Friday, May 17, 2013

Jangan Ada Malas Di Antara Kita (Refresh Niat Belajar dan Mengajar)

Semenjak Taman Kanak-Kanak, kepada kita diperkenalkan sebuah pribahasa, yaitu “rajin pangkal pandai, malas pangkal bodoh”. Melalui pribahasa ini, di dalam diri kita ditanamkan kepercayaan bahwa rajinlah syarat utama menjadi pandai, dan malaslah masalah yang harus diatasi jika tidak ingin menjadi manusia bodoh. Secara teoritis, ajaran ini berhasil. Karena, tidak ada satu orangpun yang bisa menyangkal pesan pribahasa ini. Namun, secara praktis tidaklah demikian. Artinya, jika kita analogikan pada sebuah tes, maka pribahasa ini sama seperti tes di atas kertas yang bisa dijawab oleh seluruh siswa. Akan tetapi, siswa tidak bisa menemukan poinnya di dunia nyata. Mengapa? Apa yang salah? Satu hal yang harus diingat, kita harus terus-menerus mencari tahu, tapi tidak boleh menyalahkan pribahasa, apa lagi menyalahkan guru.
Psikologi pendidikan mengajarkan kepada para pendidik bahwa tidak ada murid yang pintar ataupun murid yang bodoh. Oleh karena itu, guru tidak boleh untuk menggunakan istilah ini dalam mengelompokkan kemampuan anak didiknya. Sebagai gantinya, diberlakukan istilah anak berkemampuan rendah dan tinggi. Lalu, bergeser lagi menjadi anak yang butuh perlakuan khusus dan yang tidak. Namun, terlepas dari itu semua, seperti sebuah kisah, hidup selalu berujung pada dua sisi, yaitu baik ada buruk. Itulah kenyataan, sebuah dimensi dunia yang harus diterima dan diajak berdamai jika ingin mendapatkan ketenangan sebagai proses menemukan potensi. Bukankah hakikat pendidikan itu sebenarnya untuk membuka potensi dalam menghadapi dunia nyata?
Ketika kecil, biasanya seseorang akan mudah belajar dalam artian luas. Sebab, skema di kepala masih minim, mudah fokus sehingga minat juga mudah tumbuh. Setelah dewasa, perkembangan skema di kepala menodai fokus kita. Kita ingin mendapatkan nilai yang baik, kita tahu banyak tugas, tapi kita tetap saja sibuk di depan laptop membuka jejaring sosial demi memperluas jaringan pertemanan. Kita tahu besok ujian, dan untuk itu kita harus belajar. Tapi, kita tetap saja menyempatkan waktu untuk mengunjungi si pacar. Bahkan, kadang memaksa dengan alasan yang tidak masuk akal, “biar tidak terpikir terus”. Berangkat dari ini, asumsi yang muncul adalah, semakin dewasa, manusia semakin tidak peduli dengan dirinya. Inilah yang membuat manusia malas, karena belajar selalu dianggap sebagai sebuah proses tentang “aku” (individu), isu yang telah bergeser nilainya sebagai akibat dari proses sosial.
Oleh karena itu, saya mulai berfikir “nakal”, dan mungkin sedikit “liar” tentang isu malas ini. Bagaimana kalau isu tentang “aku” kita geser menjadi isu “kamu dan atau dia”. Pendeknya, belajar tidak lagi untuk menjadi pandai, tapi belajar demi orang lain, tepatnya orang yang dicintai. Sebab, terlalu banyak orang yang “tawar-menawar” dengan perutnya sendiri, meskipun tahu segala resikonya. Terlalu banyak orang yang tidak mau berhenti dari kebiasaan, meskipun kebiasaan tersebut bisa membunuhnya. Terlalu banyak orang yang bersikeras tetap menggunakan mesin catok, meskipun akibatnya rambutnya pecah dan bercabang. Sebaliknya, seorang pemuda/gadis yang ingin menikah memiliki kecenderungan sangat giat dalam mencari kerja dan bekerja dengan keras. Seorang suami/istri memiliki kecendrungan untuk bekerja lebih keras ketika mendekati kelahiran putra mereka. Seorang kakek/nenek renta akan memiliki kecenderungan tiba-tiba memiliki kekuatan, ketika melihat wajah merah cucunya yang mungil.
Ketika SMP, karena jenuh, seorang rekan pernah bertanya kepada seorang guru Matematika, “buat apa belajar Matematika, Pak?”. Jawab beliau, “saya dan istri, anak empat, hidup layak salah satunya karena Matematika ini”. Saat itu, saya hanya menangkap kemarahan dalam jawaban itu. Namun, belakangan, setelah menjadi guru pula, saya mulai menepis dugaan tersebut. Inilah jawaban terjujur dan tertulus. Karena saya berfikir, barangkali, inilah (keluarga) yang membuat si Bapak tekun belajar sambil mengajar, sabar menghadapi anak-anak badung, muncul menjadi sosok yang kuat dalam menjalani karirnya.
Bagi orang-orang idialis, mungkin guru saya di atas bukanlah guru yang baik. Sebab, guru yang baik akan memberikan jawaban yang baik pula. Jawaban yang baik dalam hal ini biasanya adalah bahwa saya mengajar untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, untuk melaksanakan amanat Undang-Undang, untuk tabungan akhirat, dan lain sebagainya. Namun, ada hal yang dilupakan, yaitu bahwa jawaban ini hanya nampak dalam konteks ideal. Tidak berpengaruh pada kenyataan di lapangan. Bukankah tugas guru adalah membuat siswa mampu melihat materi yang dipelajari dalam kenyataan di lapangan? Jika guru saja tidak jujur dan memaksa diri ideal, bagaimana mungkin mereka bisa berpartisipasi mencerdaskan kehidupan bangsa, atau bahkan menabung untuk akhirat kelak?      
Kita tentu ingin membahagiakan orang-orang yang kita cintai. Bahkan, banyak orang bijak mengatakan bahwa itulah ukuran dari kebahagiaan yang sebenarnya. Untuk itu, niatkanlah belajar atau mengajar untuk membahagiakan mereka, hapuslah malas dengan bayangan mereka. Insya Allah, perlahan kita akan mendapatkan kekuatan dan ketabahan dalam mengahadapi segala rintangan dalam belajar dan mengajar. Saya belajar dan mengajar demi meraih dia, saya belajar dan mengajar demi kau dan si buah hati, saya belajar dan mengajar demi anak-cucu kita, belajar dan mengajar adalah wujud pengabdian saya untuk kalian. Mungkin terkesan gombal, tapi inilah realita yang terlupa.  

No comments:

Post a Comment