A.
PENDAHULUAN
Pada
akhir abad 9 dan 10 terjadi kekacauaan hampir di seluruh wilayah Jepang.
Kekacauan ini dipicu oleh persaingan yang terjadi antara bangsawan-bangsawan
dan pejabat-pejabat pemilik lahan/ tuan tanah. Kekacauan ini menjadi tidak
terkendali dan menjadi masalah besar karena ditunggangi oleh kelompok-kelompok
perampok. Pemerintah Jepang saat itu tidak mampu meredakan masalah ini karena
melibatkan sebagian besar pejabat pemerintahan sendiri. Akibatnya, para pemilik
lahan dan modal yang kecil mempersenjatai para pekerja guna mempertahankan
tanah mereka dengan sebuah ikatan perjanjian. Di dalam perjanjian itu, si Tuan
akan menjamin kehidupan pekerjanya, sebagai imbalannya para pekerja yang dalam
hal ini adalah petani harus memberikan kesetiaan yang mutlak kepada tuannya.
Mereka harus mematuhi tuan tanah dan menjaga tanahnya meskipun harus dengan
mengorbankan nyawa. Kelompok inilah yang kemudian dikenal sebagai Samurai, dan konsep kesetian mutlak yang
mendasari moralitas dan prilaku mereka ini lah yang nantinya dikenal dengan Bushidou.
Seiring
dengan semakin meluasnya kekacauan yang terjadi, kelompok-kelompok bersenjaata
ini pun mulai bertambah banyak, tapi masih dalm skop kecil. Sadar kekuatan
perampok terus bertambah, mereka bersatu dan mencari tuan yang lebih kuat
(bermodal/ berlahan besar). Yang berperan aktif dalam pencarian tuan yang lebih
kuat ini adalah tuan-tuan tanah mereka yang pertama. Sama dengan sebelumnya,
hubungan ini juga diikat oleh nilai kesetiaan mutlak. Bedanya, kalau sebelumnya
kesetiaan tersebut hanya pada satu tuan, sekarang jadi dua tuan dengan system
pemeringkatan. Dimana tuan yang bermodal besar berada pada urutan teratas, yang
kecil pada urutan berikutnya. Hal ini terus berlanjut hingga berujung pada dua
kelompok besar, yaitu kelompok Taira Dan Minamoto.
Peran
Samurai yang begitu besar dalam proses sejarah Jepang ini tidak bisa diabaikan
begitu saja. Disamping memiliki andil yang sangat besar dalam menciptakan
stabilitas keamanan, mereka juga berperan besar dalam menegakkan nilai-nilai
tradisional Jepang melalui Bushidou.
Sehingga pada pada tahun 1192 pimpinan kelompok samurai ini dinobatkan oleh
kaisar menjadi panglima perang sekaligus kepala keamanan negara (shogun), dan etika yang mereka anut (Bushidou) diresmikan sebagai nilai yang
mendasari kepribadian dan moralitas bangsa Jepang. Sementara itu, para samurai
diangkat menjadi tentara (Bushi)
penjaga stabilitas keamanan sekaligus penegak moralitas bangsa ( Nitobe, 1992:
1).
Bushidou ini berkembang pesat
pada masa Shogun Tokugawa yang
berkuasa dari tahun 1603 – 1867. Hal ini disebabkan oleh kebijakan politik yang
ditetapkan oleh Tokugawa, yaitu; 1) menjadikan kaisar sebagai puncak dari
hirarki konsep kesetiaan mutlak Bushidou,
dan untuk menjaga kesuciannya itu, kaisar tidak dilibatkan dalam urusan
politik, 2) menetapkan system
pengkelasan dalam masyarakat, 3) menetapkan bushidou
sebagai nilai moral yang harus ditaati, 3) menutup Jepang dari pengaruh
dunia luar (Sakoku) demi menjaga
kesucian negara dan kaisar (dewa). Dalam hal ini, samurai/ bushi ditugaskan sebagai penegak kebijakan pemerintah tersebut,
dan boleh menghukum hingga membunuh di tempat rakyat yang membangkang kebijakan
atau melanggar moralitas bangsa yang telah ditetapkan.
Ketika
pemerintahan Tokugawa berakhir, Jepang mulai memodernisasikan diri dengan
melakukan perombakan besar-besaran terutama pada struktur social dan system
pemerintahan. Hal pertama yang dilakukan pemerintahan baru yang dikenal dengan
pemerintahan Meiji adalah menghapus system pengkelasan masyarakat yang jelas
sama saja dengan menghilangkan status social
samurai sekaligus pekerjaan
mereka. Sedangkan Bushidou yang pada
masa sebelumnya menjadi landasan moralitas dan kepribadian bangsa tidak jelas
kedudukannya. Apakah ditiadakan juga seperti pembawanya (samurai)?. Yang jelas sejak saat itu, seiring bergulirnya
modernisasi, pengaruh Barat (Eropa dan Amerika) mulai dari industrialisasi dan
nilai-nilainya hingga ke kristenisasi dengan bebas memasuki kehidupan
masyarakat Jepang. Mampukah Bushidou bertahan
sebagai nilai yang menjadi ciri moralitas dan kepribadian bangsa Jepang?. Hal
ini lah yang penulis telusuri melalui makalah “Bushidou dan modernisasi
Meiji”
B.
PEMBAHASAN
1.
Bushidou
pada Masa Akhir Tokugawa (Restorasi Meiji)
Keberadaan
samurai/ Bushi sebagai pelaksana
kebijakan pemerintahan Tokugawa menjadi penentu dari keberhasilan kebijakan
tersebut. Keteladanan mereka dalam
melaksanakan tugas membuat bushidou betul-betul
merasuk ke dalam jiwa dan sanubari rakyat Jepang. Loyalitas yang tinggi
terhadap atasan yang ditunjukkan samurai membuat
masyarakat bisa memahami hirarki kesetiaan mutlak Bushidou dan menerima system pengkelasan masyarakat, dan tetap loyal
kepada pemerintah karena mereka merasa pemerintah dan samurai/ Bushi hanyalah perpanjangan tangan dari dewa mereka, yaitu
kaisar yang merupakan puncak dari kesetiaan Bushidou. Selanjutnya,
kebijakan sakoku membuat tidak bisa
masuknya pengaruh dan ideology dunia luar, sehingga sikap moral (Bushido)
menjadi satu-satunya pedoman dan pandangan hidup yang dipahami oleh masyarakat
saat itu. Jadi, system nilai yang menjadi pondasi kebudayaan, telah berhasil
dikokohkan Jepang pada era Tokugawa ini.
Di
sisi lain, memasuki 2 abad lebih kepemimpinan dan kebijakan sakoku yang dilaksanakannya,
pemerintahan Tokugawa mengalami krisis keuangan. Krisis ini sebenarnya tidak
lah menggoyahkan pemerintah, karena masyarakat tetap loyal kepada pemerintah
walaupun harus membayar pajak yang tinggi guna menstabilkan keuangan negara.
Hanya saja, pemerintah mulai mendapat kritikan dari tokoh-tokoh cendikiawan
yang sebagian besar berasal dari kalangan
samurai karena tidak mampu mengatasi krisis keuangan negara, malah
membebani rakyat dengan pajak yang tinggi. Hal ini menunjukkan kegagalan
pemerintah dalam melaksanakan kewajiban untuk melindungi rakyatnya seperti yang
tertuang dalam konsep Bushidou yang
telah ditetapkan sebagai moralitas bangsa.
Puncak
krisis pemerintahan Tokugawa ini adalah ketika datangnya Commodore Perry
beserta armadanya. Keberhasilan Perry menekan dan memaksa Tokugawa membuka
pelabuhan Jepang untuk kapal-kapal asing, menyudutkan pemerintahan Tokugawa.
Dari dalam negeri, protes terhadap pemerintah Tokugawa dengan cepat berkembang
menjadi gerakan yang menuntut mundurnya pemerintahan Tokugawa. Hal ini terjadi
adalah karena rakyat merasa Tokugawa telah gagal melindungi kesucian kaisar
dari ancaman pihak luar. Sekali lagi “senjata makan tuan”, kegagalan pemerintahan Tokugawa ditentukan
oleh keberhasilan kebijakan yang telah ia tanamkan sendiri. Hal ini ditegaskan
oleh ungkapan yang menjadi isu politik saat itu yang berbunyi “hormatilah
kaisar, usir orang asing”. Pelopor gerakan yang dikenal sebagai Restorasi Meiji
ini sebagian besar berasal dari kalangan
samurai, seperti; Ito Hirobumi, Saigo Takamori, Sakamoto Ryouma, Kido Koin,
Komatsu Tatewaki, dan lain-lain (Sayyidiman, 1982: 24).
Akhirnya
pada tahun 1868, pemerintahan Tokugawa berpindah ke tangan pemerintahan yang
baru, pemerintahan Meiji.
2.
Bushidou pada Masa Meiji
Sebagai
nilai yang mendasari modernisasi Jepang di era Meiji, Bushidou tidak bisa ditelusuri langsung dari para samurai, karena status social samurai itu sendiri telah ditiadakan bersamaan
dengan kelas social yang lain. Oleh karena itu, akan lebih efisien Bushidou ini jika ditelusuri pada sector-sektor yang menjadi tempat sekaligus penanda
dari dari modernisasi Jepang saat itu, yaitu; pada sector politik dan sector
industri. Hal ini ditegaskan oleh Kusonoki (dalam Ketut,1990: 8) bahwa sector
politik dan industri Jepang adalah pusat perhatian dari modernisasi Jepang pada
era Meiji.
a.
Dalam Dunia Politik/Pemerintahan
Kementrian
Luar Negeri Jepang (1987, 99 – 100) di dalam “Sejarah Kebudayaan Jepang Sebuah
Perspektif” menyatakan bahwa Restorasi Meiji yang secara resmi ditetapkan
dimulai pada tanggal 3 Januari 1868 membuka jalan ke arah Modernisasi Jepang.
Sikap anti asing dan menjaga kehormatan kaisar menjadi isu politik yang paling
hangat saat itu. Isu inilah yang mendasari runtuhnya rezim Tokugawa, dan atas
dasar isu politik ini pula lah tokoh-tokoh penggerak Restorasi Meiji menyusun
pemerintahan baru.
Bentuk
pemerintahan Meiji ini mirip dengan pemerintahan Jepang kuno. Kaisar tidak
hanya sebagai symbol keagungan dan pemersatu, tapi juga terlibat dalam
menangani masalah politik dan pemerintahan yang di zaman Tokugawa dilarang. Kemudian
pelaksana harian pemerintahan yang di zaman Tokugawa dikepalai oleh Shogun diganti dengan perdana mentri. Dalam
hal ini, kaisar didampingi oleh Genrou (badan
penasehat) yang berada di luar konstitusi. Selanjutnya, dibentuk majelis
perwakilan yang disebut dengan Majelis Tinggi dan Majelis Rendah, serta cabinet
yang diisioleh mentri-mentri yang diatur oleh konstitusi dan bertanggung jawab
langsung kepada kaisar. Pemerintahan daerah yang sebelumnya dijalankan dengan
system Feodal (pemimpinnya Daimyou)
diganti dengan pemerintahan daerah dengan pimpinan seoarang gubernur.
Meskipun
telah memiliki susunan seperti yang digambarkan secara umum di atas, tetapi
pada prosesnya pemerintahan ini masih jauh dari cara-cara demokatis. Perekrutan
anggota cabinet dan segala macam keputusan berada di bawah pengaruh Genrou (penasehat kaisar), sehingga azas
musyawarah tidak berjalan dengan semestinya. Sementara itu, Majelis Rendah yang
merupakan badan perwakilan rakyat lebih berfungsi sebagai corong pemerintah
daripada sebagai perpenjangan lidah rakyat. Sehingga keberadaan majelis ini
seoalah-olah tidak lebih dari sekedar hadiah Restorasi Meiji kepada rakyat, dan
keberadaan kaisar sebagai penguasa tertinggi sebagai pendeklarasian bahwa
pemerintahan Meiji benar-benar menghargai dan ingin mengoptimalkan peran kaisar
baik sebagai dewa ataupun sebagai kepala Negara. Oleh karena itu, rakyat harus
mematuhi pemerintah, karena pemerintah adalah wadah yang telah mengembalikan
dewa mereka, sekaligus wadah yang telah memberi ruang kepada rakyat untuk
menempatkan wakil-wakilnya di “tempat yang lebih tinggi”.
Bennedict
(1928: 87) menyatakan bahwa melalui UUD 1889 pemerintah Meiji menjamin
kedudukan kaisar dan rakyat Jepang dalam pemerintahan. Dalam UUD ini juga ditegaskan kedudukan kaisar
sebagai dewa yang harus ditaati oleh seluruh rakyat. Hal ini jelas sangat
membantu hubungan rakyat dengan pemerintah, karena rakyat tentu akan kembali
lagi pada kepada konsep kepatuhan Bushidou,
kepatuhan mutlak yang selama ini mereka lakukan. Dan dengan sendirinya pemerintah juga akan menerima kepatuhan yang sama karena telah menjadi wadah
yang mendekatkat rakyat dengan kaisar yang diyakini sebagai dewa. Pendek kata,
mendukung dan taat pada aturan pemerintah sama dengan ibadah kepada dewa.
b.
Dalam Dunia Industri
Perubahan
system social dan politik sebagai akibat pertukaran pemerintahan dari rezim
Tokugawa ke rezim Meiji memberi warna baru terhadap dunia kerja Jepang.
Masyarakat yang semula hanya bisa bekerja sesuai dengan “tempatnya” dalam
system social yang ditetapkan Tokugawa, mulai berpindah haluan sesuai dengan
bakat dan minatnya masing-masing. Pedagang sudah bisa menjadi pengrajin, pengrajin
sudah bisa menjadi petani, petani pun sudah mulai banting stir menjadi pedagang
atau pengrajin. Para Samurai pun yang semula hanya bekerja di sector
pemerintahan dan sebagai penjaga keamanan, mulai terjun ke berbagai dunia usaha
yang mereka inginkan.
Seiring
dengan perubahan social dan politik di atas, perekonomian Jepang mulai menapaki
jenjang industrialisasi. Hal ini ditandai dengan bermunculannya
perusahaan-perusahaan kecil dan menengah yang sebagian besar merupakan gabungan
dari beberapa usaha-usaha keluarga (industri rumahtangga), yang di era Tokugawa
susah berkembang karena terhambat oleh system social yang berlaku. Hambatan-hambatan
itu antara lain; kurangnya SDM karena hanya golongan samurai dan bangsawan yang
menikmati pendidikan, kurangnya modal karena tidak bisa bekerja sama/ meminjam
dan pajak yang sangat tinggi.
Namun,
meskipun masa Meiji baru berumur 20 tahunan, pada tahun 1990, Jepang telah
muncul sebagai sebuah negara yang industrinya telah mampu bersaing dengan
negara-negara Eropa yang telah lama melaksanakan modernisasi. Bahkan Phyle (1988: 3) mengatakan bahwa sebuah
penelitian tentang negara-negara modern menyimpulkan kemajuan yang dicapai Jepang
pada masa Meiji merupakan transformasi yang paling luar biasa yang pernah
dialami oleh suatu bangsa dalam waktu sesingkat itu.
Tujuan
Pembangunan Nasional Jepang pada masa Meiji dipopulerkan lewat ungkapan Fukoku Kyouhei (Negara sejahtera,
tentara kuat). Dalam rangka mewujudkannya, pemerintah menjalin kerjasama dengan
Zaibatsu, yaitu perusahaan-perusahaan
pemilik modal besar yang memegang peranan penting dalam perekonomian dan
industri Jepang saat itu. Sehingga perusahaan-perusahaan besar pada masa Meiji
seperti Mitsui dan Mitsubishi, terkenal dengan sebutan “teman-teman pemerintah”
(Beasley, 2003: 282).
Sejalan
dengan hal tersebut, Fukuzawa Yukichi (dalam Bey, 1985: 87) mengatakan bahwa pemerintah
pada zaman Meiji menetapkan setiap warga Negara Jepang mempunyai dua fungsi dan
kedudukan, yaitu sebagai tuan rumah dan sekaligus sebagai tamu bagi Negara.
Sebagai tuan rumah, setiap warga Negara harus bersatu-padu membangun, menjaga,
dan menegakkan hokum dan UU yang berlaku. Sebaliknya, sebagai tamu, setiap
warga Negara harus patuh kepada hokum dan UU yang ada. Dalam hal ini, Negara
diidentifikasikan sebagai sebuah perusahaan besar, dan warga Negara sebagai
pengusaha-pengusaha atau pedagang-pedagang
yang ada di dalamnya. Mereka yang menyusun aturan bersama-sama, akan
tetapi, sekali aturan itu berlaku, mereka juga harus mematuhi aturan-aturan
yang mereka buat tersebut.
Jika
dihubungkan antara pendekatan yang dilakukan pemerintah dengan kemajuan pesat
yang dialami sector industri Jepang, ditemukan adanya indikasi bahwa pemerintah
Meiji berusaha untuk menasionalisasikan perusahaan-perusahaan besar yang ada.
Nasionalisasi dalam artian bahwa perusahaan harus terlibat dalam mewujudkan
tujuan nasional bangsa yang tertuang dalam
ungkapan Fukoku Kyouhei, sesuai dengan
tempatnya yaitu di sector ekonomi dan
industri. Disamping itu, secara individu atau pun kelompok, masuknya pengaruh Fukoku Kyouhei dalam tujuan perusahaan
tentunya akan menciptakan rasa nasionalisme di kalangan para pengusaha,
pedagang, dan pekerja yang terlibat di dalam perusahaan-perusahaan Jepang.
Sehingga nilai-nilai kemajuan seperti disiplin, bekerja keras, ulet yang
dimiliki kaum industrialis sampai pekerja Jepang tidak hanya didasari oleh
aturan perusahaan, tetapi juga didasari oleh nilai nasionalisme dan nilai
cultural. Nilai nasionalisme dan cultural itu dapat diindikasikan bersumber dari
Bushidou karena, 1) Fukoku
Kyouhei adalah ungkapan yang dipopulerkan oleh tokoh-tokoh samurai
penggerak Restorasi Meiji seperti Ito Hirobumi,Saigo Takamori, Kido Koin,
Sakamoto Ryouma, dan lain-lain., 2) Meski pun telah memasuki era baru, tetapi
tokoh-tokoh yang berpengaruh baik di sector industri maupun pemerintahan sesungguhnya
masih “orang lama” yang tumbuh dan dibesarkan dalam lingkungan yang kental
dengan nilai-nilai tradisional (Bushidou)
di era Tokugawa.
C.
PENUTUP
Dari
pembahasan yang ada, dapat ditarik simpulan sebagai berikut:
1. Restorasi Meiji
dipelopori oleh samurai, dan perubahan pertama yang terjadi justru penghapusan
system pengkelasan masyarakat yang sebenarnya menguntungkan samurai. Dari hal ini, dapat disimpulkan
bahwa restorasi Meiji sebenarnya adalah reformasi yang dilakukan oleh para samurai.
2. Pada masa Meiji, bushidou tidak bisa memodernisasikan
pemerintahan Jepang karena secara tidak langsung telah menyebabkan sistem
demokrasi tidak berjalan.
3. Di sector industri, bushidou mempunyai peran yang luar
biasa, karena mampu berkolaborasi dengan nilai-nilai kemajuan yang menjadi
syarat dari sebuah proses industrialisasi. Sehingga, nilai kemajuan yang
berkembang di lingkungan industri Jepang justru didasari oleh nilai cultural.
D. DAFTAR
PUSTAKA
Beasley, WG. 2003. Pengalaman Jepang. Jakarta: Sinar Harapan
Bennedict. 1992. Samurai dan Bunga Seruni, Pola-Pola Kebudayaan
Jepang. Jakarta: Sinar
Harapan.
Bey, Arifin. 1985. Jepang di Antara Feodalisme dan Modernisme.
Bandung: PT. Panca
Simpati.
Inazo, Nitobe. 1992. Bushidou. Semarang: Yayasan Karti Sarana.
Koenjaraningrat. 1985. Kebudayaan Mentalitas dan
Pembangunan.
Jakarta: PT.
Gramedia
Phyle, Kenneth B. 1988. Generasi Baru Zaman Meiji. Jakarta: PT.
Gramedia
Sayyidiman.1987.
Belajar Dari Jepang, Manusia dan Masyarakat
Jepang dalam Perjuangan Hidup. Jakarta: UI.
Surajaya,
I Ketut. 1990. Makna Modernisasi Meiji
bagi Pembangunan
Indonesia.
No comments:
Post a Comment