Saturday, October 13, 2012

KOMPARARASI IDIOM BAHASA JEPANG DENGAN BAHASA INDONESIA (ANALISIS MAKNA ” MIMI” DENGAN “TELINGA”)

(Dimuat di Jurnal Sastra Pasim, Bandung 2010)
A.   PENDAHULUAN
Kridalaksana (1993: 82) menyatakan idiom adalah konstruksi dari unsur-unsur yang saling memilih, masing-masing anggota mempunyai makna yang ada hanya karena bersama yang lain. Contoh: kambing hitam dalam kalimat Dalam peristiwa kebakaran itu Hansip menjadi kambing hitam , padahal mereka tidak tahu apa-apa. Sedangkan Chaer (2003: 296) menyatakan bahwa idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat “diramalkan” dari makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Umpamanya secara gramatikal bentuk menjual rumah bermakna ‘yang menjual menerima uang dan yang membeli menerima rumahnya’. Berbeda halnya dengan menjual gigi tidaklah memiliki makna seperti itu, melainkan ‘tertawa keras-keras’. Dalam bahasa Indonesia idiom dibedakan menjadi dua macam idiom  yaitu yang disebut idiom penuh dan idiom sebagian. Idiom penuh adalah idiom yang semua unsur-unsurmya sudah melebur menjadi satu kesatuan, sehingga makna yang dimiliki berasal dari seluruh kesatuan itu.
Sementara itu, di dalam bahasa Jepang, idiom mempunyai definisi sebagai berikut; 慣用句とは、二つ以上のことばがいっしょになって、ある決まったとくべつな意味を表す言い回しのことだ(金田, 2005: 4, yaitu dua kata atau lebih yang digabungkan, dimana makna dan cara menyatakannya telah menjadi semacam ketetapan di dalam kehidupan masyarakat.  Kata ”Ketetapan” dalam hal ini hanya bisa dipahami melalui pendekatan sosio-kultural, karena berkaitan langsung dengan persepsi dan rasa yang tentunya terbentuk melalui proses pemahaman terhadap nilai yang dilandasi oleh kebudayaan. Karena itu pula, kata-kata yang digunakan dalam idiompun, tidaklah jauh dari lingkungan, bahkan merupakan bagian tubuh dari manusia atau individu penganut kebudayaan itu sendiri (baca: baik Indonesia maupun Jepang).
Jika dilihat dari makna yang tercermin dari frase pembentuknya, idiom di dalam bahasa Jepang dapat dibedakan menjadi dua jenis; yang mengandung makna idiomatik saja, dan yang mengandung makna idiomatik dan leksikal.  Yang mengandung makna idiomatik saja merupakan idiom yang susah ditangkap dari makna leksikalnya.  Sedangkan yang mengandung makna idiomatik dan leksikal adalah idiom yang makna idiomatiknya bisa ditelusuri dari makna leksikalnya.
Suryadimulya (2002), menyatakan bahwa jumlah idiom dalam bahasa Jepang yang menggunakan anggota badan bagian luar dan sering digunakan berjumlah 1.553  idiom. Sedangkan dalam bahasa Indonesia idiom yang menggunakan anggota badan berjumlah 814 idiom. Penggunaan idiom dalam bahasa Indonesia tidaklah sesering dan sebebas penggunaannya sebagaimana idiom dalam bahasa Jepang. Selanjutnya, disebutkan bahwa idiom digunakan adalah dalam rangka untuk mempermudah lawan bicara dalam menangkap makna ujaran yang ingin disampaikan oleh penutur.  Oleh karena itu, idiom bisa juga diartikan sebagai strategi yang digunakan oleh penutur untuk melindungi diri, lawan bicara ataupun objek yang dibicarakan.
Mengingat jumlahnya yang tidak terbatas, maka pada makalah ini hanya akan dibahas idiom bahasa Jepang yang menggunakan kata ”mimi”.  Kemudian, akan dibandingkan dengan idiom yang menggunakan kata ”telinga” di dalam bahasa Indonesia.




B.   PEMBAHASAN
1.   Kanyouku” mimi” (Jepang) dengan “telinga” (Indonesia)
a.   Kanyouku “mimi” dan contoh pemakaiannya dalam小学生漫画辞典(金田一秀穗間修, 2005: 175-179) dan Idiom Bahasa Jepang (2006,17-20).
1)   耳がいたい。                            
Mendengar sesuatu yang menyakitkan hati/perasaan.  
2)   耳が早い。                     
Cepat menangkap informasi baru.
3)   耳に入れる。                            
Mendengar untuk mengingat.
4)   耳にする。                     
Mendengarkan/berminat.
5)   耳につく。
Terngiang-ngiang.
6)   耳を疑う。                     
Merasa ragu.                                             
7)   耳が遠い。                     
Tidak baik pendengarannya.
8)   耳に貸す。                     
Mendengarkan/peduli/respek
9)   耳をかたむける。                     
Mendengarkan dengan serius
10)                耳をすます。                            
Mendengar dengan khusuk.

b.   Idiom telinga dan contoh pemakaiannya dalam Kamus Ungkapan Bahasa Bahasa Indonesia (Badudu,2009: 361-362)  
1)   Tipis telinga                                      Mudah tersinggung
Ex: Hati-hati bicara dengannya, dia itu bertelinga tipis.
2)   Tebal telinga                            Tidak peka (perasaan)
Ex: Percuma disindir, telinganya tebal.
3)   Telinga panci                           Mendengar tapi mengacuhkan
Ex: Dia itu telinga panci, paling juga masuk kanan keluar kiri.
4)   Telinga tuli                              Tidak mau mendengar
Ex: Percuma saja marah, dia itu sudah terkenal bertelinga tuli.
5)   Dinding bertelinga                   Di man-mana ada mata-mata
Ex: Di sini hati-hati kalau bicara, karena dindingnya bertelinga.
6)   Memasang telinga                    Siap untuk mendengar
Ex: Pasang telinga baik-baik, jangan sampai ada yang terlewatkan!
7)   Merah telinga                          Tersinggung, marah
Ex: Hentikan candanya, telingaku sudah merah mendengarnya.
8)   Telinga nyaring                       Cepat mendapat info
Ex: Dia sudah tahu tentang rahasia itu? Nyaring sekali telinganya.
9)   Sakit telinga                             Menyakitkan untuk didengar.
Ex: Maaf, jika laguku menyakiti telingamu.
10)                Terngiang di telinga       Teringat kembali.
Ex: Masih terngiang di telingaku permintaannya saat itu.
         
2.   Komparasi idiom “mimi” bahasa Jepang dengan “telinga” bahasa Indonesia .
Dalam membandingkan kedua idiom di atas, sesuai dengan judul yang “mendahulukan” bahasa Jepang, maka analisisnya juga dimulai dari bahasa Jepang ke bahasa Indonesia.  Perhatikan contoh berikut;
A: 親友だから言うけど、食べすぎだよ。
B:う、、耳がいたい。
Kalimat ini berada pada konteks, di mana si B tidak merasa tidak nyaman dengan pembicaraan si B, dan dia mengeluarkan idiom mimi ga itai.  Dari konteks yang melatari ujaran ini, jelas tersirat makna yang konotatif.  Karena, mana mungkin telinga seseorang bisa tersakiti (makna denotatif) oleh pembicaraan yang isinya hanyalah kata-kata bukan suatu alat yang bisa menimbulkan luka.  Hanya saja, karena merasa tidak nyaman dengan orangnya ataupun isi pembicaraan si A, si B menyamakan secara langsung kata-kata yang tidak dia senangi tersebut seperti sesuatu benda yang melukai telinganya.  Karena pengibaratannya secara langsung, maka kata mimi dalam konteks ini dikatakan mengalami pergeseran makna secara Metafora (Sutedi, 2003:179).  Idiom mimi ga itai ini memiliki padanan yang sama di dalam idiom bahasa Indonesia, yaitu; “sakit telinga”.  Sama dalam pemilihan kata, konteks yang melatari, dan makna yang terkandung, yaitu sesuatu yang membuat diri tidak nyaman untuk mendengarnya. Ujaran berikutnya;
A: かっこいい転校生がくるんだって。
B: 耳が早いなあ。
Konteks ujaran di atas adalah; A dengan antusiasnya menyampaikan sesuatu kepada B.  Terlepas dari unsur  sindiran yang terkandung dalam kalimat ini, yang pasti A jelas lebih dahulu/ tahu tentang informasi yang terkandung dalam ujaran dari B.  Untuk menyatakan orang yang cepat memperoleh informasi tersebut, di sinilah fungsi idiom mimi ga hayai tersebut.  Jika dicermati, di sini terjadi pergeseran makna secara sinekdoke (Sutedi, 2003: 183).  Karena, bukan telinga sebenarnya yang diacu oleh ujaran tersebut, tetapi intensitas seluruh potensi yang bisa menyerap informasi.  Dalam idiom ini, intensitas sebagai sesuatu yang umum diwakili oleh kata telinga.  Idiom mimi ga hayai ini mempunyai padanan yang identik di dalam idiom bahasa Indonesia, yaitu “telinga nyaring”.  Persamaan pada dua idiom ini terlihat dari makna dan konteks yang melatari penggunaan idiom.  Sedangkan perbedaan terlihat pada pemilihan kata yang mengiringi kata “telinga”.  Pada bahasa Jepang, kata “mimi” didampingi oleh kata ”hayai” yang berarti cepat, pada bahasa Indonesia, kata “telinga” didampingi oleh kata “nyaring”.

すごい情報を耳に入れたぞ
Ujaran di atas secara harfiah berarti memasukkan ke telinga informasi yang penting.  Namun sebagai idiom, ujaran di atas mengandung makna usaha untuk memasukkan informasi ke dalam memori melalui indra pendengaran (telinga).  Jika dicermati konteks yang dilingkupi oleh makna idiom ini, terlihat jelas bahwa kata mimi pada idiom ini mengalami perubahan secara metonimi (Sutedi, 2003: 182).  Karena informasinya, sebenarnya bukan dimasukan ke telinga tetapi ke memori.  Hubungan fungsi ruang telinga dengan memorilah yang mempengaruhi idiom di atas.  Idiom ini mirip dengan idiom memasang telinga dalam bahasa Indonesia.  Persamaannya terletak pada makna yang terkandung.  Sedangkan perbedaannya terletak pada pemilihan kata yang mendampingai kata telinga.
ウエブサイトってよく耳にするわねえ
Idiom di atas terjadi dalam situasi ketika dua orang anak muda yang sedang menggebu-gebu membicarakan tentang website.  Melihat itu, seorang tua juga jadi ingin tahu tentang hal tersebut, lalu mengucapkan ujaran di atas.  Dari konteks yang melatari ujaran di atas, terlihat bahwa kata mimi mengalami pergeseran makna secara sinekdoke (Sutedi, 2003:183).  Makna sebenarnya dari idiom mimi ni suru ini sebenarnya adalah belajar bukan mendengar.  Jadi, untuk menyatakan maksud umum (belajar) diwakilkan secara khusus oleh idiom mimi ni suru (mendengar). Idiom ini mirip dengan idiom memasang telinga dalam bahasa Indonesia.  Persamaannya terletak pada makna yang terkandung.  Sedangkan perbedaannya terletak pada pemilihan kata yang mendampingai kata telinga, dan konteks penggunaannya. Pada idiom Jepang ini, makna kata belajar dilatari oleh faktor internal (kesadaran yang muncul dari dalam diri), sedangkan untuk idiom memasang telinga, motifnya lebih disebabkan faktor eksternal (dari luar diri).
耳につくなあ
Idiom di atas diucapkan oleh seorang anak yang sedang termenung karena teringat sesuatu.  Saat itu, anak tersebut mengeluarkan ujaran di atas.  Jadi idiom ini berfungsi untuk mengungkapkan perasaan teringat akan sesuatu yang pernah didengar di masa yang lalu.  Dari konteks ini terlihat bahwa kata mimi pada idiom ini mengalami pergeseran makna secara metafora (Sutedi, 2003: 179).  Karena keadaan yang sebenarnya, tidak ada suatu peristiwa “mendengar” yang terjadi, tapi, karena pengaruh ingatan yang kuat, memunculkan image seolah-olah memang ada sesuatu yang berbunyi (terjadi aktivitas “mendengar”).  Idiom ini mempunyai padanan di dalam bahasa Indonesia, yaitu idiom “terngiang di telinga”.  Persamaannya jelas terlihat pada makna dan konteks.  Sedangkan perbedaannya terletak pada kata yang mendampingi kata telinga/ mimi.
かれはとつぜんのわかれことばに自分の耳を疑った
Secara harfiah, idiom di atas bisa diterjemahkan dengan ujaran, dia meragukan telinganya sendiri tentang kata-kata perpisahan yang mendadak.  Objek dari keraguan/ ketidakpercayaan pada kalimat ini sebenarnya bukanlah kata telinga, tetapi informasi yang didengar oleh telinga.  Namun, hubungan kedekatan antara telinga dengan informasi yang diperdengarkan dalam konteks ujaran di atas, menyebabkan terjadinya idiom mimi wo utagatta. Makna yang terbentuk karena hal seperti ini disebut dengan metonimi (Sutedi, 2003:182).  Idiom mimi ini tidak mempunyai padanan yang relevan di dalam idiom bahasa Indonesia.
わたしは耳が遠いので、大きな声で話してください
Ujaran di atas diucapkan oleh seseorang yang mempunyai daya kemampuan mendengar yang rendah, supaya pihak yang berbicara memperkeras suaranya saat berbicara.  Keterbatasan kemampuan mendengar ini disamakan dengan sesuatu yang jauh, sehingga susah untuk dijangkau oleh pendengaran.  Kesamaan inilah yang membuat idiom ini mengandung metafora (Sutedi, 2003: 179).  Di dalam bahasa Indonesia, keadaan seperti ini dinyatakan melalui idiom telinga tuli.  Meskipun punya konteks dan makna yang sama, jelas terlihat perbedaan pada pemilihan kata yang mendampingi kata telinga. Di dalam idiom bahasa Indonesia kelemahan telinga ini langsung diiringi dengan kata yang menunjukkan sifat negatif telinga (tuli), sedangkan di dalam idiom bahasa Jepang disamarkan lewat gaya bahasa metafora kata jauh.
A: ふでをまっすぐにたてましょう。
B: ダイゴはぜんぜん耳を貸さないね。
Dua ujaran di atas terjadi di dalam sebuah kelas.  A yang meminta kepada siswa untuk tidak langsung menggunakan fude, menemukan seorang siswa yang tidak mematuhinya dan langsung menggunakan fude.  Melihat hal itu, salah seorang siswa lain (B) mengatakan situasi melanggar tesebut dengan idiom mimi wo kasanaine.  Dari konteks ini bisa dilihat bahwa makna dari idiom ini adalah untuk menggambarkan seseorang yang mau/ tidak mau mendengarkan orang lain.  Pada idiom Jepang ini digunakan kata “meminjamkan/ tidak mau meminjamkan telinga”.  Kata “meminjamkan telinga” di sini sebenarnya mengacu pada arti “menunjukkan perhatian”.  Hubungan makna seperti ini termasuk kepada jenis metafora.  Idiom ini mempunyai padanan yang relevan di dalam bahasa Indonesia, yaitu idiom “telinga panci”.  Persamaannya terletak pada latar konteks idiomnya.  Sedangkan untuk penggunaan dan makna terlihat perbedaan, yaitu; idiom yang Indonesia bersifat negatif, yang Jepang bisa positif, bisa pula negatif.

最前列の席で耳をかたけむけるのが最高!
Ujaran di atas dilatari oleh keadaan seseorang yang memilih duduk di depan supaya bisa bisa lebih menikmati sebuah pertunjukan musik.  Upaya orang ini disampaikan lewat idiom mimi wo katamukeruDari konteks ini bisa dipahami bahwa telah terjadi proses metonimi pada idiom ini.  Dimana, telinga secara khusus mewakili perhatian secara menyeluruh.  Idiom ini mirip dengan idiom bahasa Indonesia memasang telinga.  Persamaannya terletak pada makna menurut tujuan, tapi agak berbeda pada prosedur konteks yang terjadi.  Dalam hal ini, idiom Jepang lebih spesifik secara konteks darpada idiom Indonesianya. 
耳をすますと、すぐ虫の鳴き声が聞こえるね
Ujaran di atas mengandung makna mendengarkan dengan memusatkan konsentrasi.  Konteks ini mengindikasikan perubahan makna secara metafora.  Cara memusatkan pendengaran disamakan seperti sebuah proses menajamkan sesuatu.  Karena hubungan persamaan tersebut, maknanya dikatakan metafora. Tidak ada idiom yang relevan dengan idiom ini di dalam bahasa Indonesia.

C.   PENUTUP
Dari pembahasan di atas terlihat bahwa; dari 20 idiom (10 Jepang, 10 Indonesia) yang diperbandingkan di atas, di dapat kesimpulan sebagai berikut:
1.   Pada beberapa Idiom Jepang yang terdiri dari kata benda + kata kerja, potensi kata kerjanya (positif dan negatif) turut membentuk makna dari idiom.  Sementara itu, idiom bahasa Indonesia tidak demikian.   
2.   Terdapat idiom yang sama dari seluruh aspek (konteks, penggunaan, makna, struktur/ pemilihan kata), seperti “mimi ga itai, dan mimi ni tsuku” (Jepang) dengan “sakit telinga, dan terngiang di telinga” (Indonesia). 
3.   Ada idiom yang sama secara konteks, penggunaan, makna, tapi berbeda dari aspek struktur/ pemilihan kata.  Seperti pada idiom “mimi ga hayai, dan mimi ga tooi” (Jepang) dengan idiom “telinga nyaring, dan telinga tuli”(Indonesia).
4.   Ada idiom Jepang yang tidak mempunyai padanan yang relevan dalam idiom Indonesia, seperti; mimi wo sumasu, mimi wo utagau.  

Referensi
Badudu, J.S. 2009. Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia. Jakarta: Kompas.
Garrison, Jefrey G. 2006. Idiom Bahasa Jepang. Jakarta: Kesaint Blanc.
Kazumi, Taniguchi. 2006. Manabi no Eksasaiz: Ninchi Gengogaku. Tokyo:  Kabushiki Kaisha Hitsuji Shoten
Suryadimulya, S ,Agus. (2002). Penelitian Kontrastif Idiom Yang Menggunakan Anggota Tubuh Antara Bahasa Indonesia dan Bahasa Jepang.
Sutedi, Dedi. 2003. Dasar-dasar Linguistik Bahasa Jepang. Bandung: Humaniora Utama Press.
金田一秀穗間修.2005. 小学生漫画辞典. 東京: 図書

2 comments: