoto, Akihiko. 2011. “Perbandingan Image Warna Indonesia dengan Jepang”. (Disampaikan dalam “Seminar Nasional Bahasa Jepang di UPI, Bandung, 2012”).






No comments:

Post a Comment