A. Renungan Filantropis
Seorang tokoh
filsafat Yunani Parmainides mengeluarkan teori yang dikenal dengan perceptional illusion. Artinya, persepsi
manusia tentang sesuatu hanyalah ilusi, karena akan berbeda-beda satu dengan
lainnya. Oleh karena itu, Parmainides mengatakan bahwa kebenaran itu adalah
yang bisa diterima oleh pikiran semua orang.
Poin yang bisa
ditangkap dari pernyataan Parmainides di atas adalah bahwa kita tidak boleh
terjebak dalam kefanatikan yang sempit, terutama perihal kebudayaan dan
persepsi yang berasal dari latar yang berbeda. Untuk bisa memahami persepsi kebudayaan
suatu bangsa, kita harus memahami kebenaran itu dalam empat (4) sudut pandang
berikut;
1. Kebenaran hakiki
Kebenaran hakiki mengacu kepada kebenaran yang
berhubungan dengan konteks keagamaan. Kebenaran dalam konteks ini adalah
kebenaran yang tidak bisa ditawar-tawar karena memang bersifat mutlak dan
bersumber dari keyakinan. Jadi, tidak ada istilah logis-tidak logis,
ilmiah-tidak ilmiah, dan lazim-tidak lazim dalam konsep kebenaran di sini.
Kebenaran adalah sesuatu yang diyakini dengan sepenuh hati.
2. Kebenaran ilmiah
Kebenaran ilmiah merupakan kebenaran yang berasal dari
suatu proses berfikir dan bekerja secara ilmiah yang mengedepankan logika dan
bukti. Yang paling utama dalam kebenaran ilmiah ini adalah metodologi yang
jelas dan bukti yang kuat. Akan tetapi, apa bila suatu saat muncul kebenaran
baru yang mempunyai bukti yang lebih kuat, maka dengan sendirinya kebenaran
sebelumnya akan ditinggalkan di belakangnya.
3. Kebenaran kelompok
Mirip dengan kebenara hakiki, kebenaran kelompok
terkadang juga sulit dipahami oleh kelompok lain. Akan tetapi, kebenaran dalam
konteks ini tidaklah mutlak, ia akan terus bergeser sejalan dengan perubahan
zaman, bahkan bisa hilang sama sekali. Kebenaran inilah yang disebut dengan
kebenaran budaya, yang dalam budaya Minangkabau diistilahkan dengan ungkapan sakali aia gadang sakali tapian barubah (sekali
air-bah, sekali tepian/ pinggiran sungai tempat pemandian akan berubah ).
4. Kebenaran individu
Sesuai dengan penamaannya, kebenaran ini adalah
kebenaran yang sifatnya subjektif sekali, dan berbeda menurut tiap-tiap
individu. Karena itu, kebenaran ini juga hanya bisa dipahami oleh individu yang
bersangkutan, tidak oleh individu yang lain. Contoh kongkretnya; cantik menurut
saya tentu belum tentu cantik menurut orang lain, bahkan bisa saja jelek
menurut orang lain.
B. Pembahasan
1. Manusia dalam budaya
Di dalam ilmu
kebudayaan, paling tidak ada dua (2) istilah yang sering terdengar ketika orang
berbicara tetang manusia, yaitu; Homo
Sapiens dan Homo Humanus. Para
ahli kebudayaan sepakat untuk menggambarkan sosok manusia lewat dua istilah
tersebut, makhluk yang berfikir dan makhluk yang berprikemanusiaan/ manusiawi,
begitulah kira-kira padanan dari istilah tadi. Maka, tidaklah bisa dikatakan
seseorang berbudaya, jika seandainya orang tersebut tidak menggunakan
fikirannya untuk hal-hal yang tidak berprikemanusiaan atau yang tidak
manusiawi. Hanya saja, konsep kebenaran manusiawi tersebut haruslah dipahami
seperti yang diuraikan pada bagian renungan filantropis di atas. Pendek kata,
jalan kebenaran kebudayaan yang berbeda tentu akan berbeda pula, seperti halnya
pemahaman suatu budaya dengan budaya lain tentang makna dari manusiawi.
a. Manusia sebagai Insan Ilahi Rabbi
Sebagai insan ilahi, keberadaan dan pemikiran manusia
sangat sulit untuk dipahami. Karena agama merupakan sesuatu yang mengedepankan keyakinan
yang kadang sangat sulit dipahami dengan logika. Oleh karena itu, konsep
kebenaran dalam konteks ini dikatakan sebagai kebenaran yang hakiki dan mutlak.
Hanya bisa dipahami lewat keyakinan bukan lewat langkah-langkah ilmiah yang
bisa ditelusuri lewat pemikiran secara alamiah.
b. Manusia sebagai Individu
Secara individu, manusia dikatakan sebagai makhluk
yang terdiri dari unsur jasmani dan rohani. Secara jasmani, terdiri dari daging
dan tulang yang membentuk berbagai organ fisik, dan secara rohani terdiri dari
pemikiran, emosi dan perasaan yang membedakannya dengan makhluk lainnya.
Keduanya memiliki fungsi yang pada akhirnya berujung pada dua arah, yaitu baik
dan buruk. Oleh karena itu, agar tidak terjadi yang kita kenal dengan hukum
rimba, budaya mengatur agar organ-organ fisik dan organ rohani tersebut bisa
difungsikan ke arah kebaikan melalui nilai-nilai budaya itu sendiri.
c. Manusia sebagai Makhluk Sosial
Sebagai makhluk sosial, keberadaan dan pemikiran
manusia itu ditentukan oleh keberadaan orang lain di sekitarnya. Dalam hal ini,
keberadaan budaya dibutuhkan untuk mengatur supaya tidak terjadi benturan
kepentingan di antara manusia. Misalnya, sifat mata adalah cenderung suka
melihat yang indah-indah dan cantik. Agar sifat (baca: potensi) ini tidak
menggangu milik orang (seperti digunakan untuk melirik istri orang), budaya
melahirkan norma-norma yang bisa membuat orang merasakan malu ketika melakukan
sesuatu yang salah atau melanggar etika, dan aturan yang membuat orang takut
untuk melanggar hak orang lain.
2. Manusia Jepang (tinjauan budaya dan bahasa)
Ichiro (1986:
48), Reishauer (1982: 65) menyatakan
bahwa manusia Jepang biasanya digambarkan lewat stereotype; disiplin, etos
kerja tinggi, produktif, kreatif, sopan-santun, dan sangat memperhatikan hal-hal
yang bisa membebani/ mengganggu orang lain. Hal ini, bisa dilihat langsung dari
gerak-gerik seperti yang ada dalam budaya ojigi,
ataupun dalam kebiasaan kunjung-mengunjungi dan berkirim kartu (meishi). Hal ini tentunya bersumber dari
ajaran budaya yang telah mendarah-gaging dalam diri setiap orang Jepang,
meskipun secara individu tentu saja ada yang tidak begitu. Yang pasti secara
umum, begitulah stereotype orang Jepang.
Di samping
cerminan yang ditunjukkan oleh berbagai tradisi dan kebiasaan di atas, bahasa
Jepang juga menunjukkan hal serupa tentang manusia Jepang itu. Seperti
kebiasaan mengucapkan salam, kata-kata yang mengandung permintaan maaf,
penggunaan ungkapan/ idiom, dan yang paling menyolok, yaitu tingkatan dalam
penggunaan bahasa sesuai dengan siapa lawan bicara. Hal ini jelas
mengindikasikan bahwa bahasa tersebut kaya akan kandungan nilai-nilai budaya
yang sengaja dimasukkan guna membentuk watak dan cara berfikir para
penggunanya. Seperti yang ditegaskan dalam berbagai teori pembelajaran bahasa
bahwa belajar bahasa adalah belajara berfikir seperti penutur asli bahasa
tersebut.
3. Kanyouku (idiom)
Kridalaksana (1993: 82) menyatakan idiom adalah
konstruksi dari unsur-unsur yang saling memilih, masing-masing anggota
mempunyai makna yang ada hanya karena bersama yang lain. Contoh: kambing hitam
dalam kalimat Dalam peristiwa kebakaran
itu Hansip menjadi kambing hitam ,
padahal mereka tidak tahu apa-apa. Sedangkan Chaer (2003: 296) menyatakan
bahwa idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat “diramalkan” dari
makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Umpamanya
secara gramatikal bentuk menjual rumah bermakna ‘yang menjual menerima uang dan
yang membeli menerima rumahnya’. Berbeda halnya dengan menjual gigi tidaklah memiliki makna seperti itu, melainkan ‘tertawa keras-keras’. Dalam bahasa
Indonesia idiom dibedakan menjadi dua macam idiom yaitu yang disebut idiom penuh dan idiom
sebagian. Idiom penuh adalah idiom yang semua unsur-unsurmya sudah melebur
menjadi satu kesatuan, sehingga makna yang dimiliki berasal dari seluruh
kesatuan itu.
Sementara itu, di
dalam bahasa Jepang, idiom mempunyai definisi sebagai berikut; 慣用句とは、二つ以上のことばがいっしょになって、ある決まったとくべつな意味を表す言い回しのことだ(金田,
2005: 4), yaitu dua kata atau lebih yang digabungkan, dimana makna dan cara menyatakannya telah menjadi semacam ketetapan di dalam kehidupan
masyarakat. Kata ”Ketetapan” dalam hal
ini hanya bisa dipahami melalui pendekatan sosio-kultural, karena berkaitan
langsung dengan persepsi dan rasa yang tentunya terbentuk melalui proses
pemahaman terhadap nilai yang dilandasi oleh kebudayaan. Karena itu pula,
kata-kata yang digunakan dalam idiompun, tidaklah jauh dari lingkungan, bahkan
merupakan bagian tubuh dari manusia atau individu penganut kebudayaan itu
sendiri (baca: baik Indonesia maupun Jepang).
Suryadimulya
(2002), menyatakan bahwa jumlah idiom dalam bahasa Jepang yang menggunakan
anggota badan bagian luar dan sering digunakan berjumlah 1.553 idiom. Sedangkan dalam bahasa Indonesia idiom
yang menggunakan anggota badan berjumlah 814 idiom. Penggunaan idiom dalam
bahasa Indonesia tidaklah sesering dan sebebas penggunaannya sebagaimana idiom
dalam bahasa Jepang. Selanjutnya, disebutkan bahwa idiom digunakan adalah dalam
rangka untuk mempermudah lawan bicara dalam menangkap makna ujaran yang ingin
disampaikan oleh penutur. Oleh karena
itu, idiom bisa juga diartikan sebagai strategi yang digunakan oleh penutur
untuk melindungi diri, lawan bicara ataupun objek yang dibicarakan.
Mengingat jumlahnya yang tidak terbatas, maka pada
makalah ini hanya akan dibahas idiom bahasa Jepang yang menggunakan kata
kepala. Pemilihan kata kepala ini
dianggap sebagai bagian atau unsur yang paling mendekati dan relevan dengan
pemahaman yang ingin didapat, yaitunya mengenai pemikiran/ persepsi masyarakat
pengguna idiom tersebut (baca: masyarakat Jepang).
4. Manusia Jepang dalam Kanyouku “atama”
Kanyouku atama di sini dimaksudkan untuk menyatakan idiom yang menggunakan kata kepala di
dalam bahasa Jepang. Kalau dalam bahasa Indonesianya bisa kita temukan pada idiom keras
kepala, besar kepala, kepala batu, dan lain sebagainya. Untuk lebih jelasnya,
berikut diketengahkan beberapa idiom bahas Jepang yang menggunakan kata kepala
(baca atama) tersebut:
a.
頭が痛い
Secara harfiah, idiom bahasa Jepang頭が痛い memiliki arti
”sakit kepala” di dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi, sehubungan dengan
keberadaannya sebagai idiom, kata ini memiliki makna lain yang sering digunakan
oleh penutur aslinya guna menyatakan maksud/ perasaan tertentu, yaitu untuk
menyatakan keadaan pusing karena memikirkan sesuatu (khawatir/ cemas).
Pernyataan maksud seperti ini, melalui
idiom yang menggunakan kata kepala mempunyai padanan serupa di dalam bahasa
Indonesia (sama-sama menggunakan kata kepala), yaitu ”kepalaku terasa berat”
(Badudu, ). Idiom ”kepala berat” ini, disamping bermakna denotatif, juga
memiliki makna untuk menunjukkan keadaan pusing karna memikirkan sesuatu
(khawatir/ cemas).
b.
頭が下がる
Untuk menyatakan kekaguman ataupun perasaan hormat kepada orang lain, orang
Jepang memang terkenal dengan kebiasaan menundukkan kepala (Ojigi). Jadi, idiom
ini digunakan untuk menyatakan perasaan kagum/ hormat kepada teman bicara.
Idiom ini tidak mempunyai padanan yang serupa (sama-sama menggunakan kata
kepala) di dalam bahasa Indonesia. Karena, di dalam idiom bahasa Indonesia,
maksud seperti ini biasanya diungkapkan dengan idiom ”angkat topi”.
Dan secara spesifiknya, bahasa Indonesia cenderung lebih menggunakan lisan
untuk menyatakan hal seperti ini dari pada gerakan tubuh seperti yang
ditunjukkan idiom Jepang ini.
c.
頭が上がらない
Jika diartikan secara leksikal ke dalam bahasa Indonesia, kata-kata di atas
memiliki arti ”kepala tidak naik”. Sebagai idiom, kata-kata tersebut memiliki
makna keadaan yang menggambarkan bahwa seseorang tertekan karena keberadaan
orang lain yang memiliki kemampuan lebih dari dirinya. Pendek kata, karena
kekurangannya dari orang lain, menyebabkan orang tersebut tidak berkutik/ kalah
pamor/ wibawa dari teman bicaranya. Idiom ini tidak mempunyai padanan yang identik
(sama-sama menggunakan kepala) di dalam bahasa Indonesia. Untuk menyatakan
keadaan seperti ini, biasanya orang Indonesia menggunakan idiom ”mati kutu”
atau ”kartu mati”
d.
頭が固い
Idiom ini digunakan masyarakat Jepang untuk menyatakan seseorang yang mudah
marah karena terlalu fokus pada satu pemikiran saja. Orang seperti ini
cenderung terkesan merasa dirinya yang paling benar dan suka memaksakan
pemikirannya kepada orang lain. Di dalam bahasa Indonesia, juga dikenal idiom
yang identik dengan idiom ini, yaitu ”keras kepala” (Badudu, ). Artinya, jika
berada pada posisi di bawah orang yang digambarkan lewat idiom ini cenderung
pembangkang, dan jika berada pada posisi di atas/ setara, orang ini cenderung
memaksakan pemikirannya kepada teman bicaranya.
e.
頭に来る
Idiom ini akan sangat sulit
menangkap maknanya melalui proses terjemahan. Karena ada informasi yang terasa
kurang, yaitu; apa yang datan/ tiba di kepala?
Akan tetapi, jika info yang kurang itu diketahui, maka idiom ini sangat
mudah dipahami di dalam bahasa Indonesia. Idiom ini mengindikasikan keadaan ketika
seseorang marah. Biasanya kalau marah, kita merasakan darah seperti bergerak
naik ke kepala. Kedaan inilah yang di dalam bahasa Jepang dituangkan lewat
idiom “atama ni kuru” (datang/ tiba
di kepala). Sementara itu, di dalam bahasa Indonesia, jika kita mendengar idiom
“naik pitam (darah naik ke kepala)” , atau “darahnya naik ke ubun-ubun
(kepala)”, kita juga bisa langsung memahami maksudnya karena di dalam skema
yang yang di kepala sudah tergambar gambaran keadaan orang marah tadi.
f.
頭を痛める
Sekilas, idiom ini bisa diartikan
dengan kata-kata “menyakiti kepala”. Idiom ini digunakan oleh masyarakat Jepang
untuk menggambarkan keadaan seseorang yang memaksakan dirinya berfikir untuk
memecahkan berbagai persoalan yang terjadi.
Idiom ini mempunyai padanan yang identik di dalam bahasa Indonesia,
yaitu “mengkerkah batu kepala”. Di sini
kata kepala lebih menunjukkan mewakili fungsi otak yaitu untuk berfikir dalam
memecahkan berbagai persoalan.
g.
頭をかかえる
Secara
langsung, idiom ini berarti “menjepit kepala”. Namun, sebagai idiom, kata-kata
ini menggambarkan keadaan seseorang yang memegang kepalanya dengan kedua tangan
karena kebingungan tidak mengerti dengan sesuatu dan tidak tahu harus melakukan
apa. Idiom ini tidak mempunyai padanan yang identik (sama-sama menggunakan kata
kepala) di dalam bahasa Indonesia. Untuk menggambarkan keadaan ini, orang
Indonesia menggunakan idiom “kehilangan akal” dengan asumsi bahwa orang yang
pusing karena kebingungan akan memegang kepalanya dengan kuat karena katanya
keadaan seperti bisa membuat kepala serasa ingin pecah. Walau berbeda dalam
pemilihan kata pendamping kata kepala, namun di sini terlihat persamaan
persepsi antara Jepang dan Indonesia dalam hal penggambaran keadaan orang yang
pusing karena kebingungan.
h.
頭を働かせる
Idiom ini bisa diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia “mempekerjakan kepala”. Maksud “mempekerjakan” di sini
adalah berhubungan dengan pengetahuan dan keilmuan yang dimiliki seseorang. Pendek
kata, mengerahkan kemampuan keilmuan untuk menyelesaikan suatu persoalan. Di
dalam bahasa Indonesia kita mengenal idiom yang identik dengan idiom bahasa
Jepang ini, yaitu “di luar kepala” (Badudu, ). idiom “di luar kepala” ini
berhubungan erat dengan pesan seorang guru kepada murid yang selalu dianjurkan
untuk mengerahkan kemampuan supaya hafal pelajaran di luar kepala.
i.
頭をひねる
Pada dasarnya idiom ini tidak
jauh berbeda dengan idiom pada no. h. Hanya saja, idiom ini mengetengahkan
logika bukan sisi keilmuan dalam memecahkan sesuatu masalah. Pendek kata,
pemikiran yang akan diajukan haruslah sesuatu yang logis dengan pertimbangan
baik-buruk, untung-rugi, dan lain sebagainya. idiom ini tidak memiliki padanan
yang identik (sama-sama menggunakan kata kepala) di dalam idiom bahasa
Indonesia. Namun, ungkapan seperti ini, biasanya diucapkan lewat idiom
“mengasah otak” dan “memutar otak”.
j.
頭を冷やす
Idiom ini biasanya digunakan oleh
orang Jepang untuk menggambarkan keadaan berupaya untuk menenangkan pikiran
dalam menyelesaikan persoalan yang tengah dihadapi. Idiom ini identik dengan
idiom “kepala dingin/ mendinginkan kepala” di dalam bahasa Indonesia. Di sini
tergambar persamaan yang mencolok antara bahasa Indonesia dengan bahasa Jepang dalam hal pemilihan kata yang sama,
sehingga akan langsung bisa dipahami oleh pembelajar bahasa Jepang yang
berbahasa ibu bahasa Indonesia.
k.
頭を丸める
Sebagai sebuah ujaran, kata-kata
ini memiliki arti “menggunduli kepala” di dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi,
dalam kapasitasnya sebagai idiom, ujaran ini memiliki makna keadaan seseorang
yang hendak menjadi pendeta dan simbol kesadaran untuk memulai sesuatu (hidup)
yang baru. Idiom ini tidak memiliki padanan yang identik dalam bahasa
Indonesia. Untuk menyatakan keadaan ini,
orang Indonesia biasanya menggunakan idiom “cuci tangan”. Akan tetapi, makna
cuci tangan ini tidak hanya positif, bisa juga bermakna negatif. Akan tetapi,
dari idiom Jepang ini dapt kita asumsikan bahwa kepala dalam konteks di sini
menunjukkan citra baik dan buruknya seseorang.
l.
頭をもたげる
Idiom ini bisa diilustrasikan
pada keadaan seseorang yang tiba-tiba mendongakkan (mengangkat) kepalanya
karena teringat sesuatu, atau karena ada sesuatu yang tiba-tiba saja melintas
di kepalanya. Di samping itu, idiom ini juga menggambarkan keadaan dimana
semangat seseorang yang sangat kuat sehingga terlihat dari dirinya. Idiom ini
tidak memiliki padanan di dalam bahasa Indonesia. Dari sini dapat dipahami
bahwa idiom kepala dalam bahasa Jepang ternyata juga bisa mewakili semangat
dari seseorang.
m.
あたまを掻
Idiom ini mengandung makna
sebagai keadaan malu yang dialami seseorang. Dan idiom ini menyiratkan pada
kita bahwa masyarakat Jepang menggaruk kepala ketika merasa melakukan sesuatu
yang membuatnya malu. Dari sini pula dapat diasumsikan, bahwa perbuatan yang
memalukan adalah perbuatan yang bisa menggangu kepala atau membuat seseorang
kehilangan muka dalam istilah Indonesianya. Memang agak beda dengan idiom bahasa Indonesia standar yang justru
menggunakan idiom menggaruk kepala ini untuk menyatakan orang yang bingung
karena tidak mengerti dengan apa yang tengah terjadi atau tidak tahu mau
memberikan tanggapan atas suatu hal.
n.
頭が古い
Secara harfiah, idiom ini berarti
kepala yang sudah tua. Jika idiom ini dihadapkan kepada para pembelajar bahasa
Jepang pemula, image dominan yang akan muncul tentulah orang yang sudah beruban
(tua). Akan tetapi, dalam masyarakat
Jepang idiom ini dimaknai sebagai pemikiran yang kolot. Sehingga, idiom ini
kadang juga digunakan untuk mengatakan orang yang berfikiran kolot, meskipun
masih muda secara biologis. Di sini
terlihat bahwa idiom kepala ini bisa diutarakan untuk menyatakan seseorang yang
mempunyai pemikiran seperti layaknya orang yang sudah tua.
o.
他人の頭になる (menjadi kepala orang lain)
Idiom yang satu ini rasanya
tidaklah terlalu sulit dipahami oleh pembelajar Indonesia. Karena, kata-kata
seperti kepala sekolah, kepala kantor, dan lainnya merupakan salah satu idiom
bahasa Indonesia yang paling sering muncul dan digunakan masyarakat Indonesia.
Sehingga, ketika mendengar idiom di atas, walaupun hanya tahu arti secara
harfiah, namun, pembelajar Indonesia diperkirakan akan mudah memahami
maksudnya, yaitu sebagai pemimpin/ orang yang memimpin.
p.
頭に置く
Secara harfiah, idiom ini berarti
meletakkan sesuatu di kepala. Sebagai
pembelajar asing, ada berbagai image yang akan muncul ketika mendengar idiom
ini, seperti; menjunjung, menghafal, mengingat, dan lain sebagainya. Akan tetapi, ternyata idiom ini memiliki
makna yang lebih dalam, menaruh di kepala mengandung makna mempertimbangkan
dengang mengerahkan sekalian skema yang ada di kepala. Pendek kata, bisa bermakan memikirkan secara
mendalam tetang segala sesuatu yang bisa saja terjadi. Baik itu buruk ataupun baik.
q.
頭にのこっている
Secara harfiah, kata ini mngandung
arti sesuatu yang tertinggal di kepala.
Barang kali, sebagai orang asing kita akan beranggapan ini sebagai
sesuatu yang dipelajari dan sudah tertanam di kepala sehingga kita bisa dengan
mudah mengingatnya. Akan tetapi, idiom
ini tidak hanya bermakna sebatas seuatu yang dipelajari/ diupayakan untuk
diingat saja, lebih mengacu pada sesuatu yang berkesan sehingga sulit untuk
hilang dari ingatan seseorang, baik disengaja ataupun tidak disengaja. Di sini
tersirat bahwa ternyata kepala juga berhubungan dengan perasan, tidak hanya
sebatas pemikiran.
r.
頭が高い
Akan muncul kesan yang lucu jika
kita paksakan untuk menerjemahkan idiom ini. Kata sombong yang di dalam bahasa
Indonesia diutarakan dengan idiom
menepuk dada dan tinggi hati ternyata digambarkan lewat keadaan kepala yang
tinggi. Agak mirip memang dengan ungkapan tinggi hati, yaitu sama-sama
menggunakan kata tinggi, namun berbeda dalam pemilihan subjeknya, idiom Jepang
menggunakan kata “kepala”, idiom Indonesia menggunakan kata “hati”. Meskipun
demikian, pelajara dan yang bisa kita petik dari sini adalah bahwa ternyata
dalam idiom bahasa Jepang, kata kepala mempunyai kedudukan yang mirip dengan
hati, karena bisa mewakili atau mengekspresikan sesuatu hal yang sebenarnya
merupakan bagian dari aktifitas atau suasana hati.
C. Penutup
Perbedaan latar belakang geografis, sosial-budaya,
kepercayaan, dan lainnya berpotensi menimbulkan persepsi yang berbeda-beda
terhadap satu hal/ benda. Begitu juga halnya dengan kasus idiom bahasa
Indonesia dengan idiom bahasa Jepang. Perbedaan yang terdapat dalam idiom
tersebut tidak terlepas dari perbedaan persepsi masyarakat yang dipengaruhi
oleh latar belakang di atas. Meskipun demikian, jika diamati secara cermat,
akan didapati beberapa hal yang menunjukkan kemiripan yang sangat menarik untuk
diteliti lebih lanjut. Berikut beberapa hal menarik yang bisa ditangkap dari
idiom ”atama” atau kepala bahasa Jepang, yang mana idiom ini bisa diasumsikan sebagai persepsi atau
pemikiran orang Jepang terhadap “kepala”.
1.
Kepala merupakan bagian yang penting dari tubuh yang menunjukkan identitas
sebagai seorang pribadi. Karena itu, di dalam idiom Jepang dan Indonesia
terdapat idiom-idiom yang menggambarkan kualitas emosi/ perasaan, karakter,
kejiwaan, keluwesan berfikir, dan lain sebagainya.
2.
Kepala identik dengan kemampuan intelektual seseorang. Hal ini jelas
tergambar dari idiom-idiom yang mengandung makna bodoh, pintar, kemampuan
berfikir baik, dan kemampuan berfikir buruk. Hal ini ada pada kedua idiom, baik
Jepang maupun Indonesia.
3.
Persamaan struktur sekaligus makna dan penggunaan, ternyata ada pada kedua
idiom yang menggunakan kata kepala (Jepang dan Indonesia). Seperti pada idiom ”atama
ga katai” (Jepang) dengan ”keras kepala” (Indonesia).
(Dimuat di Jurnal Kotoba, Unand, 2013)
Referensi
Chaer, Abdul. 2003. Linguistik
Umum. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2004. Sosiolinguistik
Perkenalan Awal. Jakarta: PT. Rineka
Cipta
Ichiro, Ishida. 1986. Manusia
dan Kebudayaan Jepang. Jakarta: PT. Dian
Rakyat.
Kridalaksana. (1993). Kamus
linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Matsura, Kenji (1994). Kamus Jepang Indonesia. Kyoutou :
Sangyou
University
Press.
Reishauer, A.
Edwin (1982). Manusia Jepang.
Jakarta: Sinar Harapan.
金田一秀穗間修.(2005). 小学生漫画辞典. 東京: 図書.
Suryadimulya, S ,Agus. (2002). Penelitian Kontrastif Idiom yang Menggunakan Anggota Tubuh antara Bahasa
Indonesia dan Bahasa Jepang.
No comments:
Post a Comment