Abstrak
Pada dasarnya, pendekatan kontekstual bertujuan untuk mendekatkan siswa
dengan dunia nyata. Artinya, dengan pendekatan kontekstual siswa diharapkan
bisa merasakan langsung manfaat praktis dari materi-materi yang dia pelajari.
Hal ini bisa dilihat dari unsur-unsur pendekatan kontekstual, yaitu; konstruktivisme, menemukan, bertanya, masyarakat
belajar, pemodelan,
refleksi, dan penilaian
yang sebenarnya. Oleh karena itu, tulisan ini mengulas perangkat-perangkat
pembelajaran berbahasa Jepang dengan menggunakan pendekatan kontekstual.
Perangkat tersebut adalah; silabus konteks, media audio-video, metode
kolaboratif, pembelajaran berbasis teks.
Kata Kunci: Kontekstual., Konteks.,
Kolaboratif., Teks.
(Ditampilkan pada seminar nasional dan lokakarya pembelajaran bahasa Jepang yang kreatif dan inovatif di UNP, Padang 2013)
A. PENDAHULUAN
Bukan rahasia lagi
bahwa peluncuran kurikulum, selalu menimbulkan berbagai reaksi, di antaranya kebingungan di
antara guru, bahkan kekaburan konsep. Hal itu, terutama, disebabkan oleh
pemberlakuan pendekatan pembelajaran lain sejalan dengan pemberlakuan kurikulum
sebelumnya,
seperti Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, dan Kurikulum 1994.
Pendekatan-pendekatan yang dimaksudkan adalah Pendekatan Cara Belajar Siswa
Aktif (CBSA), Pendekatan Keterampilan Proses (KP), dan Pendekatan (Kompetensi) Komunikatif. Kekaburan konsep semakin bertambah karena
berbagai istilah yang tumpang-tindih dalam hal pendekatan pembelajaran pun
banyak bermunculan, seperti munculnya istilah Pendekatan Konstruktivistik,
Pendekatan Inquiri, dan sebagainya. Belum tuntas masalah ini, bermunculan
pula istilah lain dalam proses
pembelajaran, seperti PAKEM
(Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan) dan PAKEMI (Pembelajaran Aktif, Kreatif,
Efektif, Menyenangkan, dan Inovatif).
Efek kebingungan guru terhadap
konsep-konsep pendekatan cenderung negatif. Ada sekelompok guru yang menarik
simpulan dangkal, misalnya, “Ah, semua itu sama saja, hanya ganti nama”. Ada
sekelompok guru yang menyimpulkan, “Pendekatan Kontekstual itu sama
dengan Pendekatan Anu (misalnya CBSA atau Keterampilan Proses). Padahal,
dari segi semantik dan sosiolinguistik, terdapat pandangan yang tegas bahwa
tidak ada dua atau beberapa kata yang benar-benar sama, meskipun
bersinonim.
B. ISI/ PEMBAHASAN
1.
Sejarah
Singkat Pendekatan Kontekstual (PK)
Istilah Pendekatan Kontekstual diserap
dari istilah Contextual Teaching and Learning sehingga dalam literatur
asing lazim disingkat menjadi CTL. PK mulai populer dan menjadi bahan
diskusi di antara pakar pembelajaran di Amerika Serikat pada tahun 2000-an.
Meskipun begitu, pemikiran tentang PK ini sebenarnya bukanlah pemikiran yang
baru. Alfred North Whitehead (Johnson, 2002: 1) misalnya, pernah mengungkapkan
pemikirannya pada tahun 1929, “Nilai
penting ilmu pengetahuan terletak dalam nilai gunannya, dalam cara kita
menguasainya”.
Crawford (2001: 1) secara ringkas
menyatakan bahwa PK merupakan usaha untuk mengubah pendekatan pembelajaran
tradisional yang lazim memiliki tiga karakteristik. Karakteristik tersebut
adalah: (1) pembelajaran menekankan pada tugas menghafal, (2) pembelajaran
cenderung menekankan pada pemberian latihan yang berbentuk dikte, dan (3)
pembelajaran cenderung diakhiri dengan tes yang menghendaki siswa mengungkapkan
kembali (recall) apa yang telah dihafal siswa. Sementara itu, dari sudut
pandang siswa dikatakan bahwa PK bisa membantu siswa mengembangkan kemampuannya secara
maksimal.
Pada tahun 2001, akhirnya The
Washington State Concortim for Con-textual Teaching and Learning, yang
melibatkan 11 perguruan tinggi, 20 sekolah, dan lembaga-lembaga yang bergerak
dalam dunia pendidikan di AS mendeklarasikan Contextual Teaching and
Learning. Pada tahun 2002, konsorsium ini memberikan pelatihan kepada
guru-guru di enam pro-pinsi di Indonesia dan mulailah PK (CTL) ini
masuk ke Indonesia.
Di Indonesia, PK dipersiapkan sebagai
salah satu pendekatan pembelajaran sesuai dengan tuntuan Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK). Menurut Depdiknas (2002: 2) pendayagunaan PK dilandasi oleh
empat hal.
Pertama, adanya kenyataan bahwa dalam sistem
pendidikan di Indonesia (juga beberapa negara lainnya) masih didominasi oleh
pan-dangan bahwa pengetahuan merupakan seperangkat fakta yang harus di-hafal.
Guru masih ditempatkan sebagai sumber utama (bahkan mungkin di beberapa
sekolah) guru ditempatkan sebagai satu-satunya sumber) informasi, sehingga
pendayagunaan teknik ceramah mendominasi proses pembelajaran. Melalui
pendayagunaan PK, diharapkan siswa tidak diharuskan menghafal serangkaian fakta
tetapi terpicu untuk meng-konstruksikan pengetahuan dalam sistem kognisinya
(bandingkan de-ngan konsep Pendekatan CBSA!).
Kedua, karena kecenderungan pendayagunaan
teknik ceramah dan dominasi peran guru, siswa cenderung tidak mengalami
sendiri proses pemerolehan pengetahuaannya. Melalui PK, siswa dipicu untuk meng-alami
sendiri proses tersebut bukan melalui menghafal (bandingkan dengan konsep
Pendekatan Keterampilan Proses dan CBSA).
Ketiga, adanya kenyataan bahwa pengetahuan itu
dibangun oleh manusia itu sendiri. Pengembangan pengetahuan oleh manusia pada
dasarnya dipicu oleh keinginannya menempatkan makna berdasarkan pengalaman yang
diperolehnya. Jadi, segala yang diketahui manusia adalah segala sesuatu yang
telah diperbuat oleh manusia itu sendiri. Melalui penerapan PK, diharapkan
siswa dapat menemukan makna atas hal-hal yang diketahuinya dan menempatkannya
secara proporsional dalam pengalamannya.
Keempat, pada dasarnya tidak ada pengetahuan yang
bersifat me-netap. Pengetahuan akan berkembang terus. Segala sesuatu akan
meng-alami perubahan, yang tetap adalah perubahan itu sendiri. Oleh sebab itu,
melalui PK diharapkan siswa terpicu untuk selalu mengembangkan pengetahuannya,
mengembangkan rasa ingin tahunya secara optimal.
2.
Unsur-Unsur
Pendekatan Kontekstual
a. Konstruktivisme (Constructivism)
Constructivism (konstrukrivisme) merupakan landasan
berpikir (filosofi) PK: pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit,
yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak
sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep, atau kaidah
yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi
pengetahuan itu dan memberi makna melalui penga-laman nyata.
Siswa
perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi
dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu memberikan semua
pengetahuan kepada siswa. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan di dalam
sistem kognisi mereka sendiri. Esensi konsep konstruktivis adalah: siswa harus
menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan
apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka sendiri.
Dengan dasar itu, pembelajaran harus
dikemas menjadi proses mengkonstruksi, bukan menerima
pengetahuan. Dalam proses pem-belajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan
mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar dan mengajar. Siswa
menjadi pusat kegiatan, bukan guru.
Landasan berpikir konstruktivisme agak
berbeda dengan pandangan kaum objektivis, yang lebih menekankan pada hasil
pembelajaran. Dalam pandangan konstruktivis, strategi
memperoleh lebih diutamakan dibandingkan seberapa
banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan.
Lalu, bagaimanakah penerapannya di kelas?
Bagaimanakah cara merealisasikannya di kelas-kelas di sekolah kita? Pada
umumnya kita juga sudah menerapkan filosofi ini dalam pembelajaran sehari-hari,
yaitu ketika kita merancang pembelajaran dalam bentuk
siswa bekerja, praktek mengerjakan sesuatu, berlatih
secara fisik, menulis karangan, mendemonstrasikan,
mencipta-kan ide, dan sebagainya.
Salah satu teknik yang lazim digunakan
guru dalam mengimplementasikan penerapan elemen konstruktivisme adalah
memberikan tugas kepada siswa pada suatu akhir pembelajaran (misalnya menugasi
siswa mencari, membaca, dan memahami teks)
dan teks itu dibahas pada pertemuan berikutnya. Melalui teknik ini, guru menugasi
siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan dan pemahamannya tentang teks sebelum
pembelajaran tentang teks itu dilaksanakan.
b. Menemukan (Inquiry)
Menemukan merupakan bagian inti dari
kegiatan pembelajaran berbasis PK. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh
siswa di-harapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta, tetapi hasil dari
menemukan sendiri. Guru harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada
kegiatan menemukan, apa pun materi yang diajarkannya. Topik mengenai adanya dua
jenis penalaran, sudah seharusnya ditemukan sendiri oleh siswa, bukan menurut
buku.
c.
Bertanya (Questioning)
Pengetahuan yang dimiliki seseorang,
selalu bermula dari bertanya. Questioning (bertanya) merupakaan
strategi utama pembelajaran yang berbasis PK. Bertanya dalam pembelajaran
dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai
kemampuan berpikir siswa. Bagi siswa, kegiatan bertanya merupakan bagian
penting dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis inquiri, yaitu menggali
informasi, mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan meng-arahkan
perhatian pada aspek yang belum diketahuinya.
d.
Masyarakat Belajar
(Learning Community)
Konsep leaming community
menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain.
Hasil belajar diperoleh dari sharing antarteman, antarkelompok, dan
antara yang tahu dengan yang belum tahu. Di ruang ini, di kelas ini, di sekitar
sini, juga orang-orang yang ada di luar sana, semua adalah anggota
masyarakat-belajar.
Dalam kelas PK, guru disarankan selalu
melaksanakan pembelajar-an dalam kelompok-kelompok belajar. Siswa dibagi dalam
kelompok-kelompok yang anggotanya heterogen. Yang pandai mengajari yang lemah,
yang tahu memberi tahu yang belum tahu, yang cepat menangkap mendorong temannya
yang lambat, yang mempunyai gagasan segera memberi usul, dan seterusnya.
Kelompok siswa bisa sangat bervariasi bentuknya, baik keanggotaan, jumlah,
bahkan bisa melibatkan siswa di kelas atasnya, atau guru melakukan kolaborasi
dengan mendatangkan seorang ahli ke dalam kelas. Misalnya tukang sablon,
petani jagung, petemak susu, teknisi komputer, tukang cat mobil, tukang
reparasi kunci, dan sebagainya.
Masyarakat-belajar dapat berkembang (terjadi) apabila ada
proses komunikasi dua arah. "Seorang guru yang mengajari siswanya"
bukan contoh masyarakat-belajar karena komunikasi hanya terjadi satu arah,
yaitu informasi hanya datang dari guru ke arah siswa, tidak ada arus informasi
yang perlu dipelajari guru yang datang dari arah siswa. Dalam contoh ini, yang
belajar hanya siswa bukan guru. Dalam masyarakat belajar, dua kelompok (atau
lebih) yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran akan saling belajar.
Seseorang yang terlibat dalam kegiatan masyarakat belajar memberi informasi
yang diperlukan oleh teman bicaranya dan sekaligus juga meminta informasi yang
diperlukan dari teman belajarnya.
e.
Pemodelan (Modeling)
Komponen PK selanjutnya adalah pemodelan.
Maksudnya, dalam sebuah pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu,
ada model yang dapat ditiru. Guru bukan satu-satunya model. Model dapat di-rancang
dengan melibatkan siswa. Seorang siswa dapat ditunjuk untuk memberi contoh
temannya cara melafalkan suatu kata. Jika kebetulan ada siswa yang pernah
memenangkan lomba baca puisi atau memenangkan kontes berbahasa Jepang, siswa itu dapat ditunjuk untuk
mende-monstrasikan keahliannya. Siswa contoh tersebut dikatakan sebagai
model. Siswa lain dapat menggunakan model tersebut sebagai standar kompetensi yang harus
dicapainya.
f. Refleksi (Reflection)
Refleksi
juga bagian penting dalam pembelajaran dengan penerapan PK. Refleksi adalah
cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang
tentang apa-apa yang sudah dilakukan pada masa yang lalu. Siswa mengendapkan
apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru, yang
merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Refleksi merupakan
respons terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima.
Misalnya, ketika pelajaran berakhir, siswa merenung "Kalau begitu, cara
saya mengembangkan paragraf selama ini salah, ya! Mestinya, dengan cara yang
baru saya pelajari ini, paragraf-paragraf yang saya buat lebih menarik dan sistematis."
Pengetahuan
yang bermakna diperoleh dari proses. Pengetahuan dimiliki siswa diperluas
melalui konteks pembelajaran yang kemudian diperluas sedikit-demi sedikit. Guru
atau orang dewasa membantu siswa membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan
yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan yang baru. Dengan begitu, siswa
merasa memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya tentang apa yang baru
dipelajarinya.
Kunci dari itu semua adalah, bagaimana
pengetahuan itu mengendap dalam sistem kognisi siswa. Siswa mencatat apa yang
sudah dipelajari dan bagaimana merasakan ide-ide baru.
Pada akhir
pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi.
Realisasinya dapat berupa: (1) pernyataan langsung tentang apa-apa yang
diperolehnya hari itu, (2) catatan atau jumal di buku siswa;, (3) kesan dan
saran siswa mengenai pembelajaran hari itu, (4) diskusi, atau (5) hasil karya.
g. Penilaian yang Sebenarnya (Authentic Assessment)
Assessment adalah proses pengumpulan berbagai data
yang dapat memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran
perkem-bangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar dapat memastikan
bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Apabila data yang
dikumpulkan guru mengidentifikasikan bahwa siswa mengalami kesulitan dalam
belajar, maka guru segera dapat mengambil tindakan yang tepat agar siswa
terbebas dari kesulitan belajar. Karena gambaran tentang kemajuan belajar itu
diperlukan di sepanjang proses pem-belajaran, maka assessment tidak
dilakukan pada akhir periode (semester) pembelajaran seperti pada kegiatan
evaluasi hasil belajar, tetapi dilakukan bersama dengan secara terintegrasi
(tidak terpisahkan) dari kegiatan pembelajaran.
Data yang dikumpulkan melalui kegiatan
penilaian (assessment) bukanlah untuk mencari informasi tentang belajar
siswa. Pembelajaran yang benar memang seharusnya ditekankan pada upaya membantu
siswa agar mampu mempelajari (leaming how to leam) bukan
ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin informasi di akhir periode
pembelajaran.
Karena assessment menekankan proses
pembelajaran, maka data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata
yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajaran. Guru yang ingin
mengetahui perkembangan belajar bahasa para siswanya, misalnya, harus
mengumpulkan data dari kegiatan nyata saat para siswa berkomunikasi menggunakan
bahasa Jepang, bukan pada saat para siswa mengerjakan tes bahasa Jepang.
3. Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Bahasa
Jepang
Mengingat bahwa
hakikat Pendekatan Kontekstual adalah pendekatan pembelajaran dalam rangka
mendekatkan siswa kepada realita. Secara sepintas
memunculkan kepesimisan untuk bisa menerapkan pendekatan ini di dalam
pembelajaran bahasa asing. Agar
kepesimisan tersebut tidak terjadi atau berlanjut, barangkali kita harus berani
membuka diri untuk segala kemungkinan yang ada.
Karena, realita yang dimaksud dalam “konteks” PK bisa saja kita peroleh
di mana-mana berkat kemajuan teknologi saat ini. Jadi, yang terpenting adalah bagaimana
memahami PK ini secara lebih luas tapi praktis.
Sebagai sebuah pandangan awal,
pengimplementasian PK dalam pembelajaran Bahasa Jepang yang berikut cenderung
diarahkan pada pembelajaran yang sifatnya tematik integratif. Untuk pembelajaran yang sifatnya diskret,
mudah-mudah bisa segera menyusul pada tulisan-tulisan berikutnya.
a. Penggunaan Silabus Konteks (Bamen
Sirabasu)
Di dalam metodologi pembelajaran bahasa
Jepang, setidaknya terdapat empat buah silabus yang menunjukkan langsung arah
dan tujuan dari sebuah proses pembelajaran.
Salah satunya adalah silabus konteks/ bamen sirabasu. Bamen sirabasu merupakan silabus
melandaskan proses pembelajaran pada konteks.
Konteks berusaha mendekatkan siswa dengan dunia nyata. Pendek kata,
materi yang diberikan dikemas berdasarkan dengan konteks supaya siswa lebih
merasakan manfaat praktis dari materi yang dipelajarinya.
b. Penggunaan Media Audio-Video
Mengingat hakikat dari PK adalah realita,
maka akan sulit jika pengajar bahasa asing diajak untuk memberikan realita kepada
siswanya. Untuk itu, peran media
pembelajaran seperti video sangatlah dibutuhkan. Karena, media video bisa memberikan
pengalaman belajar langsung kepada siswa berupa pengalaman menyaksikan, mendengar, bahkan
memungkinkan juga memberikan pengalaman merasakan.
Misalnya, pada suatu pertemuan; siswa
diberikan materi dengan tata bahasa (bunkei)
“~to~to~dochira ga~, ~nohouga~, ~tekara,
~wa~yori~”. Setelah sekilas
diberikan penjelasan tentang penggunaan bunkei
ini, siswa diinstruksikan untuk menonton sebuah video yang di dalamnya terdapat
contoh-contoh penggunaan bunkei yang
baru saja mereka pelajari. Setelah itu,
secara berkelompok ataupun pribadi siswa melaporkan hasil kegiatan menontonnya.
Setelah didapat laporan yang cukup (tergantung guru), siswa diarahkan untuk
mendiskusikan tentang laporan temuan mereka tadi. Pada akhir perkuliahan seperti ini, guru
membantu siswa menyimpulkan apa-apa yang telah mereka temukan dari tayangan
video, tentunya dalam hubungannya dengan materi/ bunkei pada pertemuan terkait.
c. Penggunaan Metode Kolaboratif
Sebagai pendekatan yang mengarahkan siswa
kepada realita, maka fungsi sosial kelas tentunya sangatlah berpengaruh dalam
pencapaian tujuan pembelajaran. Fungsi
sosial ini mengacu pada interaksi antara individu-individu, individu-kelompok,
kelompok-kelompok di dalam kelas. Dengan
adanya peran fungsi seperti ini diharapkan tentunya akan menyerap lebih banyak
pengetahuan.
Pemerolehan pengetahuan yang banyak,
tentunya juga harus dibarengi dengan tingkat keakuratan/ keobjektifan yang
baik. Untuk itu, diperlukan sejenis
metode pembelajaran, seperti metode pembelajaran kolaborasi. Dengan penggunaan ini, diharapkan pengetahuan
tidak terbangun seperti sebuah paduan suara, tapi terbangun berdasarkan
berbagai perbandingan, pertimbangan, sehingga pengetahuan baru yang diperoleh
jadi lebih solid dan kokoh. Karena itu,
kolaborasi mesti dipahami sebagai sebuah sistem “tambah-kurang” dalam proses
menjadi lebih baik.
d. Pembelajaran Berbasis Teks
Keberadaan teks di
dalam proses pembelajaran bahasa Jepang sangat penting. Terutama untuk model
yang dijadikan pedoman sekaligus untuk produk yang ingin dihasilkan. Hal ini
bisa mengurangi pengaruh interferensi bahasa ibu. Sebab, ketika tidak ada teks
yang bisa dijadikan model, kemungkinan besar pembelajar akan melakukan
terjemahan dalam menghasilkan/memproses pengeluaran bahasa Jepang.
Di samping itu,
melalui pembelajaran berbasis teks, guru juga lebih mudah mengontrol komposisi
dan kompetensi yang ingin dicapai. Sebab, produk/luaran bisa dicermati kapan
saja. Jadi, proses evaluasi bisa berjalan dengan baik dan terhindar dari
factor-faktor subjektif yang sering terjadi jika luaran berupa sikap dan lisan.
C.
PENUTUP
Pendekatan Kontekstual sangat relevan
dengan pendekatan pembelajaran bahasa yang sangat populer dan masih terpakai
hingga sekarang yaitu Pendekatan Komunikatif. Dengan demikian, Pendekatan
Kontekstual dapat diterapkan untuk melengkapi Pendekatan Komunikatif dalam
pembelajaran bahasa dan sastra. Pendekatan Kontekstual mewadahi konteks pembelajaran agar
pembelajaran sesuai dengan realitas kehidupan (real-life situation)
sedangkan Pendekatan Komunikatif mewadahi arah keterampilan komunikasi apa yang
akan dikembangkan, yaitu (1) mendengarkan atau menyimak, (2) berbicara, (3)
membaca, dan (4) menulis.
D. Referensi
Crawford,
Michael. 2001. Teaching in Context Builds Understanding. (dalam Contextual
Teaching Exchange. www. Contextualteaching. networkcard.org.html.
Depdiknas.
2002. Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning (CTL)). Jakata:
Depdiknas, Dirjen PDM, Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama.
Johnson, Elaine. 2002. Contextual Teaching and Learning.
California: Corwin Press Inc,.
Sanjaya, Wina. 2009. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar
Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana.
No comments:
Post a Comment