Saturday, October 13, 2012

PENDEKATAN KONTEKSTUAL DAN PENGIMPLEMENTASIANNYA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA JEPANG (Sebuah Tinjauan Awal)

Abstrak
Pada dasarnya, pendekatan kontekstual bertujuan untuk mendekatkan siswa dengan dunia nyata. Artinya, dengan pendekatan kontekstual siswa diharapkan bisa merasakan langsung manfaat praktis dari materi-materi yang dia pelajari. Hal ini bisa dilihat dari unsur-unsur pendekatan kontekstual, yaitu; konstruktivisme, menemukan, bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian yang sebenarnya. Oleh karena itu, tulisan ini mengulas perangkat-perangkat pembelajaran berbahasa Jepang dengan menggunakan pendekatan kontekstual. Perangkat tersebut adalah; silabus konteks, media audio-video, metode kolaboratif, pembelajaran berbasis teks.
Kata Kunci: Kontekstual., Konteks., Kolaboratif., Teks.        
(Ditampilkan pada seminar nasional dan lokakarya pembelajaran bahasa Jepang yang kreatif dan inovatif di UNP, Padang 2013)
A.    PENDAHULUAN
Bukan rahasia lagi bahwa peluncuran kurikulum, selalu menimbulkan berbagai reaksi, di antaranya kebingungan di antara guru, bahkan kekaburan konsep. Hal itu, terutama, disebabkan oleh pemberlakuan pendekatan pembelajaran lain sejalan dengan pemberlakuan kurikulum sebelumnya, seperti Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, dan Kurikulum 1994. Pendekatan-pendekatan yang dimaksudkan adalah Pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), Pendekatan Keterampilan Proses (KP), dan   Pendekatan (Kompetensi) Komunikatif.  Kekaburan konsep semakin bertambah karena berbagai istilah yang tumpang-tindih dalam hal pendekatan pembelajaran pun banyak bermunculan, seperti munculnya istilah Pendekatan Konstruktivistik, Pendekatan Inquiri, dan sebagainya. Belum tuntas masalah ini, bermunculan pula istilah lain dalam proses pembelajaran, seperti PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan) dan PAKEMI (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, Menyenangkan, dan Inovatif).
Efek kebingungan guru terhadap konsep-konsep pendekatan cenderung negatif. Ada sekelompok guru yang menarik simpulan dangkal, misalnya, “Ah, semua itu sama saja, hanya ganti nama”. Ada sekelompok guru yang menyimpulkan, “Pendekatan Kontekstual itu sama dengan Pendekatan Anu (misalnya CBSA atau Keterampilan Proses). Padahal, dari segi semantik dan sosiolinguistik, terdapat pandangan yang tegas bahwa tidak ada dua atau beberapa kata yang benar-benar sama, meskipun bersinonim.

B.    ISI/ PEMBAHASAN
1.   Sejarah Singkat Pendekatan Kontekstual (PK)
Istilah Pendekatan Kontekstual diserap dari istilah Contextual Teaching and Learning sehingga dalam literatur asing lazim disingkat menjadi CTL. PK mulai populer dan menjadi bahan diskusi di antara pakar pembelajaran di Amerika Serikat pada tahun 2000-an. Meskipun begitu, pemikiran tentang PK ini sebenarnya bukanlah pemikiran yang baru. Alfred North Whitehead (Johnson, 2002: 1) misalnya, pernah mengungkapkan pemikirannya pada tahun 1929, “Nilai  penting ilmu pengetahuan terletak dalam nilai gunannya, dalam cara kita menguasainya”.
Crawford (2001: 1) secara ringkas menyatakan bahwa PK merupakan usaha untuk mengubah pendekatan pembelajaran tradisional yang lazim memiliki tiga karakteristik. Karakteristik tersebut adalah: (1) pembelajaran menekankan pada tugas menghafal, (2) pembelajaran cenderung menekankan pada pemberian latihan yang berbentuk dikte, dan (3) pembelajaran cenderung diakhiri dengan tes yang menghendaki siswa mengungkapkan kembali (recall) apa yang telah dihafal siswa. Sementara itu, dari sudut pandang siswa dikatakan bahwa PK bisa membantu siswa mengembangkan kemampuannya secara maksimal.  
Pada tahun 2001, akhirnya The Washington State Concortim for Con-textual Teaching and Learning, yang melibatkan 11 perguruan tinggi, 20 sekolah, dan lembaga-lembaga yang bergerak dalam dunia pendidikan di AS mendeklarasikan Contextual Teaching and Learning. Pada tahun 2002, konsorsium ini memberikan pelatihan kepada guru-guru di enam pro-pinsi di Indonesia dan mulailah PK (CTL) ini masuk ke Indonesia.
Di Indonesia, PK dipersiapkan sebagai salah satu pendekatan pembelajaran sesuai dengan tuntuan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Menurut Depdiknas (2002: 2) pendayagunaan PK dilandasi oleh empat hal.
Pertama, adanya kenyataan bahwa dalam sistem pendidikan di Indonesia (juga beberapa negara lainnya) masih didominasi oleh pan-dangan bahwa pengetahuan merupakan seperangkat fakta yang harus di-hafal. Guru masih ditempatkan sebagai sumber utama (bahkan mungkin di beberapa sekolah) guru ditempatkan sebagai satu-satunya sumber) informasi, sehingga pendayagunaan teknik ceramah mendominasi proses pembelajaran. Melalui pendayagunaan PK, diharapkan siswa tidak diharuskan menghafal serangkaian fakta tetapi terpicu untuk meng-konstruksikan pengetahuan dalam sistem kognisinya (bandingkan de-ngan konsep Pendekatan CBSA!).
Kedua, karena kecenderungan pendayagunaan teknik ceramah dan dominasi peran guru, siswa cenderung tidak mengalami sendiri proses pemerolehan pengetahuaannya. Melalui PK, siswa dipicu untuk meng-alami sendiri proses tersebut bukan melalui menghafal (bandingkan dengan konsep Pendekatan Keterampilan Proses dan CBSA).
Ketiga, adanya kenyataan bahwa pengetahuan itu dibangun oleh manusia itu sendiri. Pengembangan pengetahuan oleh manusia pada dasarnya dipicu oleh keinginannya menempatkan makna berdasarkan pengalaman yang diperolehnya. Jadi, segala yang diketahui manusia adalah segala sesuatu yang telah diperbuat oleh manusia itu sendiri. Melalui penerapan PK, diharapkan siswa dapat menemukan makna atas hal-hal yang diketahuinya dan menempatkannya secara proporsional dalam pengalamannya.
Keempat, pada dasarnya tidak ada pengetahuan yang bersifat me-netap. Pengetahuan akan berkembang terus. Segala sesuatu akan meng-alami perubahan, yang tetap adalah perubahan itu sendiri. Oleh sebab itu, melalui PK diharapkan siswa terpicu untuk selalu mengembangkan pengetahuannya, mengembangkan rasa ingin tahunya secara optimal.

2.   Unsur-Unsur Pendekatan Kontekstual
a. Konstruktivisme (Constructivism)
Constructivism (konstrukrivisme) merupakan landasan berpikir (filosofi) PK: pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui penga-laman nyata.
Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan di dalam sistem kognisi mereka sendiri. Esensi konsep konstruktivis adalah: siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka sendiri.
Dengan dasar itu, pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkonstruksi, bukan menerima pengetahuan. Dalam proses pem-belajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar dan mengajar. Siswa menjadi pusat kegiatan, bukan guru.
Landasan berpikir konstruktivisme agak berbeda dengan pandangan kaum objektivis, yang lebih menekankan pada hasil pembelajaran. Dalam pandangan konstruktivis, strategi memperoleh lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan.
Lalu, bagaimanakah penerapannya di kelas? Bagaimanakah cara merealisasikannya di kelas-kelas di sekolah kita? Pada umumnya kita juga sudah menerapkan filosofi ini dalam pembelajaran sehari-hari, yaitu ketika kita merancang pembelajaran dalam bentuk siswa bekerja, praktek mengerjakan sesuatu, berlatih secara fisik, menulis karangan, mendemonstrasikan, mencipta-kan ide, dan sebagainya.
Salah satu teknik yang lazim digunakan guru dalam mengimplementasikan penerapan elemen konstruktivisme adalah memberikan tugas kepada siswa pada suatu akhir pembelajaran (misalnya menugasi siswa mencari, membaca,  dan memahami teks) dan teks itu dibahas pada pertemuan berikutnya. Melalui teknik ini, guru menugasi siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan dan pemahamannya tentang teks sebelum pembelajaran tentang teks itu dilaksanakan.

b. Menemukan (Inquiry)
Menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis PK. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa di-harapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Guru harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan, apa pun materi yang diajarkannya. Topik mengenai adanya dua jenis penalaran, sudah seharusnya ditemukan sendiri oleh siswa, bukan menurut buku.

c. Bertanya (Questioning)
Pengetahuan yang dimiliki seseorang, selalu bermula dari bertanya. Questioning (bertanya) merupakaan strategi utama pembelajaran yang berbasis PK. Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Bagi siswa, kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis inquiri, yaitu menggali informasi, mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan meng-arahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya.

d. Masyarakat Belajar (Learning Community)
Konsep leaming community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari sharing antarteman, antarkelompok, dan antara yang tahu dengan yang belum tahu. Di ruang ini, di kelas ini, di sekitar sini, juga orang-orang yang ada di luar sana, semua adalah anggota masyarakat-belajar.
Dalam kelas PK, guru disarankan selalu melaksanakan pembelajar-an dalam kelompok-kelompok belajar. Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang anggotanya heterogen. Yang pandai mengajari yang lemah, yang tahu memberi tahu yang belum tahu, yang cepat menangkap mendorong temannya yang lambat, yang mempunyai gagasan segera memberi usul, dan seterusnya. Kelompok siswa bisa sangat bervariasi bentuknya, baik keanggotaan, jumlah, bahkan bisa melibatkan siswa di kelas atasnya, atau guru melakukan kolaborasi dengan mendatangkan seorang ahli ke dalam kelas. Misalnya tukang sablon, petani jagung, petemak susu, teknisi komputer, tukang cat mobil, tukang reparasi kunci, dan sebagainya.
Masyarakat-belajar dapat berkembang (terjadi) apabila ada proses komunikasi dua arah. "Seorang guru yang mengajari siswanya" bukan contoh masyarakat-belajar karena komunikasi hanya terjadi satu arah, yaitu informasi hanya datang dari guru ke arah siswa, tidak ada arus informasi yang perlu dipelajari guru yang datang dari arah siswa. Dalam contoh ini, yang belajar hanya siswa bukan guru. Dalam masyarakat belajar, dua kelompok (atau lebih) yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran akan saling belajar. Seseorang yang terlibat dalam kegiatan masyarakat belajar memberi informasi yang diperlukan oleh teman bicaranya dan sekaligus juga meminta informasi yang diperlukan dari teman belajarnya.

e. Pemodelan (Modeling)
Komponen PK selanjutnya adalah pemodelan. Maksudnya, dalam sebuah pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu, ada model yang dapat ditiru. Guru bukan satu-satunya model. Model dapat di-rancang dengan melibatkan siswa. Seorang siswa dapat ditunjuk untuk memberi contoh temannya cara melafalkan suatu kata. Jika kebetulan ada siswa yang pernah memenangkan lomba baca puisi atau memenangkan kontes berbahasa Jepang, siswa itu dapat ditunjuk untuk mende-monstrasikan keahliannya. Siswa contoh tersebut dikatakan sebagai model. Siswa lain dapat menggunakan model tersebut sebagai  standar kompetensi yang harus dicapainya.

f. Refleksi (Reflection)
Refleksi juga bagian penting dalam pembelajaran dengan penerapan PK. Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan pada masa yang lalu. Siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru, yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Refleksi merupakan respons terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima. Misalnya, ketika pelajaran berakhir, siswa merenung "Kalau begitu, cara saya mengembangkan paragraf selama ini salah, ya! Mestinya, dengan cara yang baru saya pelajari ini, paragraf-paragraf yang saya buat lebih menarik dan sistematis."
Pengetahuan yang bermakna diperoleh dari proses. Pengetahuan dimiliki siswa diperluas melalui konteks pembelajaran yang kemudian diperluas sedikit-demi sedikit. Guru atau orang dewasa membantu siswa membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan yang baru. Dengan begitu, siswa merasa memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya tentang apa yang baru dipelajarinya.
Kunci dari itu semua adalah, bagaimana pengetahuan itu mengendap dalam sistem kognisi siswa. Siswa mencatat apa yang sudah dipelajari dan bagaimana merasakan ide-ide baru.
Pada akhir pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi. Realisasinya dapat berupa: (1) pernyataan langsung tentang apa-apa yang diperolehnya hari itu, (2) catatan atau jumal di buku siswa;, (3) kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran hari itu, (4) diskusi, atau (5) hasil karya.

g. Penilaian yang Sebenarnya (Authentic Assessment)
Assessment adalah proses pengumpulan berbagai data yang dapat memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkem-bangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar dapat memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Apabila data yang dikumpulkan guru mengidentifikasikan bahwa siswa mengalami kesulitan dalam belajar, maka guru segera dapat mengambil tindakan yang tepat agar siswa terbebas dari kesulitan belajar. Karena gambaran tentang kemajuan belajar itu diperlukan di sepanjang proses pem-belajaran, maka assessment tidak dilakukan pada akhir periode (semester) pembelajaran seperti pada kegiatan evaluasi hasil belajar, tetapi dilakukan bersama dengan secara terintegrasi (tidak terpisahkan) dari kegiatan pembelajaran.
Data yang dikumpulkan melalui kegiatan penilaian (assessment) bukanlah untuk mencari informasi tentang belajar siswa. Pembelajaran yang benar memang seharusnya ditekankan pada upaya membantu siswa agar mampu mempelajari (leaming how to leam) bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin informasi di akhir periode pembelajaran.
Karena assessment menekankan proses pembelajaran, maka data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajaran. Guru yang ingin mengetahui perkembangan belajar bahasa para siswanya, misalnya, harus mengumpulkan data dari kegiatan nyata saat para siswa berkomunikasi menggunakan bahasa Jepang, bukan pada saat para siswa mengerjakan tes bahasa Jepang.

3.   Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Bahasa Jepang
Mengingat bahwa hakikat Pendekatan Kontekstual adalah pendekatan pembelajaran dalam rangka mendekatkan siswa kepada realita.  Secara sepintas memunculkan kepesimisan untuk bisa menerapkan pendekatan ini di dalam pembelajaran bahasa asing.  Agar kepesimisan tersebut tidak terjadi atau berlanjut, barangkali kita harus berani membuka diri untuk segala kemungkinan yang ada.  Karena, realita yang dimaksud dalam “konteks” PK bisa saja kita peroleh di mana-mana berkat kemajuan teknologi saat ini.  Jadi, yang terpenting adalah bagaimana memahami PK ini secara lebih luas tapi praktis.
Sebagai sebuah pandangan awal, pengimplementasian PK dalam pembelajaran Bahasa Jepang yang berikut cenderung diarahkan pada pembelajaran yang sifatnya tematik integratif.  Untuk pembelajaran yang sifatnya diskret, mudah-mudah bisa segera menyusul pada tulisan-tulisan berikutnya. 
a.    Penggunaan Silabus Konteks (Bamen Sirabasu)
Di dalam metodologi pembelajaran bahasa Jepang, setidaknya terdapat empat buah silabus yang menunjukkan langsung arah dan tujuan dari sebuah proses pembelajaran.  Salah satunya adalah silabus konteks/ bamen sirabasuBamen sirabasu merupakan silabus melandaskan proses pembelajaran pada konteks.  Konteks berusaha mendekatkan siswa dengan dunia nyata. Pendek kata, materi yang diberikan dikemas berdasarkan dengan konteks supaya siswa lebih merasakan manfaat praktis dari materi yang dipelajarinya.   

b.   Penggunaan Media Audio-Video
Mengingat hakikat dari PK adalah realita, maka akan sulit jika pengajar bahasa asing diajak untuk memberikan realita kepada siswanya.  Untuk itu, peran media pembelajaran seperti video sangatlah dibutuhkan.  Karena, media video bisa memberikan pengalaman belajar langsung kepada siswa berupa pengalaman menyaksikan, mendengar, bahkan memungkinkan juga memberikan pengalaman merasakan.
Misalnya, pada suatu pertemuan; siswa diberikan materi dengan tata bahasa (bunkei) “~to~to~dochira ga~, ~nohouga~, ~tekara, ~wa~yori~”.  Setelah sekilas diberikan penjelasan tentang penggunaan bunkei ini, siswa diinstruksikan untuk menonton sebuah video yang di dalamnya terdapat contoh-contoh penggunaan bunkei yang baru saja mereka pelajari.  Setelah itu, secara berkelompok ataupun pribadi siswa melaporkan hasil kegiatan menontonnya. Setelah didapat laporan yang cukup (tergantung guru), siswa diarahkan untuk mendiskusikan tentang laporan temuan mereka tadi.  Pada akhir perkuliahan seperti ini, guru membantu siswa menyimpulkan apa-apa yang telah mereka temukan dari tayangan video, tentunya dalam hubungannya dengan materi/ bunkei pada pertemuan terkait.

c.    Penggunaan Metode Kolaboratif
Sebagai pendekatan yang mengarahkan siswa kepada realita, maka fungsi sosial kelas tentunya sangatlah berpengaruh dalam pencapaian tujuan pembelajaran.  Fungsi sosial ini mengacu pada interaksi antara individu-individu, individu-kelompok, kelompok-kelompok di dalam kelas.  Dengan adanya peran fungsi seperti ini diharapkan tentunya akan menyerap lebih banyak pengetahuan. 
Pemerolehan pengetahuan yang banyak, tentunya juga harus dibarengi dengan tingkat keakuratan/ keobjektifan yang baik.  Untuk itu, diperlukan sejenis metode pembelajaran, seperti metode pembelajaran kolaborasi.  Dengan penggunaan ini, diharapkan pengetahuan tidak terbangun seperti sebuah paduan suara, tapi terbangun berdasarkan berbagai perbandingan, pertimbangan, sehingga pengetahuan baru yang diperoleh jadi lebih solid dan kokoh.  Karena itu, kolaborasi mesti dipahami sebagai sebuah sistem “tambah-kurang” dalam proses menjadi lebih baik.  

d.   Pembelajaran Berbasis Teks
Keberadaan teks di dalam proses pembelajaran bahasa Jepang sangat penting. Terutama untuk model yang dijadikan pedoman sekaligus untuk produk yang ingin dihasilkan. Hal ini bisa mengurangi pengaruh interferensi bahasa ibu. Sebab, ketika tidak ada teks yang bisa dijadikan model, kemungkinan besar pembelajar akan melakukan terjemahan dalam menghasilkan/memproses pengeluaran bahasa Jepang.
Di samping itu, melalui pembelajaran berbasis teks, guru juga lebih mudah mengontrol komposisi dan kompetensi yang ingin dicapai. Sebab, produk/luaran bisa dicermati kapan saja. Jadi, proses evaluasi bisa berjalan dengan baik dan terhindar dari factor-faktor subjektif yang sering terjadi jika luaran berupa sikap dan lisan.

C.    PENUTUP
Pendekatan Kontekstual sangat relevan dengan pendekatan pembelajaran bahasa yang sangat populer dan masih terpakai hingga sekarang yaitu Pendekatan Komunikatif. Dengan demikian, Pendekatan Kontekstual dapat diterapkan untuk melengkapi Pendekatan Komunikatif dalam pembelajaran bahasa dan sastra. Pendekatan Kontekstual mewadahi konteks pembelajaran agar pembelajaran sesuai dengan realitas kehidupan (real-life situation) sedangkan Pendekatan Komunikatif mewadahi arah keterampilan komunikasi apa yang akan dikembangkan, yaitu (1) mendengarkan atau menyimak, (2) berbicara, (3) membaca, dan (4) menulis.

D.    Referensi
Crawford, Michael. 2001. Teaching in Context Builds Understanding. (dalam Contextual Teaching Exchange. www. Contextualteaching. networkcard.org.html.
Depdiknas. 2002. Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning (CTL)). Jakata: Depdiknas, Dirjen PDM, Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama.
Johnson, Elaine. 2002. Contextual Teaching and Learning. California:     Corwin Press Inc,.

Sanjaya, Wina.  2009. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana.

No comments:

Post a Comment