A. Pendahuluan
Dalam konteks pembelajaran, Koentjaraningrat (1980: 15) mengatakan bahwa kebudayaan terdiri dari tiga lapis sistem. Yaitu; 1) sistem nilai, 2) sistem sosial, 3) dan sistem karya. Yang pertama dikatakan sebagai roh dari kebudayaan, sementara yang kedua adalah cara roh tersebut menjalani dan mengatur hidup, sedangkan yang ketiga dikatakan sebagai produk dari sebuah kebudayaan. Jadi, jika ingin memahami sebuah kebudayaan secara utuh, maka, ketiga sistem di atas mesti bisa dipahami dengan cara yang benar terlebih dahulu. “Cara yang benar” ini, oleh Gazalba (dalam Muhardi, 1984, 16) diartikan dalam konteks pendidikan sebagai gradasi pembelajaran yang benar, dari yang mudah terlebih dahulu, secara bertahap melangkah ke tingkat yang susah. Ringkasnya, ketiga sistem di atas, diurutkan secara terbalik, dari sistem karya (benda budaya), lalu sistem sosial (aturan, norma, tatacara), dan terakhir sistem nilai (persepsi/cara pikir).
Sekilas, terlihat betapa rumit dan kompleksnya urusan yang namanya kebudayaan. Perlu proses panjang dan penghayatan yang tinggi, serta pemikiran yang tajam untuk bisa memahaminya. Akan tetapi, untuk orang-orang yang mempunyai latar akademik kebudayaan, khususnya peneliti kebudayaan, biasanya akan bisa memahami inti (sistem nilai) sebuah budaya dengan mencermati sebuah benda budaya (sistem karya), dan mempelajari sistem kemasyarakatan (sistem sosial) masyarakat penganut kebudayaan tersebut. Seperti Rosa (Jurnal Humanus UNP, hal: 36) dalam penelitiannya yang mengambil objek tato masyarakat pedalaman Mentawai, ternyata berhasil mengupas sistem sosial dan sistem nilai masyarakat pedalaman Mentawai tersebut. Artinya, dalam konteks budaya, apa (benda budaya) yang ditemukan dalam sebuah masyarakat, sebenarnya bisa menjadi petunjuk untuk mempelajari dan memahami masyarakat tersebut. Tentunya, jika kita mencermati dan mempelajari sesuai dengan metodologi yang benar dan teratur.
Dalam sejarah perkembangan peradaban dan kebudayaan manusia secara universal, seolah-olah semuanya sepakat bahwa kematian bukanlah sebuah fenomena alamiah yang biasa. Kematian seolah-olah jauh lebih penting dari pada kehidupan sendiri. Hal ini bisa dilihat dari kenyataan, betapa banyaknya jenis upacara dalam konteks kematian dari pada upacara dalam konteks kelahiran. Upacara-upacara tersebut biasanya secara umum dimulai dari pengurusan jenazah sesaat sebelum meninggal sampai kemudian disemayamkan. Rangkaian proses ini biasanya selalu berhubungan dengan kehidupan spritual atau sistem kepercayaan suatu masyarakat. Mulai dari masyarakat primitif sebelum manusia mengenal agama (animisme dan dinamisme) sampai masa modern, pengurusan jenazah tidak bisa dilepaskan dari yang namanya sistem kepercayaan/ sistem nilai yang dianut oleh sebuah masyarakat. Pendek kata, aspek materi seperti; tata cara pengurusan jenazah dan pemakaman dalam sebuah peristiwa kematian identik dengan nilai/ kepercayaan yang bisa dikatakan sebagai sebuah representatif dari persepsi sebuah masyarakat terhadap fenomena kematian.
Oleh karena itu, pada makalah ini, penulis mencoba untuk mempelajari dan mengungkapkan persepsi masyarakat Jepang terhadap kematian dengan mencermati kuburan, sistem sosial, dan sistem kepercayaan masyarakat Jepang. Tentunya bukan sebagai sebuah kebenaran yang mutlak, akan tetapi, sebagai pandangan awal yang diharapkan bisa membantu kita memahami Jepang.
B. Isi
1. Sekilas tentang Kepercayaan Masyarakat Jepang (Persepsi terhadap Alam Gaib/ Roh)
Pembicaraan tentang kepercayaan sebuah bangsa adalah sesuatu yang sangat kompleks dan sulit untuk dicerna apalagi dijelaskan. Oleh karena itu, pembahasan pada sub bab ini akan kita fokuskan pada kepercayaan masyarakat Jepang dalam wujud persepsi mereka terhada alam gaib/ roh. Karena, persepsi terhadap alam gaib/roh inilah yang agaknya paling relevan untuk pembahasan makam Jepang itu sendiri.
Secara umum, masyarakat Jepang percaya bahwa dunia ini terdiri dari dua dimensi, yaitu; dunia gaib dan dunia nyata. Dunia nyata adalah dunia tempat manusia hidup, sedangkan dunia gaib adalah dunia tempat manusia melanjutkan kehidupan sesudah mati. Dunia gaib ini disebut dengan alam roh. Sesuai dengan eksistensinya yang hanya berhubungan dengan manusia yang telah mati, maka alam roh ini dianggap sebagai alam yang suci, alam yang secara spritual lebih tinggi dari alam dunia nyata (Danandjaja: ).
Alam gaib dihuni oleh berbagai jenis makhluk. Akan tetapi secara umum bisa dikelompokkan menjadi dua jenis; kami (dewa), dan roh leluhur. Manusia yang meninggal dunia, akan melalui proses penyucian yang panjang di alam gaib sebelum nantinya ia menghadap dan menjadi salah satu dari dewa itu sendiri. Jadi, orang yang meninggal sebenarnya merupakan orang yang sedang melakukan perjalanan untuk menuju sebuah tempat yang tinggi, tempat menuju kesempurnaan untuk menjadi kami (dewa) nenek moyang. Kaga (1992: 6) menegaskan, karena inilah pada zaman dahulu, kuburan Jepang itu sering juga disebut dengan istilah yama, yang mengandung makna tempat yang tinggi dan suci.
Dari keterangan di atas, agaknya dapat didapat sedikit pencerahan tentang alasan yang membuat masyarakat Jepang begitu kaya akan upacara-upacara yang mengatasnamakan pemujaan terhadap roh nenek moyang/ leluhurnya. Di samping tentunya untuk membantu perjalanan anggota keluarga tersebut menuju tempat yang tinggi, tentunya juga merupakan suatu keuntungan jika seandainya anggota keluarga sukses melakukan perjalan menuju kesempurnaan menjadi kami tersebut. Seperti yang dikatakan Danandjaja ( ), bahwa roh leluhur yang sukses menjadi kami dipercaya akan memberikan keberuntungan terhadap anak-cucunya di belakang hari. Sedangkan roh yang tersesat karena tidak dituntun melalui upacara-upacara oleh keluarganya natinya bisa mendatangkan kesialan terhadap anak-cucunya tersebut.
Oleh karena itu, jika seorang anggota keluarga mati, maka pihak keluarga akan melakukan beberapa prosesi ritual sebagai berikut; a) pra pemakaman tanah, b) pasca pemakaman tanah.
a. Pra Pemakaman Tanah
Setelah proses kremasi dilakukan. Abu jenazah akan disemayamkan di rumah keluarga selama 49 har. Selama itu, setiap hari ke tujuh selama tujuh kali diadakan upacara pemujaan terhadap roh anggota keluarga yang baru meninggal tersebut serta roh leluhur. Waktu tujuh hari ke tujuh dan dilaksanakan sebanyak tujuh kali tersebut dipercaya sebagai waktu kunjungan roh nenek moyang sebelum jenazah baru dikuburkan. Untuk menyambut itulah, makanya upacara pemujaan dilaksanakan. Setelah sampai 49 hari, abu jenazah tersebut kemudian dikuburkan ke dalam pemakaman keluarga.
b. Pasca Pemakaman Tanah
Setelah abu jenazah disemayamkan dan dibekali dengan beberapa kali ritual roh, abu jenazah disemayamkan di makam keluarga. Akan tetapi, bukan berarti prosesi atau upacara yang mesti dilakukan pihak keluarga yang tinggal telah berakhir. Dalam keluarga yang menganut sistem tradisional, harus membuat altar pemujaan roh di rumah, dan melanjutkan ritual pemujaan roh di rumah. Waktu-waktu upacaranya adalah hari ke-100, setahun, tiga tahun, terakhir 33 tahun. Upacara pada tahun ke-33 adalah upacara pamungkas. Setelah upacara tersebut, roh yang meninggal dipercaya sudah berada di tempat yang suci dan menjadi kami. Tinggal pihak anak-cucu menunggu berkah dan perlindungan yang akan turun dari kami tersebut.
2. Makam Jepang dan Perkembangannya
Kaga (1992: 6) mengatakan bahwa kuburan/makam dalam konsep Jepang kontemporer pada dasarnya adalah sebuah tempat untuk pemujaan roh nenek moyang, tidak semata-mata sebagai tempat untuk menyimpan tubuh manusia yang akan rusak karena proses kematian. Intinya, makam punya dua fungsi, yaitu : 1) makam kotor (tempat jenazah), 2) kuburan suci (tempat roh orang yang meninggal).
Sebagai tempat menyemayamkan jenazah (kuburan kotor), selain jenis penguburan ke dalam tanah, di dalam sejarah Jepang dikenal setidaknya ada empat jenis pengurusan/ cara menyemayamkan jenazah lainnya. Yaitu; 1) pemakaman air (suisou), 2) pemakaman udara (uchusou), 3) pemakaman semak (rinsou), 4) pemakaman api (kasou).
Pemakaman air adalah cara pengurusan jenazah dengan menghanyutkan atau membenamkannya ke dalam air, pemakaman udara adalah jenis pemakaman dengan meletakkan jenazah di suatu ruang terbuka di daerah ketinggian. Sedangkan pemakaman semak adalah jenis pemakaman dengan menyemayamkan jenazah di dalam rimbunan semak/ di sela-sela pohon besar. Kemudian, pemakaman api adalah jenis pengurusan jenazah dengan cara membakar mayat, atau yang lebih dikenal dengan istilah kremasi.
Sebelum masuk periode Meiji (1870-an), sebagian besar pemakaman Jepang merupakan jenis pemakaman tanah. Artinya, setelah meninggal dan melalui berbagai proses upacara kematian, mayat langsung dikubur ke dalam tanah. Dengan ukuran kuburan yang tidak jauh berbeda dengan kuburan-kuburan tanah lain di berbagai belahan dunia.
Fenomena paling menarik dalam sejarah Jepang tentang pemakaman dalam tanah ini dapat dilihat pada periode kofun/ zaman kofun (5-7M). Pada zaman ini, satus sosial seseorang sangat berpengaruh terhadap besar-kecilnya makam. Semakin besar makamnya, bisa dipastikan bahwa orang tersebut adalah orang yang mempunyai status sosial yang tinggi di dalam masyarakat. Khususnya kedudukan dalam strata pemerintahan. Suharja (2005: 20) dalam artikelnya yang berjudul Kofun, mengatakan bahwa pada zaman itu ditemukan sebuah makam yang berbentuk gundukan dengan luas mencapai 486 meter persegi. Kuburan itu kemudian diketahui sebagai makam seorang kaisar. Sementara, untuk makam masyarakat kebanyakan, biasanya berukuran paling besar tujuh meter dengang bentuk memanjang. Makam-makam kuno ini biasanya dibangun/ dibentuk dengan menggunakan batu alam.
Perlahan seiring dengan masuk dan berkembangnya agama Budha di Jepang, jenis pemakaman Jepangpun mulai berubah sedikit demi sedikit. Pemakaman tanah masih tetap berkembang, hanya saja tidak lagi seperti yang terjadi pada zaman kofun. Pemakaman sistem kremasi pun mulai masuk dan menyebar dalam kehidupan masyarakat Jepang. Hanya saja, sedikit berbeda dengan jenis kremasi pada ajaran Budha lainnya. Kalau di ajaran Budha lainnya seperti di Indonesia, setelah jenazah dikremasi, abu sisa pemabakaran tersebut akan disimpan di kuil-kuil Budha. Sedangkan untuk sistem kremasi Jepang, abu sisa dari kremasi, akan mengalami proses penyemayaman di rumah duka untuk batas waktu tertentu, sebelum nantinya dikuburkan kembali ke dalam tanah.
Dalam proses perkembangannya, ternyata pemakaman jenis kremasi memang menjadi dominan di dalam masyarakat Jepang. Akan tetapi, bukan berarti perkembangan tersebut berjalan lancar-lancar saja tampa hambatan. Pada zaman Tokugawa (1603-1868) pernah muncul gerakan anti kremasi. Gerakan ini dipelopori oleh petinggi-petinggi ajaran confusius. Pelopor gerakan ini berhasil mendekati pemerintah sehingga berhasil menelurkan aturan yang melarang masyarakat untuk melaksanakan proses pengurusan jenazah dengan cara kremasi. Dalilnya adalah, karena menurut ajaran konfusius, kremasi merupakan tindakan yang tidak berprikemanusiaan dan berpotensi merusak moralitas masyarakat. Belum lagi masalah polusi yang ditimbulkan sebagai akibat dari proses kremasi tersebut (Bellah: ).
Meskipun sempat dilarang pada masa Tokugawa, proses pemakaman kremasi pada akhir masa tersebut kembali diperbolehkan. Hal ini disinyalir oleh Bellah ( ) dalam Religi Tokugawa, karena semakin pesatnya pengaruh Budha dan juga karena masalah keterbatasan lahan. Faktor keterbatasan lahan yang memang menjadi masalah besar di negara yang pernah berada dalam kungkungan sistem feodalisme memungkinkan sekali mendorong dibukanya kembali larangan dan perkembangan proses pemakaman jenis kremasi tersebut.
Akhirnya, mulai dari 1900-an, proses pemakaman kremasi mencapai masa kejayaannya dalam dunia pemakaman Jepang hingga sekarang. Meskipun pada saat bersamaan, pengaruh agama kristen juga mulai berkembang dengan pesat di Jepang, ternyata tidak terjadi benturan dalam sitem pemakaman ini. Kedua blok kepercayaan, Budha dan Kristen seolah-olah telah dijinakkan oleh Shintoism, sistem kepercayaan tradisional yang telah mendarah-daging dalam kehidupan masyarakat Jepang. Sehingga, kedua sistem kepercayaan ini terlihat nyata saling berbaur pada bentuk dan bangun makam masyarakat Jepang. Lebih jelasnya, percampuran tersebut akan dibahas pada sub bab Budha dan Kristen pada Makam Jepang.
Seperti telah dibahas sebelumnya, bahwa dalam proses pemakaman Jepang ditemui dua kali penyemayaman. Yang pertama, penyemayaman dalam api/ kremasi, dilanjutkan dengan penyemayaman ke dalam tanah/ penguburan. Sebagai bagian dari proses pemakaman yang rawan bersentuhan dengan isu-isu modernisasi, khususnya masalah keterbatasan lahan. Maka, pemakaman jenis penguburan ke dalam tanah telah ditata sedemikian rupa, mulai dari pengelolaan sampai kepada luas lahan yang dipakai. Dalam hal ini, Suzuki (2001: 2) menggolongkan makam Jepang menjadi:
a. Pemakaman umum
1) Pemakaman yang dikelola pemerintah
2) Pemakaman yang dikelola desa
3) Pemakaman yang dikelola lembaga agama
b. Pemakaman pribadi
1) Pemakaman kelompok usaha
2) Pemakaman keluarga
Semua jenis makam di atas, saat ini, dari segi bentuk fisik tidak lah akan begitu berbeda dengan pemakaman-pemakaman lain di berbagai negara. Berbentuk biasa yang ditandai dengan sebuah nisan dengan luas yang sudah ditentukan, yaitu 2-5 X 1,5 meter. Hanya saja, meski terkesan sama dengan bangun kuburan di negara lain, ternyata pemakaman Jepang ini sangatlah hemat lahan. Sesuai dengan penamaan yang saat ini populer, yaitu makam keluarga, sebuah makam itu tidak berisi satu jenazah saja. Akan tetapi, berisi seluruh jenazah anggota keluarga.
Ketika seorang anggota keluarga meninggal, lalu dikremasi. Abu sisa jenazah tersebut setelah melewati berbagai proses akan disimpan di dalam guci, lalu ditanam di tanah makam keluarga di atas. Jadi, isi dari makam berukuran 2,2 X 1,5 di atas adalah guci-guci abu jenazah dari seluruh anggota keluarga yang telah meninggal. Satu poin penting yang harus diingat dari pemakaman jenis ini adalah, bahwa makam jenis ini adalah salah satu tanda dari kebesaran sebuah keluarga (ie). Oleh karena itu, tidak semua orang Jepang memiliki pemakaman seperti ini. Yang tidak tersebut, biasanya akan berkubur dipemakaman umum ataupun pemakaman kelompok usaha. Jadi, dalam konteks budaya, orang yang punya makam keluarga, dianggap sebagai orang yang sangat beradat (berbudaya).
3. Budha dan Kristen pada Makam Jepang (Bentuk dan Peralatan Makam)
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, bahwa pemakaman sangat erat hubungannya dengan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat. Begitu juga dengan pemakaman masyarakat Jepang. Perbedaannya, kalau pada pemakaman di negara kita dipengaruhi oleh satu jenis kepercayaan saja, seperti, Islam saja, Kristen saja, Budha saja. Pada pemakaman Jepang justru berbagai jenis kepercayaan seolah-olah menyatu di sana. Dalam hal ini, yang dominan adalah, Budha, Kristen dan Shinto.
Sebagai agama nasional dan agama tradisional masyarakat Jepang, tentunya kita berfikir bahwa unsur Shinto akan sangat mendominasi fisik pemakaman masyarakat Jepang. Akan tetapi, yang terjadi tidaklah demikian. Pada fisik makam, yang dominan justru unsur-unsur Budha dan kristen. Unsur Shinto hanya terlihat pada “makna suci” yang menyertai sebuah proses pemakaman. Yaitu, yang berkaitan dengan upacara-upacara pemujaan terhadap arwah orang yang telah meninggal, yang biasanya ditandai dengan altar yang ada di rumah-rumah (baca sub bab 1).
Unsur fisik makam yang dimaksud adalah; a) bentuk makam (nisan), b) simbol pada nisan, c) tulisan pada nisan.
a. Bentuk nisan (bokei)
Pada pemakaman masyarakat Jepang dewasa ini, ada dua macam bentuk nisan yang dominan, yaitu bentuk stupa dan batu alam (huruf U terbalik). Bentuk nisan seperti ini tetap dominan baik di pemakaman umat Budha ataupun di pemakaman umat beragama kristen.
b. Simbol pada nisan
Ada dua macam simbol yang banyak ditemui di pemakaman jepang, yaitu simbol keluarga ie (Shinto) yang disebut kamon, dan simbol salib (kristen). Pada makam keluarga, biasanya simbol kamon akan selalu ditemukan, meskipun anggota keluarga tersebut dalam kesehariannya adalah umat beragama kristen. Hal sebaliknya juga terjadi pada umat yang mengakunya beragama Budha, tapi pada pemakaman keluarganya kadang ditemukan simbol-simbol kristen, khususnya salib.
c. Tulisan pada nisan
Selain bentuk dan simbol pada makam, hal menarik lain yang terdapat pada makam Jepang adalah tulisan. Ada dua jenis tulisan, yaitu daftar nama keluarga termasuk yang belum mati, dan tulisan potongan ayat-ayat alkitab Budha dan nyanyian-nyanyian suci Kristiani. Sitomutang dalam artikelnya Perubahan Makam Jepang menemukan bahwa banyak makam Budha yang di nisannya juga ditemukan potongan nyanyian-nyanyian pemujaan Kristiani, dan begitu juga sebaliknya.
C. Penutup
Dari perubahan yang terjadi pada bentuk dan fungsi makam Jepang dari masa ke masa, tersirat konsep berfikir tentang kematian dan pemakaman yang sangat menarik untuk dikaji. Konsep-konsep berfikir yang terwujud dalam persepsi tentang kematian dan pemakaman itu bisa disimpulkan sebagai berikut:
1. Makam mempunyai dua makna dasar; yaitu, a) makna fisik, tempat untuk menyimpan jasad/ abu jenazah sebagai memori bagi anak cucu, b) makna suci, sebagai sarana untuk menjalin silaturrahim dengan para pendahulu.
2. Selain itu, makam juga memiliki makna sosial, karena makam merupakan salah satu simbol dari kebesaran sebuah keluarga (ie). Orang yang punya makam adalah orang yang berbudaya, karena ie adalah budaya Jepang.
3. Dilihat dari perkembangan bentuk fisiknya yang ternyata ditaklukkan oleh perkembangan zaman (baca masalah keterbatasan lahan), serta perubahan fungsi dari tempat berkuburnya seseorang (individu) menjadi tempat berkumpulnya sebuah keluarga (sosio-kultural), mengindikasikan adanya usaha untuk membuat keterbatasan menjadi lebih bermakna. Dalam hal ini bermakna dalam konteks sosio-kutural, apalagi dengan penetapan sistem tradisional ie sebagai latar-belakang bentuk fisik baru tersebut.
4. Dari segi makna/ nilai budaya, tidak terlihat perubahan pada kematian ataupun pemakaman Jepang. Persepsi/ konsep tentang kematian tetap merupakan fenomena alami dari sebuah siklus kehidupan. Poinnya tidak terletak pada ceremony yang mengiringi kematian atau pemakaman, tapi lebih kepada peringatan untuk terus menjaga dan melanjutkan hubungan dengan yang mati. Sangat mirip dengan konsep Islam; Silaturrahim adalah jembatan yang bisa menghubungkan dunia dengan akhirat, karena kita datang dari rahim, akan kembali menuju rahim, yaitu rahmatullah.
Referensi
Bellah, N. Robert. . Religi Tokugawa.
Danandjaja, James.200. Folklor Jepang di Mata Indonesia.
Koentjaraningrat. 1980. Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Muhardi. 1984. “Homo Humanis”. (Diktat Perkuliahan). Padang: Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS IKIP Padang.
Rosa, Adi…..Tato Pantang-Dadak dan Teknik Perkayuan Masyarakat Mentawai. (Jurnal Humanus UNP). Padang: UNP Press.
Sitomorang, Hamzon. 2006. Ilmu KeJepangan. Medan: USU Press.
https://www.blogger.com/comment.g?blogID=6903437012491525901&postID=7967858577518984748&isPopup=true
No comments:
Post a Comment