Tuesday, August 14, 2012

UN dan Beban


Saya hanyalah seorang penikmat siaran sepak bola di televisi yang termotivasi oleh keindahan bukan kemenangan. Oleh karena itu, negara-negara penganut filosofi sepak bola indah seperti Argentina, Brazil, Spanyol tetap memuaskan saya meskipun yang mereka berikan adalah kekalahan.  Hal ini juga saya rasakan saat menyaksikan final Copa Del Reybertajuk El-Clasico (Barcelona vs. Real Madrid) beberapa hari yang lalu. Meskipun keduanya adalah tim kesukaan saya, tapi kasih saya lebih tercurah ke Barcelona. Barca lebih indah dalam pandangan saya. Sehingga, meskipun kalah saat itu, saya tetap puas dengan Barcelona.
Karena Copa Del Rey telah berlalu, nalauri bola sayapun mulai tidur. Bacaan saya tidak lagi bolanews.com dan goal.com, tapi berganti dengan kompas.com dan detic.com. Tak sengaja, saya terbaca berita tentang pelaksanaan Ujian Nasional (UN). Beritanya tak kalah seru dengan El-Clasico Copa Del Rey kemarin. Bedanya, berita El-Clasico Copa Del Rey menyisakan kepuasan dan kebanggaan, UN justru menyisakan kebalikannya, ketegangan dan atmosfir memalukan. Setidaknya begitulah yang tercermin dari berita yang didominasi oleh info kecurangan selama pelaksanaan UN.
Saya menyaksikan El-Clasico Copa Del Rey dari awal sampai akhir. Sebagai penonton, saya melihat bahwa terdapat banyak pelanggaran, baik yang terawasi dengan baik oleh wasit maupun tidak. Bahkan, pemain sekaliber Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo pun melakukan pelanggaran dan kecurangan. Akan tetapi, usai pertandingan, kedua tim tetap bangga dengan kemenangan dan kekalahannya. Piala penting, namun yang terpenting adalah bisa mengeluarkan kemampuan terbaik. Ini bisa terlihat jelas dari apresiasi dan kepercayaan masyarakat dunia terhadap laga tersebut.
Mengenai apresiasi, menurut saya ini sangat menarik. Kenapa kecurangan yang dilakukan Messi ataupun Ronaldo (pemain), pengawasan wasit yang kurang baik, strategi negatif yang diterapkan tidak menyurutkan apresiasi dan kepercayaan masyarakat dunia terhadap laga tersebut? Atau kenapa hal-hal negatif tersebut tidak lantas menjadi make up yang membentuk wajah sepak bola Spanyol? Jawabannya menurut saya sederhana saja, karena masyarakat tersebut, mulai dari penonton hingga media paham betul dengan tempat mereka sebagai penonton. Sangat bertolak belakang dengan media dan penonton di media-media yang belakangan saya baca. Khususnya tentang UN.
Yang tersisa dari UN, siswa, guru, pihak sekolah, pengawas, semuanya curang, semua tidak becus, dan itulah wajah pendidikan Indonesia. Begitulah opini yang terbentuk dari berita-berita seputar UN yang dilansir media. Jika El-Clasico Copa Del Rey  di Spanyol menyisakan kepuasaan dan kebanggaan bagi pemain dan penontonnya, UN di negaraku tercinta malah menyisakan beban, baik bagi siswa maupun bagi masyarakat. Jadi, kalau pemain Barcelona bisa keluar lapangan dengan kebanggaan dan kepala tegak meskipun kalah, karena media dan penonton lebih menyoroti perjuangan mereka ketimbang kecurangan yang mereka lakukan. Sementara peserta UN, keluar dengan kepala tertunduk seraya merafal do'a; 1) mudah-mudahan lulus,2) mudah-mudah media dan masyarakat lebih menghargai usaha saya ketimbang menyoroti kecurangan yang saya lakukan.
Saya menulis ini bukan membenarkan kecurangan yang terjadi. Akan tetapi, untuk mengajak kita supaya lebih bijak dalam beropini dan memahami tempat masing-masing. Kecurangan adalah bagian dari masalah mentalitas kemanusiaan yang ada di dunia mana saja. Apakah tidak terlalu dzalim melemahkan UN dengan masalah universal seperti itu????Apakah tidak lebih baik mengambil sikap dengan membantu sesuai dengan tempat masing-masing, dan percaya kepada kemampuan orang-orang yang bekerja di tempatnya masing-masing.

No comments:

Post a Comment