1.
Dilema Aksara
Minangkabau
Membicarakan tentang aksara asli Minangkabau sama
seperti membicarakan tentang masa depan. Karena, sampai saat ini aksara
tersebut belum ditemukan. Ada beberapa klem yang manyatakan tentang penemuan
aksara asli Minangkabau. Setidaknya ada tiga klem, yaitu; pertama, aksara di
dalam buku Datoek Toeah, kedua, aksara tambo rueh yang pernah dipajang di
museum Adityawarman Padang. Sedangkan yang ketiga, yaitu klem yang berasal dari buku yang berjudul Pelakat
Pandjang.
Ketiga aksara di atas tidak punya sumber yang jelas,
yaitu naskah aslinya. Artinya, aksara dilampirkan tersusun diiringi penjelasan
pihak yang mengklem tanpa adanya kopian naskah atau foto naskah aslinya.
Padahal, ketiga data tersebut merupakan naskah utuh yang punya cerita di
dalamnya. Seperti; aksara dalam buku Datoek Toeah dengan tambo Datoek Suri
Dirajo dan Datoek Bandaro Kajo, aksara di museum Adityawarman dengan tambo
rueh, dan buku “Pelakat Pandjang” dengan kitab undang-undangnya.
Pada tanggal 05 September 2010, saya pernah mengamati
sebuah foto aksara Mingangkabau fersi Datoek Toeah yang dimuat di link http://batam.tribunnews.com/index.php/2010/09/05/huruf-asli-minangkabau-raib. Pada bagian berita fotonya tertulis keterangan bahwa
foto tersebut adalah “bagian” dari aksara asli Minangkabau, dengan sumber:
Datoek Toeah. Lalu, pada awal Mei 2012, saya membaca buku yang tidak memiliki
halaman muka (tidak ditemukan nama penulis) yang berjudul Pelakat Pandjang
yang juga melampirkan aksara asli Minangkabau tanpa naskah aslinya.
Setelah dibandingkan, saya menemukan foto bagian
aksara yang dilampirkan sama dengan sebuah bagian aksara di buku Pelakat
Pandjang. Hal ini tentu menggiring opini saya pada dugaan bahwa kedua
aksara berasal dari sumber yang sama. Namun, saya tidak berani mengasumsikan
bahwa buku yang saya baca adalah bukunya Datoek Tuah. Karena, saya juga pernah
membaca tulisan Uli Kozok yang menyatakan bahwa buku Datoek Tuah berisi tentang
tambo. Lalu, manakah yang asli? Untuk itu, akan kita coba mengupasnya pada sub
judul berikutnya.
2.
Aksara Sumatra
Aksara di Sumatra lebih dikenal sebagai aksara Melayu.
Aksara ini lalu berkembang menjadi jenis-jenis baru sesuai dengan daerahnya. Setidaknya,
ada tiga jenis aksara Melayu yang telah ditemukan di pulau Sumatra, yaitu; a)
surat ulu/rencong, b) surat Lampung, dan c) surat incung. Namun, pada
kesempatan ini, karena keterbatasan, hanya akan dikupas tentang aksara melayu
surat ulu (a) surat lampung (c) dan surat incung.
a.
Surat Ulu
Aksara surat
ulu ditemukan di Sumatra Bagian Tengah, khususnya daerah Melayu Palembang,
Riau, dan Jambi. Aksara ini juga disebut dengan aksara rencong, khususnya di
daerah Palembang. Sedangkan di Batak disebut aksara Batak. Menurut para ahli
paleografi, aksara ulu kemungkinan besar merupakan cikal bakal aksara asli Sumatra
Barat yang hingga saat ini masih menjadi misteri. Alasannya, yaitu hubungan kedekatan
pada aspek budaya, aspek linguistik, dan aspek ekonomi/perdagangan. Apalagi,
asumsi ini didukung oleh fakta bahwa aksara surat ulu berkembang/menurun ke
dalam bentuk baru yang secara linguistic bisa diurai turunannya.
Aksara surat
ulu bentuknya mirip dengan aksara-aksara pasca palawa seperti yang ditemukan
pada prasasti Adityawarman dan prasasti Ombilin. Sedangkan aksara surat incung,
menurut keterangan beberapa ahli paleografi yang diminta Kozok untuk
menyelidiki aspek linguistiknya menyatakan bahwa aksara ini merupakan turunan
dari aksara surat ulu. Hal ini terlihat jelas pada aspek bentuk aksara dan
sistem fonetiknya. Sehubungan dengan itu, aksara Batakpun dianggap sebagai
turunan dari aksara surat ulu ini.
Berdasarkan
penemuan aksara surat incung ini, bisa diasumsikan bahwa aksara Minangkabau
memang ada. Kemungkinan besar, aksara Minangkabau juga merupakan turunan dari
aksara surat ulu seperti halnya aksara surat incung di Kerinci dan aksara Batak.
Bukan seperti turunan aksara latin, seperti aksara Minangkabau di tambo rueh,
bukan pula seperti aksara Minangkabau dalam buku Datoek Toeah yang tidak jelas
asal-usul/naskah aslinya.
b.
Surat Incung
Surat incung
adalah aksara yang ditemukan di kerinci dalam naskah kitab undang-undang
Tanjung Tanah. Naskah ini, sampai saat ini dianggap sebagai
naskah Melayu tertua. Karena, melalui uji karbon terhadap bahannya mengindikasikan
naskah tersebut ada pada abad ke-12-14, atau sebelum masa berkembangnya Islam di
Sumatra Barat. Naskah ini sebenarnya merupakan kitab undang-undang yang ditulis
oleh seorang Dipati di hadapan Maharaja Darmasraya, atas perintah Maharaja
Melayu di Saruaso yaitu Adityawarman untuk Rajo kerinci yang merupakan daerah
kekuasaannya Maharaja Darmasraya.
Secara
struktur, naskah ini terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian pembuka, isi, dan
penutup. Khusus untuk bagian pembuka dan penutup, aksara yang ditemukan adalah
aksara Sanksekerta. Sedangkan pada bagian isi, ditemukan dua aksara, yaitu
aksara surat ulu dan aksara surat incung. Di samping itu, di dalam aksara ini,
tidak ditemukan satupun kata serapan dari Arab. Kata serapan yang jumlahnya
sedikit umumnya berasal dari bahasa Sanksekerta. Begitu juga dengan turunan
aksara, umunya turunan dari aksara jawa kuno dan pasca palawa.
Menurut Kozok,
peneliti naskah Tanjung tanah, jenis aksara pada naskah dan alur proses
pembuatan naskah mengindikasikan bentuk pemakaian ketiga jenis aksara. Aksara Sanksekerta
merupakan simbol raja Melayu Adityawarman (pusat Melayu waktu itu di Saruaso)
bergelar Maharaja Diraja, dan aksara surat ulu simbol raja Darmasraya (pemimpin
daerah cabang) bergelar Maharaja. Sedangkan
aksara surat incung merupakan simbol raja kerinci (daerah terbawah dalam
gradasi pemerintahan) bergelar Rajo. Dengan demikian, aksara surat incunglah
yang merupakan aksara asli Kerinci.
c.
Aksara
Minangkabau
Seperi disinggung pada bagian awal pembahasan bahwa
ada ada tiga klem tentang aksara Minangkabau yang saya temukan. Pertama, aksara
dalam tambo “Datuak Suri Dirajo jo Datuak Bandaro Kayo” dalam buku Datoek Tuah
yang katanya ditemukan di Pariangan Padang Panjang, kedua, aksara dalam tambo
rueh di museum Adityawarman yang katanya ditemukan di Sulik Aia, ketiga, klem
dalam “Kitab Undang-Undang Pelakat Pandjang”.
Mengenai aksara yang dikatakan berasal dari tambo rueh
dan pernah dipajang di museum Adityawarman, Kozok (2006:) jelas mengatakan
sebagai rekayasa. Alasannya, bagi seorang ahli paleografi, aksara di museum
Adityawarman itu dibuat oleh orang yang tidak tahu tentang aksara Sumatra sehingga
kelihatan sekali asas-asas aksara latin di dalamnya. Pendek kata, aksara itu
merupakan turunan aksara latin.
Selanjutnya, mengenai aksara dalam “Kitab
Undang-Undang Pelakat Pandjang” dan aksara dalam tambo “Datoek Suri Dirajo jo
Datoek Bandaro Kajo” juga sangat meragukan. Alasannya, 1) aksara ini memiliki
aksara khusus “a” dan “ha”. Padahal, bahasa Melayu/Minangkabau tidak selalu membedakan
“a” dan “ha”, seperti; hadang=adang, hati=ati, bahkan
kadang-kadang=adang-adang. Apa lagi, didalam aksara surat ulu melayu, aksara
“ha” dan “a” ditulis oleh satu aksara saja yang bisa dibaca dengan kedua cara
tersebut.
Alasan yang kedua, yaitu bahwa di dalam aksara ini
tidak ada sandangan “ng”, yang ada justru “nga” sehingga kata gadang ditulis
dengan tiga aksara (ga-da-nga) ditambah tanda bunuh seperti cara baca dalam
bahasa Arab. Padahal, seluruh aksara Sumatra menulis kata padang dengan dua
aksara (pa-da) ditambah sandangan “ng”. Jadi, sangat disayangkan, aksara ini
telah dimuat begitu saja di museum Adityawarman tanpa penelusuran mendalam.
Penemuan aksara surat incung, aksara rencong, aksara
batak sebagai turunan dari aksara ulu sudah selayaknya diapresiasi. Karna,
penemuan ini bisa menjadi semacam pencerahan bahwa aksara Minangkabau memang
ada. Dari segi bentuk, kemungkinan besar aksara Minangkabau merupakan turunan
dari aksara ulu (aksara melayu), seperti halnya aksara Batak, rencong, dan
aksara surat incung di Kerinci. Masalahnya, bagaimana caranya untuk
meningkatkan penemuan dan penelitian tentang aksara Minangkabau serta
meningkatkan kesadaran masyarakat untuk membuka diri sehingga tradisi dan
benda-benda budaya tidak hancur di makan waktu begitu saja.
3.
Lampiran
a.
Beberapa
Bagian Aksara Tambo Rueh
b.
Aksara Pelakat
Pandjang, Datuak Tuah
Sumber: Pelakat Pandjang
c.
Aksara Surat
Incung, rencong, Tanjung tanah
Sumber: Uli Kozok. Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah
No comments:
Post a Comment