Diterbitkan di Prosiding Seminar Nasional Budaya Etos Kerja Masyarakat Jepang pada Peringatan 25 Tahun Universitas Bung Hatta-2015
A. Latar Belakang
A. Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang pesat mendorong perkembangan hubungan sosial antara individu,
kelompok, dan antar bangsa-bangsa di dunia. Dari sini terjalinlah hubungan
saling membutuhkan antara satu dengan yang lain dalam berbagai kepentingan,
khususnya terkait bidang industrialisasi. Negara maju yang bertindak sebagai
produsen membutuhkan negara berkembang untuk terus berkreasi dan berinovasi
mengembangkan produknya. Sebaliknya, negara berkembang juga membutuhkan
produk-produk dari negara maju tersebut untuk bisa memajukan diri menjadi lebih
baik pada masa mendatang.
Produk di atas hendaknya tidak dipahami
sebagai ancaman yang melahirkan nilai-nilai konsumerisme. Akan tetapi, dipahami
sebagai potensi-potensi yang bisa melahirkan nilai-nilai kemajuan. Produk itu
adalah informasi. Jadi, hubungan ini hendaknya dipahami sebagai hubungan untuk
saling mencerdaskan dengan cara berbagi informasi. Sebab, Hasanuddin (Ermanto, 2006) mengatakan bahwa pada abad 21 ini,
bangsa yang maju adalah bangsa yang menguasai informasi. Semakin banyak
informasi yang dikuasai, semakin banyak pula potensi suatu bangsa untuk maju.
Informasi sangatlah dibutuhkan oleh
semua orang dan semua bangsa untuk bisa mengembangkan potensi yang dimilikinya.
Informasi bisa menjelma menjadi “cermin dua dimensi” yang selalu menyadarkan
manusia. Di dalam budaya Minangkabau, cermin dua dimensi ini disebut dengan camin diri dan camin taruih. Camin diri adalah
cermin yang memperlihatkan kekurangan dan kelemahan-kelemahan kita. Sedangkan camin taruih adalah cermin yang
memperlihatkan potensi-potensi dan kelebihan yang kita miliki. Kuncinya,
bagaimana caranya memperoleh informasi, menatanya, lalu memanfaatkannya sebagai
media untuk bercermin dan menyadari diri. Jawabannya adalah hal yang disebut
dengan “hubungan/network.
Salah satu instrumen yang dianggap
mampu untuk membuka pintu hati dan pikiran manusia untuk menyadari pentingnya
hubungan/network adalah sekolah/perguruan tinggi. Karena, di sekolah/perguruan
tinggi, seseorang bisa mendapatkan pintu pergaulan dunia, yaitu bahasa dan
budaya. Baik itu bahasa dan budaya bangsa sendiri, maupun bahasa dan budaya
asing. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, saya mencoba untuk mengupas
selintas tentang peran sekolah/perguruan tinggi dan guru/dosen dalam menyonsong
abad 21.
B.
Pembahasan
1.
Hakikat
Budaya
Banyak sekali pendapat para ahli yang
bisa kita temukan terkait definisi budaya. Di antaranya, Matsumoto (Mahfud:2009) mengatakan bahwa budaya adalah sistem
aturan yang dinamis, yang dibangun oleh kelompok-kelompok untuk menjamin
kelangsungan hidup. Ia melibatkan sikap, nilai, keyakinan, norma, dan perilaku
yang dianut bersama, dijaga dan dikomunikasikan lintas generasi dan berpeluang
berubah seiring waktu.
Senada dengan itu, adat Minangkabaupun
mendefinisikan budaya lewat istilah adaik
nan ampek. Pertama, adaik nan sabana
adaik, yaitu kebenaran yang sifatnya mutlak seperti agama. Kedua, adaik nan diadaikkan, yaitu
kebenaran yang diperoleh melalui kajian yang logis, mendalam, dan sistematis
seperti kebenaran ilmiah. Ketiga, adaik
nan taradaik, yaitu kebenaran yang sifatnya kelompok seperti adat/budaya. Keempat, adaik istiadaik, yaitu
kebenaran yang sifatnya individual (Zalman, 2013).
Dari kedua definisi di atas, hal utama
yang harus dipegang adalah bahwa budaya merupakan kebenaran yang sifatnya
berkelompok. Artinya, budaya adalah tentang latar georafis, latar
sosio-kultural tempat berada, tentang hasil pemikiran, perasaan, renungan yang dipercaya
serta dianut oleh suatu kelompok masyarakat. Jadi, wajar jika berbeda dengan
kelompok masyarakat lainnya. Harus dihargai karena ini tentang manusia, bahkan,
barangkali di dalam budaya kelompok tersebut terkandung potensi-potensi yang
tentunya tidak dimiliki oleh kelompok masyarakat lainnya.
2.
Bahasa
dan Budaya serta Pembelajarannya
Di dalam ilmu budaya, manusia
diistilahkan dengan homo humanus.
Artinya, budaya adalah cerminan manusianya yang terwujud lewat kata, cara
pandang, dan cara bersikap. Di samping itu, sudah menjadi pameo di kalangan
penulis bahwa “tulisan adalah cerminan dari orangnya”, sehingga ketika penulis
diminta untuk menilai orang, dia akan menilik tulisan orang tersebut. Jadi,
poin utama yang bisa disimpulkan di sini adalah bahwa bahasa dan budaya adalah
paket yang tidak bisa dipisahkan, sama-sama merupakan hal penting yang menjadi
penentu mutu/kualitas individu. Hubungan antara keduanya bisa digambarkan lewat
ungkapan, “bahasa mencerminkan manusia, manusia mencerminkan budaya”.
Di dalam proses pembelajaran bahasa dan
budaya, terutama bahasa dan budaya asing di Indonesia belakangan ini, poin
pembelajaran mulai bergeser dari penguasaan materi kepada pemahaman lintas
budaya. Salah satu isu yang menyebabkan pergeseran ini adalah munculnya
pandangan-pandangan stereotype yang
cenderung berlebihan di kalangan siswa. Pandangan stereotype ini berasal generalisasi berlebihan terhadap orang dan
budaya tertentu. Fenomena ini menurut Brown (2010)
mesti dihindari karena tidak akurat untuk menggambarkan individu.
Hal ini diperkuat oleh Stuart dan Nocon
(Mahfud, 2009) yang menegaskan bahwa pembelajaran budaya kedua bagi pembelajar
bahasa kedua hendaknya dipahami sebagai sebuah proses merasa, menafsir,
berhubungan dengan tempat di mana dan bersua siapa, lalu menciptakan makna
bersama di antara perwakilan budaya yang ada. Jadi, luaran dari proses
pembelajan yang diharapkan adalah lahirnya sikap saling menghargai dan
munculnya kesadaran melalui proses refleksi diri.
Oleh karena itu, diperlukan metodologi
yang tepat untuk membelajarkan budaya asing bagi pembelajar bahasa asing.
Sehubungan dengan metodologi ini, Nursaid (2007) merumuskan semacam gradasi
materi dalam proses pembelajaran budaya, yaitu:
a.
Materi
berupa produk budaya seperti pakaian, aksesoris, tari, lagu, event-event budaya, kebiasaan
sehari-hari , produk-produk budaya populer, dan lain-lain sebagai materi untuk
pembelajar tingkat dasar.
b.
Materi
berupa sistem-sistem sosial, aturan-aturan, sejarah, hubungan kekerabatan,
hubungan pemerintah dengan rakyat, dan lainnya sebagai materi untuk pembelajar
tingkat menengah.
c.
Materi-materi
berupa nilai-nilai filosofis, budaya, dan lainnya sebagai materi untuk
pembelajar tingkat mahir/atas.
Poin utama dari gradasi pembelajaran
budaya di atas adalah bahwa hendaknya proses pembelajaran menata materinya dari
yang mudah ke yang susah, atau dari yang dekat ke yang jauh. Hal ini sejalan
dengan strategi pengembangan kurikulum yang selama ini didengung-dengungkan.
3.
Tantangan
Abad 21
Eisenberg dan Stayer (Mahfud, 2009)
mengatakan bahwa modernisasi dan globalisasi adalah tempat di mana
persaingan untuk mendapat hidup layak menjadi ketat, pembagian pendapatan tidak
merata. Ironinya, pada saat komunikasi berjalan mudah, justru satu individu
tidak peduli dengan individu yang lain, bahkan kehilangan sifat manusiawinya.
Hal ini tentu berpotensi memancing munculnya konflik antar individu, bahkan
konflik yang berbau SARA.
Oleh karena itu, Mahfud (2009) memaparkan bahwa pendidikan
multikultural terhadap pelajar menjadi sangat penting, karena mereka bisa
menjadi agen untuk memperbaiki cara pandang dan sikap masyarakat. Di samping
itu, pendidikan multikultural juga dipercaya;
a.
sebagai
alternatif pemecahan konflik;
b.
agar
siswa tidak tercerabut dari akar budayanya;
c.
sebagai
landasan pengembangan kurikulum nasional yang semula filosofinya
menitik-beratkan pada keseragaman menjadi kemanusiaan, penambahan konten yang
biasa identik dengan fakta dan teori, ditambahkan dengan penanaman nilai,
proses, keterampilan, memerhatikan keragaman sosial, budaya, ekonomi, dll, cara
belajar dari individu menjadi berkelompok, mengembangkan alat evaluasi yang beragam,
dan lain-lain.
Untuk menunjang pendidikan
multikultural tersebut di atas, pendidikan dan pembelajaran bahasa asing
menempati tempat yang sangat sentral. Sebab, hampir mustahil kita bisa memahami
budaya orang jika kita tidak memahami “bahasanya”. Pendek kata, ungkapan budaya
“bahasa adalah pintu ilmu” yang selama ini ada di wacana budaya kita harus
menjadi referensi dalam menyikapi pendidikan multikultural dan pembelajaran
bahasa asing ini.
4.
Pembelajaran
Bahasa dan Budaya Asing yang Relevan dengan Tuntutan Skil Abad 21
Skil untuk hidup di abad 21 adalah tentang
keterampilan berpikir kritis, keterampilan memahami dan memutuskan masalah,
keterampilan berkomunikasi, keterampilan berkolaborasi, dan melek literasi
informasi. Senada dengan itu, Rotherdam
& Willingham (2009) mencatat bahwa kesuksesan seorang siswa tergantung pada
kecakapan abad 21, sehingga siswa harus belajar untuk memilikinya. Kecakapan abad 21 meliputi : berpikir kritis, pemecahan
masalah, komunikasi dan kolaborasi.
Berpikir kritis berarti siswa mampu menyikapi ilmu dan pengetahuan dengan
kritis, mampu memanfaatkan untuk kemanusiaan. Trampil memecahkan masalah
berarti mampu mengatasi permasalahan yang dihadapinya dalam proses kegiatan
belajar sebagai wahana berlatih menghadapi permasalahan yang lebih besar dalam
kehidupannya. Ketrampilan komunikasi merujuk pada kemampuan mengidentifikasi,
mengakses, memanfaatkan dan memgoptimalkan perangkat dan teknik komunikasi
untuk menerima dan menyampaikan informasi kepada pihak lain. Terampil kolaborasi
berarti mampu menjalin kerjasama dengan pihak lain untuk meningkatkan sinergi.
Mitsumoto (2014) mengatakan bahwa dalam (Pedoman Belajar Bahasa Asing, 2012)
diberikan tuntunan untuk memiliki kesadaran global yang lebih dan cara belajar
menyadari koneksi dengan dunia. Sebaliknya, juga digiatkan metode mengajar
untuk membuka mata individu siswa dalam memperdalam pengetahuan secara mandiri. Selanjutnya, Mitsumoto menambahkan bahwa semua
metode belajar bahasa asing pada dasarnya memiliki tujuan untuk mendorong
peningkatan mutu kemanusiaan dan membangun skil untuk hidup pada abad 21
melalui pembelajaran bahasa dan budaya. Artinya, tujuannya bukan sekadar bisa
berbicara bahasa asing, tapi berkembang menjadi pengembangan diri sabagai
manusia yang mempunyai kemampuan/skil. Belajar bahasa asing adalah salah satu
skil atau langkah untuk mewujudkan tujuan tersebut.
Artinya, melalui pembelajaran bahasa asing
kita terhubung dengan orang lain, masyarakat dan dunia. Kata “belajar” dan “bahasa”
secara konteks berarti melakukan komunikasi, menentukan tema yang relevan, lalu
berdasarkan tema tersebut melakukan proses pembelajaran. Sedapat mungkin, tema
ditentukan sendiri. Misalnya, untuk tahun 1 “kehidupan sekolah”, untuk tahun 2
“lalu lintas dan perjalanan”, dan tahun 3 “Alam lingkungan”.
Setelah itu, buatlah kelompok belajar, susun
rencana bersama kelompok, cari bahan yang berhubungan dengan tema, lakukan
wawancara atau angket melalui “google hangout”, dan kumpulkan informasi.
Informasi yang terkumpul diskusikan di dalam kelompok, sampaikan tanggapan,
buat presentasi, lalu tampilkan di depan kelas. Aktivitas ini tidak mutlak
hanya di dalam kelas, tapi juga di luar kelas. Sebab, di sini (di luar kelas)
ada dunia nyata, di mana kita bisa berhubungan/belajar dengan masyarakat dan
dunia.
Evaluator pembelajaran tidak hanya guru. Diri
sendiri dan/atau rekan juga bisa melakukannya. Dengan ini siswa bisa belajar
untuk bertanggung jawab terhadap proses belajarnya sendiri. Siswa secara
individu mengetahui lebih baik tentang dirinya jika kita menerapkan metodologi
(evaluasi bersama di atas) yang seperti ini.
Pada sebuah PT, seorang siswa mestinya
memilih tema sesuai dengan minatnya, mendiskusikan bersama rekan, lalu
menuangkan dalam tulisan. Siswa menuangkan pikiran sendiri ke dalam tulisan,
tulisan itu lalu dibaca dan mendapatkan komentar dari rekan/orang lain. Dari
sini bisa ditemukan hal-hal yang tidak akan disadari jika dilakukan sendiri.
Melalui pembelajaran yang seperti ini, kita bisa lebih tahu diri. Memiliki
kepercayaan diri, dan mungkin menjadi individu yang baru.
5.
Peran
Penyelenggara Program Bahasa dan Budaya Asing dalam Menyonsong Abad 21
a.
Meningkatkan profesionalisme
guru/dosen.
Menurut
Alwasilah (2008),
guru/dosen profesional harus memiliki kompetensi berikut:
1)
Keterampilan berkomunikasi.
2)
Bersikap positif kepada siswa.
3)
Berpengetahuan luas terkait materi
yang dibuktikan lewat publikasi.
4)
Manajemen materi dan pembelajaran yang baik.
5)
Memiliki antusiasme tinggi terutama
terkait materi yang diampu.
6)
Jujur dalam menguji dan menilai.
7)
Berani bereksperimen.
8)
Mendorong siswa untuk berpikir
kritis.
9)
Menarik dan tidak membosankan.
Di samping
itu, Rusman (2010) mengatakan bahwa seorang dosen/guru profesional harus memiliki kompetensi berikut:
1)
Kompetensi pedagogic (mengelola
kelas dan materi).
2) Kompetensi personal
(dewasa dan matang).
3) Kompetensi professional
(penguasaan materi).
4) Kompetensi sosial
(kemampuan berkomunikasi).
b.
Mengubah
paradigma pembelajaran bahasa asing.
Nursaid (2007) mengatakan bahwa pembelajaran bahasa
asing selama ini menitikberatkan fokusnya pada “belajar bahasa” bukan “belajar
berbahasa”. Pada “belajar bahasa” siswa diburu untuk menguasai materi yang
sifatnya linguistik sehingga siswa hanya peduli dengan TOEFL dan lupa dengan
aspek di luar linguistik (balajar berbahasa), yaitu skil berpikir kritis dan
perilaku tindak tutur serta sikap komunikatif yang sangat dibutuhkan dalam
proses menjalin hubungan/network.
Di dalam
pembelajaran bahasa Jepang untuk pembelajar asing, isu di atas telah
mendapatkan perhatian. Hal ini difasilitasi melalui perubahan 2 (dua) komponen
penting, yaitu perubahan pada sistem JLPT dan pengembangan kurikulum “JF Can-Do”.
c.
Mengembangkan
profil lulusan.
Mengembangkan
profil lulusan, implikasinya dapat dilakukan melalui pengembangan kompetensi
pada mata pelajaran ke arah yang lebih praktis dan bermakna, silabus, RPP/SAP,
materi dan instrumen evaluasi, dan lain sebagainya.
d.
Menjalin
Kerjasama dan Membina Relasi
Menjalin
kerjasama dengan semua pihak yang terkait dengan bahasa dan budaya asing, terutama
antara akademisi dan praktisi sangatlah penting dalam proses meningkatkan mutu
pembelajaran.
e.
Mewujudkan
fungsi pendidikan (Mahfud:48-54).
1)
Mikro,
pendidikan membantu perkembangan jasmani dan rohani
2)
Makro,
pengembangan pribadi budaya dan bangsa.
3)
Investasi
jangka panjang (Toshiko Kinoshita, waseda; winston) karena; alat untuk
pengembangan ekonomi, nilai balik lebih dari bidang lain (biaya pedidikan
dengan yang didapat setelah bekerja), investasi banyak fungsi; sosial budaya,
politis, dll.
f.
Mengembangkan
kurikulum dan proses pembelajaran (khususnya metode, media, model) yang mengintegrasikan
pemahaman lintas budaya sebagai sarana pembentukan karakter.
Seller (Sanjaya, 2009) mengatakan bahwa hakikat pengembangan
kurikulum adalah rangkaian kegiatan berkelanjutan yang berorientasi pada; a) tujuan
dan arah pendidikan (anak dibawa ke mana), b) pandangan tentang anak
(aktif/pasif), c) pandangan tentang lingkungan belajar (formal/bebas), d)
pandangan tentang proses pembelajaran (transformasi ilmu/perubahan perilaku),
e) konsep tentang peranan guru (sumber yang otoriter/fasilitator), f) evaluasi
belajar (tes/nontes).
Di samping itu, belajar harus dipahami sebagai proses
perubahan tingkah laku. Guru adalah pelaku perubahan. Siswa mempunyai benih, yaitu
bakat, potensi kodrati yang mesti dikembangkan oleh disainer, yaitu guru (Sanjaya, 2009; Alwasilah, 2008).
6. Pembelajaran
Berbahasa Jepang Kontekstual sebagai Model Alternatif dalam Menyonsong Abad 21
Hakikat
dari pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang berusaha mendekatkan
siswa pada dunia nyata. Tujuannya adalah agar siswa mampu merasakan dan
menangkap makna, penting tidaknya materi, proses belajar yang dia lewati bagi
kehidupannya.
Sehubungan
dengan makna hakiki yang tersebut di atas, Alwasilah (2008) merekomendasikan strategi pembelajaran yang bisa
diterapkan dalam
koridor pembelajaran berbahasa asing kontekstual, yaitu:
a. Pembelajaran
berbasis masalah untuk menantang siswa berpikir kritis.
b. Menggunakan
konteks yang beragam untuk memperkaya pemahaman siswa.
c. Mempertimbangkan
kebhinekaan siswa untuk menumbuhkan sikap saling menghormati.
d. Memberdayakan
siswa untuk belajar mandiri.
e. Belajar melalui
kolaborasi.
f. Menggunakan
penilaian otentik seperti menerapkan evaluasi sendiri dan rekan serta materi
yang otentik seperti koran, menu, panduan, radio, TV, website, dan lain-lain.
g. Mengejar
standar unggul yang mampu meningkatkan kepercayaan diri siswa.
C.
Penutup
Dari pembahasan di atas dapat ditarik
beberapa poin utama sebagi kesimpulan, yaitu:
1.
Budaya
yang terlihat dari karakter, etos, dan sikap bukanlah sesuatu yang mudah untuk diajarkan, tapi sebaiknya ditularkan. Untuk itu, dalam proses
pembelajaran bahasa dan budaya asing, keberadaan model sangatlah penting. Model
tersebut bisa dari guru, praktisi, rekan. Paling tidak, model yang diambil dari
media video sehingga bisa mempengaruhi dan membentuk siswa.
2.
Paradigma pembelajaran berbahasa
asing yang selama ini memberikan penekanan berlebihan pada aspek “teks” harus
mulai digeser pada pembelajaran berbahasa yang berbasis konteks. Sebab, pada
konteks terkandung budaya yang tidak bisa dilepaskan dari bahasa.
Daftar Pustaka
Alwasilah, A. Chaedar. 2008. Pokoknya BHMN: Ayat-Ayat Pendidikan Tinggi.
Bandung: Lubuk Agung.
Doulas, H. Brown. 2008. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa:
Edisi Kelima (terjemahan Noor Cholis dkk). Jakarta: Kedutaan Besar Amerika
Serikat.
Ermanto. 2006. Jurnalistik Praktis.
Mahfud, Choirul. 2009. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Mitsumoto, Tomoya. 2014. Metode
Pembelajaran Bahasa Asing dan Pembentukan Karakter di Jepang (Proceeding International Seminar of
Languages and Arts). Padang: UNP.
Nursaid. 2007.
Gradasi Pembelajaran Bahasa dan Budaya (Prosiding Seminar Nasional Budaya Alam
Minangkabau). Padang: UNP.
Rusman.
2010. Model-Model Pembelajaran:
Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: Rajawali Pers.
Rotherham,
A. J., & Willingham, D. 2009. 21st Century Skills: the challenges ahead. Educational
Leadership Volume 67 Number 1 , 16 – 21.
Sanjaya, Wina. 2009. Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan
Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta:
Kencana.
Zalman, Hendri.
2013. Kaidah Nan Ampek Filosofi Hiduik Urang Minang: http://hendrizalman.blogspot.nl/2013/02/nan-ampek.html#.VdVIQ_mSfIU.
No comments:
Post a Comment