Sunday, November 22, 2020

MANGAJI TUBUAH (Pendekatan Tradisional dalam Memahami Hakikat Adat Minangkabau)

Mangaji tubuah itu apa?

Bagi orang Minang yang mendapatkan pendidikan adat (adaik) secara tradisional, tidak akan asing dengan istilah mengaji tubuh (mangaji tubuah). Dalam mangaji tubuah, adaik dianalogikan dengan “nyawo/marwah”, sesuatu yang wujudnya tidak diketahui tapi menjadi penentu “hidup/tidaknya” seseorang. Nyawo/marwah ini dipercaya berada di dalam sebuah lembaga (limbago) yang dianalogikan dengan tubuh (tubuah). Jadi, mangaji tubuah merupakan aktivitas pengkajian terhadap tubuah (limbago) yang dilakukan sebagai upaya untuk memahami hakikat dari nyawo/marwah (adaik).

 

Mengapa mangaji tubuah?

Di atas sudah disinggung sekilas bahwa adaik disebut sebagai nyawo/marwah, yang tidak nampak, tidak dapat diukur, abstrak sehingga susah untuk dipahami. Oleh karena itu, untuk dapat memahami adaik, kita harus mengkaji dari yang dapat dilihat, dapat diukur, tidak abstrak/konkret, yaitu tubuah (limbago). Apalagi, tubuah dipercaya sebagai tempat bersemayamnya nyawo/marwah (adaik) tersebut. Di samping itu, dalam konteks keadaan yang seperti ini, pepatah Minang juga memberikan petunjuk melalui ungkapan “lahia manunjuakkan batin” (artinya: lahir menunjukkan batin).

 

Bagaimana cara mangaji tubuah?

Indikator yang dapat digunakan dalam mangaji tubuah ada dua, yaitu qudaraik dan iradaik. Sama seperti kata “adaik” yang diambil dari kata “adat” bahasa Arab, kata “qudaraik” dan “iradaik” pun demikian, diambil dari kata “qudrat” dan “iradat” bahasa Arab. Akan tetapi, dalam penggunaannya, baik secara bentuk lingual maupun secara makna telah terjadi pergeseran (khususnya makna qudaraik). Oleh karena itu, sesuai dengan pergeseran bentuk lingual dari qudrat dan iradat menjadi qudaraik dan iradaik, maka makna kedua kata ini juga mengacu pada makna yang lazim digunakan di dalam kehidupan orang Minang.

Di dalam kehidupan orang Minang tradisional, kata qudaraik banyak digunakan ketika seseorang berhadapan dengan situasi/keadaan tidak berdaya. Contoh penggunaan yang sering muncul adalah “ondeh, abih qudaraik den” (artinya: aduh, habis daya saya/capai saya/tidak kuat saya). Dari contoh ini dapat dipahami bahwa makna kata qudaraik yang sering digunakan orang Minang mengacu kepada “daya/potensi/kemampuan”. Sementara itu, penggunaan kata “iradaik” tidak mengalami pergeseran yang berarti dari makna aslinya, tetap diartikan sebagai keinginan-keinginan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa mengaji qudaraik dan iradaik dalam konteks mangaji tubuah ini dapat diartikan sebagai mengaji daya/potensi/kemampuan dan keinginan manusiawi manusia.

Daya/potensi/kemapuan (qudaraik) mata bisa digunakan untuk melihat keindahan alam juga bisa digunakan untuk melirik istri orang. Qudaraik mulut bisa digunakan untuk melantunkan ayat-ayat Al-Quran juga bisa digunakan untuk melemparkan cacian dan makian. Qudaraik tangan bisa digunakan untuk menolong juga bisa digunakan untuk memukul orang. Qudaraik kaki bisa dilangkahkan ke mesjid juga bisa dilangkahkan ke tempat-tempat maksiat. Artinya, yang namanya manusia, siapapun dia berpotensi untuk berbuat baik dan buruk. Bahkan, berpotensi menjadi baik dan menjadi buruk. Sementara itu, keinginan (iradaik) semua manusia cenderung mengarah kepada satu sisi saja, yaitu: kalau melihat ingin yang indah, mendengar ingin yang merdu, merasa ingin yang enak. Intinya, jika mengikuti iradaik manusia, maka semua yang baik-baik akan diborongnya.  Inilah yang di dalam pepatah Minang disampaikan melalui ungkapan “condong mato ka nan rancak, tunggang salero ka nan lamak” (artinya: kecenderungan mata mengarah kepada yang indah, kecenderungan selera mengarah kepada yang enak).

Berdasarkan keterangan di atas, dapat dipahami bahwa ketika iradaik yang selalu menginginkan yang baik-baik muncul, maka saat itu terjadi peperangan di dalam diri manusia. Qudaraik baik akan berperang dengan qudaraik buruk. Pada saat itu, apakah yang terjadi? Kecenderungannya adalah sifat manusiawi manusia yang tidak pernah puas akan membantu qudaraik buruk memenangkan peperangan. Khususnya ketika berhadapan dengan persoalan pemenuhan kebutuhan, mulai dari pemenuhan kebutuhan paling mendasar hingga keinginan-keinginan yang sebenarnya tidak begitu dibutuhkan. Artinya, akan banyak orang yang dengan sadar menggunakan qudaraik negatifnya; ada si miskin yang karena kebutuhan dengan sadar mengambil hak orang, ada juga si kaya yang karena ingin lebih (sebenarnya tidak butuh) memanfaatkan qudariknya untuk merebut istri orang, atau bahkan mengorbankan kebutuhan spritual orang lain supaya dia dapat memenuhi kebutuhan spritualnya. Artinya, banyak kebaikan yang akan diupayakan dengan cara-cara yang tidak baik.

 

Lalu, apa perlunya memahami bahwa kita punya qudaraik (baik dan buruk) dan iradaik melalui mangaji tubuah?

Memahami bahwa kita memiliki qudaraik dan iradaik melalui mangaji tubuah penting karena dua hal. Pertama, supaya kita menyadari bahwa orang lain sebenarnya adalah refleksi dari diri kita. Artinya, kita tidak akan mencubit orang karena kita sadar bahwa dicubit itu sakit, kita tidak akan mau menjadi pelakor atau pebinor karena kita sadar betul bahwa kehilangan orang yang dicintai itu sangat menyakitkan, kita tidak akan melanggar norma karena kita menyadari bahwa norma itu ada, juga untuk menghargai dan menjaga hak-hak kita. Mangaji tubuah membuat kita dapat merasakan itu sehingga kesadaran untuk beradat itu lahir bukan karena faktor-faktor eksternal, tapi karena datang dari dalam diri sendiri. Jika ini terjadi, maka kehidupan bermasyarakat yang harmonis akan mudah terwujud karena orang akan berpikir sebelum berbuat, dan berpikir sebelum berkata. Orang akan memegang teguh prinsip hidup bermasyarakat “lamak di awak katuju di urang” (artinya: baik untuk saya dan semua orang).

Kedua, kita beradat karena faktor-faktor sosial, karena ada orang lain, bukan karena kesadaran individu seperti diaparkan di atas. Buktinya dapat kita temukan dari kenyataan sehari-hari yang tidak dapat kita dustakan. Misalnya, banyak laki-laki kita yang tidak malu ketika ditangkap polisi karena menerobos lampu merah. Saat ditanya:

Polisi : Ndak nampak lampu merah tu, Nak?

Anak : Lai, Pak.

Polisi  : Manga kok jalan taruih?

Anak : Dek ndak nampak Apak.

 

Atau dari perempuan kita yang tidak malu berdaster tipis saat sedang antri menunggui Abang Tukang Bakso di depan rumah:

Bapak         : Ka ma jilbab ko?

Ibu              : Kan cuma di muko rumah, Yah. Ndak jauah-jauah, do.

 

Jika mematuhi aturan lalu lintas hingga berpakaian itu adalah bagian dari perilaku orang beradat, fenomena di atas jelas mengindikasikan bahwa kita selama ini beradat karena orang lain bukan karena kesadaran individu. Bukti lain yang juga dengan mudah dapat kita temukan adalah bahwa betapa mudahnya kita melupakan aib yang kita buat hanya dengan berpindah dari tempat berbuat ke tempat lain. Alasannya, karena di tempat baru tidak ada yang tahu, mengapa harus malu? Seolah-olah malu itu melekat pada tempat bukan pada diri kita, si pembuat malu.

 

Hahaha, iya juga, ya. Lalu, sampai kapan kita harus mangaji tubuah?

Selama masih berlaku “condong mato ka nan rancak, tunggang salero ka nan lamak”, maka mangaji tubuah itu penting. Para tetua Minang (tuo adaik) mengatakan, “baradaik tu sapanjang hiduik, Nak” (artinya: beradat itu sepanjang hayat, Nak).

 

Terakhir, bisakah konsep “mangaji tubuah” di atas dihubungkan dengan konsep keilmuan?

Konsep mangaji tubuah dapat dihubungkan setidaknya dengan dua konsep keilmuan. Pertama, dengan teori ilmu budaya homo humanus, homo sapient, homo eticus, homo esteticus, atau teori sistem budaya Koentjaraningrat. Misalnya, jika dihubungkan dengan teori budaya Koentjaraningrat, maka adaik adalah sistem nilai, dan limbago adalah sistem sosial dan sistem karya.

Kedua, dengan teori pembelajaran. Misalnya, teori disain kurikulum dan pembelajaran yang mengatakah bahwa kegiatan pembelajaran harus memperhatikan gradasi, yaitu dimulai dari yang mudah ke yang sudah, dari yang sederhana ke yang komplet, dari yang konkret ke yang abstrak (dari tubuh ke marwah=dari yang konkret ke yang abstrak). Artinya, mangaji tubuah sebenarnya bentuk implementasi dari prinsip disain pembelajaran kebudayaan yang sejalan dengan teori tentang disain kurikulum dan pembelajaran.

1 comment: