Wednesday, January 23, 2013

Menyikapi Fenomena Campur dan Alih Kode

Saya sudah mencoba mengingat beberapa kali, tapi tetap saja tak bisa mengingat kapan dan siapa orang yang telah memasukkan saya ke dalam sebuah online group bertajuk Forum Pendidik Bahasa Indonesia. Setelah melihat dan membaca tulisan-tulisan yang ada di sana, sadarlah saya bahwa ini merupakan forum yang hebat karena banyak berisi orang-orang hebat, forum yang tidak main-main karena isinya juga tulisan-tulisan diskusi ilmiah tentang kebahasaan, khususnya bahasa Indonesia. Mulai dari fenomena bahasa Indonesia sebagai sebagai sebuah ilmu, sebagai alat komunikasi nasional Indonesia, hingga sebagai sebuah ilmu yang dibelajarkan di sekolah-sekolah.
Sebagai seorang dengan latar belakang akademik bukan bahasa Indonesia, saya tetap saja tertarik oleh suguhan yang ditawarkan dalam diskusi-diskusi forum ini. Ada beberapa bahan diskusi yang beberapa kali merayu saya untuk melibatkan diri di dalamnya. Akan tetapi, latar yang berbeda tadi dan kenyataan bahwa saya menyadari kapasitas diri dan orang-orang yang ada di forum tersebut, menyurutkan niat itu. Persis seperti lilin yang tertiup angin sepoi. Tidak mati, tapi berkobar dalam kibaran yang tak jadi, malu tapi mau. Untuk itu, saya mohon maaf, jika masakan saya ini tidak enak. Maklum, kelapa jauh di pesisir, cabaipun tak mampu saya beli. Jika dianggap lancang, saya tidak akan minta maaf, karena salah tulisan-tulisan di forum sendiri, mengapa merayu pikiran dan membuat tangan orang “gatal” ingin ikut menulis.
Salah satu topik yang menantang saya adalah bahan diskusi tentang fenomena pemakaian bahasa Indonesia saat ini. Yaitu, kekuatiran dan beberapa tanggapan miring tentang campur aduk bahasa Indonesia dengan bahasa asing khususnya bahasa Inggris. Kekuatiran tersebut persis sama dengan yang saya rasakan waktu kuliah Filsafat Bahasa dengan Pak Chaedar Alwasilah. Beliau juga melemparkan masalah ini, dan diskusi kami saat itu, tidak menemukan solusi yang kongkrit. Saat itu, saran beliau yang paling membekas di benak saya adalah, “...bagaimanapun, ilmu bahasa harus bisa menjaga dan melestarikan bahasa yang baik dan benar....”. Ini terjadi lebih kurang setahun yang lalu, saat saya kuliah pada semester satu di Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Semester berikutnya, saya mengikuti perkuliahan Sosiolinguistik Bahasa Jepang dengan Pak Sudjianto.  Setelah memberikan konsep-konsep umum kepada kami pembelajar bahasa Jepang yang sebelumnya tidak pernah belajar formal tentang sosiolinguitik ini, kami dibagi menjadi beberapa kelompok untuk membahas dan memresentasikan penelitian-penelitian tentang sosiolinguitik bahasa Jepang. Saat kuliah inilah, saya menemukan sedikit jawaban tentang pertanyaan yang mengganjal, atau tepatnya sedikit penawar atas kerisauan tentang fenomena bahasa yang mengganggu bahasa itu sendiri. Seperti yang juga menjadi salah satu kekuatiran beberapa dari Bapak/Ibu dalam forum Pendidik Bahasa Indonesia.
Seorang teman memresentasikan pembahasannya tentang penelitian yang berjudul Fenomena GyaruGyaru berasal dari bahasa Inggris girl yang di-Jepang-kan oleh sebuah kelompok remaja putri Jepang. Kelompok ini menamakan diri mereka gyaru dan membuat bahasa kelompok sendiri dengan sebutan gyaru kotoba (bahasa gyaru). Bahasa ini berkembang pesat seiring dengan pertambahan anggota kelompok. Menariknya, orang yang berada di luar kelompok tersebut, mulai dari sesama remaja hingga para guru dan para orang tua tidak memahami apalagi bisa menggunakan bahasa gyaru. Kosa katanya campuran, bahkan tulisannyapun sangat membingungkan ahli bahasa Jepang sekalipun. Kekuatiran akibat telah disadarinya kemunculan bahasa ini membuat pakar-pakar bahasa Jepang bertindak cepat dan tepat. Apa yang mereka lakukan?
Untuk meminimalisir efek negatif dari bahasa gyaru, instansi-instansi yang terkait dengan bahasa giat melaksanakan penelitian tentang bahasa tersebut. Perguruan-perguruan tinggi mengarahkan mahasiswa-mahasiswanya untuk meneliti fenomena bahasa yang ada di sekitar mereka. Tajuknya, mewujudkan bahasa Jepang yang kaya dengan menemukan sumbangan generasi muda terhadap perkembangan bahasa. Hasilnya, bahasa gyaru dipetakan dan beberapa kosakatanya yang “baik” dijadikan bagian dari bahasa Jepang standar sebagai sumbangan generasi kini/ muda terhadap bahasa dan masanya. Inilah solusi damai yang benar-benar damai menurut saya. Kelompok pembuat dan pengguna bahasa gyaru tidak merasa dipojokkan, malah merasa dihargai. Oleh karena itu, mereka membuka diri untuk diteliti sekaligus terbuka hatinya untuk bahasa Jepang yang benar. Pada akhirnya, kelompok ini berkurang eksistensinya karena merasa malu sendiri telah menggeser pagar halaman sehingga memasuki halaman lain yang sudah berdiri pada tempatnya. Mampu berbahasa “lain” tapi tidak mampu berbahasa ibu sendiri dengan benar.
Saya bisa memahami mengapa Jepang bisa melakukan ini, karena fenomena bahasa kelompok masyarakat dan anak muda seperti gyaru ini juga tidak jauh berbeda dengan fenomena huruf hiragana dalam bahasa Jepang pada masa lampau. Pendek kata, secara historis, mereka mempunyai kemampuan untuk mengatasi masalah fenomena bahasa seperti di atas. Bagaimana dengan kita? Saya rasa kita juga bisa. Akan tetapi, setelah saya pikirkan perasaan saya tersebut pasti hanyalah sebuah perasaan. Karena, kemungkinan saya salah memilih cermin tentunya sangat besar. Jawaban yang sahihnya tentu ada di tangan ilmuan dan pendidik bahasa Indonesia. Hidup bahasa Indonesia!   

No comments:

Post a Comment