Semenjak Taman Kanak-Kanak, kepada kita
diperkenalkan sebuah pribahasa, yaitu “rajin pangkal pandai, malas pangkal
bodoh”. Melalui pribahasa ini, di dalam diri kita ditanamkan kepercayaan bahwa
rajinlah syarat utama menjadi pandai, dan malaslah masalah yang harus diatasi
jika tidak ingin menjadi manusia bodoh. Secara teoritis, ajaran ini berhasil.
Karena, tidak ada satu orangpun yang bisa menyangkal pesan pribahasa ini.
Namun, secara praktis tidaklah demikian. Artinya, jika kita analogikan pada
sebuah tes, maka pribahasa ini sama seperti tes di atas kertas yang bisa
dijawab oleh seluruh siswa. Akan tetapi, siswa tidak bisa menemukan poinnya di
dunia nyata. Mengapa? Apa yang salah? Satu hal yang harus diingat, kita harus terus-menerus
mencari tahu, tapi tidak boleh menyalahkan pribahasa, apa lagi menyalahkan guru.
Psikologi pendidikan mengajarkan kepada
para pendidik bahwa tidak ada murid yang pintar ataupun murid yang bodoh. Oleh
karena itu, guru tidak boleh untuk menggunakan istilah ini dalam mengelompokkan
kemampuan anak didiknya. Sebagai gantinya, diberlakukan istilah anak
berkemampuan rendah dan tinggi. Lalu, bergeser lagi menjadi anak yang butuh
perlakuan khusus dan yang tidak. Namun, terlepas dari itu semua, seperti sebuah
kisah, hidup selalu berujung pada dua sisi, yaitu baik ada buruk. Itulah kenyataan,
sebuah dimensi dunia yang harus diterima dan diajak berdamai jika ingin
mendapatkan ketenangan sebagai proses menemukan potensi. Bukankah hakikat
pendidikan itu sebenarnya untuk membuka potensi dalam menghadapi dunia nyata?
Ketika kecil, biasanya seseorang akan
mudah belajar dalam artian luas. Sebab, skema di kepala masih minim, mudah
fokus sehingga minat juga mudah tumbuh. Setelah dewasa, perkembangan skema di
kepala menodai fokus kita. Kita ingin mendapatkan nilai yang baik, kita tahu
banyak tugas, tapi kita tetap saja sibuk di depan laptop membuka jejaring
sosial demi memperluas jaringan pertemanan. Kita tahu besok ujian, dan untuk
itu kita harus belajar. Tapi, kita tetap saja menyempatkan waktu untuk
mengunjungi si pacar. Bahkan, kadang memaksa dengan alasan yang tidak masuk
akal, “biar tidak terpikir terus”. Berangkat dari ini, asumsi yang muncul
adalah, semakin dewasa, manusia semakin tidak peduli dengan dirinya. Inilah
yang membuat manusia malas, karena belajar selalu dianggap sebagai sebuah
proses tentang “aku” (individu), isu yang telah bergeser nilainya sebagai
akibat dari proses sosial.
Oleh karena itu, saya mulai berfikir
“nakal”, dan mungkin sedikit “liar” tentang isu malas ini. Bagaimana kalau isu
tentang “aku” kita geser menjadi isu “kamu dan atau dia”. Pendeknya, belajar
tidak lagi untuk menjadi pandai, tapi belajar demi orang lain, tepatnya orang
yang dicintai. Sebab, terlalu banyak orang yang “tawar-menawar” dengan perutnya
sendiri, meskipun tahu segala resikonya. Terlalu banyak orang yang tidak mau
berhenti dari kebiasaan, meskipun kebiasaan tersebut bisa membunuhnya. Terlalu
banyak orang yang bersikeras tetap menggunakan mesin catok, meskipun akibatnya
rambutnya pecah dan bercabang. Sebaliknya, seorang pemuda/gadis yang ingin
menikah memiliki kecenderungan sangat giat dalam mencari kerja dan bekerja
dengan keras. Seorang suami/istri memiliki kecendrungan untuk bekerja lebih
keras ketika mendekati kelahiran putra mereka. Seorang kakek/nenek renta akan
memiliki kecenderungan tiba-tiba memiliki kekuatan, ketika melihat wajah merah
cucunya yang mungil.
Ketika SMP, karena jenuh, seorang rekan
pernah bertanya kepada seorang guru Matematika, “buat apa belajar Matematika, Pak?”.
Jawab beliau, “saya dan istri, anak empat, hidup layak salah satunya karena Matematika
ini”. Saat itu, saya hanya menangkap kemarahan dalam jawaban itu. Namun, belakangan,
setelah menjadi guru pula, saya mulai menepis dugaan tersebut. Inilah jawaban
terjujur dan tertulus. Karena saya berfikir, barangkali, inilah (keluarga) yang
membuat si Bapak tekun belajar sambil mengajar, sabar menghadapi anak-anak
badung, muncul menjadi sosok yang kuat dalam menjalani karirnya.
Bagi orang-orang idialis, mungkin guru
saya di atas bukanlah guru yang baik. Sebab, guru yang baik akan memberikan
jawaban yang baik pula. Jawaban yang baik dalam hal ini biasanya adalah bahwa
saya mengajar untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, untuk melaksanakan amanat
Undang-Undang, untuk tabungan akhirat, dan lain sebagainya. Namun, ada hal yang
dilupakan, yaitu bahwa jawaban ini hanya nampak dalam konteks ideal. Tidak berpengaruh
pada kenyataan di lapangan. Bukankah tugas guru adalah membuat siswa mampu melihat
materi yang dipelajari dalam kenyataan di lapangan? Jika guru saja tidak jujur
dan memaksa diri ideal, bagaimana mungkin mereka bisa berpartisipasi
mencerdaskan kehidupan bangsa, atau bahkan menabung untuk akhirat kelak?
Kita tentu ingin membahagiakan
orang-orang yang kita cintai. Bahkan, banyak orang bijak mengatakan bahwa
itulah ukuran dari kebahagiaan yang sebenarnya. Untuk itu, niatkanlah belajar
atau mengajar untuk membahagiakan mereka, hapuslah malas dengan bayangan
mereka. Insya Allah, perlahan kita akan mendapatkan kekuatan dan ketabahan
dalam mengahadapi segala rintangan dalam belajar dan mengajar. Saya belajar dan
mengajar demi meraih dia, saya belajar dan mengajar demi kau dan si buah hati, saya
belajar dan mengajar demi anak-cucu kita, belajar dan mengajar adalah wujud
pengabdian saya untuk kalian. Mungkin terkesan gombal, tapi inilah realita yang
terlupa.
No comments:
Post a Comment