Tuesday, August 14, 2012

Fatwa, Jiwa dan Isu


Awalnya saya tidak terusik sedikitpun dengan fatwa MUI tentang pengharaman hukum merokok. Saya berpikir, merokok hanyalah bagian dari dilema antara masalah individu dengan masalah sosial. Ada individu yang suka, ada individu yang tidak suka, ada sosial yang suka dan ada juga sosial yang tidak suka. Pendek kata, merokok adalah kisah klasik “the right man in the right place atau the wrong man in the wrong place”. Bukan masalah krusial yang bisa menyentuh ranah sensitif dalam agama, yang mesti dipalu dengan hukum halal-haram. Makruh rasanya adalah yang terbaik, tentunya dengan pertimbangan sebagai jalan keluar dari dilema antara masalah individu yang pro dengan individu yang kontra, ataupun antara sosial yang pro dengan sosial yang kontra.
Temuan seorang peneliti asing seputar kandungan darah babi dalam filter rokok seolah menambah rumit dilema di atas. Sangat tidak sesuai dengan hakikat penelitian itu sendiri, yaitu membuat sesuatu jadi jelas, bahkan, kalau bisa mencarikan solusinya yang lebih bijak. Hal ini berawal dari sikap yang diambil Majelis Ulama Indonesia (selanjutnya; MUI) dalam menindaklanjuti hasil penelitian tersebut. Entah sebagai kewaiban atau kepedulian, MUI pun bereaksi dengan fatwanya, palu dipukul...”merokok haram”. Sayangnya, tidak secara detail menerangkan, rokok apa-apa saja yang mengandung darah babi tersebut (paling tidak, sosialisasinya sangat kurang). Akhirnya, fatwa ini bukan memberikan pencerahan, malah menimbulkan pertentangan di dalam masyarakat. Persis seperti sebuah isu atau trend dalam kehidupan sosil-budaya, yang ujung-ujungnya memunculkan dilema baru di dalam masyarakat.
Saya mencermati masalah ini sebagai pertanda dari tumpulnya “palu” (baca; fatwa) ulama. Kenapa fatwa dipukulkan ke tengah-tengah masyarakat umum (secara umum awam dalam masalah ini)?, tidak kepada produsen yang mestinya bertanggung jawab? Barangkali, palu MUI sama seperti palu yang dibeli teman saya di Gazibu, hanya mampu memukul dinding yang keropos, tapi tidak paku yang kuat, yang jelas-jelas adalah inti dari segalanya. Interpretasi ini saya angkat, karena gerah dengan lagu lama; kebiasaan memperhatikan hal-hal kecil, melupakan hal yang besar. Kata salah seorang dosen saya, suka “membesarkan” yang kecil daripada “memperkecil” yang besar. Simpulannya, berhentilah melemparkan trend/ isu seperti ini, karena masyarakat kita sudah punya banyak masalah. Fatwa adalah sesuatu yang suci dan tulus, jangan sampai dinodai gara-gara kecerobohan kita.
Belakangan ini, masyarakat dunia dikejutkan oleh kasus sebuah “perusahaan raksasa” di Amerika. Mengetahui bahwa produk perusahaan yang telah dipasarkan di Amerika cacat, Badan Perlindungan Konsumen Negara itu langsung bergerak cepat, tepat dan akurat. Mereka tidak melemparkan fatwa ke masyarakat (apalagi dengan membuat perubahan dalam aturan), tetapi langsung meminta pertanggungjawaban produsen. Inilah yang saya rasa merupakan fatwa yang benar, fatwa yang memberikan pencerahan menuju proses penyelesaian. Masyarakat merasa dilindungi oleh pihak yang berwenang, produsen mendapat ganjaran sekaligus pelajaran, para pekerja yang mengantungkan hidup dan cita-cita anak istri di perusahaan terkaitpun, tidak digerogoti kecemasan dan keputus-asaan. Pendek kata, kalau MUI mau belajar dari sini, tanpa fatwa pun, masyarakat akan akan angkat jempol dan manut kepada MUI, bahkan barangkali akan menjadikan MUI sebagai panutan untuk menjalani masa-masa yang akan datang.
Terlepas dari konteks social-politik di atas, saya juga mempunyai pertimbangan yang agak religius (paling tidak menurut saya yang lagi sok religius). Pertimbangan ini berawal dari dilema yang terjadi di dalam diri saya sendiri, tepatnya kegelisahan dalam menemukan motivasi. Ada sebuah pertanyaan besar yang mengganggu saya ketika akan memproduksi tulisan ini, yaitu , apakah karena saya seorang perokok, lalu saya bisa menuliskan opini ini? Pertanyaan lazim ini terasa sangat mengganggu, karena saya rasa pikiran ini juga pasti akan bermunculan di benak setiap pembaca ketika membaca tulisan ini, bahkan mungkin akan ada yang berkesan ekstrim, “biasa....selalu ada alasan untuk membenarkan keinginan ataupun membela diri”.
Mengenai hal ini, saya rasa, saya sangat memaklumi. Akan tetapi, sayapun tentunya berhak untuk menyampaikan pandangan, paling tidak sekedar menjawab pertanyaan pada paragraf sebelumnya. Jawaban saya “bisa iya, bisa juga tidak”. Iya karena memang saya adalah seorang perokok, dan tidak adalah karena tulisan ini adalah panggilan jiwa dan pikiran liar yang menggerakkan saya. Saya memahami ini sebagai salah satu dari bentuk kegiatan berpikir kritis, yang dalam alquran malah dianjurkan untuk dijalankan oleh manusia, sebagai manifestasi dari ulul albab. Artinya, mungkin bagi orang, ini adalah sebuah pembangkangan, tapi bagi saya ini adalah the way of ulul albab. Dan jika pembaca berkenan, tolong pahami saya dari jalan tersebut.
Saya tidak begitu tahu tentang asal-usul rokok, tapi, paling tidak semua kita tahu bahwa sebelum Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa merokok itu haram, hukum merokok adalah makruh. Karena itu, di tengah ributnya risau yang memenuhi perasaan, saya bertanya, apakah hukum merokok makruh adalah fatwa ulama juga, atau sudah ada semenjak jaman nabi Muhammad SAW? Kalau sudah ada semenjak jaman nabi, maka tidak ada yang perlu diperdebatkan lagi. Akan tetapi, kalau merupakan fatwa para ulama terdahulu, maka wajar saja fatwa yang sekarang menjadi perdebatan. Karena, pertentangan ataupun yang muncul di dalam masyarakat ini, bisa diasumsikan sebagai berikut; 1) Cerminan dari kondisi ulama itu sendiri, 2) Cerminan ketidakpercayaan masyarakat terhadap ulama, 3) Cerminan dari masyarakat yang rapuh.
Terlepas dari keterangan di atas, di dalam ajaran tarikat dikatakan bahwa pada dasarnya hukum Islam hanya terdiri dari tiga jenis, yaitu halal, haram, dan makruh. Jadi, jika seandainya sebagai warga negara Indonesia kita dilarang mengusik hukum dasar yang telah diatur Pancasila dan UUD 1945, kenapa sebagai muslim kita berani mengusik hukum dasar Islam??? Catatan di sini adalah jika merokok itu sudah makruh hukumnya semenjak jaman nabi Muhammad SAW.
Di akhir, mohon maaf kepada pembaca, karena yang berikut khusus saya peruntukkan buat pembaca, yang tentunya banyak yang berpengetahuan lebih, lebih tua, dan lebih segala-galanya dibandingkan saya. Masih ingatkah saudara-saudara pembaca dengan kasus poligami AA Gym dan kasus Syaikh Fuji??? Dua orang ini boleh dikatakan sandaran tempat mengadu dari banyak orang, baik secara ekonomi, sosial, budaya dan agama. Akibat dari kebiasaan kita yang suka menonjolkan dan membesar-besarkan hal-hal yang kecil, berapa banyak orang yang barangkali jadi tersesat dan terlantar karena tidak lagi bisa mengadu kepada mereka?Pendek kata, sebelum fatwa ini merugikan ratusan bahkan mungkin ribuan pekerja perusahaan rokok, alangkah baiknya MUI bersama dengan Badan Perlindungan Konsumen langsung menuntut perusahaan untuk mempertanggungjawabkan yang terjadi kepada para konsumen, dalam hal ini tentunya para ahli hisab (sebutan saya buat smoker muslim). Sebelum nanti, menuai pahala dari tuhan atas orang-orang yang telah diselamatkan, atau sebaliknya mempertanggungjawabkan kepada tuhan tentang orang-orang yang ditelantarkan dengan sebuah kecerobohan dalam mengambil keputusan.
Simak baik-baik analogi berikut; kalau seandainya Anda membeli sebuah baju, lalu tidak pas ketika dipakai, maka, janganlah lemak di badan yang Anda sedot. Akan lebih baik, kembalikan baju ke toko, lalu minta pengganti yang pas, jangan diri yang dipertaruhkan, apalagi korp (MUI). Sesuai dengan pesan angku Yus Datuak Parpatih; kupiah nan kaketekan, manga kapalo nan ditarah.

No comments:

Post a Comment