Filsafat Bahasa
dalam Budaya Minangkabau:
Peran Filsafat
dalam Pembelajaran Bahasa 4.0
1.
Filsafat
dan Bahasa
Dalam sejarah perkembangan filsafat, mulai dari zaman Yunani Kuno
hingga saat ini, filsafat secara bahasa sering diterjemahkan dengan kata berpikir.
Bahkan, salah satu ungkapan terkenal darlam filsafat menegaskan bahwa
eksistensi manusia tergantung pada pikirannya, “aku ada karena aku berpikir”. Berpikir
dalam konteks berfilsafat sangat berbeda dengan berpikir dalam konteks
menggunakan perangkat/organ berpikir untuk bekerja begitu saja. Berpikir dalam
konteks berfilsafat memiliki beberapa ciri utama yang menjadi pembeda antara
berpiki filosofis dengan berpikir umum, yaitu: radikal, sistematis, logis,
spekulatif, dan skeptis.
Pertama, berpikir radikal artinya berpikir dengan tuntas. Tuntas di
sini maksudnya meninjau konsep hingga ke realitasnya. Jadi, konsep sebagai bagian
dari produk pikiran harus dikukuhkan dengan bentuk-bentuk konkret. Kedua,
berpikir sistematis artinya berpikir dengan menggunakan alur dan struktur berpikir
yang teratur/terpola, baik secara deduktif maupun induktif. Ketiga, berpikir
logis secara sederhana bisa diartikan dengan masuk akal. Masuk akal berbeda dengan bisa diterima oleh
orang lain. Masuk akal artinya jalan pikiran tersebut bisa ditelusuri oleh
pikiran orang lain (umum).
Selanjutnya, keempat, berpikir spekulatif artinya berpikir yang
mampu menunjukkan bahwa si pemikir memiliki prinsip dan memiliki perhitungan
yang matang dalam menuangkan pikirannya itu (Sudarsono, 2008). Orang yang
spekulatif identik dengan kepercayaan diri dan keberanian dalam berargumen. Kelima,
berpikir skeptis identik dengan berilaku berpikir yang tidak mudah begitu saja
percaya kepada informasi-informasi yang beredar, atau yang disampaikan oleh
siapa saja. Berpikir skeptis ini melahirkan aliran yang disebut dengan
skeptisme.
Kelima ciri berpikir filsafat di atas sebenarnya terkandung di
dalam bahasa. Secara umum, berbahasa di kalangan linguist juga disebut
sebagai berpikir karena bahasa adalah cerminan dari pikiran. Bahasa yang
tertatata dengan baik dan sistematis menunjukkan pikiran penutur yang juga
tertata dengan baik. Bahkan, banyak para penulis yang menjadikan tulisan
sebagai alat ukur untuk mengamati perkembangan pikirannya. Bukankah kita sering
menertawakan diri sendiri saat membaca tulisan masa lalu?
2.
Filsafat
dan Pembelajaran Bahasa
Peran filsafat dalam pembelajaran bahasa sebenarnya utuh dari hulu
hingga ke hilir. Di hulu pembelajaran, peran filsafat terlihat pada perkembangan
teori pembelajaran bahasa dan teori pengembangan kurikulum. Sedangkan, pada
hulu pembelajaran, filsafat juga mewarnai output dari sebuah proses
pembelajaran, baik pada aspek kognitif, psikomotor, dan afektif. Pada teori
pembelajaran bahasa, setidaknya, lima teori dasar pembelajaran (behaviorism,
cognitivism, humanism, cybernetic, mentalist) merupakan paham-paham dalam
filsafat yang secara langsung berperan terhadap perkembangan pembelajaran
bahasa. Menurut paham behaviorism, pembelajaran itu dipandang sebagai
perubahan perilaku.
Paham cognitivism memandang pembelajaran sebagai proses untuk
mengembangkan wacana/pengetahuan siswa. Paham humanism memandang
pembelajaran adalah proses untuk memanusiakan manusia. Paham cybernetic
memandang pembelajaran sebagai sebagai program untuk membentuk proses berpikir,
di mana siswa memiliki cara berpikir yang berbeda-beda. Sedangkan yang
terakhir, paham mentalist memandang pembelajaran sebagai proses melatih
mental untuk membentuk sikap. Semua teori pembelajaran bahasa tersebutlah yang
mewarnai azas-azas perkembangan pembelajaran bahasa, baik bahasa pertama maupun
bahasa kedua.
Filsafat juga sangat mempengaruhi proses pengembangan kurikulum.
Bahkan, sebuah kurikulum baru, biasanya diwarnai oleh aliran filsafat tertentu.
Richards (2001) mengatakan bahwa pengembangan sebuah kurikulum biasanya melewati
tiga tahapan penting, yaitu; 1) tahap perencanaan (presage), 2) tahap
pelaksanaan (development), 3) tahap implementasi (implementation).
Pada tahap perencanaan, ada tiga cabang ilmu yang harus dikaji, yaitu:
filsafat, sosiologi, dan psikologi. Dari aspek filosofis, ada tiga cabang utama
filsafat yang selalu menjadi bahan pertimbangan, yaitu; aspek ontology, aspek
epistemology, dan aspek axiology (Print, 1993).
Dari aspek ontology, filsafat mendorong pembelajaran untuk
mendekatkan pembelajaran bahasa dengan realitas, baik melalui fakta empiric
maupun fakta rasional. Sedangkan dari aspek epistemology, filsafat
memberikan ruang kepada pembelajaran bahasa untuk menetapkan kebenaran (rule)
sendiri sesuai dengan aturan dan kaidah bahasa itu sendiri, baik sebagai bahasa
pertama maupun bahasa kedua. Sedangkan dari aspek axiology, filsafat
mendorong pembelajaran bahasa untuk berperan aktif dalam menanamkan
nilai-nilai, terutama nilai-nilai kemanusiaan karena bahasa adalah cerminan
dari manusia.
3.
Pengaruh
Filsafat terhadap Pembelajaran Bahasa 4.0
Dalam sejarah perkembangannya, paradigma pembelajaran bahasa
sebenarnya tidak terlepas dari pengaruh beliefs, terutama beliefs
para ahli bahasa terhadap bahasa itu sendiri (Graves, 2000). Beliefs
Skinner dan kawan-kawan terhadap bahasa telah melahirkan teori bahasa
behaviorisme. Beliefs Jean Piguet dan kawan-kawan terhadap bahasa
melahirkan teori kognitiveisme. Beliefs Bloom dan kawan-kawan melahirkan teori
humanisme. Beliefs Landa dan kawan-kawan melahirkan teori Sibernetik.
Terakhir, beliefs Chomsky terhadap bahasa juga melahirkan teori mentalis
dan pembelajaran yang konstruktif.
Semua teori-teori dasar pembelajaran berbahasa di atas pada
hakikatnya adalah pemikiran filosofis ahli tentang hakikat dari bahasa dan
pembelajaran berbahasa. Kita tidak bisa mengesampingkan salah satu teori di
atas dan mengatakannya tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman. Sebab,
hingga era revolusi industry 4.0 ini, semua teori-teori di atas tidak bisa
dipisahkan dengan kurikulum pembelajaran bahasa saat ini, seperti kurikulum
2013 yang dikembangkan dan dilaksanakan di Indonesia.
Kurikulum 2013 merupakan wujud dari upaya pemerintah Indonesia untuk
menjawab tantangan era industri 4.0. Kurikulum 2013 ini menuntut peran yang
lebih dari filsafat untuk membangun masyarakat Indonesia yang cerdas. Tuntutan
itu jelas tersirat dalam berbagai istilah yang dimunculkan, seperti; pembelajaran
berbasis text, penalaran inductive, pendekatan scientific,
hingga pembelajaran berbasis kompetensi (competencies-based learning)
yang menuntut pembelajaran bahasa mampu merubah kognitiv, psikomotor, dan
afektif pembelajar bahasa di Indonesia.
Khusus terkait pembelajaran bahasa berbasis kompetensi, jelas
terhubung dengan teori-teori filsafat di atas. Kompetensi kognitif terhubung
langsung dengan teori kognitif dan teori sibernetik. Kompetensi psikomotor
terhubung langsung dengan teori behaviourisme. Kompetensi afektif terhubung
langsung dengan teori humanisme dan teori mentalis. Artinya, bahasa tidak bisa
dikatakan berubah dalam artian, kedatangan yang baru menghilangkan yang lama. Bahasa
berkembang melengkapi atau menyempurnakan bentuk yang lama. Begitu juga dengan kurikulum
bahasa, perubahan kurikulum tidak bisa dipahami sebagai pergantian yang baru
dengan yang lama. Akan tetapi, pengembangan yang lama menuju bentuk yang saat
ini dianggap paling sesuai dengan kondisi yang ada.
Di samping itu, peran filsafat juga sangat terasa pada skop
pembelajaran bahasa yang dikatakan oleh Hallyday (dalam Saragih,
2019), yaitu; learning language, learning about language, dan learning
through language. Melalui learning language, pembelajaran berbahasa
dituntut untuk memahami bahwa bahasa itu ada aturan, di mana aturan tersebut
merupakan bagian dari cara berpikir penutur asli bahasa terkait tentang bahasa
yang dapat dipahami dengan learning about language. Pada akhirnya,
melalui learning through language, pembelajaran bahasa memberikan arah
bagi pembelajar bahwa bahasa adalah jendela ilmu, bahasa adalah pintu yang bisa
menghubungkan manusia dengan dunia.
Daftar
Pustaka
Kathleen Graves.
2000. Designing Language Course: a Guide for Teachers. USA: Heinle
Cengage learning.
Print, Murray. 1993. Curriculum
Development and Design: Second Edition. Australia: Allen & Unwin.
Richards, Jack C. 2001. Curriculum
Development in Language Teaching. New York: Cambridge University Press.
Saragih, Amrin.
2019. “Tema-Tema Penilitian Bahasa untuk Disertasi”. FBS UNP (tidak diterbitkan).
Sudarsono.
2008. Filsafat Ilmu: Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.
No comments:
Post a Comment