Thursday, December 18, 2014

Individualisme dan Budaya Jepang

Bahasa dan budaya Jepang telah melintasi berbagai negara di dunia termasuk Indonesia. Di samping keberadaan Jepang dalam sejarah Indonesia, keberadaan film Oshin, anime/manga (Dora Emon, Dragon Ball, Naruto, One Piece), dan Harajuku style memang terasa sekali pengaruhnya. Hampir semua anak muda di Indonesia mengetahui Oshin, menyukai anime/manga di atas. Bahkan, sangat banyak anak muda Indonesia yang mengganti stylenya meniru Harajuku style.
Disadari atau tidak, hal-hal tersebut tentu meningkatkan ketertarikan mereka terhadap bahasa dan budaya Jepang. Hal ini terbukti dengan terus meningkatnya jumlah pembelajar bahasa Jepang di Indonesia. Saat ini, dari seluruh negara di dunia, jumlah pembelajar bahasa Jepang di Indonesia berada pada rangking 2 (dua) setelah China. Hal ini tentu menjadi perhatian serius bagi pemerintah Jepang. Perhatian tersebut mereka wujudkan lewat pengiriman siswa dan guru/dosen bahasa Jepang untuk belajar ke Jepang, mengirimkan tenaga ahli bahasa dan budaya Jepang ke Indonesia untuk membantu guru/dosen, dan lain sebagainya.

Saya adalah salah seorang yang mendapatkan kesempatan untuk mengikuti program belajar di Jepang, tepatnya di Osaka, 27-10 s.d. 11-12-2014. Kami 11 orang dari 11 universitas pencetak guru di Indonesia diundang untuk mengikuti program “Language Capacity Building” di The Japan Fondation Kansai Center, Kansai Osaka. Di sini, kami menyaksikan bagaimana guru-guru Jepang mengajar, bagaimana mngembangkan kurikulum bahasa Jepang, bagaimana memahami budaya dan masyarakat Jepang melalui program home visit, interviu dengan warga sekitar center, interviu dengan siswa SMA dan PT, mengajar di SD, praktek langsung upacara minum teh, olah raga aikido, origami, taiko, kaligrafi, menonton noh dan kyokgen, dan lain sebagainya.
Tujuan utama dari semua program di atas adalah untuk mengumpulkan bahan yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan ajar nantinya di Indonesia. Karena itu, selama mengikuti program itu, kami difasilitasi untuk bisa mengikuti dan kalau bisa mendokumentasikan setiap program yang ada. Jika seandainya, kami tidak bisa melakukan dokumentasi, pihak JF Kansai berusaha melobi pihak terkait dan mengambil dokumentasi yang nantinya dibagikan kepada kami. Itulah bentuk nyata dari dukungan JF terhadap pendidikan bahasa dan budaya Jepang di Indonesia.
Selama mengikuti program ini, saya berinteraksi dengan berbagai orang dari berbagai negara. Ada yang dari Jepang, Ethiopia, Bangladesh, Iran, Brazil, China, Bulgaria, Jerman, Inggris, Laos, Thailan, Vietnam, Malaysia, dan lain sebagainya. Mereka mengikuti program yang berbeda dengan kami, ada yang program gaikokan, kenkyuusei, dan nihongo patona-zu (khusus orang Jepang). Dari semua yang saya alami di sini, saya menangkap dua poin utama yang menurut saya sangat menarik, yaitu: orang Jepang adalah masyarakat individualis yang berbudaya (berdasarkan program interviu), tujuan pembelajaran bahasa Jepang menjadi lebih luas (bedasarkan program pengembangan kurikulum dan hidup di center).
Pertama, orang Jepang adalah masyarakat individualis yang berbudaya. Maksudnya adalah, bahwa kesadaran berbudaya orang Jepang tidak didasari oleh kesadaran akan pentingnya hubungan sosial. Tapi, didasari oleh kesadaran terhadap qodrat individual yang tinggi, yaitu kesadaran akan potensi baik dan buruk yang selalu melekat pada tiap diri manusia, kekuatiran akan lebih menonjolnya potensi negatif dari pada yang positif yang tentunya berujung pada malu bahkan turunnya harga diri. Hal ini terlihat saat kami menanyakan kepada mereka tentang artinya teman/keberadaan orang sekitar bagi mereka. Mereka menjawab, tidak ada teman pun tidak apa-apa. Bahkan, seorang mahasiswi yang diwawancarai teman saya mengatakan bahwa suatu ketika, pada musim salju, saat kesulitan membayar sewa apartemen/listrik, dia tidak mau meminta bantuan orang tuanya, apa lagi camping ke tempat temannya. Alasannya, dia malu, karena ini adalah masalah individu yang harusnya bisa dia perkirakan, atur dan selesaikan sendiri. Saya benar-benar kagum sekaligus miris mendengarnya.
Keindividuan yang seperti ini membentuk mereka menjadi pribadi yang ulet, efektif, hemat, dan sangat detail. Mereka jadi enggan dibantu apa lagi meminta bantuan. Sekali dibantu mereka seperti tertekan untuk balik membantu orang yang telah membantunya. Bahkan, pada hari pertama, seorang sopir membantu mahasiswa yang tertatih-tatih mengangkat tas yang isinya terlalu berat, tas itu sedikit rusak talinya. Si yang punya tas sudah menyampaikan bahwa itu tidak ada sangkut pautnya dengan pak sopir. Memang tasnya yang tidak kuat. Sejak saat itu, saya pikir, semua sudah selesai.
Akan tetapi, yang terjadi setelah sebulan berada di sini mengejutkan saya. Ketika berada dalam perjalanan ke mall terdekat. Pak sopir berbicara banyak dengan saya, dia menanyakan pada saya bagaimana anak yang tasnya rusak itu, saya mau memberi dia tas karena saya punya tiga tas seperti itu, katanya pada saya. Meskipun saya terangkan bahwa semua baik-baik saja, dia tetap memohon agar saya mau membujuk anak tersebut agar mau menerimanya. Pada akhirnya dia berkata, meskipun itu kecelakaan, tapi itu pekerjaan saya, jadi tanggung jawab saya seutuhnya. Terus terang, saat itu air mata saya beriak, agar tidak ketahuan, saya langsung ijin untuk memanggil anak itu.

Kedua, tujuan belajar bahasa Jepang jadi lebih luas, terutama jika dilihat dari sudut pandang pengajar. Jika semula tujuannya adalah untuk bisa berbahasa dengan bahasa Jepang yang baik dan benar. Sekarang berkembang menjadi bisa menjalin hubungan yang baik dan benar. Tidak hanya dengan orang Jepang, tapi dengan seluruh masyarakat yang terkait dengan Jepang. Barangkali, inilah makna dari kompetensi pemahaman lintas budaya yang menjadi penambahan kompetensi baru di dalam kurikulum bahasa Jepang yang baru. Saya menangkap ini tidak hanya secara teoritis dari kompetensi yang dimasukkan ke dalam kurikulum baru. Tapi, saya juga manangkapnya secara langsung dalam kehidupan bersama teman-teman dari berbagai negara, ketika belajar dan bekerja sama mengenakan hakama dan berlatih aikido. Saat itu terasa sekali, bahwa ketika menjalin hubungan dan bekerja sama, bahasa saja tidak cukup. Ada aspek lain yang perannya sama besarnya dengan bahasa, yaitu kemampuan bermasyarakat leawat alam/benda yang ada di sekitar, terutama yang berhubungan dengan budaya.       

No comments:

Post a Comment