Saturday, October 13, 2012

Analisis Kata Berpolisemi dalam Buku Teks Minna No Nihonggo 2

A.   Latar Belakang
Sudah bukan rahasia lagi, selain kanji, makna merupakan masalah rumit yang akhir-akhir ini banyak menjadi pembicaraan para pembelajar bahasa Jepang. Masalah ini sangat terasa ketika pembelajar mencoba menerjemahkan buku-buku teks, novel, dan lain-lain. Banyak sekali penggunaan kata-kata yang terasa tidak pada tempatnya sehingga menimbulkan kesan rancu. Tanggapan pembelajar terhadap fenomena makna ini pun beragam, salah satunya adalah, ada yang berpendapat mungkin saja terjadi kesalahan pada waktu proses pengetikan. Ujung-ujungnya, mereka mengira-ngira dan merubah sendiri dengan kata-kata yang menurut mereka tepat demi keperluan penerjemahan.
Efek terburuk akibat kebingungan di atas adalah munculnya efek psikologis yang tidak perlu, seperti ketakutan mahasiswa terhadap mata kuliah yang terkait dengan masalah makna, khususnya mata kuliah terjemahan. Mata kuliah honyaku Ni – I (terjemahan dari bahasa Jepang ke bahasa Indonesia) adalah salah satu contoh mata kuliah yang kurang diminati mahasiswa jurusan bahasa Jepang tempat penulis dulu mengikuti pendidikan S-1. Hal ini bisa terlihat dari rendahnya frekuensi kehadiran mahasiswa pada mata pelajaran ini. Satu hal yang menarik, kejadian ini sangat bertolak belakang dengan mata kuliah yang bertajuk sama-sama terjemahan, yaitu honyaku I – Ni (terjemahan dari bahasa Indonesia ke bahasa Jepang). Pada mata perkuliahan ini, mahasiswa terlihat sangat antusias, hal ini terlihat jelas dari frekuensi kehadiran mereka yang cukup tinggi.
Dari pengamatan dan wawancara penulis (saat itu termasuk salah satu mahasiswa) dengan beberapa teman-teman mahasiswa, penulis berasumsi bahwa hal ini disebabkan oleh kebingungan yang dihadapi oleh mahasiswa ketika menemukan kata-kata yang semula sudah mereka ketahui maknanya, namun menjadi rancu ketika mereka praktikkan dalam menerjemahkan tugas-tugas yang diberikan dosen. Karena tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan, sebagian besar mahasiswa menjadi malas mengikuti perkuliahan terjemahan Jepang – Indonesia tersebut. Kata-kata yang paling sering menjadi perdebatan saat itu adalah kata kerja deru, hiku, kakeru, kata benda ude, saki, dan lain-lain.
Sebenarnya, sekarangpun kalau kita sampaikan ungkapan/ kalimat berikut kepada pembelajar bahasa Jepang; a) ie wo deru, b) karada de ude ga aru, c) saki ni sitsureishimasu, lalu kita minta mereka menerjemahkannya. Bisa dipastikan bahwa mereka dengan mudah akan bisa menemukan arti ungkapan/ kalimat tersebut. Contoh a akan langsung diartikan dengan “keluar rumah”, contoh b dengan “di tubuh ada lengan”, contoh c dengan “permisi saya duluan”. Hal ini tidak hanya karena ungkapan/ kalimat di atas familiar bagi mereka, tetapi juga karena mudah menemukan maknanya di kamus-kamus bahasa Jepang.
Akan lain halnya jika kita mengetengahkan ungkapan atau kalimat berikut; a) kono sina wa yoku deru, b) kare wa ude ga agaru, c) kare wa mada saki ga nagai. Bisa dipastikan sebagian besar dari mereka akan merasa kebingungan bahkan merasa heran dengan penggunaan kata-kata pada ungkapan/ kalimat tersebut, meskipun mereka telah mengetahui arti setiap kata yang ada. Berbeda dengan contoh a pada paragraf sebelumnya, kata kerja deru pada contoh a di sini memiliki arti “laris”, kata ude pada contoh b berarti “kebolehan/ kemampuan”, dan kata saki pada contoh c berarti “masa depan. Ujung-ujungnya, bermunculanlah pertanyaan-pertanyaan berikut; mengapa maknanya bisa berubah seperti itu? Apa alasannya?
Pertanyaan-pertanyaan seperti di atas, sebenarnya adalah salah satu faktor penting yang mendorong lahirnya linguistik kognitif. Menurut linguistik kognitif, fenomena perubahan, pergeseran makna ini tidak terjadi begitu saja, seperti halnya teori linguistik lainnya yang mengatakan bahasa itu arbiter (mana suka). Perubahan, atau pergeseran makna pasti dilatar belakangi oleh sesuatu, walaupun sifatnya kadang pragmatis, tetapi bisa dijelaskan dengan teori linguistik kognitif. Melalui linguistik kognitif diharapkan para pembelajar bahasa, khususnya bahasa asing terbantu dalam memahami makna mulai dari kosa kata, kalimat, sampai pada kalimat yang menggunakan majas/ gaya bahasa.
Senada dengan linguitik kognitif, banyak teori lain yang juga diketengahkan pakar linguistik untuk menjelaskan tentang fenomena makna ini. Alwasilah (2008: 65) menyatakan bahwa untuk menemukan makna yang tepat dari sebuah ujaran, kita harus terlebih dahulu mengamati referensinya. Referensi itu adalah: referent, extension, prototype, stereotype, coreference, anaphora, dan deixis.  Kemudian, Kunihiro (1996: 97) seorang ahli linguistik bahasa Jepang juga memberikan pendapatnya terkait masalah fenomena perubahan makna tersebut. Hanya saja kunihiro lebih memfokuskan pada pembedaan fenomena polisemi (tagigo) dan homofon (dou-on-igigo), menurut Kunihiro (1996: 97) polisemi (tagigo) merupakan kata yang memiliki makna lebih dari satu, dan setiap makna tersebut ada pertautannya, sedangkan dou-on-igigo (homonim) adalah beberapa kata yang bunyinya sama tetapi memiliki makna yang berbeda, dan di antara makna-makna tersebut tidak terdapat keterpautan.
Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa polisemi merupakan istilah dalam ilmu linguistik yang digunakan untuk menyatakan sebuah kata yang bisa digunakan dalam beberapa konteks dan memiliki makna yang lebih dari satu. Misalnya, kata “bunga” di dalam bahasa Indonesia bisa disebut polisemi.  Karena bisa digunakan dalam berbagai konteks kalimat dan memiliki banyak makna sesuai dengan konteks kalimatnya. Kata “bunga” tersebut bisa berarti tumbuhan, gadis cantik,  uang, dan lain sebagainya.
Akan tetapi, meskipun sebuah kata bisa memiliki banyak makna (polisemi), menurut linguistik kognitif, tiap makna tersebut sebenarnya masih berhubungan satu dengan lainnya. Misalnya, dua makna kata deru yaitu keluar dan laris, sebenarnya mempunyai hubungan keterkaitan. Begitu juga dengan kata ude dan saki, perubahan makna pada kedua makna kata tersebut tidak terjadi begitu saja, tetapi ada sesuatu yang melatar belakanginya. Hitomi (2006: 1) menamakan hal-hal yang melatar belakangi fenomena polisemi ini dengan istilah dougitsuke  atau motivasi, dan kunihiro (1996: 97) menyebutnya dengan istilah ketertautan makna.
Asumsinya, jika kata-kata yang berpolisemi di dalam bahasa Jepang dijelaskan keterkaitan maknanya tersebut satu-persatu, khususnya untuk kata-kata yang frekuensi penggunaannya dalam percakapan sehari-hari atau di dalam buku-buku teks dijelaskan dengan teori linguistik, barangkali akan sangat membantu mahasiswa dalam menerjemahkan dan menggunakan kata-kata berpolisemi dengan baik.

B.   Rumusan dan Batasan Masalah
Berdasarkan uraian yang melatar belakangi permasalahan di atas, penulis mencoba mengetengahkan rumusan masalah dengan poin-poin sebagai berikut:
1.   Bagaimana deskripsi makna kata-kata yang berpolisemi berdasarkan konteks kalimatnya?
2.   Bagaimana deskripsi hubungan makna antara kata-kata yang berpolisemi?
Selanjutnya, untuk lebih mempejelas arah rumusan ini, permasalahan yang dibahas dibatasi hanya pada kata-kata yang berpolisemi dalam buku teks minna no nihonggo 2.

C.   Tujuan Penelitian
Penelitian kata-kata yang berpolisemi yang ditemui di dalam buku teks bahasa Jepang minna no nihongo 2 ini bertujuan untuk:
1.   Mendeskripsikan makna kata-kata yang berpolisemi  menurut konteks kalimatnya.
2.   Mendeskripsikan hubungan antara makna kata-kata yang berpolisemi.

D.  Manfaat Penelitian
Banyak hal yang menjadi harapan ketika memulai dan mencermati permasalahan yang ada, karena itu, penulis berharap penelitian ini bisa memberikan manfaat-manfaat berikut:
1.   Memenuhi tugas mata kuliah metode penelitian.
2.   Menambah referensi penelitian tentang linguistik bahasa Jepang, khususnya tentang makna.
3.   Sebagai referensi untuk peneliti selanjutnya.

E.   Tinjauan Pustaka
Pada bagian ini, akan dibahas beberapa landasan fikiran atau pun teori-teori yang relefan dalam penelitian ini, yaitu:
Sutedi (2009: 81) mengatakan bahwa ada tiga tahap yang dilaluli dalam menganalisa perluasan makna atau polisemi, yaitu; pengkelasifikasian, menentukan makna dasar, dan mendeskripsikan hubungan antara makna-makna yang didapat. Pengkelasifikasian makna dan menentukan makna dasar bisa dilihat langsung dari kamus, dan khusus untuk perihal menentukan makna dasar, maka kamus yang digunakan adalah kamus yang memang menentukan mana yang makna dasar dan mana yang makna perluasan. Tidak bisa kamus yang mencampurkan begitu saja makna dasar dengan makna perluasan tampa penjelasan. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan kamus dasar bahasa Jepang (2002) terbitan Humaniora Utama Press, karena di kamus ini dijelaskan yang mana makna dasar dan yang mana makna perluasan, dan juga merupakan salan satu dari dua kamus yang direkomendasikan oleh salah searang ahli linguistik Jepang Kitani Naoyuki.
Selanjutnya, untuk menganalisa hubungan antara makna-makna yang ada, penulis menggunakan gaya bahasa metafora, metonimi, dan sinekdoke. Seperti yang diterapkan oleh lakoff (1987/1988) dalam mendeskripsikan perluasan makna verba bahasa Inggris take, Hitomi (2006: 46) dalam mendeskripsikan perluasan makna kata depan bahasa Inggris in.
Mengenai definisi gaya bahasa di atas, Momiyama (dalam Sutedi, 2003: 178) menjelaskan sebagai berikut; 1) metafora merupakan penyamaan sesuatu dengan sesuatu lainnya karena persamaan/ kemiripannya, 2) metonimi merupakan pengumpamaan sesuatu dengan sesuatu lainnya karena kedekatan atau adanya keterkaitan secara ruang atau waktu, 3) sinekdoke merupakan pengumpamaan sesuatu yang umum dengan yang khusus atau sebaliknya. 

F.   Metodologi
Relefan dengan topik yang telah diuraikan pada sub bab latar belakang, maka penelitian ini merupakan salah satu jenis penelitian kualitatif.  Moleong (2009: 5) mengemukakan bahwa penelitian kualitatif biasanya menggunakan minimal salah satu dari beberapa metode pengumpulan data berikut; wawancara, pengamatan, pemanfaatan dokumen. Sehubungan dengan itu, dalam pengumpulan data untuk penelitian ini penulis hanya melakukan studi kepustakaan (pengamatan dan pemanfaatan dokumen). Dengan kata lain, sumber data yang ada hanyalah sumber data tertulis.
Dari sumber data tertulis tersebut, penulis mengambil bagian-bagian yang relefan dengan topik penelitian dan memaparkannya secara deskriptif. Relefan di sini tidak hanya terbatas pada keterkaitan data dengan topik secara umum saja, tapi lebih khusus lagi kepada keterkaitan data dengan tujuan dari penelitian. Hal inilah yang disebut Moleong (2009: 225) dengan istilah satuan kajian. Deskripsi satuan kajian (data) inilah yang dianalisa keterkaitannya antara satu dengan lainnya sesuai dengan konteks dan tujuan penelitian.  

G.  Sistematika Penelitian
Penelitian ini ditulis dalam lima bab ,yaitu; bab satu (I), bab dua (II), bab tiga (III), bab empat (IV), dan bab lima (V). Bab satu (I) terbagi ke dalam sub-sub bab; Latar Belakang Masalah, rumusan dan batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian, sistematika penelitian. Bab dua (II) berisi tentang kajian mengenai teori-teori yang digunakan dalam mengupas masalah (kajian teori). Bab tiga (III) membahas tentang deskripsi kalimat yang memuat kata-kata yang berpolisemi, dan mendeskripsikan makna kata-kata tersebut sesuai dengan konteks kalimat. Bab empat (IV) menyajikan analisa tentang hubungan antara makna kata-kata yang dideskripsikan pada bab sebelumnya. Bab lima (V) merupakan bagian penutup yang berisi tetang kesimpulan dan saran.

H.  Daftar Pustaka
Metode Penelitian Kualitatif (edisi revisi). Bandung: PT Remaja Rosdakarya Alwasilah, A. Chaedar. 2008. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Sutedi, Dedi. 2003. Dasar-Dasar Linguistik Bahasa Jepang. Bandung: Humaniora Utama Press
Sutedi, Dedi. 2002. Kamus Dasar Bahasa Jepang. Bandung: Humaniora Utama Press
Sutedi, Dedi. 2009. Penelitian Pendidikan Bahasa Jepang. Bandung: Humaniora
Taniguchi, Kazumi. 2006. Ninchi Gengogaku; Manabi Eksasaizu. Toukyou: kabushiki kaisha hitsuji shobou

No comments:

Post a Comment