Wednesday, September 2, 2015

Peran Penyelenggara Program Bahasa dan Budaya Asing dalam Menyonsong Abad 21


Diterbitkan di Prosiding Seminar Nasional Budaya Etos Kerja Masyarakat Jepang pada Peringatan 25 Tahun Universitas Bung Hatta-2015

A.   Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat mendorong perkembangan hubungan sosial antara individu, kelompok, dan antar bangsa-bangsa di dunia. Dari sini terjalinlah hubungan saling membutuhkan antara satu dengan yang lain dalam berbagai kepentingan, khususnya terkait bidang industrialisasi. Negara maju yang bertindak sebagai produsen membutuhkan negara berkembang untuk terus berkreasi dan berinovasi mengembangkan produknya. Sebaliknya, negara berkembang juga membutuhkan produk-produk dari negara maju tersebut untuk bisa memajukan diri menjadi lebih baik pada masa mendatang.
Produk di atas hendaknya tidak dipahami sebagai ancaman yang melahirkan nilai-nilai konsumerisme. Akan tetapi, dipahami sebagai potensi-potensi yang bisa melahirkan nilai-nilai kemajuan. Produk itu adalah informasi. Jadi, hubungan ini hendaknya dipahami sebagai hubungan untuk saling mencerdaskan dengan cara berbagi informasi. Sebab, Hasanuddin (Ermanto, 2006) mengatakan bahwa pada abad 21 ini, bangsa yang maju adalah bangsa yang menguasai informasi. Semakin banyak informasi yang dikuasai, semakin banyak pula potensi suatu bangsa untuk maju.
Informasi sangatlah dibutuhkan oleh semua orang dan semua bangsa untuk bisa mengembangkan potensi yang dimilikinya. Informasi bisa menjelma menjadi “cermin dua dimensi” yang selalu menyadarkan manusia. Di dalam budaya Minangkabau, cermin dua dimensi ini disebut dengan camin diri dan camin taruih. Camin diri adalah cermin yang memperlihatkan kekurangan dan kelemahan-kelemahan kita. Sedangkan camin taruih adalah cermin yang memperlihatkan potensi-potensi dan kelebihan yang kita miliki. Kuncinya, bagaimana caranya memperoleh informasi, menatanya, lalu memanfaatkannya sebagai media untuk bercermin dan menyadari diri. Jawabannya adalah hal yang disebut dengan “hubungan/network.
Salah satu instrumen yang dianggap mampu untuk membuka pintu hati dan pikiran manusia untuk menyadari pentingnya hubungan/network adalah sekolah/perguruan tinggi. Karena, di sekolah/perguruan tinggi, seseorang bisa mendapatkan pintu pergaulan dunia, yaitu bahasa dan budaya. Baik itu bahasa dan budaya bangsa sendiri, maupun bahasa dan budaya asing. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, saya mencoba untuk mengupas selintas tentang peran sekolah/perguruan tinggi dan guru/dosen dalam menyonsong abad 21.  
    
B.   Pembahasan
1.   Hakikat Budaya
Banyak sekali pendapat para ahli yang bisa kita temukan terkait definisi budaya. Di antaranya, Matsumoto (Mahfud:2009) mengatakan bahwa budaya adalah sistem aturan yang dinamis, yang dibangun oleh kelompok-kelompok untuk menjamin kelangsungan hidup. Ia melibatkan sikap, nilai, keyakinan, norma, dan perilaku yang dianut bersama, dijaga dan dikomunikasikan lintas generasi dan berpeluang berubah seiring waktu.
Senada dengan itu, adat Minangkabaupun mendefinisikan budaya lewat istilah adaik nan ampek. Pertama, adaik nan sabana adaik, yaitu kebenaran yang sifatnya mutlak seperti agama. Kedua, adaik nan diadaikkan, yaitu kebenaran yang diperoleh melalui kajian yang logis, mendalam, dan sistematis seperti kebenaran ilmiah. Ketiga, adaik nan taradaik, yaitu kebenaran yang sifatnya kelompok seperti adat/budaya. Keempat, adaik istiadaik, yaitu kebenaran yang sifatnya individual (Zalman, 2013).
Dari kedua definisi di atas, hal utama yang harus dipegang adalah bahwa budaya merupakan kebenaran yang sifatnya berkelompok. Artinya, budaya adalah tentang latar georafis, latar sosio-kultural tempat berada, tentang hasil pemikiran, perasaan, renungan yang dipercaya serta dianut oleh suatu kelompok masyarakat. Jadi, wajar jika berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya. Harus dihargai karena ini tentang manusia, bahkan, barangkali di dalam budaya kelompok tersebut terkandung potensi-potensi yang tentunya tidak dimiliki oleh kelompok masyarakat lainnya.

2.   Bahasa dan Budaya serta Pembelajarannya
Di dalam ilmu budaya, manusia diistilahkan dengan homo humanus. Artinya, budaya adalah cerminan manusianya yang terwujud lewat kata, cara pandang, dan cara bersikap. Di samping itu, sudah menjadi pameo di kalangan penulis bahwa “tulisan adalah cerminan dari orangnya”, sehingga ketika penulis diminta untuk menilai orang, dia akan menilik tulisan orang tersebut. Jadi, poin utama yang bisa disimpulkan di sini adalah bahwa bahasa dan budaya adalah paket yang tidak bisa dipisahkan, sama-sama merupakan hal penting yang menjadi penentu mutu/kualitas individu. Hubungan antara keduanya bisa digambarkan lewat ungkapan, “bahasa mencerminkan manusia, manusia mencerminkan budaya”.
Di dalam proses pembelajaran bahasa dan budaya, terutama bahasa dan budaya asing di Indonesia belakangan ini, poin pembelajaran mulai bergeser dari penguasaan materi kepada pemahaman lintas budaya. Salah satu isu yang menyebabkan pergeseran ini adalah munculnya pandangan-pandangan stereotype yang cenderung berlebihan di kalangan siswa. Pandangan stereotype ini berasal generalisasi berlebihan terhadap orang dan budaya tertentu.  Fenomena ini menurut Brown (2010) mesti dihindari karena tidak akurat untuk menggambarkan individu.
Hal ini diperkuat oleh Stuart dan Nocon (Mahfud, 2009) yang menegaskan bahwa pembelajaran budaya kedua bagi pembelajar bahasa kedua hendaknya dipahami sebagai sebuah proses merasa, menafsir, berhubungan dengan tempat di mana dan bersua siapa, lalu menciptakan makna bersama di antara perwakilan budaya yang ada. Jadi, luaran dari proses pembelajan yang diharapkan adalah lahirnya sikap saling menghargai dan munculnya kesadaran melalui proses refleksi diri.
Oleh karena itu, diperlukan metodologi yang tepat untuk membelajarkan budaya asing bagi pembelajar bahasa asing. Sehubungan dengan metodologi ini, Nursaid (2007) merumuskan semacam gradasi materi dalam proses pembelajaran budaya, yaitu:
a.    Materi berupa produk budaya seperti pakaian, aksesoris, tari, lagu, event-event budaya, kebiasaan sehari-hari , produk-produk budaya populer, dan lain-lain sebagai materi untuk pembelajar tingkat dasar.
b.   Materi berupa sistem-sistem sosial, aturan-aturan, sejarah, hubungan kekerabatan, hubungan pemerintah dengan rakyat, dan lainnya sebagai materi untuk pembelajar tingkat menengah.
c.    Materi-materi berupa nilai-nilai filosofis, budaya, dan lainnya sebagai materi untuk pembelajar tingkat mahir/atas.

Poin utama dari gradasi pembelajaran budaya di atas adalah bahwa hendaknya proses pembelajaran menata materinya dari yang mudah ke yang susah, atau dari yang dekat ke yang jauh. Hal ini sejalan dengan strategi pengembangan kurikulum yang selama ini didengung-dengungkan.

3.   Tantangan Abad  21
Eisenberg dan Stayer (Mahfud, 2009)  mengatakan bahwa modernisasi dan globalisasi adalah tempat di mana persaingan untuk mendapat hidup layak menjadi ketat, pembagian pendapatan tidak merata. Ironinya, pada saat komunikasi berjalan mudah, justru satu individu tidak peduli dengan individu yang lain, bahkan kehilangan sifat manusiawinya. Hal ini tentu berpotensi memancing munculnya konflik antar individu, bahkan konflik yang berbau SARA.
Oleh karena itu, Mahfud (2009) memaparkan bahwa pendidikan multikultural terhadap pelajar menjadi sangat penting, karena mereka bisa menjadi agen untuk memperbaiki cara pandang dan sikap masyarakat. Di samping itu, pendidikan multikultural juga dipercaya;
a.    sebagai alternatif pemecahan konflik;
b.   agar siswa tidak tercerabut dari akar budayanya;
c.    sebagai landasan pengembangan kurikulum nasional yang semula filosofinya menitik-beratkan pada keseragaman menjadi kemanusiaan, penambahan konten yang biasa identik dengan fakta dan teori, ditambahkan dengan penanaman nilai, proses, keterampilan, memerhatikan keragaman sosial, budaya, ekonomi, dll, cara belajar dari individu menjadi berkelompok, mengembangkan alat evaluasi yang beragam, dan lain-lain.

Untuk menunjang pendidikan multikultural tersebut di atas, pendidikan dan pembelajaran bahasa asing menempati tempat yang sangat sentral. Sebab, hampir mustahil kita bisa memahami budaya orang jika kita tidak memahami “bahasanya”. Pendek kata, ungkapan budaya “bahasa adalah pintu ilmu” yang selama ini ada di wacana budaya kita harus menjadi referensi dalam menyikapi pendidikan multikultural dan pembelajaran bahasa asing ini.

4.   Pembelajaran Bahasa dan Budaya Asing yang Relevan dengan Tuntutan Skil Abad 21
Skil untuk hidup di abad 21 adalah tentang keterampilan berpikir kritis, keterampilan memahami dan memutuskan masalah, keterampilan berkomunikasi, keterampilan berkolaborasi, dan melek literasi informasi. Senada dengan itu, Rotherdam & Willingham (2009) mencatat bahwa kesuksesan seorang siswa tergantung pada kecakapan abad 21, sehingga siswa harus belajar untuk memilikinya. Kecakapan abad 21 meliputi : berpikir kritis, pemecahan masalah, komunikasi dan kolaborasi.
Berpikir kritis berarti siswa mampu menyikapi ilmu dan pengetahuan dengan kritis, mampu memanfaatkan untuk kemanusiaan. Trampil memecahkan masalah berarti mampu mengatasi permasalahan yang dihadapinya dalam proses kegiatan belajar sebagai wahana berlatih menghadapi permasalahan yang lebih besar dalam kehidupannya. Ketrampilan komunikasi merujuk pada kemampuan mengidentifikasi, mengakses, memanfaatkan dan memgoptimalkan perangkat dan teknik komunikasi untuk menerima dan menyampaikan informasi kepada pihak lain. Terampil kolaborasi berarti mampu menjalin kerjasama dengan pihak lain untuk meningkatkan sinergi.
Mitsumoto (2014) mengatakan bahwa dalam (Pedoman Belajar Bahasa Asing, 2012) diberikan tuntunan untuk memiliki kesadaran global yang lebih dan cara belajar menyadari koneksi dengan dunia. Sebaliknya, juga digiatkan metode mengajar untuk membuka mata individu siswa dalam memperdalam pengetahuan secara mandiri. Selanjutnya, Mitsumoto menambahkan bahwa semua metode belajar bahasa asing pada dasarnya memiliki tujuan untuk mendorong peningkatan mutu kemanusiaan dan membangun skil untuk hidup pada abad 21 melalui pembelajaran bahasa dan budaya. Artinya, tujuannya bukan sekadar bisa berbicara bahasa asing, tapi berkembang menjadi pengembangan diri sabagai manusia yang mempunyai kemampuan/skil. Belajar bahasa asing adalah salah satu skil atau langkah untuk mewujudkan tujuan tersebut.
Artinya, melalui pembelajaran bahasa asing kita terhubung dengan orang lain, masyarakat dan dunia. Kata “belajar” dan “bahasa” secara konteks berarti melakukan komunikasi, menentukan tema yang relevan, lalu berdasarkan tema tersebut melakukan proses pembelajaran. Sedapat mungkin, tema ditentukan sendiri. Misalnya, untuk tahun 1 “kehidupan sekolah”, untuk tahun 2 “lalu lintas dan perjalanan”, dan tahun 3 “Alam lingkungan”.
Setelah itu, buatlah kelompok belajar, susun rencana bersama kelompok, cari bahan yang berhubungan dengan tema, lakukan wawancara atau angket melalui “google hangout”, dan kumpulkan informasi. Informasi yang terkumpul diskusikan di dalam kelompok, sampaikan tanggapan, buat presentasi, lalu tampilkan di depan kelas. Aktivitas ini tidak mutlak hanya di dalam kelas, tapi juga di luar kelas. Sebab, di sini (di luar kelas) ada dunia nyata, di mana kita bisa berhubungan/belajar dengan masyarakat dan dunia.
Evaluator pembelajaran tidak hanya guru. Diri sendiri dan/atau rekan juga bisa melakukannya. Dengan ini siswa bisa belajar untuk bertanggung jawab terhadap proses belajarnya sendiri. Siswa secara individu mengetahui lebih baik tentang dirinya jika kita menerapkan metodologi (evaluasi bersama di atas) yang seperti ini.
Pada sebuah PT, seorang siswa mestinya memilih tema sesuai dengan minatnya, mendiskusikan bersama rekan, lalu menuangkan dalam tulisan. Siswa menuangkan pikiran sendiri ke dalam tulisan, tulisan itu lalu dibaca dan mendapatkan komentar dari rekan/orang lain. Dari sini bisa ditemukan hal-hal yang tidak akan disadari jika dilakukan sendiri. Melalui pembelajaran yang seperti ini, kita bisa lebih tahu diri. Memiliki kepercayaan diri, dan mungkin menjadi individu yang baru.

5.   Peran Penyelenggara Program Bahasa dan Budaya Asing dalam Menyonsong Abad 21
a.    Meningkatkan profesionalisme guru/dosen.
Menurut Alwasilah (2008), guru/dosen profesional harus memiliki kompetensi berikut:
1)   Keterampilan berkomunikasi.
2)   Bersikap positif kepada siswa.
3)   Berpengetahuan luas terkait materi yang dibuktikan lewat publikasi.
4)   Manajemen materi dan pembelajaran yang baik.
5)   Memiliki antusiasme tinggi terutama terkait materi yang diampu.
6)   Jujur dalam menguji dan menilai.
7)   Berani bereksperimen.
8)   Mendorong siswa untuk berpikir kritis.
9)   Menarik dan tidak membosankan.
Di samping itu, Rusman (2010) mengatakan bahwa seorang dosen/guru profesional harus memiliki kompetensi berikut:
1)   Kompetensi pedagogic (mengelola kelas dan materi).
2)   Kompetensi personal (dewasa dan matang).
3)   Kompetensi professional (penguasaan materi).
4)   Kompetensi sosial (kemampuan berkomunikasi).
b.   Mengubah paradigma pembelajaran bahasa asing.
Nursaid (2007) mengatakan bahwa pembelajaran bahasa asing selama ini menitikberatkan fokusnya pada “belajar bahasa” bukan “belajar berbahasa”. Pada “belajar bahasa” siswa diburu untuk menguasai materi yang sifatnya linguistik sehingga siswa hanya peduli dengan TOEFL dan lupa dengan aspek di luar linguistik (balajar berbahasa), yaitu skil berpikir kritis dan perilaku tindak tutur serta sikap komunikatif yang sangat dibutuhkan dalam proses menjalin hubungan/network.
Di dalam pembelajaran bahasa Jepang untuk pembelajar asing, isu di atas telah mendapatkan perhatian. Hal ini difasilitasi melalui perubahan 2 (dua) komponen penting, yaitu perubahan pada sistem JLPT dan pengembangan kurikulum “JF Can-Do”.
c.    Mengembangkan profil lulusan.
Mengembangkan profil lulusan, implikasinya dapat dilakukan melalui pengembangan kompetensi pada mata pelajaran ke arah yang lebih praktis dan bermakna, silabus, RPP/SAP, materi dan instrumen evaluasi, dan lain sebagainya.
d.   Menjalin Kerjasama dan Membina Relasi
Menjalin kerjasama dengan semua pihak yang terkait dengan bahasa dan budaya asing, terutama antara akademisi dan praktisi sangatlah penting dalam proses meningkatkan mutu pembelajaran.  
e.    Mewujudkan fungsi pendidikan (Mahfud:48-54).
1)   Mikro, pendidikan membantu perkembangan jasmani dan rohani
2)   Makro, pengembangan pribadi budaya dan bangsa.
3)   Investasi jangka panjang (Toshiko Kinoshita, waseda; winston) karena; alat untuk pengembangan ekonomi, nilai balik lebih dari bidang lain (biaya pedidikan dengan yang didapat setelah bekerja), investasi banyak fungsi; sosial budaya, politis, dll.
f.     Mengembangkan kurikulum dan proses pembelajaran (khususnya metode, media, model) yang mengintegrasikan pemahaman lintas budaya sebagai sarana pembentukan karakter.
Seller (Sanjaya, 2009) mengatakan bahwa hakikat pengembangan kurikulum adalah rangkaian kegiatan berkelanjutan yang berorientasi pada; a) tujuan dan arah pendidikan (anak dibawa ke mana), b) pandangan tentang anak (aktif/pasif), c) pandangan tentang lingkungan belajar (formal/bebas), d) pandangan tentang proses pembelajaran (transformasi ilmu/perubahan perilaku), e) konsep tentang peranan guru (sumber yang otoriter/fasilitator), f) evaluasi belajar (tes/nontes).
Di samping itu,  belajar harus dipahami sebagai proses perubahan tingkah laku. Guru adalah pelaku perubahan. Siswa mempunyai benih, yaitu bakat, potensi kodrati yang mesti dikembangkan oleh disainer, yaitu guru (Sanjaya, 2009; Alwasilah, 2008).

6.   Pembelajaran Berbahasa Jepang Kontekstual sebagai Model Alternatif dalam Menyonsong Abad 21
Hakikat dari pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang berusaha mendekatkan siswa pada dunia nyata. Tujuannya adalah agar siswa mampu merasakan dan menangkap makna, penting tidaknya materi, proses belajar yang dia lewati bagi kehidupannya.
Sehubungan dengan makna hakiki yang tersebut di atas, Alwasilah (2008) merekomendasikan strategi pembelajaran yang bisa diterapkan dalam koridor pembelajaran berbahasa asing kontekstual, yaitu:
a.    Pembelajaran berbasis masalah untuk menantang siswa berpikir kritis.
b.   Menggunakan konteks yang beragam untuk memperkaya pemahaman siswa.
c.    Mempertimbangkan kebhinekaan siswa untuk menumbuhkan sikap saling menghormati.
d.   Memberdayakan siswa untuk belajar mandiri.
e.    Belajar melalui kolaborasi.
f.     Menggunakan penilaian otentik seperti menerapkan evaluasi sendiri dan rekan serta materi yang otentik seperti koran, menu, panduan, radio, TV, website, dan lain-lain.
g.    Mengejar standar unggul yang mampu meningkatkan kepercayaan diri siswa.

C.   Penutup
Dari pembahasan di atas dapat ditarik beberapa poin utama sebagi kesimpulan, yaitu:
1.      Budaya yang terlihat dari karakter, etos, dan sikap bukanlah sesuatu yang mudah untuk diajarkan, tapi sebaiknya ditularkan. Untuk itu, dalam proses pembelajaran bahasa dan budaya asing, keberadaan model sangatlah penting. Model tersebut bisa dari guru, praktisi, rekan. Paling tidak, model yang diambil dari media video sehingga bisa mempengaruhi dan membentuk siswa.
2.      Paradigma pembelajaran berbahasa asing yang selama ini memberikan penekanan berlebihan pada aspek “teks” harus mulai digeser pada pembelajaran berbahasa yang berbasis konteks. Sebab, pada konteks terkandung budaya yang tidak bisa dilepaskan dari bahasa.

Daftar Pustaka
Alwasilah, A. Chaedar. 2008. Pokoknya BHMN: Ayat-Ayat Pendidikan Tinggi. Bandung: Lubuk Agung.
Doulas, H. Brown. 2008. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa: Edisi Kelima (terjemahan Noor Cholis dkk). Jakarta: Kedutaan Besar Amerika Serikat.
Ermanto. 2006. Jurnalistik Praktis.
Mahfud, Choirul. 2009. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mitsumoto, Tomoya. 2014. Metode Pembelajaran Bahasa Asing dan Pembentukan Karakter di Jepang (Proceeding International Seminar of Languages and Arts). Padang: UNP.
Nursaid. 2007. Gradasi Pembelajaran Bahasa dan Budaya (Prosiding Seminar Nasional Budaya Alam Minangkabau). Padang: UNP.
Rusman. 2010. Model-Model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: Rajawali Pers.
Rotherham, A. J., & Willingham, D. 2009. 21st Century Skills: the challenges ahead. Educational Leadership Volume 67 Number 1 , 16 – 21.
Sanjaya, Wina. 2009. Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana.
Zalman, Hendri. 2013. Kaidah Nan Ampek Filosofi Hiduik Urang Minang: http://hendrizalman.blogspot.nl/2013/02/nan-ampek.html#.VdVIQ_mSfIU.

No comments:

Post a Comment