A.
Pendahuluan
Kata di
dalam bahasa Jepang terdiri dari 6 (enam) kelas kata. Kelas kata tersebut
adalah; 1) kata benda (meishi), 2)
partikel (joshi), 3) kata keterangan
(fukushi), 4) kata kerja (doshi), kata sifat (keiyoshi), dan kopula (jodoshi).
Keenam kelas kata ini lalu dikelompokkan menjadi dua, yaitu; kelompok kelas
kata yang mengalami perubahan bentuk, dan kelas kata yang tidak mengalami
perubahan bentuk.
Meishi, joshi, dan fukushi
adalah kelompok kelas kata yang tidak mengalami perubahan bentuk. Sedangkan doshi, keiyoshi, dan jodoshi termasuk ke dalam kelompok kata
yang mengalami perubahan bentuk. Di antara 3 (tiga) kelas kata yang mengalami
perubahan bentuk, doshi adalah yang
mengalami paling banyak perubahan sehingga memiliki potensi yang tinggi
terhadap kesalahan dalam penggunaannya.
Secara
umum, faktor penyebab kesalahan berbahasa Jepang pembelajar bahasa bukan orang
Jepang adalah interferensi bahasa ibu. Namun,
Sakoda (2009) mengadakan penelitian analisis kesalahan penggunaan kata depan de dan ni. Subjeknya adalah 3 (tiga) kelompok mahasiswa dari 3 (tiga)
negara yang berbeda. Hasilnya, ditemukan bahwa kesalahan tidak disebabkan oleh
interferensi bahasa Ibu. Tapi, disebabkan oleh faktor pembelajaran (siswa dan
metode).
Sehubungan dengan fakta di atas,
penulis tertarik untuk mengadakan penelitian analisis kesalahan penggunaan doshi bentuk “ta” pada mahasiswa angkatan 2012 Program Studi Pendidikan Bahasa
Jepang UNP pada semester Juli-Desember 2013. Pada penelitian ini, penulis ingin
melihat apakah kesalahan penggunaan doushi
bentuk “ta” disebabkan oleh interferensi
bahasa ibu atau disebabkan oleh faktor pembelajaran, atau keduanya.
B.
Pembahasan
1. Metode
Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Program Studi
Pendidikan Bahasa Jepang Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Padang
pada bulan Februari 2014. Sampel/subjek penelitian adalah mahasiswa tahun masuk
2012 Program Studi Pendidikan Bahasa Jepang Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Padang. Pemilihan subjek ini berdasarkan pada pertimbangan
bahwa mahasiswa ini sudah mengikuti materi tentang modifikasi kata kerja bahasa
Jepang bentuk “ta”.
Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian
kualitatif dan kuantitatif. Data-data dikumpulkan melalui dua instrumen, yaitu;
tes dan angket. Tes dikemas dalam bentuk pertanyaan
dengan jawaban berupa pilihan
berganda sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu untuk mengetahui kemampuan
mahasiswa dalam menggunakan bentuk “ta”.
Sedangkan angket digunakan untuk melacak penyebab kesalahan-kesalahan tersebut.
Sakoda (2009:) menyampaikan bahwa kesalahan pembelajar
bahasa Jepang penutur asing disebabkan oleh dua faktor, yaitu; interferensi
bahasa ibu dan faktor pembelajar itu sendiri. Faktor pembelajar ini bisa
disebabkan oleh dua hal, yaitu; metode pembelajaran yang digunakan guru dan
tata penyajian materi dalam buku teks yang digunakan. Jadi, instrumen
penelitian ini (tes dan angket) dikembangkan dengan mempertimbangkan penelitian
Sakoda di atas.
2. Perubahan Bentuk Doshi
Sutedi (2003: 48-50) mengatakan bahwa doshi memiliki 6 (enam) bentuk, yaitu; 1) mizenkei, 2) renyokei, 3) shushikei, 4)
rentaikei, 5) kateikei, 6) meireikei. Misalnya, doshi tachimasu (berdiri), salah satu bentuk mizenkeinya adalah tatanai,
salah satu bentuk shushikei/rentaikeinya
adalah tatsu, salah satu bentuk renyoukeinya adalah tachimashita, salah satu bentuk kateikeinya
adalah tateba, dan salah satu bentuk meireikeinya adalah tate.
Dari keenam bentuk doshi
tersebut, renyokei adalah bentuk yang
paling banyak ditemukan pada pembelajaran bahasa Jepang level dasar. Renyoukei
ini terdiri dari 3 (tiga) bentuk, yaitu; 1) bentuk sopan (masu), 2) bentuk sambung (te),
dan 3) bentuk biasa (ta). Kata kerja
bentuk “ta” yang dimaksud dalam
tulisan ini adalah bagian dari bentuk renyokei
masu (sopan), bukan bentuk ta
(biasa). Untuk lebih jelasnya, bisa diperhatikan tabel di bawah.
Tabel 1 Perubahan
Bentuk Doshi Bentuk “Ta” Sopan
No.
|
Masu
|
Masen
|
Mashita
|
Masen
deshita
|
Te imasu
|
1
|
Kaimasu
|
Kaimasen
|
Kaimashita
|
Kaimasen
deshita
|
Kaite imasu
|
2
|
Tashimasu
|
Tachimasen
|
Tachimashita
|
Tachimasen
Deshita
|
Tatte imasu
|
3
|
Urimasu
|
Urimasen
|
Urimashita
|
Urimasen
deshita
|
Utte imasu
|
Sutedi, 2003: 49
Pada tabel di atas terlihat bagian yang digaris-bawahi
pada kolom mashita dan masendeshita. Bentuk “ta” yang akan dibahas dalam penelitian
ini adalah yang berada pada kolom mashita
dan masendeshita. Keduanya adalah
bentuk yang berfungsi sebagai penanda waktu, yaitu waktu lampau. Sedangkan
bentuk sopan masu, masen, dan te imasu berfungsi sebagai penanda waktu yang akan datang dan
waktu sedang berlangsung.
3.
Pembelajaran Perubahan Bentuk Doshi di Program Studi Pendidikan Bahasa Jepang Universitas Negeri
Padang
Materi
renyokei (masu, mashita dan te imasu)
secara spesifik diajarkan pada mata kuliah Tata Bahasa Jepang Dasar (Shokyu Bunpo). Pembelajaran mata kuliah
ini di Program Studi Pendidikan Bahasa Jepang UNP menggunakan buku pegangan Minna No Nihonggo I dan II. Sedangkan untuk
pendekatan, metode, dan media pembelajaran di dalam kelas diserahkan sepenuhnya
kepada guru yang mengampu mata kuliah.
Secara
fungsional, doshi masu, ta (mashita),
dan te (te imasu) ini membentuk
fungsi penanda waktu. Di dalam istilah bahasa Jepang, fungsi waktu ini disebut
juga dengan tensu. Bentuk masu berfungsi sebagai penanda waktu
yang akan datang, bentuk te imasu sebagai penanda waktu yang sedang berlangsung, dan bentuk
ta sebagai penanda waktu yang telah
berlalu.
Di
dalam alur pembelajaran yang tergambar dari Minna
No Nihongo I, materi tensu ini
diajarkan secara konstruktif. Buku hanya menyajikan contoh-contoh teks kalimat
dan percakapan terkait dalam beragam bentuk penggunaan. Jadi, menurut buku ini,
aktivitas pembelajaran didominasi oleh latihan. Pengajar berfungsi sebagai
fasilitator dan pembimbing yang membantu pembelajar dalam membangun pengetahuan
dan pemahamannya terhadap materi yang ada di dalam buku.
Pada
praktiknya, di dalam proses belajar-mengajar guru tidak sepenuhnya mengikuti
apa yang ada di dalam buku
Minna Nihongo I. Misalnya, guru selalu memberikan definisi pada awal setiap materi.
Setelah itu, barulah siswa mengerjakan latihan yang ada pada buku. Menurut
guru, tidak banyak masalah yang mencuat pada saat mengerjakan ataupun
mengevaluasi latihan ini.
Namun, di balik metodologi yang tercermin
dari pola pembelajaran di atas adalah, penulis berasumsi bahwa mahasiswa
menjadi tidak kreatif. Hal ini dibuktikan dengan temuan pada observasi yang
pernah penulis lakukan terhadap siswa sebelum penelitian ini. Saat itu, penulis
meminta mahasiswa untuk membuat tiga buah kalimat dengan menggunakan pola “~ha~ni arimasu”. Hasilnya, lebih dari
80% jawaban/kalimat yang dibuat mahasiswa ada di dalam buku teks yang mereka
pegang.
4.
Analisis Kesalahan Penggunaan Kata Kerja Bentuk “Ta”
Untuk mengetahui dan menganalisa kesalahan dalam
penggunaan bentuk “ta”, penulis menggunakan dua instrumen, yaitu tes dan
angket. Tes yang digunakan adalah tes pilihan berganda, di mana mahasiswa
diminta untuk memilih padanan kalimat-kalimat di dalam bahasa ibu mereka
(Bahasa Indonesia) ke dalam bahasa Jepang. Pemilihan bentuk tes yang seperti
ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh bahasa ibu terhadap kesalahan penggunaan
bentuk “ta”. Sedangkan penggunaan angket bertujuan untuk mengetahui faktor
lainnya yang mempengaruhi terjadinya kesalahan dalam penggunaan partikel “ta”. Berikut
gambaran kesalahan-kesalahan yang terjadi.
a. Hatarakimashitaka.
b.
Asoko ni hatarakimashita.
Dialog
(a, b) di atas sering ditemukan di kalangan pembelajar
bahasa Jepang penutur Indonesia. Berdasarkan data angket, penggunaan
kalimat seperti dialog ini muncul karena mahasiswa menerjemahkan begitu saja kalimat bahasa Indonesia “Kamu sudah bekerja?” (a) dan “Sudah, Saya sudah bekerja di sana” (b) yang memang lazim dan sering ditemukan di dalam kehidupan sehari-hari
pembelajar tersebut. Pesan yang ingin disampaikan dalam dialog tersebut adalah
bahwa penutur dialog (a, b) menyampaikan bahwa dia tidak lagi menganggur dan
sudah bekerja.
Di
dalam bahasa Jepang, dialog di atas tidak tepat. Merujuk dari pesan yang ingin
disampaikan penutur, maka dialog itu mestinya; “hataraite imasuka” (a) dan “asoko ni hataraite imasu”
(b). Sebab, meskipun kata “sudah” bisa dipadankan dengan
bentuk “ta” (hatarakimashita),
konteks/pesan yang ingin disampaikan meleburkan keberadaan kata “sudah” dan
bentuk “ta” tersebut. Jika tetap digunakan, maka dialog tersebut berpotensi
memunculkan image/pesan yang salah,
menjadi “dulu bekerja di sana/sekarang tidak lagi”.
c. Kekkon shimashitaka
d.
Hai, kekkonshimashita.
Dialog (c, d) di atas biasanya muncul ketika ada pembahasan
terkait status menikah-tidaknya seseorang. Di dalam bahasa Indonesia, terutama
dalam kehidupan sehari-hari, penutur Indonesia terbiasa menggunakan dialog
“Anda sudah menikah?” (c) dan “Sudah, Saya sudah menikah” (d) untuk menanyakan dan menyatakan status seseorang. Penggunaan kalimat
ini menjadi salah satu kemungkinan yang membuat banyaknya muncul kalimat/dialog
seperti di atas di kalangan pembelajar bahasa Jepang penutur Indonesia.
Dialog di atas agak janggal di dalam bahasa Jepang.
Biasanya untuk menyatakan pesan dalam dialog tersebut, kalimat-kalimat yang
akan muncul adalah “kekkon shite imasuka?”
(c) dan “kekkon
shite imasu” (d). Artinya, jika digunakan penanda kala “mashita”,
akan muncul image “dulu menikah/sekarang tidak lagi”. Pesan yang sangat
bertolak belakang dari pesan yang ingin disampaikan melalui dialog di atas,
yaitu untuk menyatakan status “sedang menjadi seorang istri/suami”.
e.
Kodomo ga
nemashitaka.
f.
Nemashitayo.
Dialog
(e, f) di atas dibuat
oleh pembelajar bahasa Jepang penutur Indonesia ketika diminta untuk membuat
dialog untuk mengetahui keberadaan anak pada malam hari. Dialog ini
berkemungkinan muncul akibat pengaruh dialog
“Anak-anak sudah tidur?”
(e)
dan “Sudah, mereka sudah tidur” (f)
yang lazim/biasa ditemukan dalam berbahasa Indonesia.
Di
dalam bahasa Jepang, dialog (e,
f)
tidak tepat. Penggunaan yang tepat adalah bentuk “kodomo ga nete imasuka” (e) dan “nete imasuyo” (f)
bukan “kodomo ga nemashitaka”
dan “nemashitayo”. Sebab, pesan
utama, yaitu untuk menyatakan keadaan tidak sadar karena terlelap itu tidak
bisa digunakan bentuk “ta” (nemashita).
Artinya, penggunaan seperti di atas tidak lazim/janggal di dalam bahasa Jepang
karena akan memunculkan kesalahan pada pesan yang akan disampaikan.
g. Ano hito no koto wo shirimashitaka?
h.
Shirimashitayo.
Pesan
utama dari dialog (g, h) di atas adalah untuk mengetahui apakah mitra tutur (h) mengetahui informasi yang diinginkan oleh penututur (g). Di dalam bahasa Indonesia, sering digunakan dialog “Anda sudah tahu
tentang orang itu?” (g) dan “Sudah, Saya sudah mengetahuinya” (h). Dialog dalam bahasa Indonesia inilah barangkali yang memunculkan dialog
bahasa Jepang di atas (g, h).
Di
dalam bahasa Jepang pesan utama dialog (g, h) di atas tidak bisa disampaikan oleh kalimat yang
muncul tersebut. Dialog yang benar adalah “ano
hito no koto wo shitte imasuka” (g) dan “shitte
imasu” (h). Penggunaan seperti di atas (g, h) tidak tepat di dalam bahasa Jepang yang karena
melenceng dari pesan yang ingin disampaikan.
i. Untensaremashitaka.
j.
Untensaremashita.
Dialog
(i, j) banyak digunakan oleh pembelajar bahasa Jepang
penutur Indonesia. Di dalam bahasa Indonesia, dialog ini biasa diwujudkan
dengan kalimat-kalimat “Anda sudah bisa menyetir?” (i) dan “Saya sudah bisa menyetir” (j). Hal inilah barangkali yang menyebabkan munculnya
penggunaan bahasa Jepang seperti dialog di atas.
Dialog
di atas tidak lazim digunakan di dalam bahasa Jepang. Dialog yang benar mestinya
adalah “untenshimasuka” (i) dan “untenshimasu” (j). Penggunaan seperti dialog (i, j) di atas akan membuat pesan utama tidak sampai dengan
tepat.
k.
Ima, doko ni sunde
imasuka.
l.
Atarashi uchi ni sumimashitayo.
Dialog
(k, l) banyak digunakan oleh pembelajar bahasa Jepang
penutur Indonesia. Di dalam bahasa Indonesia, dialog ini biasa diwujudkan
dengan kalimat-kalimat “Sekarang
Anda
tinggal di mana?” (l) dan “Saya sudah tinggal di rumah yang baru” (k). Hal inilah barangkali yang menyebabkan munculnya
penggunaan bahasa Jepang seperti dialog di atas.
Dialog
di atas tidak lazim digunakan di dalam bahasa Jepang. Dialog yang benar
mestinya adalah “sunde
imasu” (k, l). Penggunaan seperti dialog (k, l) di atas berpotensi memunculkan makna yang aneh bagi penutur asli
bahasa Jepang.
Dari
pembahasan di atas jelas terlihat bahwa seluruh penggunaan kata penanda kala di
atas sebenarnya tidak berfungsi sebagai kala. Fungsi yang terkandung pada
contoh-contoh tersebut adalah fungsi aspek. Namun, tidak adanya pengelompokkan
khusus terhadap kata-kata kerja tertentu yang diikuti oleh kata penanda kala
jelas berpotensi memunculkan error di dalam penggunaan kata penanda kala
di dalam bahasa Indonesia, seperti contoh-contoh kasus di atas.
Selanjutnya, seperti yang dilakukan oleh Sakoda (2009), bahwa untuk
menganalisa kesalahan yang terjadi, bisa dilihat pada aspek bahasa ibu, aspek
metodologi yang diterapkan guru, dan aspek strategi memproses bahasa yang
dilakukan oleh pembelajar. Pertama, pada aspek bahasa Ibu, kemungkinan besar
kesalahan seperti di atas dipengaruhi oleh kebiasaan penggunaan kata penanda
kala (sudah/telah) di dalam berbahasa Indonesia lisan.
Kedua, dari aspek metodologi, terutama pada alur pembelajaran dalam buku
teks, tidak terlihat hal/instruksi yang berpotensi menyebabkan terjadinya
kesalahan seperti di atas. Penggunaan-penggunaan seperti di atas justru tidak
ditemukan di dalam buku teks. Kesalahan-kesalahan di atas murni diproduksi
sendiri oleh pembelajar. Artinya, aspek ketiga, aspek strategi memproses bahasa
menjadi kemungkinan terbesar yang menyebabkan terjadinya kesalahan. Pembelajar
dengan sengaja menerapkan strategi terjemahan, di mana padanan bahasa Indonesia
yang digunakan adalah bahasa lisan.
C. Penutup
Berdasarkan pembahasan di atas bisa disimpulkan bahwa
telah terjadi kesalahan strategi memproduksi bahasa Jepang yang dilakukan oleh
subjek penelitian, yang mana kesalahan tersebut berpotensi menjadi error. Disebut kesalahan strategi
memproduksi bahasa karena kesalahan itu terjadi karena kebiasaan siswa yang
terlalu terpaku dengan strategi penerjemahan dan tidak terbiasa teliti dalam
memahami contoh-contoh yang ada pada buku teks (dalam hal ini buku teks minna no nihongo). Kesalahan-kesalahan
tersebut bisa dilihat pada tabel di bawah.
Tabel 2 Kesalahan yang Menonjol
Tuturan
|
Pesan yang
Disampaikan (×) dan Image yang Muncul (√)
|
||
Dalam Keadaan
Belum/Tidak…*)
|
Dalam Keadaan
Sedang…*)
|
Dalam Keadaan
Sudah/Tidak…*)
|
|
Sudah + “bekerja”
|
×
|
√
|
|
Sudah + “menikah”
|
×
|
√
|
|
Sudah + “tidur”
|
×
|
√
|
|
Sudah + “tahu”
|
×
|
√
|
|
Sudah + “bisa”
|
×
|
√
|
|
Sudah + “tinggal”
|
×
|
√
|
Catatan; …*)
diisi dengan bagian tuturan yang diberi tanda kutip (“…”)
Daftar Pustaka
Coorporation 3 A. 2006. Minna No Nihongo. IMAF Press: Surabaya.
Handayani, Umi. 2004. “Analisis Kesalahan Penggunaan
Partikel Kara dan Node” (skripsi:Unnes)
Sakoda, Fumiko. “Proses Bahasa yang Berpotensi
Memunculkan Error: Analisis Kesalahan Penggunaan Partikel “de” dan “ni” yang
Menunjukkan Tempat.
Sudana Rina. 2010. “Huruf Kanji Jepang” (artikel, tidak
diterbitkan), Bandung.
Sutedi, Dedi. 2004. Dasar-Dasar Linguistik Bahasa Jepang.
Badung: Humaniora Utama Press.
Zalman Hendri. 2015. Kosa
Kata Bahasa Jepang Dasar. Padang: FBS UNP Press.
No comments:
Post a Comment