A. Pendahuluan
“Ganti mentri ganti kurikulum mah udah lagu komtemporernya dunia pendidikan kita, cuek aja, paling yang dibahas itu-itu juga”. “Kurikulum? Itu kan urusannya si pembuat kebijakan, urusan kita mah di kelas”. “Mau KBK, KTSP, dan lainnya, kenyataannya mah itu-itu juga, cuma beda pendekatan dalam pembelajaran doang” . Beda pendekatan? ah...paling cuma tukar nama”, toh di kelas pun pendekatan itu tergantung kita-kitanya”.
Kutipan di atas adalah “bisik-bisik” yang terjadi di kalangan guru yang bisa juga diartikan sebagai tanggapan ketika mendengar wacana tentang pengembangan dan peluncuran sebuah kurikulum baru. Saya katakan ini “bisik-bisik” adalah karena pelakunya adalah para guru yang dalam konteks di atas terkesan enggan ketika diajak untuk membahas masalah pengembangan dan perubahan kurikulum. Bagi mereka, kurikulum 1975 dengan pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) nya sama saja dengan kurikulum 1984 dengan pendekan Keterampilan proses (KP). Begitu juga dengan kurikulum 1994 yang sering kita kenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dengan Pendekatan Komunikatif (KP) nya, yang kemudian direvisi pada tahun 1996 menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dengan Pendekatan Kontekstual (PK) nya adalah hal yang sama saja. Beginilah informasi yang saya dengar langsung dalam sebuah diskusi lepas pada seminar pengembangan kurikulum mata pelajaran Bahasa Indonesia di Universitas Negeri Padang (1997).
Dari kutipan di atas, rasanya kita sudah bisa menangkap kebingungan para guru terhadap kurikulum dan pendekatan-pendekatan proses pembelajaran yang menyertai peluncurannya, atau dengan kata lain, ini adalah gambaran seberapa jauh pemahaman para guru sebagai pelaksana langsung dari kurikulum terhadap kurikulum itu sendiri. Dari itu pula, kiranya sudah dapat ditangkap (walaupun tidak mutlak), salah satu indikator yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan dan kualitas pembelajaran di negeri kita ini. Akan tetapi, meskipun demikian, hal ini tentunya tidak bisa dikatakan sepenuhnya merupakan kesalahan dari para guru tersebut ataupun dari kurikulumnya sendiri. Karena kita sama-sama tahu, bahwa guru dan kurikulum adalah dua objek yang selalu jadi bulan-bulanan ketika mutu pendidikan turun. Dan kita juga sama-sama tahu, penggantian kurikulum ataupun berbagai program yang katanya dalam rangka meningkatkan mutu guru, kenyataannya sampai saat ini belum mampu memberikan solusi yang tepat dalam meningkatkan mutu pendidikan kita.
Kembali pada kutipan di awal, serta mengingat tumpulnya program “pembulan-bulanan kurikulum dan guru”, agaknya, kita mungkin perlu bahkan mesti mencari tahu lagi, mengapa masalah ini bisa terjadi? Ada banyak faktor yang menjadi penyebab munculnya pemahaman seperti di atas (baca guru) yang mencuat saat itu, intinya kira-kira begini;
1. Guru tidak mendapatkan pemahaman yang benar ketika belajar kurikulum di perguruan keguruan tempat mereka menimba ilmu pendidikan sebelum menjadi pengajar.
2. Hanya sebahagian kecil atau guru-guru tertentu (dalam kasus ini guru yang mempunyai jabatan struktural) saja yang terlibat dalam proses perancangan dan pengembangan kurikulum.
3. Pengaruh sistem sentralisasi yang pernah diterapkan dalam dunia pendidikan di Indonesia menghambat kreatifitas guru dalam memahami dan menindak-lanjuti kurikulum.
4. Sosialisasi ketika proses pengembangan dan peluncuran kurikulum sangat kurang.
Karena keterbatasan, tulisan ini tidak akan mengupas masalah di atas secara tuntas. Topik yang diangkat hanya pada tataran isu dan prinsip dasar dalam proses pengembangan kurikulum. Dengan harapan, dengan membaca tulisan ini, setidaknya kita bisa awas dan tanggap terhadap isu-isu penting yang mesti difasilitasi dalam kurikulum, memahami prinsip-prinsip pengembangan kurikulum, lalu mampu menjalankan fungsi kurikulum secara tepat dalam menyikapi isu-isu yang berkembang dalam masyarakat.
B. Pembahasan
1. Prinsip Pengembangan Desain Kurikulum
Pengembangan kurikulum adalah istilah yang komprehensif, di dalamnya mencakup perencanaan, penerapan, dan evaluasi. Perencanaan kurikulum adalah langkah awal membangun kurikulum ketika pekerja kurikulum membuat keputusan dan mengambil tindakan untuk menghasilkan perencanaan yang akan digunakan oleh guru dan peserta didik. Penerapan Kurikulum atau biasa disebut juga implementasi kurikulum berusaha mentransfer perencanaan kurikulum ke dalam tindakan operasional. Evaluasi kurikulum merupakan tahap akhir dari pengembangan kurikulum untuk menentukan seberapa besar hasil-hasil pembelajaran, tingkat ketercapaian program-program yang telah direncanakan, dan hasil-hasil kurikulum itu sendiri.
Dalam pengembangan kurikulum, tidak hanya melibatkan orang yang terkait langsung dengan dunia pendidikan saja, namun di dalamnya melibatkan banyak orang, seperti: politikus, pengusaha, orang tua peserta didik, serta unsur – unsur masyarakat lainnya yang merasa berkepentingan dengan pendidikan. Oleh karena itu, Badan Standar Nasional Pendidikan telah menetapkan dan menyusun aturan yang harus dijadikan acuan dalam pengembangan kurikulum. Garis besarnya meliputi; a) landasan, b) prinsip berdasarkan konsep dasar penyusunan kurikulum (2006: 4-6).
a. Landasan
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Ketentuan dalam UU 20/2003 yang mengatur KTSP, adalah Pasal 1 ayat (19); Pasal 18 ayat (1), (2), (3), (4); Pasal 32 ayat (1), (2), (3); Pasal 35 ayat (2); Pasal 36 ayat (1), (2), (3), (4); Pasal 37 ayat (1), (2), (3); Pasal 38 ayat (1), (2).
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
Ketentuan di dalam PP 19/2005 yang mengatur KTSP, adalah Pasal 1 ayat (5), (13), (14), (15); Pasal 5 ayat (1), (2); Pasal 6 ayat (6); Pasal 7 ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), (7), (8); Pasal 8 ayat (1), (2), (3); Pasal 10 ayat (1), (2), (3); Pasal 11 ayat (1), (2), (3), (4); Pasal 13 ayat (1), (2), (3), (4); Pasal 14 ayat (1), (2), (3); Pasal 16 ayat (1), (2), (3), (4), (5); Pasal 17 ayat (1), (2); Pasal 18 ayat (1), (2), (3); Pasal 20.
3. Standar Isi (selanjutnya baca SI)
SI mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Termasuk dalam SI adalah : kerangka dasar dan struktur kurikulum, Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) setiap mata pelajaran pada setiap semester dari setiap jenis dan jenjang pendidikan dasar dan menengah. SI ditetapkan dengan Kepmendiknas No. 22 Tahun 2006.
4. Standar Kompetensi Lulusan (selanjutnya baca SKL)
SKL merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagaimana yang ditetapkan dengan Kepmendiknas No. 23 Tahun 2006.
b. Prinsip Pengembangan Kurikulum Berdasarkan Konsep Kerangka Dasar Kurikulum
1. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya
Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan. Memiliki posisi sentral berarti kegiatan pembelajaran berpusat pada peserta didik.
2. Beragam dan terpadu
Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, jenjang dan jenis pendidikan, serta menghargai dan tidak diskriminatif terhadap perbedaan agama, suku, budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi, dan jender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat antarsubstansi.
3. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang berkembang secara dinamis. Oleh karena itu, semangat dan isi kurikulum memberikan pengalaman belajar peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
4. Relevan dengan kebutuhan kehidupan
Pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaan.
5. Menyeluruh dan berkesinambungan
Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan antarsemua jenjang pendidikan.
6. Belajar sepanjang hayat
Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan, dan pemberdayaan peserta didik agar mampu dan mau belajar yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal, dan informal dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya.
7. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah
Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kepentingan nasional dan kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan dengan motto Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Prinsip-prinsip yang akan digunakan dalam kegiatan pengembangan kurikulum pada dasarnya merupakan kaidah-kaidah atau hukum yang akan menjiwai suatu kurikulum. Dalam pengembangan kurikulum, dapat menggunakan prinsip-prinsip yang telah berkembang dalam kehidupan sehari-hari atau justru menciptakan sendiri prinsip-prinsip baru. Oleh karena itu, dalam implementasi kurikulum di suatu lembaga pendidikan sangat mungkin terjadi penggunaan prinsip-prinsip yang berbeda dengan kurikulum yang digunakan di lembaga pendidikan lainnya, sehingga akan ditemukan banyak sekali prinsip-prinsip yang digunakan dalam suatu pengembangan kurikulum. Dalam hal ini, Sukmadinata (1997) mengetengahkan prinsip-prinsip pengembangan kurikulum yang dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu:
1. Prinsip-prinsip umum: prinsip berkenaan dengan relevansi, fleksibilitas, kontinuitas, praktis, dan efektivitas.
2. Prinsip-prinsip khusus: prinsip berkenaan dengan tujuan pendidikan, prinsip berkenaan dengan pemilihan isi pendidikan, prinsip berkenaan dengan pemilihan proses belajar mengajar, prinsip berkenaan dengan pemilihan media dan alat pelajaran, dan prinsip berkenaan dengan pemilihan kegiatan penilaian.
Selain itu, berangkat dari isu tentang pendidikan modern dan pendidikan tradisional, juga dikenal prinsip tradisional dan prinsip modern dalam pengembangan kurikulum. Pendapat ini diutarakan oleh Vernon Smith ketika mengamati kurikulum dan proses pembelajaran di pesantren-pesantren tradisional di Indonesia (dalam http://www.canboyz....). Secara umum, perbedaan menyolok yang nampak dari kedua prinsip ini terletak pada pendekatan dalam proses pembelajaran. Prinsip tradisional berdasarkan pada prinsip teacher-center, sementara prinsip modern berdasarkan student-center. Akan tetapi, juga terdapat perbedaan lain yang ternyata masih terus berkembang karena tidak disadari oleh sebahagian besar pendidik. Perbedaan tersebut terletak pada pemahaman guru terhadap komponen dasar kurikulum yang biasa kita kenal dengan istilah kurikuler, ko-kurikuler, dan extra-kurikuler. Pada hakikatnya pemahaman para pendidik masih belum berubah dari tradisional ke modern, meskipun sekolah telah mengembangkan kurikulum dengan prinsip-prinsip modern. Hal ini jelas terlihat ketika proses belajar-mengajar dilaksanakan. Sebagian besar guru memberlakukan ketiga komponen di atas seperti bagian yang terpisah. Indikasinya; kelas jadi pusat aktivitas pembelajaran apapun, banyak labor yang terabaikan, banyak extra-kurikuler yang tidak berjalan sebagai akibat pemahaman yang salah tentang ketiga komponen di atas. Untuk lebih jelasnya, bisa dilihat dari gambaran berikut:
1. Prinsip tradisional
Menurut prinsip tradisional, ketiga komponen kurikulum (kurikuler, ko-kurikuler, dan extra-kurikuler) adalah bagian yang terpisah dan diperlakukan secara berbeda-beda pula dalam proses belajar-mengajar. Dalam hal ini, aktivitas belajar dianggap merupakan aktivitas di dalam kelas, sehingga keberadaan labor dan kegiatan ekstra-kurikuler menjadi terabaikan. Sehingga gurupun, merasa tidak perlu untuk menguasai penggunaan labor dan lapangan tempat untuk kegiatan extra-kurikuler.
2. Prinsip modern
Sedangkan menurut prinsip modern, antara kurikuler, ko-kurikuler, dan ekstra-kurikuler adalah satu-kesatuan yang tidak boleh dipisah-pisahkan. Karena, labor dan lapangan bisa membantu proses berfikir kreatif siswa dalam proses belajar-mengajar. Di samping itu, ko-kurikuler dan extra-kurikuler bisa mendekatkan siswa dengan kenyataan sehingga ia bisa mendapatkan semacam pengalaman belajar yang lebih utuh dibandingkan proses yang berlangsung di dalam kelas.
2. Isu dalam Pengembangan Kurikulum
Isu yang mempengaruhi pengembangan kurikulum selalu berubah sesuai dengan perubahan zaman, sosio-kultural, politik, ekonomi, bahkan isu-isu yang menjadi tren di dalam kehidupan masyarakat. Artinya isu dalam pengembangan kurikulum mencangkup seluruh aspek kehidupan masyarakat. Oleh karena terlalu abstraknya masalah isu ini, maka Alan C. Ornstein dan Francis P. Hupkins (1996:277-300) membagi kurikulum dalam kategori sebagai berikut:
1. Consored Curriculum
Dilatarbelakangi oleh gerakan anti diskriminasi terhadap golongan minoritas yang kadang merasa dirugikan oleh beberapa buku teks atau bahan ajar, consored curriculum menjadi titik awal dari sebuah gerakan memperjuangkan keadilan di dalam dunia pendidikan khususnya menyangkut kurikulum. Dalam hal ini kurikulum diharuskan untuk memberikan penegasan dan melakukan penyaringan terhadap bahan ajar yang merugikan kelompok-kelompok minoritas. Kurikulum harus bersih dari isu-isu yang berbau rasis, pelemahan perempuan (gender), pesanan kelompok dominan, dan lain sebagainya. Pendek kata kurikulum harus netral dan detail.
2. Compensatory Curriculum
Conpensatory curriculum menurut kurikulum untuk memerhatikan dan melakukan langkah-langkah penyelamatan terhadap kekurangan peserta didik. Langkah-langkah tersebut diistilahkan dengan kompensasi (compensatory) kurikulum terhadap masalah yang dihadapi peserta didik. Contoh nyata dari kompensasi kurikulum ini bisa dilihat pada program-program berikut: 1) Pendidikan usia dini, 2) Pendidikan sebelum masuk perguruan tinggi, 3) Program martikulasi, dan lain sebagainya.
3. Irrelevant Curriculum
Bagian ini menurut kurikulum untuk selalu relevan dengan situasi dan kondisi yang berkembang dalam masyarakat. Caranya tentu tidak hanya dengan mengadakan pengkajian dengan melihat ke luar (kebutuhan dan permintaan masyarakat), tapi juga terus menerus melihat ke dalam guna mengadakan perbaikan terhadap materi-materi yang sudah tidak relevan lagi dengan situasi dan kondisi yang terus berkembang.
4. Emerging Curriculum
Emerging curriculum menurut kurikulum untuk selalu siaga terhadap isu-isu yang mendasar dan mendesak di dalam masyarakat. Misalnya, ketika masyarakat mulai resah dengan moralitas kawula mudanya dan perilaku seks bebas yang semakin merisaukan, maka saat itu juga kurikulum harus tanggap dan membantu masyarakat dengan mengadakan materi seperti materi moralitas agama dan budaya, serta pendidikan seks kepada peserta didik.
Untuk bisa bersaing dan hidup dalam zaman yang selalu berubah dan berkembang, suatu masyarakat juga harus terus mengevaluasi dan memperbaiki diri. Dalam hal ini, pendidikan merupakan alat yang semestinya mampu mempersiapkan masyarakat untuk menghadapi tantangan perubahan dan perkembangan tersebut. Untuk itu, pendidikan yang baik tentunya merupakan pendidikan yang selalu tanggap dalam menangkap isu-isu dan tren yang dihembuskan oleh proses perubahan di dalam masyarakat.
Sehubungan dengan fungsi di atas, Hamalik (2008: 75-78) juga merekomendasikan supaya aspek sosio-kultural hendaknya menjadi perhatian utama dalam mecermati isu yang berkembang. Aspek itu adalah:
a. Kepercayaan/ keyakinan hidup
b. Nilai
c. Kebutuhan masyarakat
d. Permintaan/ tuntutan
Untuk mengembangkan sebuah kurikulum, maka sebaiknya tim penyusun kurikulum tersebut memberikan perhatian khusus terhadap empat hal di atas. Karena keempat hal tersebut berpotensi menjadi isu yang sangat krusial dan sensitif di tengah-tengah masyarakat berkembang, terutama seperti masyarakat Indonesia. Bukan berarti mengabaikan hal ataupun isu-isu lainnya.
C. Penutup
Pengembangan kurikulum mencakup perencanaan, penerapan dan evaluasi. Prinsip-prinsip yang akan digunakan dalam kegiatan pengembangan kurikulum pada dasarnya merupakan kaidah-kaidah atau hukum yang akan menjiwai suatu kurikulum. Oleh Karen itu, kurikulum harus dikembangkan dengan berlandaskan kepada Undang-Undang, idiologi dan cita-cita nasional, dan tentunya memperhatikan masalah kepercayaan, agama, ataupun nilai-nilai nasional yang dianut. Karena prinsip-prinsip ini hakikatnya akan jadi acuan dalam proses pengembangan kurikulum di masa mendatang.
Di samping hal tersebut, selaku pembelajar, pendidik, ataupun pembuat kebijakan, kita harus jeli dalam menangkap berbagai isu dan tren yang berkembang di dalam masyarakat dunia secara umu, dan masyarakat Indonesia khususnya. Memandang keluar demi kemajuan, tapi juga tidak lupa menoleh ke dalam supaya tidak lupa dan selalu ingat dengan siapa dan dimana kita berada. Sehingga kita tidak menjadi peniru yang bodoh, melainkan peniru yang kreati dan inovatif. Karena dari sanalah proses modernisasi itu bisa berjalan dengan seimbang. Terakhir, kita juga harus fleksibel dan membuang kefanatikan yang sempit, karena kurikulum bukanlah kitab suci. Bukankah hukum alam sudah mengatakan sakali aia gadang, sakali tapian barubah, di saat musim berganti, maka saat itu pula keadaan akan berubah. Hanya orang yang fleksibel lah yang bisa bertahan dan maju menyongsong kemajuan.
Daftar Rujukan
BSNP. 2006. Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan .
C. Ornstein Allan dan P. Hupkins Francis. (1996). Curriculum Foundations Principles and Issues. New Jersey: Prentice Hall.
Hamalik Umar. (2008). Dasar-dasar pengembangan kurikulum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sukmadinata, S. Nana. (1997). Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
http://www.canboyz.co.cc/2010/02/perbandingan-pendidikan-tradisional.html
http://ipasmk.blogspot.com/2008/12/pengembangan-kurikulum.html
Lampiran : Partisipan
1. Umi Handayani
Menanyakan : Jelaskan tentang desain kurikulum!
Jawab : Berdasarkan pada apa yang menjadi fokus pengajaran ada 3 pola desain kurikulum.
a. Subject centered design, desain kurikulum yang berpusat pada bahan ajar. Merupakan bentuk desain yang paling popular, paling tua dan paling banyak digunakan. Disebut juga separated subject curriculum karena tersusun atas sejumlah mata pelajaran dan diajarkan secara terpisah. Disebut juga subject academic curriculum karena mengutamakan isi atau bahan ajar.
b. Learner center design, desain kurikulum yang mengutamakan pada peranan siswa
c. Problems centered design, desain kurikulum yang berpusat pada masalah-masalah yang dihadapi dalam masyarakat.
2. Cristine Jean Mamoto
Menanyakan : Jelaskan perbedaan antara prinsip modern dengan prinsip tradisional!
Jawab : Perbedaannya adalah prinsip modern berpusat pada siswa dan antara curriculum, co curriculum, ekstracurriculer menjadi kegiatan yang tidak terpisah-pisah. Sedangkan pada prinsip tradisional berpusat pada guru dan antara curriculum, co curriculum, ekstracurriculer menjadi kegiatan yang terpisah-pisah.
3. Thamita Indraswari, Abdul Latif Jaohari, Rina Sudana, dan Lina Tutiana
Menanggapi : Intinya perbedaan hanya sebatas pada pendekatan dalam pembelajarannya saja.
Penyaji : Menyatakan bahwa perbedaan tersebut tidak hanya sebatas pada pendekatan dalam proses pembelajaran. Akan tetapi juga terdapat pada paradigma yang berkembang di tengah-tengah guru tentang tiga komponen kurikulum (curriculum, co curriculum, ekstracurriculer). Banyak guru yang berpendapat bahwa ketiga komponen ini dalam pelaksanaannya bisa dipisah-pisah. Yang paling penting program kurikulernya terlaksana. Padahal dalam prinsip modern, ketiga unsur tersebut dikatakan merupakan satu kesatuan yang tidak boleh dipisah-pisah.
4. Pipiet Furisari
Menanggapi : Prinsip tradisional bisa dikategorikan sebagai prinsip tekstual, sedangkan prinsip modern dikategorikan sebagai prinsip kontekstual.
5. Adisti Martha Yohani
Mengusulkan : Sebaiknya bagan pada power point diubah terutama pada bagian prinsip modern yang sebelumnya merupakan bagan yang terpisah menjadi satu bagan saja.
6. Abdul Latief Jaohari
Menanyakan : Jelaskan contoh penerapan pada core design!
Jawab : Karena core design mengintegrasikan bahan ajar dengan memilih mata pelajaran tertentu sebagai inti dan pelajaran yang lainnya dikembangkan disekitar core atau inti tersebut, bahan ajar dipusatkan pada kebutuhan individual dan sosial, pemateri masih belum dapat memberikan jawaban yang pasti dikarenakan kurangnya penghalaman.
7. Eliem Siti Halimah
Menanggapi : Implementasi core design terdapat pada kursus-kursus seperti Kumon.
8. Lina Tutiana
Menanggapi : Core design dapat diimplementasikan pada Home Schooling.
9. Dwi Puji Asrini
Menanggapi : Core design dapat diimplementasikan pada sekolah menengah kejuruan (SMK).
10. Sonda Sanjaya
Menanyakan : Mengapa di sekolah masih berkembang diskriminatif khususnya dalam pelajaran agama, ketika mempelajari materi Islam, siswa yang beragama Kristen tidak diberi pelajaran materi agamanya (Kristen) pada waktu yang sama. Tetapi justru disuruh keluar, begitu juga sebaliknya (pada sekolah yang didominasi siswa beragama Kristen) ?
Jawab : Hal ini dikarenakan oleh keterbatasan pihak sekolah dalam memfasilitasi aspirasi religious atau keagamaan (kaitannya dengan pertanyaan).
No comments:
Post a Comment