Saturday, November 25, 2017

REKONSTRUKSI PEMBELAJARAN BERBAHASA JEPANG TEMATIK INTEGRATIF



REKONSTRUKSI PEMBELAJARAN BERBAHASA JEPANG
TEMATIK INTEGRATIF

Hendri Zalman, S.Hum., M.Pd.
(Program Pendidikan Bahasa Jepang)
Dimuat di prosiding seminar nasional “Pendekatan Tematik dalam Pembelajaran Bahasa Jepang di Jurusan Bahasa dan Sastra Jepang UNAND-2017”

Makalah ini dilatarbelakangi oleh fenomena perkembangan kurikulum di Indonesia dan pendekatan yang direkomendasikan, seperti pendekatan CBSA, pendekatan kompetensi, pendekatan scientific, hingga pendekatan tematik integratif. Perkembangan ini menimbulkan kegelisahan di kalangan pendidik karena harus melakukan rekonstruksi terhadap mata pelajaran/kuliah yang diampu. Berangkat dari fenomena di atas, makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran umum tentang bagaiamana merancang rekonstruksi pembelajaran berbahasa Jepang, khususnya dengan menggunakan pendekatan tematik integratif. Pembahasan di dalam makalah ini diharapkan mampu memberikan pertimbangan dan arah bagi guru/dosen dalam melakukan rekonstruksi terhadap mata pelajaran/kuliah ke depan, khususnya dengan menggunakan pendekatan tematik integratif.

Keywords: kurikulum, pendekatan, tematik integratif, rekonstruksi.


A.    Pendahuluan
Lahirnya kurikulum 2013 mendorong terjadinya perubahan besar terhadap konstruksi kurikulum dan proses pembelajaran di Indonesia. Perubahan yang terjadi pada konstruksi kurikulum sangat nyata dirasakan dengan terdegradasinya beberapa mata pelajaran di sekolah. Ada mata pelajaran yang dikurangi jam pelajarannya, bahkan, ada yang dihilangkan dari struktur mata pelajaran yang ada di kurikulum. Apakah degradasi beberapa mata pelajaran ini sesuai dengan amanat kurikulum 2013? Entahlah. Tapi, yang jelas, sampai saat ini (2017), terdegradasinya beberapa mata pelajaran itu nyata adanya dan membahayakan nasib guru-guru pengampu mata pelajaran tersebut.
Fenomena di atas bisa dikatakan disadari oleh semua pihak, terutama oleh semua pihak yang terkait dengan mata pelajaran yang terdegradasi. Namun, ada perubahan besar lainnya yang tidak disadari oleh banyak pihak, terutama pihak pelaksana pembelajaran, yaitu, perubahan mendasar pada proses pembelajaran selanjutnya (proses pembelajaran menurut kurikulum 2013). Perubahan pada proses pembelajaran tersebut sebenarnya menuntut kerja keras guru dalam pengimplementasiannya. Sebab, pada dasarnya, perubahan yang dibawa oleh kurikulum 2013 menargetkan terjadinya perubahan mendasar pada cara pandang atau proses berpikir yang selama ini diterapkan dalam proses pembelajaran.
Sebelum kurikulum 2013, cara pandang dan cara berpikir dalam proses belajaran mengajar cenderung dikembangkan secara deduktif. Artinya, guru dalam waktu yang lama telah dibiasakan untuk memberikan pengetahuan (konsep) kepada siswa dalam sebuah proses pembelajaran. Sedangkan pada kurikulum 2013, cara ini diganti dengan konsep berpikir induktif, di mana konsep tidak lagi dari guru. Siswa dituntut untuk bisa mengonstruksi pengetahuannya sendiri, baik secara mandiri ataupun secara berkelompok. Pendek kata, kurikulum 2013 menuntut terjadinya perubahan pada cara guru mengajar sekaligus cara siswa belajar dari biasanya.
Merubah sebuah kebiasaan bukanlah hal yang mudah. Apa lagi, hampir pada setiap perubahan kurikulum di Indonesia, guru cenderung diposisikan hanya sebagai implementer, hanya sebatas sebagai pelaksana. Padahal, secara teoritis, Murray (dalam Sanjaya, 2009) menegaskan bahwa peran guru dalam kurikulum ada empat, yaitu; implementer, adapter, developer, dan researcher. Apa lagi, secara teknis, bagaimana mungkin seseorang akan bisa melaksanakan sebuah proses dengan baik jika dia tidak dilibatkan dalam perencanaan dan perancangan proses tersebut dengan baik pula?
Barangkali, pihak pemegang kebijakan akan menjawab fenomena seperti diurai di atas dengan, “kan sudan disosialisasikan”. Pertanyaannya adalah, “apakah pernah diukur tingkat pemahaman guru terhadap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kurikulum yang akan dilaksanakan?”. Bukankah tujuan sosialisasi adalah untuk membuat orang paham atau untuk meningkatkan pemahaman seseorang terhadap apa yang disosialisasikan?
Mencermati fenomena di atas, makalah ini berusaha memberikan gambaran umum tentang apa yang seharusnya dilakukan guru ketika terjadi perubahan kurikulum. Khususnya, terkait pengembangan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran. Namun, mengingat berbagai keterbatasan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran tersebut focus dikembangkan dengan mengggunakan pendekatan tematik integratif, sebab pendekatan ini termasuk salah satu pendekatan yang dipandang relevan dengan kurikulum 2013.  

B.     Pembahasan
1.      Fenomena Perkembangan Kurikulum di Indonesia
Semenjak lahirnya kurikulum 2013, terjadi perubahan yang cukup mendasar pada struktur kurikulum di setiap lembaga penyelenggara pendidikan di Indonesia, mulai dari tingkat pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Seperti kemunculan kurikulum-kurikulum sebelumnya, perubahan pada kurikulum 2013 ini juga  diiringi dengan munculnya rekomendasi tentang pendekatan-pendekatan pembelajaran yang relevan. Dalam hal ini, kurikulum 2013 merekomendasikan pendekatan saintifik, pendekatan pemecahan masalah, pendekatan tematik integratif, dan pendekatan-pendekatan lainnya.
Dalam sejarah perkembangan kurikulum di Indonesia, fenomena seperti yang terjadi pada kurikulum 2013 di atas, sebenarnya bukanlah hal mengejutkan. Misalnya, kemunculan kurikulum 1975 diiringi dengan rekomendasi penggunaan Pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif, kurikulum 1984 diiringi dengan Pendekatan Keterampilan Proses, kurikulum 1994 diringi dengan Pendekatan Komunikatif, dan kurikulum 2004 yang kemudian direvisi menjadi kurikulum 2006 diiringan dengan Pendekatan Kontekstual. Selanjutnya, kurikulum 2006 dikembangkan lagi hingga pada tahun 2007 melahirkan pendekatan-pendekatan lainnya, seperti; Pendekatan Aktif Kreatif Menyenangkan (PAKEM), yang mana kemudian berkembang lagi menjadi Pendekatan Aktif Kreatif, Inovatif dan Menyenangkan (PAIKEM).
Yang menarik disimak dari setiap perubahan kurikulum di atas adalah sikap yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, terutama para guru. Nursaid (2008) mengatakan bahwa setiap perubahan kurikulum menimbulkan berbagai reaksi, di antaranya kebingungan di antara guru, bahkan kekaburan konsep. Hal itu, terutama, disebabkan oleh pemberlakuan pendekatan pembelajaran lain sejalan dengan pemberlakuan kurikulum sebelumnya. Efek kebingungan guru terhadap konsep-konsep pendekatan cenderung negatif. Ada sekelompok guru yang menarik simpulan dangkal, misalnya, “Ah, semua itu sama saja, hanya ganti nama”. Ada sekelompok guru yang menyimpulkan, “Pendekatan Kontekstual itu sama dengan Pendekatan Anu (misalnya CBSA atau Keterampilan Proses). Padahal, dalam ilmu bahasa kita tahu bahwa secara sosiolinguistik, tidak ada kata yang benar-benar sama sekalipun kata-kata itu bersinonim.  

2.      Peran Guru dalam Pengembangan Kurikulum
Semenjak adanya program sertifikasi guru sebagai pendidik, bermunculan tuntutan-tuntutan baru bagi seorang guru. Yang terbaru adalah munculnya Ujian Kompetensi Guru (UKG) dan Pendidikan Profesi Guru (PPG). Semua program itu ditujukan untuk menciptakan guru-guru baru ataupun guru lama yang diperbaharui, yaitu guru-guru yang profesional. Guru dianggap profesional jika mampu melewati “angka-angka” yang ditetapkan oleh program-program di atas. Lalu, apakah kompetensi professional seorang guru? Rusman (2010) menjelaskan bahwa kompetensi profesional guru adalah berikut ini.
a.       Kompetensi Pedagogik
Kompetensi pedagogik biasanya dinilai dari kemampuan seorang guru dalam mengelola kelas, yaitu kemampuan mengelola seluruh komponen pembelajaran (Rusman, 2010; Sapani dkk, 1998). Komponen pembelajaran tersebut terdiri dari tujuan, pengajar, pembelajar, materi ajar, metode, media, sarana prasarana, dan situasi pendukung pembelajaran. Semua komponen pembelajaran ini harus dikelola dan disesuaikan sehingga bisa saling mendukung dalam menciptakan proses pembelajaran yang baik.
b.      Kompetensi Personal
Kompetensi personal merupakan kemampuan yang berhubungan dengan sikap dan karakter seorang guru. Dalam hal ini, sikap dan karakter guru Indonesia telah ditetapkan lewat slogan; Ing ngarso sung tulodo, Ing madya mangun karso, da tut wuri handayani. Kompetensi ini sebenarnya termasuk kompetensi yang cukup sulit untuk diukur. Banyak lembaga pendidikan yang terjebak pada isu-isu prototype dan stereotype, dan menyimpang dari tiga slogan di atas.
c.       Kompetensi Professional
Secara teoritis, kompetensi profesional merupakan kemampuan seorang guru yang tercermin lewat penguasaannya terhadap materi yang diajarkan. Akan tetapi, pada implikasinya, kompetensi ini sering tumpang-tindih dengan kompetensi personal, seperti; loyalitas, disiplin, dan lain sebagainya.
d.      Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial adalah kemampuan bermasyarakat guru yang dapat dilihat dari kemampuan komunikasi, kemampuan bekerja sama, dan kemampuan seorang guru menjalin network dengan semua pihak yang terkait dengan pembelajaran. Kompetensi ini menuntut kemampuan guru untuk menjadi partner komunikasi siswa sekaligus mengembangkan perannya di tengah-tengah masyarakat dan kepemimpinan publik.

Dengan berbagai kompetensi di atas, maka, seorang guru mestinya dapat berperan aktif dalam setiap pengembangan dan perubahan yang terjadi pada kurikulum. Adapun peran guru dalam proses pengembangan kurikulum, Murray (dalam Sanjaya,2009) merincinya dengan poin-poin berikut ini.
a.      Implementers
Sebagai implementers, guru berperan sebagai pelaksana kurikulum.
b.      Adapters
Sebagai adapters, guru berperan sebagai penyelaras kurikulum dengan karakteristik daerah, karakteristik dan kebutuhan siswa.
c.       Developers
Sebagai developers, guru berberan sebagai pihak yang juga terlibat dalam pengembangan kurikulum.
d.      Researchers
Sebagai researchers, guru berperan sebagai peneliti yang fokus meneliti proses pelaksanaan pembejaran dan hasil belajar siswa untuk kepentingan rekonstruksi dan pengembangan pembelajaran dan kurikulum.

Jika kita amati dengan cermat keempat peran guru dalam pengembangan kurikulum di atas, dapat dipahami bahwa keempat peran tersebut merupakan bagian-bagian kegiatan yang sebenarnya adalah satu kesatuan utuh. Tujuan pembelajaran bisa diasumsikan akan susah tercapai secara efektif dan efesien jika guru hanya berperan sebagai implementers dan tidak terlibat pada proses adaptasi/penyesuaian kurikulum. Peran adapters juga bisa diasumsikan susah berjalan dengan baik jika guru tidak dalam proses pengembangan kurikulum. Peran developers bisa diasumsikan susah berjalan dengan baik jika guru tidak terlibat dalam penelitan kurikulum. Akhirnya, peran researchers juga tidak akan bisa berjalan dengan baik jika bukan guru yang meneliti, dan bukankah penelitian tindakan kelas (action research) adalah bagian dari pekerjaan guru?   

3.      Fenomena Pembelajaran Bahasa Jepang di Indonesia
Pada sub bagian ini, kita tidak akan membahas perkembangan pembelajaran bahasa Jepang secara historikal, tapi secara pedagogis. Artinya, kita hanya membahas fenomena pembelajaran dihubungkan dengan komponen-komponen penting terkait pembelajaran yang meliputi; pembelajar, pengajar, kurikulum,  sumber belajar, dan pendekatan pembelajaran. Sedangkan aspek historis yang ditandai dengan kapan, di mana, dan siapa tidak dibahas karena bukan bagian dari pesan yang ingin disampaikan dalam makalah ini.
Pada aspek pembelajar, pembelajar bahasa Jepang penutur Indonesia terpusat pada jenjang pendidikan tingkat menengah dan perguruan tinggi. Dari segi quantitas, pembelajar bahasa Jepang di Indonesia hingga saat ini menempati urutan kedua di dunia. Artinya, dalam skop global, kedudukan Indonesia sebagai salah satu negara yang mengajarkan bahasa Jepang tidak dapat dipandang sebelah mata. Idealnya, Indonesia seharusnya bisa menjadi salah satu model dalam pembelajaran bahasa Jepang penutur asing yang jadi rujukan negara-negara lain. Akan tetapi, seperti yang disampaikan Mitsumoto (2014), quantitas pembelajar bahasa Jepang di Indonesia tidak berbanding lurus dengan qualitas pembelajarannya.
Pada aspek pengajar, khususnya pengajar di tingkat pendidikan menengah (SMA/SMK/MA) memiliki latar belakang akademik yang beragam. Bahkan, ada beberapa daerah yang hampir 90% pengajar bahasa Jepangnya tidak memiliki latar belakang yang memungkinkan pengajar tersebut memiliki kemampuan pedagogis. Artinya, secara metodologi pembelajaran, bisa diasumsikan bahwa proses pembelajaran dilaksanakan dengan berbagai keterbatasan, terutama keterbatasan kemampuan pedagogis pengajar.
Pada aspek kurikulum, sebelum dilahirkannya kurikulum 2013 dan keluarnya JF Cando, pembelajaran bahasa Jepang di Indonesia bisa dikatakan tidak memiliki standar yang jelas. Standar kompetensi lulusan dan standar isi kurikulum cenderung diserahkan saja menjadi kebijakan perguruan tinggi dan sekolah penyelenggara pembelajaran bahasa Jepang. Bahkan, pada tataran implikasi, penyusunan silabus, SAP/RPP diserahkan begitu saja pada pengajar tampa ada proses analisis instruksional yang memadai. 
  Terakhir, fenomena paling menarik yang terjadi dalam pembelajaran bahasa Jepang di Indonesia terlihat pada aspek sumber belajar atau buku ajar. Sudah menjadi rahasia umum bahwa terdapat ketergantungan yang cukup tinggi pada satu sumber belajar atau satu buku ajar tertentu. Proses belajar-mengajar sering “disetir” oleh sumber ajar atau buku ajar tersebut. Bukan ditentukan oleh hasil evaluasi dan analisis instruksional yang dilakukan oleh guru.
Akhirnya, kreativitas pengajar “terpasung”, kompetensi pembelajar “terbelenggu” oleh buku ajar. Penulis pernah melakukan penelitian pada tahun 2015 dan 2016 tentang analisis kesalahan berbahasa Jepang pada mahasiswa Universitas Negeri Padang, hasilnya mengindikasikan bahwa mahasiswa mahasiswa cenderung mengeluarkan bahasa dari buku ajar dari pada memproduksi bahasa sendiri. Temuan ini senada dengan testimoni beberapa dosen di Bandung dan di Semarang yang pernah penulis wawancarai terkait penelitian pada tahun 2011. Masalah inipun bahkan menjadi salah satu isu yang pernah dibicarakan oleh perwakilan 11 perguruan tinggi pendidikan di Indonesia di The Japan Fondation Jakarta pada tahun 2013 dan 2014. Saat itu, perwakilan-perwakilan yang ada sepakat mengajukan solusi dengan meminta pihak terkait untuk membantu menyediakan sumber belajar/buku ajar yang lebih bervariasi.
Dari aspek pendekatan pembelajaran, pada umumnya, pembelajaran berbahasa Jepang di Indonesia pada jenjang perguruan tinggi menggunakan pendekatan pembelajaran kontrol komposisi yang memberikan penekanan pada metode driil yang terkesan agak kaku. Fenomena menarik justru terlihat di tingkat pendidikan menengah (SMA/SMK/MA) karena sudah menggunakan pendekatan pembelajaran yang lebih fleksibel, yaitu pendekatan pembelajaran integratif. Keintegratifan ini jelas terlihat pada buku ajar yang digunakan. Di dalam buku ajar yang digunakan, penciri pembelajaran integratif tersebut terlihat jelas pada isi buku ajar yang juga diiringi dengan audio, video, teks transaksional yang menggambarkan terintegrasinya 2 (dua) hingga lebih keterampilan berbahasa sekaligus.
Di samping itu, pada beberapa Rancangan Pembelajaran Semester (RPS) pun, guru juga telah menuliskan kompetensi yang meliputi lebih dari 1 (satu) keterampilan berbahasa. Namun, turunan kompetensi tersebut menjadi indikator kadang terlihat rancu karena ada rumusan kompetensi yang lebih banyak dari pada rumusan indikator. Ada pula beberapa rumusan indikator yang seolah berdiri sendiri tidak terhubung dengan kompetensi, dan tidak menunjukkan pola pengemasan proses pembelajaran dari mudah ke susah, dari sederhana ke kompit. Bahkan, ada kompetensi yang tidak bisa diukur karena indikator tidak mencerminkan operasional pengukuran kompetensi tersebut.    

4.      Pendekatan Pembelajaran Tematik Integratif
Pendekatan tematik-integratif popular di Indonesia beriringan dengan lahirnya Kurikulum 2013. Pendekatan ini sendiri menurut Rusman (2010) dan Isjoni (2007) merupakan bagian dari pendekatan pembelajaran integratif/terpadu (integrated instruction/integrated learning). Pendekatan pembelajaran ini sebenarnya berkembang dari pendekatan discovery-inquiry, yaitu pendekatan yang percaya bahwa pengetahuan harusnya dikonstruksi sendiri oleh siswa bukan diberikan oeh guru. Di samping itu, pendekatan ini juga berangkat dari teori pembelajaran yang menolak metode latihan hafalan (driil).
Pendekatan pembelajaran tematik-integratif ini dipengaruhi oleh tiga aliran filsafat, yaitu; progresivisme, konstruktivisme, dan humanisme. Aliran filsafat progresivisme memandang proses pembelajaran perlu ditekankan pada pembentukan kreativitas, pemberian sejumlah aktivitas, suasana yang alamiah, dan memperhatikan pengalaman siswa.
Aliran konstruktivisme memandang pengalaman siswa sebagai kunci dalam pembelajaran. Materi pelajaran perlu dihubungkan dengan pengalaman siswa. Pentemuan pengalaman (skemata) siswa dengan materi baru akan membuat siswa jadi kreatif dan bisa mengonstruksi pengetahuannya sendiri. Menurut aliran ini, manusia membangun pengetahuannya berdasarkan interaksi skemata dengan fenomena dan hal-hal baru yang ditemuinya.
Aliran humanisme melihat siswa dari segi karakteristik, keunikan, minat, motifasi, dan potensi yang dimilikinya. Guru perlu menemukan titik temu yang menjadi kecenderungan siswa sehingga bisa menfasilitasi keberagaman tersebut. Artinya, pembelajaran tidak hanya bersifat klasikal, tapi juga berkelompok, bahkan individual. Klasikal dan kelompok membuat siswa terbiasa bersosialisasi dengan baik. Sedangkan individual mendorong siswa untuk bisa mandiri.
 Pembelajaran tematik integratif memiliki karakteristik yang khas. Kekhasan pendekatan pembelajaran tematik tercermin dari karakteristik pembelajarannya. Karekteristik tersebut adalah sebagai berikut ini  (Rusman, 2010; Isjoni, 2007).
a.       Holistik
Sebagai ilmu yang berada dalam lingkup IPS, fenomena bahasa/informasi hendaknya disikapi dari berbagai bidang sekaligus. Tidak dengan sudut pandang yang terkotak-kotak.
b.      Bermakna
Sudut pandang nomor satu memungkinkan terbentuknya semacam jalinan antarskemata pada kepala siswa sehingga bisa mengambil kesimpulan atau memahami konsep secara lebih utuh. Inilah yang dimaksud dengan bermakna. 
c.       Otentik
Interaksi langsung siswa dengan fenomena berbahasa memungkinkan siswa untuk memahami hasil belajarnya sebagai sebuah fakta, bukan hanya pemberitahuan dari guru.
d.      Aktif
Pendekatan ini dikembangkan dari discovery-inqury. Jadi, siswa perlu terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi.

Beradasarkan teori dan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran tematik integratif memiliki karakteristik berikut ini.
a.       Pembelajaran dikembangkan berdasarkan sebuah tema utama dan tema pendukung.
b.      Terdapat hubungan berkesinambungan antartema hingga berujung pada tema utama.
c.       Proses pembelajaran melibatkan berbagai komponen dan keterampilan berbahasa.
 
5.      Rekonstruksi Pembelajaran Tematik Integratif dalam Pembelajaran Bahasa Jepang
Secara kebahasaan, konstruksi berarti bangun atau struktur, dan rekonstruksi berarti proses melakukan pembangunan ulang atau penataan kembali sebuah struktur. Sejalan dengan itu, rekonstruksi pembelajaran atau rekonstruksi mata pelajaran atau rekonstruksi mata kuliah berasti serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menata kembali struktur bangun pembelajaran yang telah direncanakan, dilaksanakan, dan dievaluasi. Pendek kata, rekonstruksi bertujuan untuk memperbaiki proses dan hasil pembelajaran paada masa yang akan datang.
Suparman (2005) menyatakan bahwa proses konstruksi sebuah kegiatan pembelajaran  meliputi kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Adapun aplikasi dari langkah-langkah rekonstruksi mata pelajaran dengan pendekatan tematik integratif, bisa dikembangkan seperti berikut ini.
a.       Tahap Perencanaan
1)      Melakukan Analisis Instruksional
Analisis instruksional adalah proses merumuskan kompetensi yang ingin dicapai dalam satu periode pembelajaran (semester, catur wulan, dll.). dalam makalah ini karena didasarkan pada pendekatan tematik integratif, maka analisis instruksionalpun disesuaikan dengan pendekatan tersebut. Langkah-langkah untuk melakukan analisis instruksional adalah sebagai berikut ini.
a)      Menentukan tema utama
b)      Merumuskan kompetensi utama sesuai dengan tema utama.
c)      Menentukan tema-tema pendukung
d)     Merumuskan kompetensi pendukung sesuai dengan tema pendukung.
e)      Melakukan pemisahan antara kompetensi-kompetensi yang harus disusun berdasarkan gradasi dengan yang sejajar.
f)       Menyusun kompetensi yang memiliki gradasi dan yang sejajar secara berjenjang mulai dari kompetensi paling tinggi (kompetensi utama) hingga kompetensi paling rendah.
g)      Membuat bagan analisis instruksional
h)      Mengembangkan indikator berdasarkan kompetensi dengan menggunakan prinsip pembelajaran mudah-susah sesuai dengan prinsip Taksonomi Bloom (2005).
i)        Memilih sumber belajar/buku ajar.
j)        Menyeleksi dan menyusun materi sesuai dengan kompetensi dan indikator yang telah disusun.
2)      Menyusun Silabus
3)      Menyusun Rancangan Pembelajaras Semester (RPS)
b.      Tahap Pelaksanaan
Baik tidaknya pelaksanaan pembelajaran sangat dipengaruhi oleh tahapan perencanaan di atas. Sebaiknya pada tahap perencanaan ini, guru juga memonitoring langsung pelaksanaan dengan mengembangkan lembar observasi atau daftar ceklis berdasarkan RPS yang juga berfungsi sebagai bagian dari evaluasi proses.
c.       Tahap Evaluasi
1)      Evaluasi Hasil
Evaluasi hasil biasanya menggunakan instrument tes. Dalam hal ini kisi-kisi tes dan butir tes juga harusnya dikembangkan kompetensi dan indikator yang integratif supaya secara struktur dan isi relevan dengan rancangan pembelajaran yang disusun.
a)      Evaluasi formatif
Bisa disusun per materi bisa juga per pertemuan.
b)      Evaluasi sumatif
Biasanya disusun dalam bentuk tes pertengahan dan akhir semester.
2)      Evaluasi Proses
a)      Lembar observasi aktivitas siswa
b)      Lembar observasi aktivitas guru
d.      Rekonstruksi
Merupakan kegiatan menata ulang konstruksi pembelajaran sebagai tindak lanjut dari hasil evaluasi hasil dan evaluasi proses yang dilakukan selama proses pembelajaran dilaksanakan.


C.    Penutup
Berdasarkan kajian literatur terhadap pendekatan pembelajaran tematik-integratif di atas dapat dipahami poin-poin berikut ini.
1.      Pengajar memiliki 4 (empat) peran dalam pengembangan kurikulum, yaitu; sebagai implementers, adapters, developers, dan researchers.
2.      Rekonstruksi pembelajaran yang terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi adalah rangkaian kegiatan berkesinambungan yang mesti dilakukan pengajar demi meningkatkan kualitas pembelajaran.
3.      Pembelajaran tematik-integratif adalah salah satu model pembelajaran yang relevan dengan kurikulum 2013 dan relevan dikembangkan untuk pembelajaran bahasa Jepang, baik di tingkat pendidikan menengah maupun di tingkat pendidikan tinggi.

Rujukan
Djamarah, Syaiful Bahri dan Zain, Aswan. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta
Dijiwandono, M. Soenardi. 2008. Tes Bahasa. Jakarta: Indeks.
Isjoni. 2007. Integrated Learning. Bandung: Falah Production.
Rusman. 2010. Model-Model Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Press.
Sapani dkk. 1998. Teori Pembelajaran Bahasa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sanjaya, Wina. 2009. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Kencana Orenada Media Group.
Suciati. 2005. Taksonomi Tujuan Pembelajaran. Jakarta: Pusat Antar Universitas untuk Peningkatan dan Pengembangan Aktivitas Instruksional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
Suparman, M. Atwi. 2005. Disain Instruksional. Jakarta: Pusat Antar Universitas untuk Peningkatan dan Pengembangan Aktivitas Instruksional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

1 comment:

  1. izin berkunjung kak :)
    jangan lupa berkunjung pula ke blog saya..

    ReplyDelete