Monday, June 22, 2020

Filsafat Bahasa dalam Budaya Minangkabau: Peran Filsafat dalam Pembelajaran Bahasa 4.0


Filsafat Bahasa dalam Budaya Minangkabau:
Peran Filsafat dalam Pembelajaran Bahasa 4.0

1.      Filsafat dan Bahasa
Dalam sejarah perkembangan filsafat, mulai dari zaman Yunani Kuno hingga saat ini, filsafat secara bahasa sering diterjemahkan dengan kata berpikir. Bahkan, salah satu ungkapan terkenal darlam filsafat menegaskan bahwa eksistensi manusia tergantung pada pikirannya, “aku ada karena aku berpikir”. Berpikir dalam konteks berfilsafat sangat berbeda dengan berpikir dalam konteks menggunakan perangkat/organ berpikir untuk bekerja begitu saja. Berpikir dalam konteks berfilsafat memiliki beberapa ciri utama yang menjadi pembeda antara berpiki filosofis dengan berpikir umum, yaitu: radikal, sistematis, logis, spekulatif, dan skeptis.
Pertama, berpikir radikal artinya berpikir dengan tuntas. Tuntas di sini maksudnya meninjau konsep hingga ke realitasnya. Jadi, konsep sebagai bagian dari produk pikiran harus dikukuhkan dengan bentuk-bentuk konkret. Kedua, berpikir sistematis artinya berpikir dengan menggunakan alur dan struktur berpikir yang teratur/terpola, baik secara deduktif maupun induktif. Ketiga, berpikir logis secara sederhana bisa diartikan dengan masuk akal.  Masuk akal berbeda dengan bisa diterima oleh orang lain. Masuk akal artinya jalan pikiran tersebut bisa ditelusuri oleh pikiran orang lain (umum).
Selanjutnya, keempat, berpikir spekulatif artinya berpikir yang mampu menunjukkan bahwa si pemikir memiliki prinsip dan memiliki perhitungan yang matang dalam menuangkan pikirannya itu (Sudarsono, 2008). Orang yang spekulatif identik dengan kepercayaan diri dan keberanian dalam berargumen. Kelima, berpikir skeptis identik dengan berilaku berpikir yang tidak mudah begitu saja percaya kepada informasi-informasi yang beredar, atau yang disampaikan oleh siapa saja. Berpikir skeptis ini melahirkan aliran yang disebut dengan skeptisme.
Kelima ciri berpikir filsafat di atas sebenarnya terkandung di dalam bahasa. Secara umum, berbahasa di kalangan linguist juga disebut sebagai berpikir karena bahasa adalah cerminan dari pikiran. Bahasa yang tertatata dengan baik dan sistematis menunjukkan pikiran penutur yang juga tertata dengan baik. Bahkan, banyak para penulis yang menjadikan tulisan sebagai alat ukur untuk mengamati perkembangan pikirannya. Bukankah kita sering menertawakan diri sendiri saat membaca tulisan masa lalu?      
  
2.      Filsafat dan Pembelajaran Bahasa
Peran filsafat dalam pembelajaran bahasa sebenarnya utuh dari hulu hingga ke hilir. Di hulu pembelajaran, peran filsafat terlihat pada perkembangan teori pembelajaran bahasa dan teori pengembangan kurikulum. Sedangkan, pada hulu pembelajaran, filsafat juga mewarnai output dari sebuah proses pembelajaran, baik pada aspek kognitif, psikomotor, dan afektif. Pada teori pembelajaran bahasa, setidaknya, lima teori dasar pembelajaran (behaviorism, cognitivism, humanism, cybernetic, mentalist) merupakan paham-paham dalam filsafat yang secara langsung berperan terhadap perkembangan pembelajaran bahasa. Menurut paham behaviorism, pembelajaran itu dipandang sebagai perubahan perilaku.  
Paham cognitivism memandang pembelajaran sebagai proses untuk mengembangkan wacana/pengetahuan siswa. Paham humanism memandang pembelajaran adalah proses untuk memanusiakan manusia. Paham cybernetic memandang pembelajaran sebagai sebagai program untuk membentuk proses berpikir, di mana siswa memiliki cara berpikir yang berbeda-beda. Sedangkan yang terakhir, paham mentalist memandang pembelajaran sebagai proses melatih mental untuk membentuk sikap. Semua teori pembelajaran bahasa tersebutlah yang mewarnai azas-azas perkembangan pembelajaran bahasa, baik bahasa pertama maupun bahasa kedua.
Filsafat juga sangat mempengaruhi proses pengembangan kurikulum. Bahkan, sebuah kurikulum baru, biasanya diwarnai oleh aliran filsafat tertentu. Richards (2001) mengatakan bahwa pengembangan sebuah kurikulum biasanya melewati tiga tahapan penting, yaitu; 1) tahap perencanaan (presage), 2) tahap pelaksanaan (development), 3) tahap implementasi (implementation). Pada tahap perencanaan, ada tiga cabang ilmu yang harus dikaji, yaitu: filsafat, sosiologi, dan psikologi. Dari aspek filosofis, ada tiga cabang utama filsafat yang selalu menjadi bahan pertimbangan, yaitu; aspek ontology, aspek epistemology, dan aspek axiology (Print, 1993).
Dari aspek ontology, filsafat mendorong pembelajaran untuk mendekatkan pembelajaran bahasa dengan realitas, baik melalui fakta empiric maupun fakta rasional. Sedangkan dari aspek epistemology, filsafat memberikan ruang kepada pembelajaran bahasa untuk menetapkan kebenaran (rule) sendiri sesuai dengan aturan dan kaidah bahasa itu sendiri, baik sebagai bahasa pertama maupun bahasa kedua. Sedangkan dari aspek axiology, filsafat mendorong pembelajaran bahasa untuk berperan aktif dalam menanamkan nilai-nilai, terutama nilai-nilai kemanusiaan karena bahasa adalah cerminan dari manusia.
3.      Pengaruh Filsafat terhadap Pembelajaran Bahasa 4.0
Dalam sejarah perkembangannya, paradigma pembelajaran bahasa sebenarnya tidak terlepas dari pengaruh beliefs, terutama beliefs para ahli bahasa terhadap bahasa itu sendiri (Graves, 2000). Beliefs Skinner dan kawan-kawan terhadap bahasa telah melahirkan teori bahasa behaviorisme. Beliefs Jean Piguet dan kawan-kawan terhadap bahasa melahirkan teori kognitiveisme. Beliefs Bloom dan kawan-kawan melahirkan teori humanisme. Beliefs Landa dan kawan-kawan melahirkan teori Sibernetik. Terakhir, beliefs Chomsky terhadap bahasa juga melahirkan teori mentalis dan pembelajaran yang konstruktif.
Semua teori-teori dasar pembelajaran berbahasa di atas pada hakikatnya adalah pemikiran filosofis ahli tentang hakikat dari bahasa dan pembelajaran berbahasa. Kita tidak bisa mengesampingkan salah satu teori di atas dan mengatakannya tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman. Sebab, hingga era revolusi industry 4.0 ini, semua teori-teori di atas tidak bisa dipisahkan dengan kurikulum pembelajaran bahasa saat ini, seperti kurikulum 2013 yang dikembangkan dan dilaksanakan di Indonesia.  
Kurikulum 2013 merupakan wujud dari upaya pemerintah Indonesia untuk menjawab tantangan era industri 4.0. Kurikulum 2013 ini menuntut peran yang lebih dari filsafat untuk membangun masyarakat Indonesia yang cerdas. Tuntutan itu jelas tersirat dalam berbagai istilah yang dimunculkan, seperti; pembelajaran berbasis text, penalaran inductive, pendekatan scientific, hingga pembelajaran berbasis kompetensi (competencies-based learning) yang menuntut pembelajaran bahasa mampu merubah kognitiv, psikomotor, dan afektif pembelajar bahasa di Indonesia.
Khusus terkait pembelajaran bahasa berbasis kompetensi, jelas terhubung dengan teori-teori filsafat di atas. Kompetensi kognitif terhubung langsung dengan teori kognitif dan teori sibernetik. Kompetensi psikomotor terhubung langsung dengan teori behaviourisme. Kompetensi afektif terhubung langsung dengan teori humanisme dan teori mentalis. Artinya, bahasa tidak bisa dikatakan berubah dalam artian, kedatangan yang baru menghilangkan yang lama. Bahasa berkembang melengkapi atau menyempurnakan bentuk yang lama. Begitu juga dengan kurikulum bahasa, perubahan kurikulum tidak bisa dipahami sebagai pergantian yang baru dengan yang lama. Akan tetapi, pengembangan yang lama menuju bentuk yang saat ini dianggap paling sesuai dengan kondisi yang ada.
Di samping itu, peran filsafat juga sangat terasa pada skop pembelajaran bahasa yang dikatakan oleh Hallyday (dalam Saragih, 2019), yaitu; learning language, learning about language, dan learning through language. Melalui learning language, pembelajaran berbahasa dituntut untuk memahami bahwa bahasa itu ada aturan, di mana aturan tersebut merupakan bagian dari cara berpikir penutur asli bahasa terkait tentang bahasa yang dapat dipahami dengan learning about language. Pada akhirnya, melalui learning through language, pembelajaran bahasa memberikan arah bagi pembelajar bahwa bahasa adalah jendela ilmu, bahasa adalah pintu yang bisa menghubungkan manusia dengan dunia.    

Daftar Pustaka
Kathleen Graves. 2000. Designing Language Course: a Guide for Teachers. USA: Heinle Cengage learning.
Print, Murray. 1993. Curriculum Development and Design: Second Edition.  Australia: Allen & Unwin.
Richards, Jack C. 2001. Curriculum Development in Language Teaching. New York: Cambridge University Press.
Saragih, Amrin. 2019. “Tema-Tema Penilitian Bahasa untuk Disertasi”. FBS UNP (tidak diterbitkan).
Sudarsono. 2008. Filsafat Ilmu: Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.

No comments:

Post a Comment