Bahasa
dan budaya Jepang telah melintasi berbagai negara di dunia termasuk Indonesia.
Di samping keberadaan Jepang dalam sejarah Indonesia, keberadaan film Oshin,
anime/manga (Dora Emon, Dragon Ball, Naruto, One Piece), dan Harajuku style memang
terasa sekali pengaruhnya. Hampir semua anak muda di Indonesia mengetahui
Oshin, menyukai anime/manga di atas. Bahkan, sangat banyak anak muda Indonesia
yang mengganti stylenya meniru Harajuku style.
Disadari
atau tidak, hal-hal tersebut tentu meningkatkan ketertarikan mereka terhadap
bahasa dan budaya Jepang. Hal ini terbukti dengan terus meningkatnya jumlah
pembelajar bahasa Jepang di Indonesia. Saat ini, dari seluruh negara di dunia,
jumlah pembelajar bahasa Jepang di Indonesia berada pada rangking 2 (dua)
setelah China. Hal ini tentu menjadi perhatian serius bagi pemerintah Jepang.
Perhatian tersebut mereka wujudkan lewat pengiriman siswa dan guru/dosen bahasa
Jepang untuk belajar ke Jepang, mengirimkan tenaga ahli bahasa dan budaya
Jepang ke Indonesia untuk membantu guru/dosen, dan lain sebagainya.
Saya
adalah salah seorang yang mendapatkan kesempatan untuk mengikuti program
belajar di Jepang, tepatnya di Osaka, 27-10 s.d. 11-12-2014. Kami 11 orang dari
11 universitas pencetak guru di Indonesia diundang untuk mengikuti program
“Language Capacity Building” di The Japan Fondation Kansai Center, Kansai
Osaka. Di sini, kami menyaksikan bagaimana guru-guru Jepang mengajar, bagaimana
mngembangkan kurikulum bahasa Jepang, bagaimana memahami budaya dan masyarakat
Jepang melalui program home visit, interviu dengan warga sekitar center, interviu
dengan siswa SMA dan PT, mengajar di SD, praktek langsung upacara minum teh,
olah raga aikido, origami, taiko, kaligrafi, menonton noh dan kyokgen, dan lain
sebagainya.
Tujuan
utama dari semua program di atas adalah untuk mengumpulkan bahan yang bisa
dimanfaatkan sebagai bahan ajar nantinya di Indonesia. Karena itu, selama
mengikuti program itu, kami difasilitasi untuk bisa mengikuti dan kalau bisa
mendokumentasikan setiap program yang ada. Jika seandainya, kami tidak bisa
melakukan dokumentasi, pihak JF Kansai berusaha melobi pihak terkait dan
mengambil dokumentasi yang nantinya dibagikan kepada kami. Itulah bentuk nyata
dari dukungan JF terhadap pendidikan bahasa dan budaya Jepang di Indonesia.
Selama
mengikuti program ini, saya berinteraksi dengan berbagai orang dari berbagai
negara. Ada yang dari Jepang, Ethiopia, Bangladesh, Iran, Brazil, China, Bulgaria,
Jerman, Inggris, Laos, Thailan, Vietnam, Malaysia, dan lain sebagainya. Mereka
mengikuti program yang berbeda dengan kami, ada yang program gaikokan,
kenkyuusei, dan nihongo patona-zu (khusus orang Jepang). Dari semua yang saya
alami di sini, saya menangkap dua poin utama yang menurut saya sangat menarik,
yaitu: orang Jepang adalah masyarakat individualis yang berbudaya (berdasarkan
program interviu), tujuan pembelajaran bahasa Jepang menjadi lebih luas
(bedasarkan program pengembangan kurikulum dan hidup di center).
Pertama,
orang Jepang adalah masyarakat individualis yang berbudaya. Maksudnya adalah,
bahwa kesadaran berbudaya orang Jepang tidak didasari oleh kesadaran akan
pentingnya hubungan sosial. Tapi, didasari oleh kesadaran terhadap qodrat individual
yang tinggi, yaitu kesadaran akan potensi baik dan buruk yang selalu melekat
pada tiap diri manusia, kekuatiran akan lebih menonjolnya potensi negatif dari
pada yang positif yang tentunya berujung pada malu bahkan turunnya harga diri.
Hal ini terlihat saat kami menanyakan kepada mereka tentang artinya
teman/keberadaan orang sekitar bagi mereka. Mereka menjawab, tidak ada teman
pun tidak apa-apa. Bahkan, seorang mahasiswi yang diwawancarai teman saya mengatakan
bahwa suatu ketika, pada musim salju, saat kesulitan membayar sewa
apartemen/listrik, dia tidak mau meminta bantuan orang tuanya, apa lagi camping
ke tempat temannya. Alasannya, dia malu, karena ini adalah masalah individu
yang harusnya bisa dia perkirakan, atur dan selesaikan sendiri. Saya
benar-benar kagum sekaligus miris mendengarnya.
Keindividuan
yang seperti ini membentuk mereka menjadi pribadi yang ulet, efektif, hemat,
dan sangat detail. Mereka jadi enggan dibantu apa lagi meminta bantuan. Sekali
dibantu mereka seperti tertekan untuk balik membantu orang yang telah
membantunya. Bahkan, pada hari pertama, seorang sopir membantu mahasiswa yang
tertatih-tatih mengangkat tas yang isinya terlalu berat, tas itu sedikit rusak
talinya. Si yang punya tas sudah menyampaikan bahwa itu tidak ada sangkut
pautnya dengan pak sopir. Memang tasnya yang tidak kuat. Sejak saat itu, saya
pikir, semua sudah selesai.
Akan tetapi,
yang terjadi setelah sebulan berada di sini mengejutkan saya. Ketika berada
dalam perjalanan ke mall terdekat. Pak sopir berbicara banyak dengan saya, dia
menanyakan pada saya bagaimana anak yang tasnya rusak itu, saya mau memberi dia
tas karena saya punya tiga tas seperti itu, katanya pada saya. Meskipun saya
terangkan bahwa semua baik-baik saja, dia tetap memohon agar saya mau membujuk
anak tersebut agar mau menerimanya. Pada akhirnya dia berkata, meskipun itu
kecelakaan, tapi itu pekerjaan saya, jadi tanggung jawab saya seutuhnya. Terus
terang, saat itu air mata saya beriak, agar tidak ketahuan, saya langsung ijin
untuk memanggil anak itu.
Kedua,
tujuan belajar bahasa Jepang jadi lebih luas, terutama jika dilihat dari sudut
pandang pengajar. Jika semula tujuannya adalah untuk bisa berbahasa dengan
bahasa Jepang yang baik dan benar. Sekarang berkembang menjadi bisa menjalin
hubungan yang baik dan benar. Tidak hanya dengan orang Jepang, tapi dengan
seluruh masyarakat yang terkait dengan Jepang. Barangkali, inilah makna dari
kompetensi pemahaman lintas budaya yang menjadi penambahan kompetensi baru di
dalam kurikulum bahasa Jepang yang baru. Saya menangkap ini tidak hanya secara
teoritis dari kompetensi yang dimasukkan ke dalam kurikulum baru. Tapi, saya
juga manangkapnya secara langsung dalam kehidupan bersama teman-teman dari
berbagai negara, ketika belajar dan bekerja sama mengenakan hakama dan berlatih
aikido. Saat itu terasa sekali, bahwa ketika menjalin hubungan dan bekerja sama,
bahasa saja tidak cukup. Ada aspek lain yang perannya sama besarnya dengan
bahasa, yaitu kemampuan bermasyarakat leawat alam/benda yang ada di sekitar,
terutama yang berhubungan dengan budaya.
No comments:
Post a Comment