Saya
sudah mencoba mengingat beberapa kali, tapi tetap saja tak bisa mengingat kapan
dan siapa orang yang telah memasukkan saya ke dalam sebuah online group bertajuk Forum
Pendidik Bahasa Indonesia. Setelah melihat dan membaca tulisan-tulisan yang
ada di sana, sadarlah saya bahwa ini merupakan forum yang hebat karena banyak
berisi orang-orang hebat, forum yang tidak main-main karena isinya juga
tulisan-tulisan diskusi ilmiah tentang kebahasaan, khususnya bahasa Indonesia.
Mulai dari fenomena bahasa Indonesia sebagai sebagai sebuah ilmu, sebagai alat
komunikasi nasional Indonesia, hingga sebagai sebuah ilmu yang dibelajarkan di
sekolah-sekolah.
Sebagai
seorang dengan latar belakang akademik bukan bahasa Indonesia, saya tetap saja
tertarik oleh suguhan yang ditawarkan dalam diskusi-diskusi forum ini. Ada
beberapa bahan diskusi yang beberapa kali merayu saya untuk melibatkan diri di
dalamnya. Akan tetapi, latar yang berbeda tadi dan kenyataan bahwa saya
menyadari kapasitas diri dan orang-orang yang ada di forum tersebut,
menyurutkan niat itu. Persis seperti lilin yang tertiup angin sepoi. Tidak
mati, tapi berkobar dalam kibaran yang tak jadi, malu tapi mau. Untuk itu, saya
mohon maaf, jika masakan saya ini tidak enak. Maklum, kelapa jauh di pesisir,
cabaipun tak mampu saya beli. Jika
dianggap lancang, saya tidak akan minta maaf, karena salah tulisan-tulisan di
forum sendiri, mengapa merayu pikiran dan membuat tangan orang “gatal” ingin
ikut menulis.
Salah
satu topik yang menantang saya adalah bahan diskusi tentang fenomena pemakaian
bahasa Indonesia saat ini. Yaitu, kekuatiran dan beberapa tanggapan miring
tentang campur aduk bahasa Indonesia dengan bahasa asing khususnya bahasa
Inggris. Kekuatiran tersebut persis sama dengan yang saya rasakan waktu kuliah Filsafat Bahasa dengan Pak Chaedar
Alwasilah. Beliau juga melemparkan masalah ini, dan diskusi kami saat itu,
tidak menemukan solusi yang kongkrit. Saat itu, saran beliau yang paling
membekas di benak saya adalah, “...bagaimanapun, ilmu bahasa harus bisa menjaga
dan melestarikan bahasa yang baik dan benar....”. Ini terjadi lebih kurang
setahun yang lalu, saat saya kuliah pada semester satu di Pascasarjana
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Semester
berikutnya, saya mengikuti perkuliahan Sosiolinguistik
Bahasa Jepang dengan Pak Sudjianto.
Setelah memberikan konsep-konsep umum kepada kami pembelajar bahasa
Jepang yang sebelumnya tidak pernah belajar formal tentang sosiolinguitik ini,
kami dibagi menjadi beberapa kelompok untuk membahas dan memresentasikan
penelitian-penelitian tentang sosiolinguitik bahasa Jepang. Saat kuliah inilah,
saya menemukan sedikit jawaban tentang pertanyaan yang mengganjal, atau
tepatnya sedikit penawar atas kerisauan tentang fenomena bahasa yang mengganggu
bahasa itu sendiri. Seperti yang juga menjadi salah satu kekuatiran beberapa
dari Bapak/Ibu dalam forum Pendidik
Bahasa Indonesia.
Seorang
teman memresentasikan pembahasannya tentang penelitian yang berjudul Fenomena Gyaru.
Gyaru berasal dari bahasa
Inggris girl yang di-Jepang-kan oleh
sebuah kelompok remaja putri Jepang. Kelompok ini menamakan diri mereka gyaru dan membuat bahasa kelompok
sendiri dengan sebutan gyaru kotoba
(bahasa gyaru). Bahasa ini berkembang
pesat seiring dengan pertambahan anggota kelompok. Menariknya, orang yang
berada di luar kelompok tersebut, mulai dari sesama remaja hingga para guru dan
para orang tua tidak memahami apalagi bisa menggunakan bahasa gyaru. Kosa katanya campuran, bahkan
tulisannyapun sangat membingungkan ahli bahasa Jepang sekalipun. Kekuatiran
akibat telah disadarinya kemunculan bahasa ini membuat pakar-pakar bahasa
Jepang bertindak cepat dan tepat. Apa yang mereka lakukan?
Untuk
meminimalisir efek negatif dari bahasa gyaru,
instansi-instansi yang terkait dengan bahasa giat melaksanakan penelitian
tentang bahasa tersebut. Perguruan-perguruan tinggi mengarahkan
mahasiswa-mahasiswanya untuk meneliti fenomena bahasa yang ada di sekitar
mereka. Tajuknya, mewujudkan bahasa Jepang yang kaya dengan menemukan sumbangan
generasi muda terhadap perkembangan bahasa. Hasilnya, bahasa gyaru dipetakan dan beberapa kosakatanya
yang “baik” dijadikan bagian dari bahasa Jepang standar sebagai sumbangan
generasi kini/ muda terhadap bahasa dan masanya. Inilah solusi damai yang
benar-benar damai menurut saya. Kelompok pembuat dan pengguna bahasa gyaru tidak merasa dipojokkan, malah
merasa dihargai. Oleh karena itu, mereka membuka diri untuk diteliti sekaligus
terbuka hatinya untuk bahasa Jepang yang benar. Pada akhirnya, kelompok ini
berkurang eksistensinya karena merasa malu sendiri telah menggeser pagar
halaman sehingga memasuki halaman lain yang sudah berdiri pada tempatnya. Mampu
berbahasa “lain” tapi tidak mampu berbahasa ibu sendiri dengan benar.
Saya
bisa memahami mengapa Jepang bisa melakukan ini, karena fenomena bahasa
kelompok masyarakat dan anak muda seperti gyaru
ini juga tidak jauh berbeda dengan fenomena huruf hiragana dalam bahasa Jepang pada masa lampau. Pendek kata, secara
historis, mereka mempunyai kemampuan untuk mengatasi masalah fenomena bahasa
seperti di atas. Bagaimana dengan kita? Saya rasa kita juga bisa. Akan tetapi,
setelah saya pikirkan perasaan saya tersebut pasti hanyalah sebuah perasaan.
Karena, kemungkinan saya salah memilih cermin tentunya sangat besar. Jawaban
yang sahihnya tentu ada di tangan
ilmuan dan pendidik bahasa Indonesia. Hidup bahasa Indonesia!
No comments:
Post a Comment