Wednesday, January 23, 2013

Bushidou dan Modernisasi Meiji


A.   PENDAHULUAN
Pada akhir abad 9 dan 10 terjadi kekacauaan hampir di seluruh wilayah Jepang. Kekacauan ini dipicu oleh persaingan yang terjadi antara bangsawan-bangsawan dan pejabat-pejabat pemilik lahan/ tuan tanah. Kekacauan ini menjadi tidak terkendali dan menjadi masalah besar karena ditunggangi oleh kelompok-kelompok perampok. Pemerintah Jepang saat itu tidak mampu meredakan masalah ini karena melibatkan sebagian besar pejabat pemerintahan sendiri. Akibatnya, para pemilik lahan dan modal yang kecil mempersenjatai para pekerja guna mempertahankan tanah mereka dengan sebuah ikatan perjanjian. Di dalam perjanjian itu, si Tuan akan menjamin kehidupan pekerjanya, sebagai imbalannya para pekerja yang dalam hal ini adalah petani harus memberikan kesetiaan yang mutlak kepada tuannya. Mereka harus mematuhi tuan tanah dan menjaga tanahnya meskipun harus dengan mengorbankan nyawa. Kelompok inilah yang kemudian dikenal sebagai Samurai, dan konsep kesetian mutlak yang mendasari moralitas dan prilaku mereka ini lah yang nantinya dikenal dengan Bushidou.
Seiring dengan semakin meluasnya kekacauan yang terjadi, kelompok-kelompok bersenjaata ini pun mulai bertambah banyak, tapi masih dalm skop kecil. Sadar kekuatan perampok terus bertambah, mereka bersatu dan mencari tuan yang lebih kuat (bermodal/ berlahan besar). Yang berperan aktif dalam pencarian tuan yang lebih kuat ini adalah tuan-tuan tanah mereka yang pertama. Sama dengan sebelumnya, hubungan ini juga diikat oleh nilai kesetiaan mutlak. Bedanya, kalau sebelumnya kesetiaan tersebut hanya pada satu tuan, sekarang jadi dua tuan dengan system pemeringkatan. Dimana tuan yang bermodal besar berada pada urutan teratas, yang kecil pada urutan berikutnya. Hal ini terus berlanjut hingga berujung pada dua kelompok besar, yaitu kelompok Taira Dan Minamoto.
Peran Samurai yang begitu besar dalam proses sejarah Jepang ini tidak bisa diabaikan begitu saja. Disamping memiliki andil yang sangat besar dalam menciptakan stabilitas keamanan, mereka juga berperan besar dalam menegakkan nilai-nilai tradisional Jepang melalui Bushidou. Sehingga pada pada tahun 1192 pimpinan kelompok samurai ini dinobatkan oleh kaisar menjadi panglima perang sekaligus kepala keamanan negara (shogun), dan etika yang mereka anut (Bushidou) diresmikan sebagai nilai yang mendasari kepribadian dan moralitas bangsa Jepang. Sementara itu, para samurai diangkat menjadi tentara (Bushi) penjaga stabilitas keamanan sekaligus penegak moralitas bangsa ( Nitobe, 1992: 1).   
Bushidou ini berkembang pesat pada masa Shogun Tokugawa yang berkuasa dari tahun 1603 – 1867. Hal ini disebabkan oleh kebijakan politik yang ditetapkan oleh Tokugawa, yaitu; 1) menjadikan kaisar sebagai puncak dari hirarki konsep kesetiaan mutlak Bushidou, dan untuk menjaga kesuciannya itu, kaisar tidak dilibatkan dalam urusan politik, 2) menetapkan system pengkelasan dalam masyarakat, 3) menetapkan bushidou sebagai nilai moral yang harus ditaati, 3) menutup Jepang dari pengaruh dunia luar (Sakoku) demi menjaga kesucian negara dan kaisar (dewa). Dalam hal ini, samurai/ bushi ditugaskan sebagai penegak kebijakan pemerintah tersebut, dan boleh menghukum hingga membunuh di tempat rakyat yang membangkang kebijakan atau melanggar moralitas bangsa yang telah ditetapkan.
Ketika pemerintahan Tokugawa berakhir, Jepang mulai memodernisasikan diri dengan melakukan perombakan besar-besaran terutama pada struktur social dan system pemerintahan. Hal pertama yang dilakukan pemerintahan baru yang dikenal dengan pemerintahan Meiji adalah menghapus system pengkelasan masyarakat yang jelas sama saja dengan menghilangkan status social  samurai sekaligus pekerjaan mereka. Sedangkan Bushidou yang pada masa sebelumnya menjadi landasan moralitas dan kepribadian bangsa tidak jelas kedudukannya. Apakah ditiadakan juga seperti pembawanya (samurai)?. Yang jelas sejak saat itu, seiring bergulirnya modernisasi, pengaruh Barat (Eropa dan Amerika) mulai dari industrialisasi dan nilai-nilainya hingga ke kristenisasi dengan bebas memasuki kehidupan masyarakat Jepang. Mampukah Bushidou bertahan sebagai nilai yang menjadi ciri moralitas dan kepribadian bangsa Jepang?. Hal ini lah yang penulis telusuri melalui makalah “Bushidou dan modernisasi Meiji” 

B.   PEMBAHASAN
1.    Bushidou pada Masa Akhir Tokugawa (Restorasi Meiji)
Keberadaan samurai/ Bushi sebagai pelaksana kebijakan pemerintahan Tokugawa menjadi penentu dari keberhasilan kebijakan tersebut.  Keteladanan mereka dalam melaksanakan tugas membuat bushidou betul-betul merasuk ke dalam jiwa dan sanubari rakyat Jepang. Loyalitas yang tinggi terhadap atasan yang ditunjukkan samurai membuat masyarakat bisa memahami hirarki kesetiaan mutlak Bushidou dan menerima system pengkelasan masyarakat, dan tetap loyal kepada pemerintah karena mereka merasa pemerintah dan samurai/ Bushi hanyalah perpanjangan tangan dari dewa mereka, yaitu kaisar yang merupakan puncak dari kesetiaan Bushidou. Selanjutnya, kebijakan sakoku membuat tidak bisa masuknya pengaruh dan ideology dunia luar, sehingga sikap moral (Bushido) menjadi satu-satunya pedoman dan pandangan hidup yang dipahami oleh masyarakat saat itu. Jadi, system nilai yang menjadi pondasi kebudayaan, telah berhasil dikokohkan Jepang pada era Tokugawa ini.
Di sisi lain, memasuki 2 abad lebih kepemimpinan dan kebijakan sakoku yang dilaksanakannya, pemerintahan Tokugawa mengalami krisis keuangan. Krisis ini sebenarnya tidak lah menggoyahkan pemerintah, karena masyarakat tetap loyal kepada pemerintah walaupun harus membayar pajak yang tinggi guna menstabilkan keuangan negara. Hanya saja, pemerintah mulai mendapat kritikan dari tokoh-tokoh cendikiawan yang sebagian besar berasal dari kalangan samurai karena tidak mampu mengatasi krisis keuangan negara, malah membebani rakyat dengan pajak yang tinggi. Hal ini menunjukkan kegagalan pemerintah dalam melaksanakan kewajiban untuk melindungi rakyatnya seperti yang tertuang dalam konsep Bushidou yang telah ditetapkan sebagai moralitas bangsa.
Puncak krisis pemerintahan Tokugawa ini adalah ketika datangnya Commodore Perry beserta armadanya. Keberhasilan Perry menekan dan memaksa Tokugawa membuka pelabuhan Jepang untuk kapal-kapal asing, menyudutkan pemerintahan Tokugawa. Dari dalam negeri, protes terhadap pemerintah Tokugawa dengan cepat berkembang menjadi gerakan yang menuntut mundurnya pemerintahan Tokugawa. Hal ini terjadi adalah karena rakyat merasa Tokugawa telah gagal melindungi kesucian kaisar dari ancaman pihak luar. Sekali lagi “senjata makan tuan”,  kegagalan pemerintahan Tokugawa ditentukan oleh keberhasilan kebijakan yang telah ia tanamkan sendiri. Hal ini ditegaskan oleh ungkapan yang menjadi isu politik saat itu yang berbunyi “hormatilah kaisar, usir orang asing”. Pelopor gerakan yang dikenal sebagai Restorasi Meiji ini sebagian besar berasal dari kalangan samurai, seperti; Ito Hirobumi, Saigo Takamori, Sakamoto Ryouma, Kido Koin, Komatsu Tatewaki, dan lain-lain (Sayyidiman, 1982: 24).
Akhirnya pada tahun 1868, pemerintahan Tokugawa berpindah ke tangan pemerintahan yang baru, pemerintahan Meiji.

2.   Bushidou pada Masa Meiji
Sebagai nilai yang mendasari modernisasi Jepang di era Meiji, Bushidou tidak bisa ditelusuri langsung dari para samurai, karena status social samurai itu sendiri telah ditiadakan bersamaan dengan kelas social yang lain. Oleh karena itu, akan lebih efisien Bushidou ini jika ditelusuri pada sector-sektor yang menjadi tempat sekaligus penanda dari dari modernisasi Jepang saat itu, yaitu; pada sector politik dan sector industri. Hal ini ditegaskan oleh Kusonoki (dalam Ketut,1990: 8) bahwa sector politik dan industri Jepang adalah pusat perhatian dari modernisasi Jepang pada era Meiji.

a.    Dalam Dunia Politik/Pemerintahan
Kementrian Luar Negeri Jepang (1987, 99 – 100) di dalam “Sejarah Kebudayaan Jepang Sebuah Perspektif” menyatakan bahwa Restorasi Meiji yang secara resmi ditetapkan dimulai pada tanggal 3 Januari 1868 membuka jalan ke arah Modernisasi Jepang. Sikap anti asing dan menjaga kehormatan kaisar menjadi isu politik yang paling hangat saat itu. Isu inilah yang mendasari runtuhnya rezim Tokugawa, dan atas dasar isu politik ini pula lah tokoh-tokoh penggerak Restorasi Meiji menyusun pemerintahan baru.
Bentuk pemerintahan Meiji ini mirip dengan pemerintahan Jepang kuno. Kaisar tidak hanya sebagai symbol keagungan dan pemersatu, tapi juga terlibat dalam menangani masalah politik dan pemerintahan yang di zaman Tokugawa dilarang. Kemudian pelaksana harian pemerintahan yang di zaman Tokugawa dikepalai oleh Shogun diganti dengan perdana mentri. Dalam hal ini, kaisar didampingi oleh Genrou (badan penasehat) yang berada di luar konstitusi. Selanjutnya, dibentuk majelis perwakilan yang disebut dengan Majelis Tinggi dan Majelis Rendah, serta cabinet yang diisioleh mentri-mentri yang diatur oleh konstitusi dan bertanggung jawab langsung kepada kaisar. Pemerintahan daerah yang sebelumnya dijalankan dengan system Feodal (pemimpinnya Daimyou) diganti dengan pemerintahan daerah dengan pimpinan seoarang gubernur.
Meskipun telah memiliki susunan seperti yang digambarkan secara umum di atas, tetapi pada prosesnya pemerintahan ini masih jauh dari cara-cara demokatis. Perekrutan anggota cabinet dan segala macam keputusan berada di bawah pengaruh Genrou (penasehat kaisar), sehingga azas musyawarah tidak berjalan dengan semestinya. Sementara itu, Majelis Rendah yang merupakan badan perwakilan rakyat lebih berfungsi sebagai corong pemerintah daripada sebagai perpenjangan lidah rakyat. Sehingga keberadaan majelis ini seoalah-olah tidak lebih dari sekedar hadiah Restorasi Meiji kepada rakyat, dan keberadaan kaisar sebagai penguasa tertinggi sebagai pendeklarasian bahwa pemerintahan Meiji benar-benar menghargai dan ingin mengoptimalkan peran kaisar baik sebagai dewa ataupun sebagai kepala Negara. Oleh karena itu, rakyat harus mematuhi pemerintah, karena pemerintah adalah wadah yang telah mengembalikan dewa mereka, sekaligus wadah yang telah memberi ruang kepada rakyat untuk menempatkan wakil-wakilnya di “tempat yang lebih tinggi”.
Bennedict (1928: 87) menyatakan bahwa melalui UUD 1889 pemerintah Meiji menjamin kedudukan kaisar dan rakyat Jepang dalam pemerintahan.  Dalam UUD ini juga ditegaskan kedudukan kaisar sebagai dewa yang harus ditaati oleh seluruh rakyat. Hal ini jelas sangat membantu hubungan rakyat dengan pemerintah, karena rakyat tentu akan kembali lagi pada kepada konsep kepatuhan Bushidou, kepatuhan mutlak yang selama ini mereka lakukan. Dan dengan sendirinya  pemerintah juga akan menerima  kepatuhan yang sama karena telah menjadi wadah yang mendekatkat rakyat dengan kaisar yang diyakini sebagai dewa. Pendek kata, mendukung dan taat pada aturan pemerintah sama dengan ibadah kepada dewa.

b.   Dalam Dunia Industri
Perubahan system social dan politik sebagai akibat pertukaran pemerintahan dari rezim Tokugawa ke rezim Meiji memberi warna baru terhadap dunia kerja Jepang. Masyarakat yang semula hanya bisa bekerja sesuai dengan “tempatnya” dalam system social yang ditetapkan Tokugawa, mulai berpindah haluan sesuai dengan bakat dan minatnya masing-masing. Pedagang sudah bisa menjadi pengrajin, pengrajin sudah bisa menjadi petani, petani pun sudah mulai banting stir menjadi pedagang atau pengrajin. Para Samurai pun yang semula hanya bekerja di sector pemerintahan dan sebagai penjaga keamanan, mulai terjun ke berbagai dunia usaha yang mereka inginkan.
Seiring dengan perubahan social dan politik di atas, perekonomian Jepang mulai menapaki jenjang industrialisasi. Hal ini ditandai dengan bermunculannya perusahaan-perusahaan kecil dan menengah yang sebagian besar merupakan gabungan dari beberapa usaha-usaha keluarga (industri rumahtangga), yang di era Tokugawa susah berkembang karena terhambat oleh system social yang berlaku. Hambatan-hambatan itu antara lain; kurangnya SDM karena hanya golongan samurai dan bangsawan yang menikmati pendidikan, kurangnya modal karena tidak bisa bekerja sama/ meminjam dan pajak yang sangat tinggi.
Namun, meskipun masa Meiji baru berumur 20 tahunan, pada tahun 1990, Jepang telah muncul sebagai sebuah negara yang industrinya telah mampu bersaing dengan negara-negara Eropa yang telah lama melaksanakan modernisasi. Bahkan  Phyle (1988: 3) mengatakan bahwa sebuah penelitian tentang negara-negara modern menyimpulkan kemajuan yang dicapai Jepang pada masa Meiji merupakan transformasi yang paling luar biasa yang pernah dialami oleh suatu bangsa dalam waktu sesingkat itu.
Tujuan Pembangunan Nasional Jepang pada masa Meiji dipopulerkan lewat ungkapan Fukoku Kyouhei (Negara sejahtera, tentara kuat). Dalam rangka mewujudkannya, pemerintah menjalin kerjasama dengan Zaibatsu, yaitu perusahaan-perusahaan pemilik modal besar yang memegang peranan penting dalam perekonomian dan industri Jepang saat itu. Sehingga perusahaan-perusahaan besar pada masa Meiji seperti Mitsui dan Mitsubishi, terkenal dengan sebutan “teman-teman pemerintah” (Beasley, 2003: 282). 
Sejalan dengan hal tersebut, Fukuzawa Yukichi (dalam Bey, 1985: 87) mengatakan bahwa pemerintah pada zaman Meiji menetapkan setiap warga Negara Jepang mempunyai dua fungsi dan kedudukan, yaitu sebagai tuan rumah dan sekaligus sebagai tamu bagi Negara. Sebagai tuan rumah, setiap warga Negara harus bersatu-padu membangun, menjaga, dan menegakkan hokum dan UU yang berlaku. Sebaliknya, sebagai tamu, setiap warga Negara harus patuh kepada hokum dan UU yang ada. Dalam hal ini, Negara diidentifikasikan sebagai sebuah perusahaan besar, dan warga Negara sebagai pengusaha-pengusaha atau pedagang-pedagang  yang ada di dalamnya. Mereka yang menyusun aturan bersama-sama, akan tetapi, sekali aturan itu berlaku, mereka juga harus mematuhi aturan-aturan yang mereka buat tersebut.
Jika dihubungkan antara pendekatan yang dilakukan pemerintah dengan kemajuan pesat yang dialami sector industri Jepang, ditemukan adanya indikasi bahwa pemerintah Meiji berusaha untuk menasionalisasikan perusahaan-perusahaan besar yang ada. Nasionalisasi dalam artian bahwa perusahaan harus terlibat dalam mewujudkan tujuan nasional bangsa  yang tertuang dalam ungkapan  Fukoku Kyouhei, sesuai dengan tempatnya  yaitu di sector ekonomi dan industri. Disamping itu, secara individu atau pun kelompok, masuknya pengaruh Fukoku Kyouhei dalam tujuan perusahaan tentunya akan menciptakan rasa nasionalisme di kalangan para pengusaha, pedagang, dan pekerja yang terlibat di dalam perusahaan-perusahaan Jepang. Sehingga nilai-nilai kemajuan seperti disiplin, bekerja keras, ulet yang dimiliki kaum industrialis sampai pekerja Jepang tidak hanya didasari oleh aturan perusahaan, tetapi juga didasari oleh nilai nasionalisme dan nilai cultural. Nilai nasionalisme dan cultural itu dapat diindikasikan bersumber dari Bushidou  karena, 1) Fukoku Kyouhei adalah ungkapan yang dipopulerkan oleh tokoh-tokoh samurai penggerak Restorasi Meiji seperti Ito Hirobumi,Saigo Takamori, Kido Koin, Sakamoto Ryouma, dan lain-lain., 2) Meski pun telah memasuki era baru, tetapi tokoh-tokoh yang berpengaruh baik di sector industri maupun pemerintahan sesungguhnya masih “orang lama” yang tumbuh dan dibesarkan dalam lingkungan yang kental dengan nilai-nilai tradisional (Bushidou) di era Tokugawa.   

C.   PENUTUP
          Dari pembahasan yang ada, dapat ditarik simpulan sebagai berikut:
1.   Restorasi Meiji dipelopori oleh samurai, dan perubahan pertama yang terjadi justru penghapusan system pengkelasan masyarakat yang sebenarnya menguntungkan samurai. Dari hal ini, dapat disimpulkan bahwa restorasi Meiji sebenarnya adalah reformasi yang dilakukan oleh para samurai.
2.   Pada masa Meiji, bushidou tidak bisa memodernisasikan pemerintahan Jepang karena secara tidak langsung telah menyebabkan sistem demokrasi tidak berjalan.
3.   Di sector industri, bushidou mempunyai peran yang luar biasa, karena mampu berkolaborasi dengan nilai-nilai kemajuan yang menjadi syarat dari sebuah proses industrialisasi. Sehingga, nilai kemajuan yang berkembang di lingkungan industri Jepang justru didasari oleh nilai cultural.

D.  DAFTAR PUSTAKA

Beasley, WG. 2003. Pengalaman Jepang. Jakarta: Sinar Harapan
Bennedict. 1992. Samurai dan Bunga Seruni, Pola-Pola Kebudayaan
Jepang. Jakarta: Sinar Harapan.
Bey, Arifin. 1985. Jepang di Antara Feodalisme dan Modernisme.
Bandung: PT. Panca Simpati.
Inazo, Nitobe. 1992. Bushidou. Semarang: Yayasan Karti Sarana.
Koenjaraningrat. 1985. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan.
Jakarta: PT. Gramedia
Phyle, Kenneth B. 1988. Generasi Baru Zaman Meiji. Jakarta: PT.
Gramedia
Sayyidiman.1987. Belajar Dari Jepang, Manusia dan Masyarakat
Jepang dalam Perjuangan Hidup. Jakarta: UI.
Surajaya, I Ketut. 1990. Makna Modernisasi Meiji bagi Pembangunan
Indonesia.


No comments:

Post a Comment