Saturday, October 13, 2012

Persepsi Manusia Jepang terhadap Kepala (Analisis Kanyouku Atama)


A.   Renungan Filantropis
Seorang tokoh filsafat Yunani Parmainides mengeluarkan teori yang dikenal dengan perceptional illusion. Artinya, persepsi manusia tentang sesuatu hanyalah ilusi, karena akan berbeda-beda satu dengan lainnya. Oleh karena itu, Parmainides mengatakan bahwa kebenaran itu adalah yang bisa diterima oleh pikiran semua orang.
Poin yang bisa ditangkap dari pernyataan Parmainides di atas adalah bahwa kita tidak boleh terjebak dalam kefanatikan yang sempit, terutama perihal kebudayaan dan persepsi yang berasal dari latar yang berbeda. Untuk bisa memahami persepsi kebudayaan suatu bangsa, kita harus memahami kebenaran itu dalam empat (4) sudut pandang berikut;
1.   Kebenaran hakiki
Kebenaran hakiki mengacu kepada kebenaran yang berhubungan dengan konteks keagamaan. Kebenaran dalam konteks ini adalah kebenaran yang tidak bisa ditawar-tawar karena memang bersifat mutlak dan bersumber dari keyakinan. Jadi, tidak ada istilah logis-tidak logis, ilmiah-tidak ilmiah, dan lazim-tidak lazim dalam konsep kebenaran di sini. Kebenaran adalah sesuatu yang diyakini dengan sepenuh hati.
2.   Kebenaran ilmiah
Kebenaran ilmiah merupakan kebenaran yang berasal dari suatu proses berfikir dan bekerja secara ilmiah yang mengedepankan logika dan bukti. Yang paling utama dalam kebenaran ilmiah ini adalah metodologi yang jelas dan bukti yang kuat. Akan tetapi, apa bila suatu saat muncul kebenaran baru yang mempunyai bukti yang lebih kuat, maka dengan sendirinya kebenaran sebelumnya akan ditinggalkan di belakangnya. 
3.   Kebenaran kelompok
Mirip dengan kebenara hakiki, kebenaran kelompok terkadang juga sulit dipahami oleh kelompok lain. Akan tetapi, kebenaran dalam konteks ini tidaklah mutlak, ia akan terus bergeser sejalan dengan perubahan zaman, bahkan bisa hilang sama sekali. Kebenaran inilah yang disebut dengan kebenaran budaya, yang dalam budaya Minangkabau diistilahkan dengan ungkapan sakali aia gadang sakali tapian barubah (sekali air-bah, sekali tepian/ pinggiran sungai tempat pemandian akan berubah ).
4.   Kebenaran individu
Sesuai dengan penamaannya, kebenaran ini adalah kebenaran yang sifatnya subjektif sekali, dan berbeda menurut tiap-tiap individu. Karena itu, kebenaran ini juga hanya bisa dipahami oleh individu yang bersangkutan, tidak oleh individu yang lain. Contoh kongkretnya; cantik menurut saya tentu belum tentu cantik menurut orang lain, bahkan bisa saja jelek menurut orang lain.

B.   Pembahasan
1.   Manusia dalam budaya
Di dalam ilmu kebudayaan, paling tidak ada dua (2) istilah yang sering terdengar ketika orang berbicara tetang manusia, yaitu; Homo Sapiens dan Homo Humanus. Para ahli kebudayaan sepakat untuk menggambarkan sosok manusia lewat dua istilah tersebut, makhluk yang berfikir dan makhluk yang berprikemanusiaan/ manusiawi, begitulah kira-kira padanan dari istilah tadi. Maka, tidaklah bisa dikatakan seseorang berbudaya, jika seandainya orang tersebut tidak menggunakan fikirannya untuk hal-hal yang tidak berprikemanusiaan atau yang tidak manusiawi. Hanya saja, konsep kebenaran manusiawi tersebut haruslah dipahami seperti yang diuraikan pada bagian renungan filantropis di atas. Pendek kata, jalan kebenaran kebudayaan yang berbeda tentu akan berbeda pula, seperti halnya pemahaman suatu budaya dengan budaya lain tentang makna dari manusiawi.
a.    Manusia sebagai Insan Ilahi Rabbi
Sebagai insan ilahi, keberadaan dan pemikiran manusia sangat sulit untuk dipahami. Karena agama merupakan sesuatu yang mengedepankan keyakinan yang kadang sangat sulit dipahami dengan logika. Oleh karena itu, konsep kebenaran dalam konteks ini dikatakan sebagai kebenaran yang hakiki dan mutlak. Hanya bisa dipahami lewat keyakinan bukan lewat langkah-langkah ilmiah yang bisa ditelusuri lewat pemikiran secara alamiah.

  
b.   Manusia sebagai Individu
Secara individu, manusia dikatakan sebagai makhluk yang terdiri dari unsur jasmani dan rohani. Secara jasmani, terdiri dari daging dan tulang yang membentuk berbagai organ fisik, dan secara rohani terdiri dari pemikiran, emosi dan perasaan yang membedakannya dengan makhluk lainnya. Keduanya memiliki fungsi yang pada akhirnya berujung pada dua arah, yaitu baik dan buruk. Oleh karena itu, agar tidak terjadi yang kita kenal dengan hukum rimba, budaya mengatur agar organ-organ fisik dan organ rohani tersebut bisa difungsikan ke arah kebaikan melalui nilai-nilai budaya itu sendiri.
c.    Manusia sebagai Makhluk Sosial
Sebagai makhluk sosial, keberadaan dan pemikiran manusia itu ditentukan oleh keberadaan orang lain di sekitarnya. Dalam hal ini, keberadaan budaya dibutuhkan untuk mengatur supaya tidak terjadi benturan kepentingan di antara manusia. Misalnya, sifat mata adalah cenderung suka melihat yang indah-indah dan cantik. Agar sifat (baca: potensi) ini tidak menggangu milik orang (seperti digunakan untuk melirik istri orang), budaya melahirkan norma-norma yang bisa membuat orang merasakan malu ketika melakukan sesuatu yang salah atau melanggar etika, dan aturan yang membuat orang takut untuk melanggar hak orang lain.

2.   Manusia Jepang (tinjauan budaya dan bahasa)
Ichiro (1986: 48),  Reishauer (1982: 65) menyatakan bahwa manusia Jepang biasanya digambarkan lewat stereotype; disiplin, etos kerja tinggi, produktif, kreatif, sopan-santun, dan sangat memperhatikan hal-hal yang bisa membebani/ mengganggu orang lain. Hal ini, bisa dilihat langsung dari gerak-gerik seperti yang ada dalam budaya ojigi, ataupun dalam kebiasaan kunjung-mengunjungi dan berkirim kartu (meishi). Hal ini tentunya bersumber dari ajaran budaya yang telah mendarah-gaging dalam diri setiap orang Jepang, meskipun secara individu tentu saja ada yang tidak begitu. Yang pasti secara umum, begitulah stereotype orang Jepang.
Di samping cerminan yang ditunjukkan oleh berbagai tradisi dan kebiasaan di atas, bahasa Jepang juga menunjukkan hal serupa tentang manusia Jepang itu. Seperti kebiasaan mengucapkan salam, kata-kata yang mengandung permintaan maaf, penggunaan ungkapan/ idiom, dan yang paling menyolok, yaitu tingkatan dalam penggunaan bahasa sesuai dengan siapa lawan bicara. Hal ini jelas mengindikasikan bahwa bahasa tersebut kaya akan kandungan nilai-nilai budaya yang sengaja dimasukkan guna membentuk watak dan cara berfikir para penggunanya. Seperti yang ditegaskan dalam berbagai teori pembelajaran bahasa bahwa belajar bahasa adalah belajara berfikir seperti penutur asli bahasa tersebut.

3.   Kanyouku (idiom)
Kridalaksana (1993: 82) menyatakan idiom adalah konstruksi dari unsur-unsur yang saling memilih, masing-masing anggota mempunyai makna yang ada hanya karena bersama yang lain. Contoh: kambing hitam dalam kalimat Dalam peristiwa kebakaran itu Hansip menjadi kambing hitam , padahal mereka tidak tahu apa-apa. Sedangkan Chaer (2003: 296) menyatakan bahwa idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat “diramalkan” dari makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Umpamanya secara gramatikal bentuk menjual rumah bermakna ‘yang menjual menerima uang dan yang membeli menerima rumahnya’. Berbeda halnya dengan menjual gigi tidaklah memiliki makna seperti itu, melainkan ‘tertawa keras-keras’. Dalam bahasa Indonesia idiom dibedakan menjadi dua macam idiom  yaitu yang disebut idiom penuh dan idiom sebagian. Idiom penuh adalah idiom yang semua unsur-unsurmya sudah melebur menjadi satu kesatuan, sehingga makna yang dimiliki berasal dari seluruh kesatuan itu.
Sementara itu, di dalam bahasa Jepang, idiom mempunyai definisi sebagai berikut; 慣用句とは、二つ以上のことばがいっしょになって、ある決まったとくべつな意味を表す言い回しのことだ(金田, 2005: 4, yaitu dua kata atau lebih yang digabungkan, dimana makna dan cara menyatakannya telah menjadi semacam ketetapan di dalam kehidupan masyarakat.  Kata ”Ketetapan” dalam hal ini hanya bisa dipahami melalui pendekatan sosio-kultural, karena berkaitan langsung dengan persepsi dan rasa yang tentunya terbentuk melalui proses pemahaman terhadap nilai yang dilandasi oleh kebudayaan. Karena itu pula, kata-kata yang digunakan dalam idiompun, tidaklah jauh dari lingkungan, bahkan merupakan bagian tubuh dari manusia atau individu penganut kebudayaan itu sendiri (baca: baik Indonesia maupun Jepang).
Suryadimulya (2002), menyatakan bahwa jumlah idiom dalam bahasa Jepang yang menggunakan anggota badan bagian luar dan sering digunakan berjumlah 1.553  idiom. Sedangkan dalam bahasa Indonesia idiom yang menggunakan anggota badan berjumlah 814 idiom. Penggunaan idiom dalam bahasa Indonesia tidaklah sesering dan sebebas penggunaannya sebagaimana idiom dalam bahasa Jepang. Selanjutnya, disebutkan bahwa idiom digunakan adalah dalam rangka untuk mempermudah lawan bicara dalam menangkap makna ujaran yang ingin disampaikan oleh penutur.  Oleh karena itu, idiom bisa juga diartikan sebagai strategi yang digunakan oleh penutur untuk melindungi diri, lawan bicara ataupun objek yang dibicarakan.
Mengingat jumlahnya yang tidak terbatas, maka pada makalah ini hanya akan dibahas idiom bahasa Jepang yang menggunakan kata kepala.  Pemilihan kata kepala ini dianggap sebagai bagian atau unsur yang paling mendekati dan relevan dengan pemahaman yang ingin didapat, yaitunya mengenai pemikiran/ persepsi masyarakat pengguna idiom tersebut (baca: masyarakat Jepang).

4.   Manusia Jepang dalam Kanyouku “atama”
Kanyouku atama di sini dimaksudkan untuk menyatakan idiom yang menggunakan kata kepala di dalam bahasa Jepang. Kalau dalam bahasa Indonesianya bisa kita temukan pada idiom keras kepala, besar kepala, kepala batu, dan lain sebagainya. Untuk lebih jelasnya, berikut diketengahkan beberapa idiom bahas Jepang yang menggunakan kata kepala (baca atama) tersebut:
a.    頭が痛い 
Secara harfiah, idiom bahasa Jepang頭が痛い memiliki arti ”sakit kepala” di dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi, sehubungan dengan keberadaannya sebagai idiom, kata ini memiliki makna lain yang sering digunakan oleh penutur aslinya guna menyatakan maksud/ perasaan tertentu, yaitu untuk menyatakan keadaan pusing karena memikirkan sesuatu (khawatir/ cemas). Pernyataan  maksud seperti ini, melalui idiom yang menggunakan kata kepala mempunyai padanan serupa di dalam bahasa Indonesia (sama-sama menggunakan kata kepala), yaitu ”kepalaku terasa berat” (Badudu, ). Idiom ”kepala berat” ini, disamping bermakna denotatif, juga memiliki makna untuk menunjukkan keadaan pusing karna memikirkan sesuatu (khawatir/ cemas).
b.   頭が下がる 
Untuk menyatakan kekaguman ataupun perasaan hormat kepada orang lain, orang Jepang memang terkenal dengan kebiasaan menundukkan kepala (Ojigi). Jadi, idiom ini digunakan untuk menyatakan perasaan kagum/ hormat kepada teman bicara. Idiom ini tidak mempunyai padanan yang serupa (sama-sama menggunakan kata kepala) di dalam bahasa Indonesia. Karena, di dalam idiom bahasa Indonesia, maksud seperti ini biasanya diungkapkan dengan idiom ”angkat topi”. Dan secara spesifiknya, bahasa Indonesia cenderung lebih menggunakan lisan untuk menyatakan hal seperti ini dari pada gerakan tubuh seperti yang ditunjukkan idiom Jepang ini.
c.    頭が上がらない
Jika diartikan secara leksikal ke dalam bahasa Indonesia, kata-kata di atas memiliki arti ”kepala tidak naik”. Sebagai idiom, kata-kata tersebut memiliki makna keadaan yang menggambarkan bahwa seseorang tertekan karena keberadaan orang lain yang memiliki kemampuan lebih dari dirinya. Pendek kata, karena kekurangannya dari orang lain, menyebabkan orang tersebut tidak berkutik/ kalah pamor/ wibawa dari teman bicaranya. Idiom ini tidak mempunyai padanan yang identik (sama-sama menggunakan kepala) di dalam bahasa Indonesia. Untuk menyatakan keadaan seperti ini, biasanya orang Indonesia menggunakan idiom ”mati kutu” atau ”kartu mati”
d.   頭が固い
Idiom ini digunakan masyarakat Jepang untuk menyatakan seseorang yang mudah marah karena terlalu fokus pada satu pemikiran saja. Orang seperti ini cenderung terkesan merasa dirinya yang paling benar dan suka memaksakan pemikirannya kepada orang lain. Di dalam bahasa Indonesia, juga dikenal idiom yang identik dengan idiom ini, yaitu ”keras kepala” (Badudu, ). Artinya, jika berada pada posisi di bawah orang yang digambarkan lewat idiom ini cenderung pembangkang, dan jika berada pada posisi di atas/ setara, orang ini cenderung memaksakan pemikirannya kepada teman bicaranya.
e.    頭に来る
Idiom ini akan sangat sulit menangkap maknanya melalui proses terjemahan. Karena ada informasi yang terasa kurang, yaitu; apa yang datan/ tiba di kepala?  Akan tetapi, jika info yang kurang itu diketahui, maka idiom ini sangat mudah dipahami di dalam bahasa Indonesia. Idiom ini mengindikasikan keadaan ketika seseorang marah. Biasanya kalau marah, kita merasakan darah seperti bergerak naik ke kepala. Kedaan inilah yang di dalam bahasa Jepang dituangkan lewat idiom “atama ni kuru” (datang/ tiba di kepala). Sementara itu, di dalam bahasa Indonesia, jika kita mendengar idiom “naik pitam (darah naik ke kepala)” , atau “darahnya naik ke ubun-ubun (kepala)”, kita juga bisa langsung memahami maksudnya karena di dalam skema yang yang di kepala sudah tergambar gambaran keadaan orang marah tadi.


f.     頭を痛める
Sekilas, idiom ini bisa diartikan dengan kata-kata “menyakiti kepala”. Idiom ini digunakan oleh masyarakat Jepang untuk menggambarkan keadaan seseorang yang memaksakan dirinya berfikir untuk memecahkan berbagai persoalan yang terjadi.  Idiom ini mempunyai padanan yang identik di dalam bahasa Indonesia, yaitu “mengkerkah batu kepala”.  Di sini kata kepala lebih menunjukkan mewakili fungsi otak yaitu untuk berfikir dalam memecahkan berbagai persoalan.
g.    頭をかかえる
Secara langsung, idiom ini berarti “menjepit kepala”. Namun, sebagai idiom, kata-kata ini menggambarkan keadaan seseorang yang memegang kepalanya dengan kedua tangan karena kebingungan tidak mengerti dengan sesuatu dan tidak tahu harus melakukan apa. Idiom ini tidak mempunyai padanan yang identik (sama-sama menggunakan kata kepala) di dalam bahasa Indonesia. Untuk menggambarkan keadaan ini, orang Indonesia menggunakan idiom “kehilangan akal” dengan asumsi bahwa orang yang pusing karena kebingungan akan memegang kepalanya dengan kuat karena katanya keadaan seperti bisa membuat kepala serasa ingin pecah. Walau berbeda dalam pemilihan kata pendamping kata kepala, namun di sini terlihat persamaan persepsi antara Jepang dan Indonesia dalam hal penggambaran keadaan orang yang pusing karena kebingungan.
h.   頭を働かせる
Idiom ini bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia “mempekerjakan kepala”. Maksud “mempekerjakan” di sini adalah berhubungan dengan pengetahuan dan keilmuan yang dimiliki seseorang. Pendek kata, mengerahkan kemampuan keilmuan untuk menyelesaikan suatu persoalan. Di dalam bahasa Indonesia kita mengenal idiom yang identik dengan idiom bahasa Jepang ini, yaitu “di luar kepala” (Badudu, ). idiom “di luar kepala” ini berhubungan erat dengan pesan seorang guru kepada murid yang selalu dianjurkan untuk mengerahkan kemampuan supaya hafal pelajaran di luar kepala.
i.     頭をひねる
Pada dasarnya idiom ini tidak jauh berbeda dengan idiom pada no. h. Hanya saja, idiom ini mengetengahkan logika bukan sisi keilmuan dalam memecahkan sesuatu masalah. Pendek kata, pemikiran yang akan diajukan haruslah sesuatu yang logis dengan pertimbangan baik-buruk, untung-rugi, dan lain sebagainya. idiom ini tidak memiliki padanan yang identik (sama-sama menggunakan kata kepala) di dalam idiom bahasa Indonesia. Namun, ungkapan seperti ini, biasanya diucapkan lewat idiom “mengasah otak” dan “memutar otak”.
j.     頭を冷やす
Idiom ini biasanya digunakan oleh orang Jepang untuk menggambarkan keadaan berupaya untuk menenangkan pikiran dalam menyelesaikan persoalan yang tengah dihadapi. Idiom ini identik dengan idiom “kepala dingin/ mendinginkan kepala” di dalam bahasa Indonesia. Di sini tergambar persamaan yang mencolok antara bahasa Indonesia dengan bahasa  Jepang dalam hal pemilihan kata yang sama, sehingga akan langsung bisa dipahami oleh pembelajar bahasa Jepang yang berbahasa ibu bahasa Indonesia.
k.   頭を丸める
Sebagai sebuah ujaran, kata-kata ini memiliki arti “menggunduli kepala” di dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi, dalam kapasitasnya sebagai idiom, ujaran ini memiliki makna keadaan seseorang yang hendak menjadi pendeta dan simbol kesadaran untuk memulai sesuatu (hidup) yang baru. Idiom ini tidak memiliki padanan yang identik dalam bahasa Indonesia.  Untuk menyatakan keadaan ini, orang Indonesia biasanya menggunakan idiom “cuci tangan”. Akan tetapi, makna cuci tangan ini tidak hanya positif, bisa juga bermakna negatif. Akan tetapi, dari idiom Jepang ini dapt kita asumsikan bahwa kepala dalam konteks di sini menunjukkan citra baik dan buruknya seseorang.
l.     頭をもたげる
Idiom ini bisa diilustrasikan pada keadaan seseorang yang tiba-tiba mendongakkan (mengangkat) kepalanya karena teringat sesuatu, atau karena ada sesuatu yang tiba-tiba saja melintas di kepalanya. Di samping itu, idiom ini juga menggambarkan keadaan dimana semangat seseorang yang sangat kuat sehingga terlihat dari dirinya. Idiom ini tidak memiliki padanan di dalam bahasa Indonesia. Dari sini dapat dipahami bahwa idiom kepala dalam bahasa Jepang ternyata juga bisa mewakili semangat dari seseorang.
m.  あたまを掻
Idiom ini mengandung makna sebagai keadaan malu yang dialami seseorang. Dan idiom ini menyiratkan pada kita bahwa masyarakat Jepang menggaruk kepala ketika merasa melakukan sesuatu yang membuatnya malu. Dari sini pula dapat diasumsikan, bahwa perbuatan yang memalukan adalah perbuatan yang bisa menggangu kepala atau membuat seseorang kehilangan muka dalam istilah Indonesianya. Memang agak beda dengan idiom  bahasa Indonesia standar yang justru menggunakan idiom menggaruk kepala ini untuk menyatakan orang yang bingung karena tidak mengerti dengan apa yang tengah terjadi atau tidak tahu mau memberikan tanggapan atas suatu hal.
n.   頭が古い
Secara harfiah, idiom ini berarti kepala yang sudah tua. Jika idiom ini dihadapkan kepada para pembelajar bahasa Jepang pemula, image dominan yang akan muncul tentulah orang yang sudah beruban (tua).  Akan tetapi, dalam masyarakat Jepang idiom ini dimaknai sebagai pemikiran yang kolot. Sehingga, idiom ini kadang juga digunakan untuk mengatakan orang yang berfikiran kolot, meskipun masih muda secara biologis.  Di sini terlihat bahwa idiom kepala ini bisa diutarakan untuk menyatakan seseorang yang mempunyai pemikiran seperti layaknya orang yang sudah tua.

o.    他人の頭になる (menjadi kepala orang lain)
Idiom yang satu ini rasanya tidaklah terlalu sulit dipahami oleh pembelajar Indonesia. Karena, kata-kata seperti kepala sekolah, kepala kantor, dan lainnya merupakan salah satu idiom bahasa Indonesia yang paling sering muncul dan digunakan masyarakat Indonesia. Sehingga, ketika mendengar idiom di atas, walaupun hanya tahu arti secara harfiah, namun, pembelajar Indonesia diperkirakan akan mudah memahami maksudnya, yaitu sebagai pemimpin/ orang yang memimpin.
p.   頭に置く
Secara harfiah, idiom ini berarti meletakkan sesuatu di kepala.  Sebagai pembelajar asing, ada berbagai image yang akan muncul ketika mendengar idiom ini, seperti; menjunjung, menghafal, mengingat, dan lain sebagainya.  Akan tetapi, ternyata idiom ini memiliki makna yang lebih dalam, menaruh di kepala mengandung makna mempertimbangkan dengang mengerahkan sekalian skema yang ada di kepala.  Pendek kata, bisa bermakan memikirkan secara mendalam tetang segala sesuatu yang bisa saja terjadi.    Baik itu buruk ataupun baik.
q.    頭にのこっている
Secara harfiah, kata ini mngandung arti sesuatu yang tertinggal di kepala.  Barang kali, sebagai orang asing kita akan beranggapan ini sebagai sesuatu yang dipelajari dan sudah tertanam di kepala sehingga kita bisa dengan mudah mengingatnya.  Akan tetapi, idiom ini tidak hanya bermakna sebatas seuatu yang dipelajari/ diupayakan untuk diingat saja, lebih mengacu pada sesuatu yang berkesan sehingga sulit untuk hilang dari ingatan seseorang, baik disengaja ataupun tidak disengaja. Di sini tersirat bahwa ternyata kepala juga berhubungan dengan perasan, tidak hanya sebatas pemikiran.


r.    頭が高い
Akan muncul kesan yang lucu jika kita paksakan untuk menerjemahkan idiom ini. Kata sombong yang di dalam bahasa Indonesia  diutarakan dengan idiom menepuk dada dan tinggi hati ternyata digambarkan lewat keadaan kepala yang tinggi. Agak mirip memang dengan ungkapan tinggi hati, yaitu sama-sama menggunakan kata tinggi, namun berbeda dalam pemilihan subjeknya, idiom Jepang menggunakan kata “kepala”, idiom Indonesia menggunakan kata “hati”. Meskipun demikian, pelajara dan yang bisa kita petik dari sini adalah bahwa ternyata dalam idiom bahasa Jepang, kata kepala mempunyai kedudukan yang mirip dengan hati, karena bisa mewakili atau mengekspresikan sesuatu hal yang sebenarnya merupakan bagian dari aktifitas atau suasana hati.

C.   Penutup
Perbedaan latar belakang geografis, sosial-budaya, kepercayaan, dan lainnya berpotensi menimbulkan persepsi yang berbeda-beda terhadap satu hal/ benda. Begitu juga halnya dengan kasus idiom bahasa Indonesia dengan idiom bahasa Jepang. Perbedaan yang terdapat dalam idiom tersebut tidak terlepas dari perbedaan persepsi masyarakat yang dipengaruhi oleh latar belakang di atas. Meskipun demikian, jika diamati secara cermat, akan didapati beberapa hal yang menunjukkan kemiripan yang sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut. Berikut beberapa hal menarik yang bisa ditangkap dari idiom ”atama” atau kepala bahasa Jepang,  yang mana idiom ini bisa diasumsikan sebagai persepsi atau pemikiran orang Jepang terhadap “kepala”.
1.   Kepala merupakan bagian yang penting dari tubuh yang menunjukkan identitas sebagai seorang pribadi. Karena itu, di dalam idiom Jepang dan Indonesia terdapat idiom-idiom yang menggambarkan kualitas emosi/ perasaan, karakter, kejiwaan, keluwesan berfikir, dan lain sebagainya.
2.   Kepala identik dengan kemampuan intelektual seseorang. Hal ini jelas tergambar dari idiom-idiom yang mengandung makna bodoh, pintar, kemampuan berfikir baik, dan kemampuan berfikir buruk. Hal ini ada pada kedua idiom, baik Jepang maupun Indonesia.
3.   Persamaan struktur sekaligus makna dan penggunaan, ternyata ada pada kedua idiom yang menggunakan kata kepala (Jepang dan Indonesia). Seperti pada idiom ”atama ga katai” (Jepang) dengan ”keras kepala” (Indonesia).   
(Dimuat di Jurnal Kotoba, Unand, 2013)
Referensi
Chaer, Abdul. 2003.  Linguistik Umum. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2004.  Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: PT. Rineka
Cipta
Ichiro, Ishida. 1986. Manusia dan Kebudayaan Jepang. Jakarta: PT. Dian
Rakyat.
Kridalaksana. (1993). Kamus linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Matsura, Kenji (1994). Kamus Jepang Indonesia. Kyoutou : Sangyou
University Press.
Reishauer,  A. Edwin (1982). Manusia Jepang. Jakarta: Sinar Harapan. 
金田一秀穗間修.2005. 小学生漫画辞典. 東京: 図書.
Suryadimulya, S ,Agus. (2002). Penelitian Kontrastif Idiom yang Menggunakan Anggota Tubuh antara Bahasa Indonesia dan Bahasa Jepang.

No comments:

Post a Comment