Saya hanyalah seorang
penikmat siaran sepak bola di televisi yang termotivasi oleh keindahan bukan
kemenangan. Oleh karena itu, negara-negara penganut filosofi sepak bola indah
seperti Argentina, Brazil, Spanyol tetap memuaskan saya meskipun yang mereka berikan
adalah kekalahan. Hal ini juga saya rasakan saat menyaksikan final Copa
Del Reybertajuk El-Clasico (Barcelona vs. Real Madrid)
beberapa hari yang lalu. Meskipun keduanya adalah tim kesukaan saya, tapi kasih
saya lebih tercurah ke Barcelona. Barca lebih indah dalam pandangan saya.
Sehingga, meskipun kalah saat itu, saya tetap puas dengan Barcelona.
Karena Copa Del Rey telah berlalu, nalauri bola sayapun mulai
tidur. Bacaan saya tidak lagi bolanews.com dan goal.com,
tapi berganti dengan kompas.com dan detic.com. Tak
sengaja, saya terbaca berita tentang pelaksanaan Ujian Nasional (UN). Beritanya
tak kalah seru dengan El-Clasico Copa Del Rey kemarin.
Bedanya, berita El-Clasico Copa Del Rey menyisakan kepuasan dan kebanggaan, UN
justru menyisakan kebalikannya, ketegangan dan atmosfir memalukan. Setidaknya
begitulah yang tercermin dari berita yang didominasi oleh info kecurangan
selama pelaksanaan UN.
Saya menyaksikan El-Clasico Copa Del Rey dari
awal sampai akhir. Sebagai penonton, saya melihat bahwa terdapat banyak
pelanggaran, baik yang terawasi dengan baik oleh wasit maupun tidak. Bahkan,
pemain sekaliber Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo pun melakukan pelanggaran
dan kecurangan. Akan tetapi, usai pertandingan, kedua tim tetap bangga dengan
kemenangan dan kekalahannya. Piala penting, namun yang terpenting adalah bisa
mengeluarkan kemampuan terbaik. Ini bisa terlihat jelas dari apresiasi dan
kepercayaan masyarakat dunia terhadap laga tersebut.
Mengenai apresiasi, menurut saya ini sangat menarik. Kenapa kecurangan
yang dilakukan Messi ataupun Ronaldo (pemain), pengawasan wasit yang kurang
baik, strategi negatif yang diterapkan tidak menyurutkan apresiasi dan
kepercayaan masyarakat dunia terhadap laga tersebut? Atau kenapa hal-hal
negatif tersebut tidak lantas menjadi make up yang membentuk
wajah sepak bola Spanyol? Jawabannya menurut saya sederhana saja, karena
masyarakat tersebut, mulai dari penonton hingga media paham betul dengan tempat
mereka sebagai penonton. Sangat bertolak belakang dengan media dan penonton di
media-media yang belakangan saya baca. Khususnya tentang UN.
Yang tersisa dari UN, siswa, guru, pihak sekolah, pengawas, semuanya curang, semua tidak becus, dan itulah wajah pendidikan Indonesia. Begitulah opini yang terbentuk dari berita-berita seputar UN yang dilansir media. Jika El-Clasico Copa Del Rey di Spanyol menyisakan kepuasaan dan kebanggaan bagi pemain dan penontonnya, UN di negaraku tercinta malah menyisakan beban, baik bagi siswa maupun bagi masyarakat. Jadi, kalau pemain Barcelona bisa keluar lapangan dengan kebanggaan dan kepala tegak meskipun kalah, karena media dan penonton lebih menyoroti perjuangan mereka ketimbang kecurangan yang mereka lakukan. Sementara peserta UN, keluar dengan kepala tertunduk seraya merafal do'a; 1) mudah-mudahan lulus,2) mudah-mudah media dan masyarakat lebih menghargai usaha saya ketimbang menyoroti kecurangan yang saya lakukan.
Yang tersisa dari UN, siswa, guru, pihak sekolah, pengawas, semuanya curang, semua tidak becus, dan itulah wajah pendidikan Indonesia. Begitulah opini yang terbentuk dari berita-berita seputar UN yang dilansir media. Jika El-Clasico Copa Del Rey di Spanyol menyisakan kepuasaan dan kebanggaan bagi pemain dan penontonnya, UN di negaraku tercinta malah menyisakan beban, baik bagi siswa maupun bagi masyarakat. Jadi, kalau pemain Barcelona bisa keluar lapangan dengan kebanggaan dan kepala tegak meskipun kalah, karena media dan penonton lebih menyoroti perjuangan mereka ketimbang kecurangan yang mereka lakukan. Sementara peserta UN, keluar dengan kepala tertunduk seraya merafal do'a; 1) mudah-mudahan lulus,2) mudah-mudah media dan masyarakat lebih menghargai usaha saya ketimbang menyoroti kecurangan yang saya lakukan.
Saya menulis ini bukan membenarkan kecurangan yang terjadi. Akan
tetapi, untuk mengajak kita supaya lebih bijak dalam beropini dan memahami
tempat masing-masing. Kecurangan adalah bagian dari masalah mentalitas
kemanusiaan yang ada di dunia mana saja. Apakah tidak terlalu dzalim melemahkan
UN dengan masalah universal seperti itu????Apakah tidak lebih baik mengambil
sikap dengan membantu sesuai dengan tempat masing-masing, dan percaya kepada
kemampuan orang-orang yang bekerja di tempatnya masing-masing.
No comments:
Post a Comment