Monday, April 6, 2015

Strategi Proses Bahasa yang Berpotensi Memunculkan Error (Analisis Kesalahan Penggunaan Kata Kerja Bentuk “Ta” pada Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Jepang UNP Angkatan 2012)



A.   Pendahuluan
Kata di dalam bahasa Jepang terdiri dari 6 (enam) kelas kata. Kelas kata tersebut adalah; 1) kata benda (meishi), 2) partikel (joshi), 3) kata keterangan (fukushi), 4) kata kerja (doshi), kata sifat (keiyoshi), dan kopula (jodoshi). Keenam kelas kata ini lalu dikelompokkan menjadi dua, yaitu; kelompok kelas kata yang mengalami perubahan bentuk, dan kelas kata yang tidak mengalami perubahan bentuk.
Meishi, joshi, dan fukushi adalah kelompok kelas kata yang tidak mengalami perubahan bentuk. Sedangkan doshi, keiyoshi, dan jodoshi termasuk ke dalam kelompok kata yang mengalami perubahan bentuk. Di antara 3 (tiga) kelas kata yang mengalami perubahan bentuk, doshi adalah yang mengalami paling banyak perubahan sehingga memiliki potensi yang tinggi terhadap kesalahan dalam penggunaannya.
Secara umum, faktor penyebab kesalahan berbahasa Jepang pembelajar bahasa bukan orang Jepang adalah interferensi bahasa ibu. Namun, Sakoda (2009) mengadakan penelitian analisis kesalahan penggunaan kata depan de dan ni. Subjeknya adalah 3 (tiga) kelompok mahasiswa dari 3 (tiga) negara yang berbeda. Hasilnya, ditemukan bahwa kesalahan tidak disebabkan oleh interferensi bahasa Ibu. Tapi, disebabkan oleh faktor pembelajaran (siswa dan metode).
Sehubungan dengan fakta di atas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian analisis kesalahan penggunaan doshi bentuk “ta” pada mahasiswa angkatan 2012 Program Studi Pendidikan Bahasa Jepang UNP pada semester Juli-Desember 2013. Pada penelitian ini, penulis ingin melihat apakah kesalahan penggunaan doushi bentuk “ta” disebabkan oleh interferensi bahasa ibu atau disebabkan oleh faktor pembelajaran, atau keduanya.

B.   Pembahasan
1.    Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Program Studi Pendidikan Bahasa Jepang Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Padang pada bulan Februari 2014. Sampel/subjek penelitian adalah mahasiswa tahun masuk 2012 Program Studi Pendidikan Bahasa Jepang Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Padang, sebanyak 30 orang. Pemilihan subjek ini berdasarkan pada pertimbangan bahwa mahasiswa ini sudah menuntaskan materi tentang modifikasi kata kerja bahasa Jepang bentuk “tapada semester sebelumnya.  
Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan kuantitatif. Data-data dikumpulkan melalui dua instrumen, yaitu; tes dan angket. Tes dikemas dalam bentuk tes pilihan berganda yang telah disesuaikan dengan tujuan penelitian, yaitu untuk melacak kesalahan mahasiswa dalam memahami penggunaan kata kerja bentuk “ta”. Tes terdiri dari 20 dialog berbahasa Indonesia sebagai soal, di mana masing-masing soal mempunyai 2 (dua) opsi jawaban. Sedangkan angket digunakan untuk melacak penyebab kesalahan-kesalahan tersebut.
Sakoda (2009:) menyampaikan bahwa kesalahan pembelajar bahasa Jepang penutur asing disebabkan oleh dua faktor, yaitu; interferensi bahasa ibu dan faktor pembelajar itu sendiri. Faktor pembelajar ini bisa disebabkan oleh dua hal, yaitu; metode pembelajaran yang digunakan guru dan tata penyajian materi dalam buku teks yang digunakan. Jadi, instrumen penelitian ini (tes dan angket) dikembangkan dengan mempertimbangkan penelitian Sakoda di atas.
  
2.    Perubahan Bentuk Doshi
Sutedi (2003: 48-50) mengatakan bahwa doshi memiliki 6 (enam) bentuk, yaitu; 1) mizenkei, 2) renyokei, 3) shushikei, 4) rentaikei, 5) kateikei, 6) meireikei. Misalnya, doshi tachimasu (berdiri), salah satu bentuk mizenkeinya adalah tatanai, salah satu bentuk shushikei/rentaikeinya adalah tatsu, salah satu bentuk renyoukeinya adalah tachimashita, salah satu bentuk kateikeinya adalah tateba, dan salah satu bentuk meireikeinya adalah tate.   
Dari keenam bentuk doshi tersebut, renyokei adalah bentuk yang paling banyak ditemukan pada pembelajaran bahasa Jepang level dasar. Renyoukei ini terdiri dari 3 (tiga) bentuk, yaitu; 1) bentuk sopan (masu), 2) bentuk sambung (te), dan 3) bentuk biasa (ta). Kata kerja bentuk “ta” yang dimaksud dalam tulisan ini adalah bagian dari bentuk renyokei masu (sopan), bukan bentuk ta (biasa). Untuk lebih jelasnya, bisa diperhatikan tabel di bawah.
Tabel 1 Perubahan Bentuk Doshi Bentuk “Ta” Sopan
No.
Masu
Masen
Mashita
Masen deshita
Te imasu
1
Kaimasu
Kaimasen
Kaimashita
Kaimasen
deshita
Kaite imasu
2
Tashimasu
Tachimasen
Tachimashita
Tachimasen
Deshita
Tatte imasu
3
Urimasu
Urimasen
Urimashita
Urimasen
deshita
Utte imasu
Sutedi, 2003: 49
Pada tabel di atas terlihat bagian yang digaris-bawahi pada kolom mashita dan masendeshita. Bentuk “ta” yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah yang berada pada kolom mashita dan masendeshita. Keduanya adalah bentuk yang berfungsi sebagai penanda waktu, yaitu waktu lampau. Sedangkan bentuk sopan masu, masen, dan te imasu berfungsi sebagai penanda waktu yang akan datang dan waktu sedang berlangsung.

3.    Pembelajaran Perubahan Bentuk Doshi di Program Studi Pendidikan Bahasa Jepang Universitas Negeri Padang
Materi renyokei (masu, mashita dan te imasu) secara spesifik diajarkan pada mata kuliah Tata Bahasa Jepang Dasar (Shokyu Bunpo). Pembelajaran mata kuliah ini di Program Studi Pendidikan Bahasa Jepang UNP menggunakan buku pegangan Minna No Nihonggo I dan II. Sedangkan untuk pendekatan, metode, dan media pembelajaran di dalam kelas diserahkan sepenuhnya kepada guru yang mengampu mata kuliah.
Secara fungsional, doshi masu, ta (mashita), dan te (te imasu) ini membentuk fungsi penanda waktu. Di dalam istilah bahasa Jepang, fungsi waktu ini disebut juga dengan tensu. Bentuk masu berfungsi sebagai penanda waktu yang akan datang, bentuk te imasu sebagai penanda waktu yang sedang berlangsung, dan bentuk ta sebagai penanda waktu yang telah berlalu. 
Di dalam alur pembelajaran yang tergambar dari Minna No Nihongo I, materi tensu ini diajarkan secara konstruktif. Buku hanya menyajikan contoh-contoh teks kalimat dan percakapan terkait dalam beragam bentuk penggunaan. Jadi, menurut buku ini, aktivitas pembelajaran didominasi oleh latihan. Pengajar berfungsi sebagai fasilitator dan pembimbing yang membantu pembelajar dalam membangun pengetahuan dan pemahamannya terhadap materi yang ada di dalam buku.
  Pada praktiknya, di dalam proses belajar-mengajar, pengajar tidak sepenuhnya mengikuti apa yang ada di dalam buku Minna Nihongo I. Misalnya, memberikan penjelasan definitif untuk penanaman konsep pada awal setiap materi. Setelah itu, barulah siswa dibimbing mengerjakan latihan yang ada pada buku. Menurut pengajar terkait, tidak banyak masalah yang mencuat pada saat pelaksanaan proses pembelajaran yang biasa dia terapkan ini.
  Namun, efek buruk yang barangkali muncul di balik metodologi yang tercermin dari pola pembelajaran di atas adalah, penulis berasumsi bahwa mahasiswa menjadi tidak kreatif. Hal ini dibuktikan dengan temuan pada observasi yang pernah penulis lakukan terhadap siswa sebelum penelitian ini. Saat itu, penulis meminta mahasiswa untuk membuat tiga buah kalimat dengan menggunakan pola “~ha~ni arimasu”. Hasilnya, lebih dari 80% jawaban/kalimat yang dibuat mahasiswa ada di dalam buku teks yang mereka pegang.

4.    Analisis Kesalahan Penggunaan Kata Kerja Bentuk “Ta
Untuk mengetahui dan menganalisa kesalahan dalam penggunaan bentuk “ta”, penulis menggunakan dua instrumen, yaitu tes dan angket. Tes yang digunakan adalah tes pilihan berganda. Tes terdiri dari 20 dialog berbahasa Indonesia sebagai soal, di mana masing-masing soal mempunyai 2 (dua) opsi jawaban. Mahasiswa diminta menulis padanan yang tepat dari dialog bahasa Indonesia ke dalam dialog bahasa Jepang, atau lebih tepatnya memilih pada opsi yang telah disediakan. Pemilihan bentuk tes terjemahan yang seperti ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh bahasa ibu terhadap kesalahan penggunaan kata kerja bentuk “ta”. Kemudian, untuk menganalisa faktor yang menyebabkan terjadinya kesalahan dalam penggunaan kata kerja bentukta tersebut, mahasiswa diminta untuk mengisi angket.  Untuk lebih jelasnya, berikut dipaparkan kesalahan-kesalahan dominan yang terjadi beserta analisis penyebab kesalahan-kesalahan tersebut.
a.          Hatarakimashitaka.
b.         Asoko ni hatarakimashita.
Menurut data tes, 23 orang sampel memilih dialog di atas (a, b). Artinya, 77% dari mahasiswa telah melakukan kesalahan dalam menggunakan kata kerja bentuk ta pada konteks teks terkait. Menurut angket, penggunaan kalimat seperti dialog ini muncul karena mahasiswa menerjemahkan begitu saja kalimat bahasa Indonesia “Kamu sudah bekerja?” (a) dan “Sudah, Saya sudah bekerja di sana” (b) yang memang lazim dan sering ditemukan di dalam kehidupan sehari-hari pembelajar tersebut. Pesan yang ingin disampaikan dalam dialog tersebut adalah bahwa penutur dialog (a, b) menyampaikan bahwa dia tidak lagi menganggur dan sudah bekerja.
Di dalam bahasa Jepang, dialog di atas tidak tepat. Merujuk dari pesan yang ingin disampaikan penutur, maka dialog itu mestinya; “hataraite imasuka” (a) dan “asoko ni hataraite imasu” (b). Sebab, meskipun kata “sudah” bisa dipadankan dengan bentuk “ta” (hatarakimashita), konteks/pesan yang ingin disampaikan meleburkan keberadaan kata “sudah” dan bentuk “ta” tersebut. Jika tetap digunakan, maka dialog tersebut berpotensi memunculkan image/pesan yang salah, menjadi “dulu bekerja di sana/sekarang tidak lagi”.  
c.          Kekkon shimashitaka
d.         Hai, kekkonshimashita.
Menurut data tes, 22 orang sampel melakukan kesalahan dengan memilih dialog di atas (c, d). Artinya, 73% mahasiswa telah melakukan kesalahan dalam memahami penggunaan kata kerja bentuk ta pada konteks teks terkait. Dialog (c, d) di atas biasanya muncul ketika ada pembahasan terkait status menikah-tidaknya seseorang. Di dalam bahasa Indonesia, terutama dalam kehidupan sehari-hari, penutur Indonesia terbiasa menggunakan dialog “Anda sudah menikah?” (c) dan “Sudah, Saya sudah menikah” (d) untuk menanyakan dan menyatakan status seseorang. Penggunaan kalimat ini menjadi salah satu kemungkinan yang membuat banyaknya muncul kalimat/dialog seperti di atas di kalangan pembelajar bahasa Jepang penutur Indonesia.
Dialog di atas agak janggal di dalam bahasa Jepang. Biasanya untuk menyatakan pesan dalam dialog tersebut, kalimat-kalimat yang akan muncul adalah “kekkon shite imasuka?” (c) dan “kekkon shite imasu” (d). Artinya, jika digunakan penanda kala “mashita”, akan muncul image “dulu menikah/sekarang tidak lagi”. Pesan yang sangat bertolak belakang dari pesan yang ingin disampaikan melalui dialog di atas, yaitu untuk menyatakan status “sedang menjadi seorang istri/suami”.
e.          Kodomo ga nemashitaka.
f.           Nemashitayo.
Menurut data tes, 30 orang sampel melakukan kesalahan dengan memilih dialog di atas (e, f). Artinya, semua mahasiswa (100%) telah melakukan kesalahan dalam memahami penggunaan kata kerja bentuk ta pada konteks teks terkait. Dialog (e, f) di atas dibuat oleh pembelajar bahasa Jepang penutur Indonesia ketika diminta untuk membuat dialog untuk mengetahui keberadaan anak pada malam hari. Dialog ini berkemungkinan muncul akibat pengaruh dialog “Anak-anak sudah tidur?” (e) dan “Sudah, mereka sudah tidur” (f) yang lazim/biasa ditemukan dalam berbahasa Indonesia.
Di dalam bahasa Jepang, dialog (e, f) tidak tepat. Penggunaan yang tepat adalah bentuk “kodomo ga nete imasuka” (e) dan “nete imasuyo” (f) bukan “kodomo ga nemashitaka” dan “nemashitayo”. Sebab, pesan utama, yaitu untuk menyatakan keadaan tidak sadar karena terlelap itu tidak bisa digunakan bentuk “ta” (nemashita). Artinya, penggunaan seperti di atas tidak lazim/janggal di dalam bahasa Jepang karena akan memunculkan kesalahan pada pesan yang akan disampaikan. 
g.          Ano hito no koto wo shirimashitaka?
h.         Shirimashitayo.
Menurut data tes, 20 orang sampel melakukan kesalahan dengan memilih dialog di atas (g, h). Artinya, 67% mahasiswa telah melakukan kesalahan dalam memahami penggunaan kata kerja bentuk ta pada konteks teks terkait. Pesan utama dari dialog (g, h) di atas adalah untuk mengetahui apakah mitra tutur (h) mengetahui informasi yang diinginkan oleh penututur (g). Di dalam bahasa Indonesia, sering digunakan dialog “Anda sudah tahu tentang orang itu?” (g) dan “Sudah, Saya sudah mengetahuinya” (h). Dialog dalam bahasa Indonesia inilah barangkali yang memunculkan dialog bahasa Jepang di atas (g, h).
Di dalam bahasa Jepang pesan utama dialog (g, h) di atas tidak bisa disampaikan oleh kalimat yang muncul tersebut. Dialog yang benar adalah “ano hito no koto wo shitte imasuka” (g) dan “shitte imasu” (h). Penggunaan seperti di atas (g, h) tidak tepat di dalam bahasa Jepang yang karena melenceng dari pesan yang ingin disampaikan. 
i.           Untensaremashitaka.
j.            Untensaremashita.
Menurut data tes, 26 orang sampel melakukan kesalahan dengan memilih dialog di atas (i, j). Artinya, 87% mahasiswa telah melakukan kesalahan dalam memahami penggunaan kata kerja bentuk ta pada konteks teks terkait. Di dalam bahasa Indonesia, dialog ini biasa diwujudkan dengan kalimat-kalimat “Anda sudah bisa menyetir?” (i) dan “Saya sudah bisa menyetir” (j). Hal inilah barangkali yang menyebabkan munculnya penggunaan bahasa Jepang seperti dialog di atas.
Dialog di atas tidak lazim digunakan di dalam bahasa Jepang. Dialog yang benar mestinya adalah “untenshimasuka” (i) dan “untenshimasu” (j). Penggunaan seperti dialog (i, j) di atas akan membuat pesan utama tidak sampai dengan tepat.   
k.         Ima, doko ni sunde imasuka.
l.           Atarashi uchi ni sumimashitayo.
Menurut data tes, 18 orang sampel melakukan kesalahan dengan memilih dialog di atas (k, l). Artinya, 60% mahasiswa telah melakukan kesalahan dalam memahami penggunaan kata kerja bentuk ta pada konteks teks terkait. Di dalam bahasa Indonesia, dialog ini biasa diwujudkan dengan kalimat-kalimat “Sekarang Anda tinggal di mana?” (l) dan “Saya sudah tinggal di rumah yang baru” (k). Hal inilah barangkali yang menyebabkan munculnya penggunaan bahasa Jepang seperti dialog di atas.
Dialog di atas tidak lazim digunakan di dalam bahasa Jepang. Dialog yang benar mestinya adalah “sunde imasu” (k, l). Penggunaan seperti dialog (k, l) di atas berpotensi memunculkan makna yang aneh bagi penutur asli bahasa Jepang.

Dari pembahasan di atas jelas terlihat bahwa seluruh penggunaan kata penanda kala di atas sebenarnya tidak berfungsi sebagai kala. Fungsi yang terkandung pada contoh-contoh tersebut adalah fungsi aspek. Namun, tidak adanya pengelompokkan khusus terhadap kata-kata kerja tertentu yang diikuti oleh kata penanda kala jelas berpotensi memunculkan error di dalam penggunaan kata penanda kala di dalam bahasa Indonesia, seperti contoh-contoh kasus di atas.
Selanjutnya, seperti yang dilakukan oleh Sakoda (2009), bahwa untuk menganalisa kesalahan yang terjadi, bisa dilihat pada aspek bahasa ibu, aspek metodologi yang diterapkan guru, dan aspek strategi memproses bahasa yang dilakukan oleh pembelajar. Pertama, pada aspek bahasa Ibu, kemungkinan besar kesalahan seperti di atas dipengaruhi oleh kebiasaan penggunaan kata penanda kala (sudah/telah) di dalam berbahasa Indonesia lisan.
Kedua, dari aspek metodologi, terutama pada alur pembelajaran dalam buku teks, tidak terlihat hal/instruksi yang berpotensi menyebabkan terjadinya kesalahan seperti di atas. Penggunaan-penggunaan seperti di atas justru tidak ditemukan di dalam buku teks. Kesalahan-kesalahan di atas murni diproduksi sendiri oleh pembelajar. Artinya, aspek ketiga, aspek strategi memproses bahasa menjadi kemungkinan terbesar yang menyebabkan terjadinya kesalahan. Pembelajar dengan sengaja menerapkan strategi terjemahan, di mana padanan bahasa Indonesia yang digunakan adalah bahasa lisan.

C.   Penutup
Berdasarkan pembahasan di atas bisa disimpulkan bahwa telah terjadi kesalahan strategi memproduksi bahasa Jepang yang dilakukan oleh subjek penelitian, yang mana kesalahan tersebut berpotensi menjadi error. Disebut kesalahan strategi memproduksi bahasa karena kesalahan itu terjadi karena kebiasaan siswa yang terlalu terpaku dengan strategi penerjemahan dan tidak terbiasa teliti dalam memahami contoh-contoh yang ada pada buku teks (dalam hal ini buku teks minna no nihongo). Kesalahan-kesalahan tersebut bisa dilihat pada tabel di bawah.
Tabel 2 Kesalahan yang Menonjol
Tuturan
Pesan yang Disampaikan (×) dan Image yang Muncul (√)
Dalam Keadaan Belum/Tidak…*)
Dalam Keadaan Sedang…*)
Dalam Keadaan Sudah/Tidak…*)
Sudah + “bekerja”

×
Sudah + “menikah”

×
Sudah + “tidur”

×
Sudah + “tahu”

×
Sudah + “bisa”

×
Sudah + “tinggal”

×
Catatan; …*) diisi dengan bagian tuturan yang diberi tanda kutip (“…”)

Daftar Pustaka
Coorporation 3 A. 2006. Minna No Nihongo. IMAF Press: Surabaya.
Handayani, Umi. 2004. “Analisis Kesalahan Penggunaan Partikel Kara dan Node” (skripsi:Unnes)
Sakoda, Fumiko. “Proses Bahasa yang Berpotensi Memunculkan Error: Analisis Kesalahan Penggunaan Partikel “de” dan “ni” yang Menunjukkan Tempat.
Sudana Rina. 2010. “Huruf Kanji Jepang” (artikel, tidak diterbitkan), Bandung.

No comments:

Post a Comment