REKONSTRUKSI PEMBELAJARAN
BERBAHASA JEPANG
TEMATIK INTEGRATIF
Hendri Zalman, S.Hum., M.Pd.
(Program Pendidikan Bahasa Jepang)
Dimuat di prosiding seminar nasional “Pendekatan
Tematik dalam Pembelajaran Bahasa Jepang di Jurusan Bahasa dan Sastra Jepang
UNAND-2017”
Makalah ini
dilatarbelakangi oleh fenomena perkembangan kurikulum di Indonesia dan
pendekatan yang direkomendasikan, seperti pendekatan CBSA, pendekatan
kompetensi, pendekatan scientific,
hingga pendekatan tematik integratif. Perkembangan ini menimbulkan kegelisahan
di kalangan pendidik karena harus melakukan rekonstruksi terhadap mata
pelajaran/kuliah yang diampu. Berangkat dari fenomena di atas, makalah ini bertujuan
untuk memberikan gambaran umum tentang bagaiamana merancang rekonstruksi
pembelajaran berbahasa Jepang, khususnya dengan menggunakan pendekatan tematik
integratif. Pembahasan di dalam makalah ini diharapkan mampu memberikan
pertimbangan dan arah bagi guru/dosen dalam melakukan rekonstruksi terhadap mata
pelajaran/kuliah ke depan, khususnya dengan menggunakan pendekatan tematik
integratif.
Keywords:
kurikulum, pendekatan, tematik integratif, rekonstruksi.
A.
Pendahuluan
Lahirnya kurikulum 2013 mendorong
terjadinya perubahan besar terhadap konstruksi kurikulum dan proses
pembelajaran di Indonesia. Perubahan yang terjadi pada konstruksi kurikulum
sangat nyata dirasakan dengan terdegradasinya beberapa mata pelajaran di sekolah.
Ada mata pelajaran yang dikurangi jam pelajarannya, bahkan, ada yang
dihilangkan dari struktur mata pelajaran yang ada di kurikulum. Apakah degradasi
beberapa mata pelajaran ini sesuai dengan amanat kurikulum 2013? Entahlah.
Tapi, yang jelas, sampai saat ini (2017), terdegradasinya beberapa mata
pelajaran itu nyata adanya dan membahayakan nasib guru-guru pengampu mata
pelajaran tersebut.
Fenomena di atas bisa dikatakan disadari
oleh semua pihak, terutama oleh semua pihak yang terkait dengan mata pelajaran
yang terdegradasi. Namun, ada perubahan besar lainnya yang tidak disadari oleh
banyak pihak, terutama pihak pelaksana pembelajaran, yaitu, perubahan mendasar
pada proses pembelajaran selanjutnya (proses pembelajaran menurut kurikulum
2013). Perubahan pada proses pembelajaran tersebut sebenarnya menuntut kerja
keras guru dalam pengimplementasiannya. Sebab, pada dasarnya, perubahan yang
dibawa oleh kurikulum 2013 menargetkan terjadinya perubahan mendasar pada cara
pandang atau proses berpikir yang selama ini diterapkan dalam proses
pembelajaran.
Sebelum kurikulum 2013, cara pandang dan
cara berpikir dalam proses belajaran mengajar cenderung dikembangkan secara deduktif.
Artinya, guru dalam waktu yang lama telah dibiasakan untuk memberikan pengetahuan
(konsep) kepada siswa dalam sebuah proses pembelajaran. Sedangkan pada
kurikulum 2013, cara ini diganti dengan konsep berpikir induktif, di mana
konsep tidak lagi dari guru. Siswa dituntut untuk bisa mengonstruksi
pengetahuannya sendiri, baik secara mandiri ataupun secara berkelompok. Pendek
kata, kurikulum 2013 menuntut terjadinya perubahan pada cara guru mengajar
sekaligus cara siswa belajar dari biasanya.
Merubah sebuah kebiasaan bukanlah hal yang
mudah. Apa lagi, hampir pada setiap perubahan kurikulum di Indonesia, guru
cenderung diposisikan hanya sebagai implementer, hanya sebatas sebagai
pelaksana. Padahal, secara teoritis, Murray (dalam Sanjaya, 2009) menegaskan
bahwa peran guru dalam kurikulum ada empat, yaitu; implementer, adapter,
developer, dan researcher. Apa lagi, secara teknis, bagaimana
mungkin seseorang akan bisa melaksanakan sebuah proses dengan baik jika dia
tidak dilibatkan dalam perencanaan dan perancangan proses tersebut dengan baik
pula?
Barangkali, pihak pemegang kebijakan akan
menjawab fenomena seperti diurai di atas dengan, “kan sudan disosialisasikan”.
Pertanyaannya adalah, “apakah pernah diukur tingkat pemahaman guru terhadap
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kurikulum yang akan dilaksanakan?”.
Bukankah tujuan sosialisasi adalah untuk membuat orang paham atau untuk
meningkatkan pemahaman seseorang terhadap apa yang disosialisasikan?
Mencermati fenomena di atas, makalah ini
berusaha memberikan gambaran umum tentang apa yang seharusnya dilakukan guru
ketika terjadi perubahan kurikulum. Khususnya, terkait pengembangan
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran. Namun, mengingat berbagai
keterbatasan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran tersebut
focus dikembangkan dengan mengggunakan pendekatan tematik integratif, sebab
pendekatan ini termasuk salah satu pendekatan yang dipandang relevan dengan
kurikulum 2013.
B.
Pembahasan
1.
Fenomena
Perkembangan Kurikulum di Indonesia
Semenjak lahirnya kurikulum 2013,
terjadi perubahan yang cukup mendasar pada struktur kurikulum di setiap lembaga
penyelenggara pendidikan di Indonesia, mulai dari tingkat pendidikan dasar
hingga perguruan tinggi. Seperti kemunculan kurikulum-kurikulum sebelumnya, perubahan
pada kurikulum 2013 ini juga diiringi
dengan munculnya rekomendasi tentang pendekatan-pendekatan pembelajaran yang
relevan. Dalam hal ini, kurikulum 2013 merekomendasikan pendekatan saintifik,
pendekatan pemecahan masalah, pendekatan tematik integratif, dan pendekatan-pendekatan
lainnya.
Dalam sejarah perkembangan kurikulum
di Indonesia, fenomena seperti yang terjadi pada kurikulum 2013 di atas,
sebenarnya bukanlah hal mengejutkan. Misalnya, kemunculan kurikulum 1975
diiringi dengan rekomendasi penggunaan Pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif,
kurikulum 1984 diiringi dengan Pendekatan Keterampilan Proses, kurikulum 1994
diringi dengan Pendekatan Komunikatif, dan kurikulum 2004 yang kemudian
direvisi menjadi kurikulum 2006 diiringan dengan Pendekatan Kontekstual.
Selanjutnya, kurikulum 2006 dikembangkan lagi hingga pada tahun 2007 melahirkan
pendekatan-pendekatan lainnya, seperti; Pendekatan Aktif Kreatif Menyenangkan (PAKEM),
yang mana kemudian berkembang lagi menjadi Pendekatan Aktif Kreatif, Inovatif
dan Menyenangkan (PAIKEM).
Yang menarik disimak dari setiap
perubahan kurikulum di atas adalah sikap yang berkembang di tengah-tengah
masyarakat, terutama para guru. Nursaid (2008) mengatakan bahwa setiap
perubahan kurikulum menimbulkan berbagai reaksi, di antaranya kebingungan di
antara guru, bahkan kekaburan konsep. Hal itu, terutama, disebabkan oleh
pemberlakuan pendekatan pembelajaran lain sejalan dengan pemberlakuan kurikulum
sebelumnya. Efek kebingungan guru terhadap konsep-konsep pendekatan cenderung
negatif. Ada sekelompok guru yang menarik simpulan dangkal, misalnya, “Ah,
semua itu sama saja, hanya ganti nama”. Ada sekelompok guru yang menyimpulkan,
“Pendekatan Kontekstual itu sama dengan Pendekatan Anu (misalnya
CBSA atau Keterampilan Proses). Padahal, dalam ilmu bahasa kita tahu bahwa
secara sosiolinguistik, tidak ada kata yang benar-benar sama sekalipun
kata-kata itu bersinonim.
2.
Peran
Guru dalam Pengembangan Kurikulum
Semenjak
adanya program sertifikasi guru sebagai pendidik, bermunculan tuntutan-tuntutan
baru bagi seorang guru. Yang terbaru adalah munculnya Ujian Kompetensi Guru
(UKG) dan Pendidikan Profesi Guru (PPG). Semua program itu ditujukan untuk
menciptakan guru-guru baru ataupun guru lama yang diperbaharui, yaitu guru-guru
yang profesional. Guru dianggap profesional jika mampu melewati “angka-angka”
yang ditetapkan oleh program-program di atas. Lalu, apakah kompetensi
professional seorang guru? Rusman (2010) menjelaskan bahwa kompetensi
profesional guru adalah berikut ini.
a. Kompetensi
Pedagogik
Kompetensi pedagogik biasanya dinilai dari kemampuan seorang
guru dalam mengelola kelas, yaitu kemampuan mengelola seluruh komponen
pembelajaran (Rusman, 2010; Sapani dkk, 1998). Komponen pembelajaran tersebut
terdiri dari tujuan, pengajar, pembelajar, materi ajar, metode, media, sarana
prasarana, dan situasi pendukung pembelajaran. Semua komponen pembelajaran ini
harus dikelola dan disesuaikan sehingga bisa saling mendukung dalam menciptakan
proses pembelajaran yang baik.
b. Kompetensi
Personal
Kompetensi personal merupakan kemampuan yang
berhubungan dengan sikap dan karakter seorang guru. Dalam hal ini, sikap dan
karakter guru Indonesia telah ditetapkan lewat slogan; Ing ngarso sung
tulodo, Ing madya mangun karso, da tut wuri handayani.
Kompetensi ini sebenarnya termasuk kompetensi yang cukup sulit untuk diukur.
Banyak lembaga pendidikan yang terjebak pada isu-isu prototype dan stereotype,
dan menyimpang dari tiga slogan di atas.
c. Kompetensi
Professional
Secara teoritis, kompetensi profesional merupakan
kemampuan seorang guru yang tercermin lewat penguasaannya terhadap materi yang
diajarkan. Akan tetapi, pada implikasinya, kompetensi ini sering tumpang-tindih
dengan kompetensi personal, seperti; loyalitas, disiplin, dan lain sebagainya.
d. Kompetensi
Sosial
Kompetensi sosial adalah kemampuan bermasyarakat guru
yang dapat dilihat dari kemampuan komunikasi, kemampuan bekerja sama, dan
kemampuan seorang guru menjalin network dengan semua pihak yang terkait
dengan pembelajaran. Kompetensi ini menuntut kemampuan guru untuk menjadi partner
komunikasi siswa sekaligus mengembangkan perannya di tengah-tengah masyarakat
dan kepemimpinan publik.
Dengan
berbagai kompetensi di atas, maka, seorang guru mestinya dapat berperan aktif
dalam setiap pengembangan dan perubahan yang terjadi pada kurikulum. Adapun
peran guru dalam proses pengembangan kurikulum, Murray (dalam Sanjaya,2009)
merincinya dengan poin-poin berikut ini.
a. Implementers
Sebagai implementers, guru berperan sebagai
pelaksana kurikulum.
b. Adapters
Sebagai adapters, guru berperan sebagai
penyelaras kurikulum dengan karakteristik daerah, karakteristik dan kebutuhan
siswa.
c. Developers
Sebagai developers, guru berberan sebagai pihak
yang juga terlibat dalam pengembangan kurikulum.
d. Researchers
Sebagai researchers, guru berperan sebagai peneliti yang
fokus meneliti proses pelaksanaan pembejaran dan hasil belajar siswa untuk
kepentingan rekonstruksi dan pengembangan pembelajaran dan kurikulum.
Jika
kita amati dengan cermat keempat peran guru dalam pengembangan kurikulum di
atas, dapat dipahami bahwa keempat peran tersebut merupakan bagian-bagian
kegiatan yang sebenarnya adalah satu kesatuan utuh. Tujuan pembelajaran bisa
diasumsikan akan susah tercapai secara efektif dan efesien jika guru hanya
berperan sebagai implementers dan tidak terlibat pada proses
adaptasi/penyesuaian kurikulum. Peran adapters juga bisa
diasumsikan susah berjalan dengan baik jika guru tidak dalam proses
pengembangan kurikulum. Peran developers bisa diasumsikan susah berjalan
dengan baik jika guru tidak terlibat dalam penelitan kurikulum. Akhirnya, peran
researchers juga tidak akan bisa berjalan dengan baik jika bukan guru yang
meneliti, dan bukankah penelitian tindakan kelas (action research)
adalah bagian dari pekerjaan guru?
3.
Fenomena
Pembelajaran Bahasa Jepang di Indonesia
Pada
sub bagian ini, kita tidak akan membahas perkembangan pembelajaran bahasa
Jepang secara historikal, tapi secara pedagogis. Artinya, kita hanya membahas
fenomena pembelajaran dihubungkan dengan komponen-komponen penting terkait
pembelajaran yang meliputi; pembelajar, pengajar, kurikulum, sumber belajar, dan pendekatan pembelajaran.
Sedangkan aspek historis yang ditandai dengan kapan, di mana, dan siapa tidak
dibahas karena bukan bagian dari pesan yang ingin disampaikan dalam makalah
ini.
Pada
aspek pembelajar, pembelajar bahasa Jepang penutur Indonesia terpusat pada
jenjang pendidikan tingkat menengah dan perguruan tinggi. Dari segi quantitas, pembelajar
bahasa Jepang di Indonesia hingga saat ini menempati urutan kedua di dunia. Artinya,
dalam skop global, kedudukan Indonesia sebagai salah satu negara yang
mengajarkan bahasa Jepang tidak dapat dipandang sebelah mata. Idealnya,
Indonesia seharusnya bisa menjadi salah satu model dalam pembelajaran bahasa
Jepang penutur asing yang jadi rujukan negara-negara lain. Akan tetapi, seperti
yang disampaikan Mitsumoto (2014), quantitas pembelajar bahasa Jepang di
Indonesia tidak berbanding lurus dengan qualitas pembelajarannya.
Pada
aspek pengajar, khususnya pengajar di tingkat pendidikan menengah (SMA/SMK/MA)
memiliki latar belakang akademik yang beragam. Bahkan, ada beberapa daerah yang
hampir 90% pengajar bahasa Jepangnya tidak memiliki latar belakang yang
memungkinkan pengajar tersebut memiliki kemampuan pedagogis. Artinya, secara
metodologi pembelajaran, bisa diasumsikan bahwa proses pembelajaran
dilaksanakan dengan berbagai keterbatasan, terutama keterbatasan kemampuan
pedagogis pengajar.
Pada
aspek kurikulum, sebelum dilahirkannya kurikulum 2013 dan keluarnya JF Cando,
pembelajaran bahasa Jepang di Indonesia bisa dikatakan tidak memiliki standar
yang jelas. Standar kompetensi lulusan dan standar isi kurikulum cenderung
diserahkan saja menjadi kebijakan perguruan tinggi dan sekolah penyelenggara
pembelajaran bahasa Jepang. Bahkan, pada tataran implikasi, penyusunan silabus,
SAP/RPP diserahkan begitu saja pada pengajar tampa ada proses analisis
instruksional yang memadai.
Terakhir, fenomena paling menarik yang
terjadi dalam pembelajaran bahasa Jepang di Indonesia terlihat pada aspek
sumber belajar atau buku ajar. Sudah menjadi rahasia umum bahwa terdapat
ketergantungan yang cukup tinggi pada satu sumber belajar atau satu buku ajar
tertentu. Proses belajar-mengajar sering “disetir” oleh sumber ajar atau buku
ajar tersebut. Bukan ditentukan oleh hasil evaluasi dan analisis instruksional
yang dilakukan oleh guru.
Akhirnya,
kreativitas pengajar “terpasung”, kompetensi pembelajar “terbelenggu” oleh buku
ajar. Penulis pernah melakukan penelitian pada tahun 2015 dan 2016 tentang
analisis kesalahan berbahasa Jepang pada mahasiswa Universitas Negeri Padang,
hasilnya mengindikasikan bahwa mahasiswa mahasiswa cenderung mengeluarkan
bahasa dari buku ajar dari pada memproduksi bahasa sendiri. Temuan ini senada
dengan testimoni beberapa dosen di Bandung dan di Semarang yang pernah penulis
wawancarai terkait penelitian pada tahun 2011. Masalah inipun bahkan menjadi
salah satu isu yang pernah dibicarakan oleh perwakilan 11 perguruan tinggi
pendidikan di Indonesia di The Japan Fondation Jakarta pada tahun 2013
dan 2014. Saat itu, perwakilan-perwakilan yang ada sepakat mengajukan solusi
dengan meminta pihak terkait untuk membantu menyediakan sumber belajar/buku
ajar yang lebih bervariasi.
Dari
aspek pendekatan pembelajaran, pada umumnya, pembelajaran berbahasa Jepang di
Indonesia pada jenjang perguruan tinggi menggunakan pendekatan pembelajaran
kontrol komposisi yang memberikan penekanan pada metode driil yang
terkesan agak kaku. Fenomena menarik justru terlihat di tingkat pendidikan
menengah (SMA/SMK/MA) karena sudah menggunakan pendekatan pembelajaran yang
lebih fleksibel, yaitu pendekatan pembelajaran integratif. Keintegratifan ini
jelas terlihat pada buku ajar yang digunakan. Di dalam buku ajar yang
digunakan, penciri pembelajaran integratif tersebut terlihat jelas pada isi
buku ajar yang juga diiringi dengan audio, video, teks transaksional yang
menggambarkan terintegrasinya 2 (dua) hingga lebih keterampilan berbahasa
sekaligus.
Di
samping itu, pada beberapa Rancangan Pembelajaran Semester (RPS) pun, guru juga
telah menuliskan kompetensi yang meliputi lebih dari 1 (satu) keterampilan
berbahasa. Namun, turunan kompetensi tersebut menjadi indikator kadang terlihat
rancu karena ada rumusan kompetensi yang lebih banyak dari pada rumusan
indikator. Ada pula beberapa rumusan indikator yang seolah berdiri sendiri
tidak terhubung dengan kompetensi, dan tidak menunjukkan pola pengemasan proses
pembelajaran dari mudah ke susah, dari sederhana ke kompit. Bahkan, ada
kompetensi yang tidak bisa diukur karena indikator tidak mencerminkan
operasional pengukuran kompetensi tersebut.
4.
Pendekatan
Pembelajaran Tematik Integratif
Pendekatan
tematik-integratif popular di Indonesia beriringan dengan lahirnya Kurikulum
2013. Pendekatan ini sendiri menurut Rusman (2010) dan Isjoni (2007) merupakan
bagian dari pendekatan pembelajaran integratif/terpadu (integrated
instruction/integrated learning). Pendekatan pembelajaran ini
sebenarnya berkembang dari pendekatan discovery-inquiry, yaitu
pendekatan yang percaya bahwa pengetahuan harusnya dikonstruksi sendiri oleh
siswa bukan diberikan oeh guru. Di samping itu, pendekatan ini juga berangkat
dari teori pembelajaran yang menolak metode latihan hafalan (driil).
Pendekatan
pembelajaran tematik-integratif ini dipengaruhi oleh tiga aliran filsafat,
yaitu; progresivisme, konstruktivisme, dan humanisme. Aliran filsafat progresivisme
memandang proses pembelajaran perlu ditekankan pada pembentukan kreativitas,
pemberian sejumlah aktivitas, suasana yang alamiah, dan memperhatikan
pengalaman siswa.
Aliran
konstruktivisme memandang pengalaman siswa sebagai kunci dalam pembelajaran.
Materi pelajaran perlu dihubungkan dengan pengalaman siswa. Pentemuan
pengalaman (skemata) siswa dengan materi baru akan membuat siswa jadi kreatif
dan bisa mengonstruksi pengetahuannya sendiri. Menurut aliran ini, manusia
membangun pengetahuannya berdasarkan interaksi skemata dengan fenomena dan
hal-hal baru yang ditemuinya.
Aliran
humanisme melihat siswa dari segi karakteristik, keunikan, minat, motifasi, dan
potensi yang dimilikinya. Guru perlu menemukan titik temu yang menjadi
kecenderungan siswa sehingga bisa menfasilitasi keberagaman tersebut. Artinya,
pembelajaran tidak hanya bersifat klasikal, tapi juga berkelompok, bahkan
individual. Klasikal dan kelompok membuat siswa terbiasa bersosialisasi dengan
baik. Sedangkan individual mendorong siswa untuk bisa mandiri.
Pembelajaran tematik integratif memiliki
karakteristik yang khas. Kekhasan pendekatan pembelajaran tematik tercermin
dari karakteristik pembelajarannya. Karekteristik tersebut adalah sebagai
berikut ini (Rusman, 2010; Isjoni, 2007).
a. Holistik
Sebagai ilmu yang berada dalam lingkup IPS, fenomena
bahasa/informasi hendaknya disikapi dari berbagai bidang sekaligus. Tidak
dengan sudut pandang yang terkotak-kotak.
b. Bermakna
Sudut pandang nomor satu memungkinkan terbentuknya
semacam jalinan antarskemata pada kepala siswa sehingga bisa mengambil
kesimpulan atau memahami konsep secara lebih utuh. Inilah yang dimaksud dengan
bermakna.
c. Otentik
Interaksi langsung siswa dengan fenomena berbahasa
memungkinkan siswa untuk memahami hasil belajarnya sebagai sebuah fakta, bukan
hanya pemberitahuan dari guru.
d. Aktif
Pendekatan ini dikembangkan dari discovery-inqury.
Jadi, siswa perlu terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran, mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi.
Beradasarkan
teori dan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran tematik
integratif memiliki karakteristik berikut ini.
a. Pembelajaran
dikembangkan berdasarkan sebuah tema utama dan tema pendukung.
b. Terdapat
hubungan berkesinambungan antartema hingga berujung pada tema utama.
c. Proses
pembelajaran melibatkan berbagai komponen dan keterampilan berbahasa.
5.
Rekonstruksi
Pembelajaran Tematik Integratif dalam Pembelajaran Bahasa Jepang
Secara kebahasaan, konstruksi berarti
bangun atau struktur, dan rekonstruksi berarti proses melakukan pembangunan
ulang atau penataan kembali sebuah struktur. Sejalan dengan itu, rekonstruksi
pembelajaran atau rekonstruksi mata pelajaran atau rekonstruksi mata kuliah
berasti serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menata kembali struktur
bangun pembelajaran yang telah direncanakan, dilaksanakan, dan dievaluasi.
Pendek kata, rekonstruksi bertujuan untuk memperbaiki proses dan hasil
pembelajaran paada masa yang akan datang.
Suparman (2005) menyatakan bahwa
proses konstruksi sebuah kegiatan pembelajaran meliputi kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan
evaluasi. Adapun aplikasi dari langkah-langkah rekonstruksi mata pelajaran dengan
pendekatan tematik integratif, bisa dikembangkan seperti berikut ini.
a. Tahap
Perencanaan
1)
Melakukan Analisis
Instruksional
Analisis
instruksional adalah proses merumuskan kompetensi yang ingin dicapai dalam satu
periode pembelajaran (semester, catur wulan, dll.). dalam makalah ini karena
didasarkan pada pendekatan tematik integratif, maka analisis instruksionalpun disesuaikan
dengan pendekatan tersebut. Langkah-langkah untuk melakukan analisis
instruksional adalah sebagai berikut ini.
a)
Menentukan tema
utama
b)
Merumuskan
kompetensi utama sesuai dengan tema utama.
c)
Menentukan
tema-tema pendukung
d)
Merumuskan
kompetensi pendukung sesuai dengan tema pendukung.
e)
Melakukan
pemisahan antara kompetensi-kompetensi yang harus disusun berdasarkan gradasi
dengan yang sejajar.
f)
Menyusun
kompetensi yang memiliki gradasi dan yang sejajar secara berjenjang mulai dari
kompetensi paling tinggi (kompetensi utama) hingga kompetensi paling rendah.
g)
Membuat
bagan analisis instruksional
h)
Mengembangkan
indikator berdasarkan kompetensi dengan menggunakan prinsip pembelajaran
mudah-susah sesuai dengan prinsip Taksonomi Bloom (2005).
i)
Memilih sumber
belajar/buku ajar.
j)
Menyeleksi dan
menyusun materi sesuai dengan kompetensi dan indikator yang telah disusun.
2)
Menyusun Silabus
3)
Menyusun Rancangan
Pembelajaras Semester (RPS)
b. Tahap
Pelaksanaan
Baik tidaknya pelaksanaan pembelajaran sangat
dipengaruhi oleh tahapan perencanaan di atas. Sebaiknya pada tahap perencanaan
ini, guru juga memonitoring langsung pelaksanaan dengan mengembangkan lembar
observasi atau daftar ceklis berdasarkan RPS yang juga berfungsi sebagai bagian
dari evaluasi proses.
c. Tahap
Evaluasi
1)
Evaluasi Hasil
Evaluasi
hasil biasanya menggunakan instrument tes. Dalam hal ini kisi-kisi tes dan
butir tes juga harusnya dikembangkan kompetensi dan indikator yang integratif
supaya secara struktur dan isi relevan dengan rancangan pembelajaran yang
disusun.
a)
Evaluasi formatif
Bisa
disusun per materi bisa juga per pertemuan.
b)
Evaluasi sumatif
Biasanya
disusun dalam bentuk tes pertengahan dan akhir semester.
2)
Evaluasi Proses
a)
Lembar observasi
aktivitas siswa
b)
Lembar observasi
aktivitas guru
d. Rekonstruksi
Merupakan kegiatan menata ulang konstruksi
pembelajaran sebagai tindak lanjut dari hasil evaluasi hasil dan evaluasi
proses yang dilakukan selama proses pembelajaran dilaksanakan.
C.
Penutup
Berdasarkan
kajian literatur terhadap pendekatan pembelajaran tematik-integratif di atas
dapat dipahami poin-poin berikut ini.
1. Pengajar
memiliki 4 (empat) peran dalam pengembangan kurikulum, yaitu; sebagai implementers,
adapters, developers, dan researchers.
2. Rekonstruksi
pembelajaran yang terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi adalah
rangkaian kegiatan berkesinambungan yang mesti dilakukan pengajar demi
meningkatkan kualitas pembelajaran.
3. Pembelajaran
tematik-integratif adalah salah satu model pembelajaran yang relevan dengan
kurikulum 2013 dan relevan dikembangkan untuk pembelajaran bahasa Jepang, baik
di tingkat pendidikan menengah maupun di tingkat pendidikan tinggi.
Rujukan
Djamarah, Syaiful Bahri dan Zain,
Aswan. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta
Dijiwandono, M. Soenardi. 2008. Tes
Bahasa. Jakarta: Indeks.
Isjoni. 2007. Integrated Learning.
Bandung: Falah Production.
Rusman. 2010. Model-Model
Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Press.
Sapani dkk. 1998. Teori Pembelajaran
Bahasa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sanjaya, Wina. 2009. Kurikulum dan
Pembelajaran. Jakarta: Kencana Orenada Media Group.
Suciati. 2005. Taksonomi Tujuan
Pembelajaran. Jakarta: Pusat Antar Universitas untuk Peningkatan dan
Pengembangan Aktivitas Instruksional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan Nasional.
Suparman, M. Atwi. 2005. Disain
Instruksional. Jakarta: Pusat Antar Universitas untuk Peningkatan dan
Pengembangan Aktivitas Instruksional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan Nasional.
izin berkunjung kak :)
ReplyDeletejangan lupa berkunjung pula ke blog saya..