Awalnya
saya tidak terusik sedikitpun dengan fatwa MUI tentang pengharaman hukum
merokok. Saya berpikir, merokok hanyalah bagian dari dilema antara masalah
individu dengan masalah sosial. Ada individu yang suka, ada individu yang tidak
suka, ada sosial yang suka dan ada juga sosial yang tidak suka. Pendek kata,
merokok adalah kisah klasik “the right man in the right place atau the wrong
man in the wrong place”. Bukan masalah krusial yang bisa menyentuh ranah
sensitif dalam agama, yang mesti dipalu dengan hukum halal-haram. Makruh
rasanya adalah yang terbaik, tentunya dengan pertimbangan sebagai jalan keluar
dari dilema antara masalah individu yang pro dengan individu yang kontra,
ataupun antara sosial yang pro dengan sosial yang kontra.
Temuan
seorang peneliti asing seputar kandungan darah babi dalam filter rokok seolah
menambah rumit dilema di atas. Sangat tidak sesuai dengan hakikat penelitian
itu sendiri, yaitu membuat sesuatu jadi jelas, bahkan, kalau bisa mencarikan
solusinya yang lebih bijak. Hal ini berawal dari sikap yang diambil Majelis
Ulama Indonesia (selanjutnya; MUI) dalam menindaklanjuti hasil penelitian
tersebut. Entah sebagai kewaiban atau kepedulian, MUI pun bereaksi dengan
fatwanya, palu dipukul...”merokok haram”. Sayangnya, tidak secara detail
menerangkan, rokok apa-apa saja yang mengandung darah babi tersebut (paling
tidak, sosialisasinya sangat kurang). Akhirnya, fatwa ini bukan memberikan
pencerahan, malah menimbulkan pertentangan di dalam masyarakat. Persis seperti
sebuah isu atau trend dalam kehidupan sosil-budaya, yang ujung-ujungnya
memunculkan dilema baru di dalam masyarakat.
Saya
mencermati masalah ini sebagai pertanda dari tumpulnya “palu” (baca; fatwa)
ulama. Kenapa fatwa dipukulkan ke tengah-tengah masyarakat umum (secara umum
awam dalam masalah ini)?, tidak kepada produsen yang mestinya bertanggung
jawab? Barangkali, palu MUI sama seperti palu yang dibeli teman saya di Gazibu,
hanya mampu memukul dinding yang keropos, tapi tidak paku yang kuat, yang
jelas-jelas adalah inti dari segalanya. Interpretasi ini saya angkat, karena
gerah dengan lagu lama; kebiasaan memperhatikan hal-hal kecil, melupakan hal
yang besar. Kata salah seorang dosen saya, suka “membesarkan” yang kecil
daripada “memperkecil” yang besar. Simpulannya, berhentilah melemparkan trend/
isu seperti ini, karena masyarakat kita sudah punya banyak masalah. Fatwa
adalah sesuatu yang suci dan tulus, jangan sampai dinodai gara-gara kecerobohan
kita.
Belakangan
ini, masyarakat dunia dikejutkan oleh kasus sebuah “perusahaan raksasa” di
Amerika. Mengetahui bahwa produk perusahaan yang telah dipasarkan di Amerika
cacat, Badan Perlindungan Konsumen Negara itu langsung bergerak cepat, tepat
dan akurat. Mereka tidak melemparkan fatwa ke masyarakat (apalagi dengan
membuat perubahan dalam aturan), tetapi langsung meminta pertanggungjawaban
produsen. Inilah yang saya rasa merupakan fatwa yang benar, fatwa yang
memberikan pencerahan menuju proses penyelesaian. Masyarakat merasa dilindungi
oleh pihak yang berwenang, produsen mendapat ganjaran sekaligus pelajaran, para
pekerja yang mengantungkan hidup dan cita-cita anak istri di perusahaan
terkaitpun, tidak digerogoti kecemasan dan keputus-asaan. Pendek kata, kalau
MUI mau belajar dari sini, tanpa fatwa pun, masyarakat akan akan angkat jempol
dan manut kepada MUI, bahkan barangkali akan menjadikan MUI sebagai panutan
untuk menjalani masa-masa yang akan datang.
Terlepas
dari konteks social-politik di atas, saya juga mempunyai pertimbangan yang agak
religius (paling tidak menurut saya yang lagi sok religius). Pertimbangan ini
berawal dari dilema yang terjadi di dalam diri saya sendiri, tepatnya
kegelisahan dalam menemukan motivasi. Ada sebuah pertanyaan besar yang
mengganggu saya ketika akan memproduksi tulisan ini, yaitu , apakah karena saya
seorang perokok, lalu saya bisa menuliskan opini ini? Pertanyaan lazim ini
terasa sangat mengganggu, karena saya rasa pikiran ini juga pasti akan
bermunculan di benak setiap pembaca ketika membaca tulisan ini, bahkan mungkin
akan ada yang berkesan ekstrim, “biasa....selalu ada alasan untuk membenarkan
keinginan ataupun membela diri”.
Mengenai
hal ini, saya rasa, saya sangat memaklumi. Akan tetapi, sayapun tentunya berhak
untuk menyampaikan pandangan, paling tidak sekedar menjawab pertanyaan pada
paragraf sebelumnya. Jawaban saya “bisa iya, bisa juga tidak”. Iya karena
memang saya adalah seorang perokok, dan tidak adalah karena tulisan ini adalah
panggilan jiwa dan pikiran liar yang menggerakkan saya. Saya memahami ini
sebagai salah satu dari bentuk kegiatan berpikir kritis, yang dalam alquran
malah dianjurkan untuk dijalankan oleh manusia, sebagai manifestasi dari ulul
albab. Artinya, mungkin bagi orang, ini adalah sebuah pembangkangan, tapi bagi
saya ini adalah the way of ulul albab. Dan jika pembaca berkenan, tolong pahami
saya dari jalan tersebut.
Saya
tidak begitu tahu tentang asal-usul rokok, tapi, paling tidak semua kita tahu
bahwa sebelum Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa merokok itu haram,
hukum merokok adalah makruh. Karena itu, di tengah ributnya risau yang memenuhi
perasaan, saya bertanya, apakah hukum merokok makruh adalah fatwa ulama juga,
atau sudah ada semenjak jaman nabi Muhammad SAW? Kalau sudah ada semenjak jaman
nabi, maka tidak ada yang perlu diperdebatkan lagi. Akan tetapi, kalau
merupakan fatwa para ulama terdahulu, maka wajar saja fatwa yang sekarang
menjadi perdebatan. Karena, pertentangan ataupun yang muncul di dalam
masyarakat ini, bisa diasumsikan sebagai berikut; 1) Cerminan dari kondisi
ulama itu sendiri, 2) Cerminan ketidakpercayaan masyarakat terhadap ulama, 3)
Cerminan dari masyarakat yang rapuh.
Terlepas
dari keterangan di atas, di dalam ajaran tarikat dikatakan bahwa pada dasarnya
hukum Islam hanya terdiri dari tiga jenis, yaitu halal, haram, dan makruh.
Jadi, jika seandainya sebagai warga negara Indonesia kita dilarang mengusik
hukum dasar yang telah diatur Pancasila dan UUD 1945, kenapa sebagai muslim
kita berani mengusik hukum dasar Islam??? Catatan di sini adalah jika merokok
itu sudah makruh hukumnya semenjak jaman nabi Muhammad SAW.
Di
akhir, mohon maaf kepada pembaca, karena yang berikut khusus saya peruntukkan
buat pembaca, yang tentunya banyak yang berpengetahuan lebih, lebih tua, dan
lebih segala-galanya dibandingkan saya. Masih ingatkah saudara-saudara pembaca
dengan kasus poligami AA Gym dan kasus Syaikh Fuji??? Dua orang ini boleh
dikatakan sandaran tempat mengadu dari banyak orang, baik secara ekonomi,
sosial, budaya dan agama. Akibat dari kebiasaan kita yang suka menonjolkan dan
membesar-besarkan hal-hal yang kecil, berapa banyak orang yang barangkali jadi
tersesat dan terlantar karena tidak lagi bisa mengadu kepada mereka?Pendek
kata, sebelum fatwa ini merugikan ratusan bahkan mungkin ribuan pekerja
perusahaan rokok, alangkah baiknya MUI bersama dengan Badan Perlindungan
Konsumen langsung menuntut perusahaan untuk mempertanggungjawabkan yang terjadi
kepada para konsumen, dalam hal ini tentunya para ahli hisab (sebutan saya buat
smoker muslim). Sebelum nanti, menuai pahala dari tuhan atas orang-orang yang
telah diselamatkan, atau sebaliknya mempertanggungjawabkan kepada tuhan tentang
orang-orang yang ditelantarkan dengan sebuah kecerobohan dalam mengambil
keputusan.
Simak
baik-baik analogi berikut; kalau seandainya Anda membeli sebuah baju, lalu
tidak pas ketika dipakai, maka, janganlah lemak di badan yang Anda sedot. Akan
lebih baik, kembalikan baju ke toko, lalu minta pengganti yang pas, jangan diri
yang dipertaruhkan, apalagi korp (MUI). Sesuai dengan pesan angku Yus Datuak
Parpatih; kupiah nan kaketekan, manga kapalo nan ditarah.
No comments:
Post a Comment