Mangaji tubuah itu
apa?
Bagi orang Minang yang mendapatkan pendidikan adat (adaik)
secara tradisional, tidak akan asing dengan istilah mengaji tubuh (mangaji
tubuah). Dalam mangaji tubuah, adaik dianalogikan dengan “nyawo/marwah”, sesuatu yang wujudnya tidak diketahui tapi menjadi penentu “hidup/tidaknya”
seseorang. Nyawo/marwah ini dipercaya berada di dalam sebuah lembaga (limbago)
yang dianalogikan dengan tubuh (tubuah). Jadi, mangaji tubuah merupakan
aktivitas pengkajian terhadap tubuah (limbago) yang dilakukan sebagai
upaya untuk memahami hakikat dari nyawo/marwah (adaik).
Mengapa mangaji tubuah?
Di atas sudah disinggung sekilas bahwa adaik
disebut sebagai nyawo/marwah, yang tidak nampak, tidak dapat diukur, abstrak
sehingga susah untuk dipahami. Oleh karena itu, untuk dapat memahami adaik,
kita harus mengkaji dari yang dapat dilihat, dapat diukur, tidak abstrak/konkret,
yaitu tubuah (limbago). Apalagi, tubuah dipercaya sebagai tempat
bersemayamnya nyawo/marwah (adaik) tersebut. Di samping itu, dalam
konteks keadaan yang seperti ini, pepatah Minang juga memberikan petunjuk melalui
ungkapan “lahia manunjuakkan batin” (artinya: lahir menunjukkan batin).
Bagaimana cara mangaji tubuah?
Indikator yang dapat digunakan dalam mangaji tubuah
ada dua, yaitu qudaraik dan iradaik. Sama seperti kata “adaik”
yang diambil dari kata “adat” bahasa Arab, kata “qudaraik” dan “iradaik”
pun demikian, diambil dari kata “qudrat” dan “iradat” bahasa
Arab. Akan tetapi, dalam penggunaannya, baik secara bentuk lingual maupun
secara makna telah terjadi pergeseran (khususnya makna qudaraik). Oleh
karena itu, sesuai dengan pergeseran bentuk lingual dari qudrat dan iradat
menjadi qudaraik dan iradaik, maka makna kedua kata ini juga mengacu
pada makna yang lazim digunakan di dalam kehidupan orang Minang.
Di dalam kehidupan orang Minang tradisional, kata qudaraik
banyak digunakan ketika seseorang berhadapan dengan situasi/keadaan tidak
berdaya. Contoh penggunaan yang sering muncul adalah “ondeh, abih qudaraik
den” (artinya: aduh, habis daya saya/capai saya/tidak kuat saya). Dari
contoh ini dapat dipahami bahwa makna kata qudaraik yang sering
digunakan orang Minang mengacu kepada “daya/potensi/kemampuan”. Sementara itu, penggunaan
kata “iradaik” tidak mengalami pergeseran yang berarti dari makna
aslinya, tetap diartikan sebagai keinginan-keinginan. Jadi, dapat disimpulkan
bahwa mengaji qudaraik dan iradaik dalam konteks mangaji
tubuah ini dapat diartikan sebagai mengaji daya/potensi/kemampuan dan
keinginan manusiawi manusia.
Daya/potensi/kemapuan (qudaraik) mata bisa
digunakan untuk melihat keindahan alam juga bisa digunakan untuk melirik istri
orang. Qudaraik mulut bisa digunakan untuk melantunkan ayat-ayat Al-Quran
juga bisa digunakan untuk melemparkan cacian dan makian. Qudaraik tangan
bisa digunakan untuk menolong juga bisa digunakan untuk memukul orang. Qudaraik
kaki bisa dilangkahkan ke mesjid juga bisa dilangkahkan ke tempat-tempat
maksiat. Artinya, yang namanya manusia, siapapun dia berpotensi untuk
berbuat baik dan buruk. Bahkan, berpotensi menjadi baik dan menjadi buruk.
Sementara itu, keinginan (iradaik) semua manusia cenderung mengarah
kepada satu sisi saja, yaitu: kalau melihat ingin yang indah, mendengar ingin yang
merdu, merasa ingin yang enak. Intinya, jika mengikuti iradaik manusia,
maka semua yang baik-baik akan diborongnya. Inilah yang di dalam pepatah Minang
disampaikan melalui ungkapan “condong mato ka nan rancak, tunggang salero ka
nan lamak” (artinya: kecenderungan mata mengarah kepada yang indah,
kecenderungan selera mengarah kepada yang enak).
Berdasarkan keterangan di atas, dapat dipahami bahwa
ketika iradaik yang selalu menginginkan yang baik-baik muncul, maka saat
itu terjadi peperangan di dalam diri manusia. Qudaraik baik akan
berperang dengan qudaraik buruk. Pada saat itu, apakah yang terjadi?
Kecenderungannya adalah sifat manusiawi manusia yang tidak pernah puas akan membantu
qudaraik buruk memenangkan peperangan. Khususnya ketika berhadapan
dengan persoalan pemenuhan kebutuhan, mulai dari pemenuhan kebutuhan paling mendasar
hingga keinginan-keinginan yang sebenarnya tidak begitu dibutuhkan. Artinya, akan
banyak orang yang dengan sadar menggunakan qudaraik negatifnya; ada si
miskin yang karena kebutuhan dengan sadar mengambil hak orang, ada juga si kaya
yang karena ingin lebih (sebenarnya tidak butuh) memanfaatkan qudariknya
untuk merebut istri orang, atau bahkan mengorbankan kebutuhan spritual orang
lain supaya dia dapat memenuhi kebutuhan spritualnya. Artinya, banyak kebaikan yang akan diupayakan dengan cara-cara
yang tidak baik.
Lalu, apa perlunya memahami bahwa kita punya qudaraik
(baik dan buruk) dan iradaik melalui mangaji tubuah?
Memahami bahwa kita memiliki qudaraik dan iradaik
melalui mangaji tubuah penting karena dua hal. Pertama, supaya
kita menyadari bahwa orang lain sebenarnya adalah refleksi dari diri kita.
Artinya, kita tidak akan mencubit orang karena kita sadar bahwa dicubit itu
sakit, kita tidak akan mau menjadi pelakor atau pebinor karena
kita sadar betul bahwa kehilangan orang yang dicintai itu sangat menyakitkan,
kita tidak akan melanggar norma karena kita menyadari bahwa norma itu ada, juga
untuk menghargai dan menjaga hak-hak kita. Mangaji tubuah membuat kita
dapat merasakan itu sehingga kesadaran untuk beradat itu lahir bukan karena
faktor-faktor eksternal, tapi karena datang dari dalam diri sendiri. Jika ini
terjadi, maka kehidupan bermasyarakat yang harmonis akan mudah terwujud karena
orang akan berpikir sebelum berbuat, dan berpikir sebelum berkata. Orang akan
memegang teguh prinsip hidup bermasyarakat “lamak di awak katuju di urang”
(artinya: baik untuk saya dan semua orang).
Kedua, kita
beradat karena faktor-faktor sosial, karena ada orang lain, bukan karena
kesadaran individu seperti diaparkan di atas. Buktinya dapat kita temukan dari
kenyataan sehari-hari yang tidak dapat kita dustakan. Misalnya, banyak laki-laki
kita yang tidak malu ketika ditangkap polisi karena menerobos lampu merah. Saat
ditanya:
Polisi : Ndak
nampak lampu merah tu, Nak?
Anak : Lai, Pak.
Polisi : Manga kok
jalan taruih?
Anak : Dek ndak
nampak Apak.
Atau dari perempuan kita yang tidak malu berdaster tipis saat
sedang antri menunggui Abang Tukang Bakso di depan rumah:
Bapak : Ka
ma jilbab ko?
Ibu :
Kan cuma di muko rumah, Yah. Ndak jauah-jauah, do.
Jika mematuhi aturan lalu lintas hingga berpakaian itu
adalah bagian dari perilaku orang beradat, fenomena di atas jelas mengindikasikan
bahwa kita selama ini beradat karena orang lain bukan karena kesadaran
individu. Bukti lain yang juga dengan mudah dapat kita temukan adalah bahwa
betapa mudahnya kita melupakan aib yang kita buat hanya dengan berpindah dari
tempat berbuat ke tempat lain. Alasannya, karena di tempat baru tidak ada yang
tahu, mengapa harus malu? Seolah-olah malu itu melekat pada tempat bukan pada
diri kita, si pembuat malu.
Hahaha, iya juga, ya. Lalu, sampai kapan kita harus mangaji
tubuah?
Selama masih berlaku “condong mato ka nan rancak,
tunggang salero ka nan lamak”, maka mangaji tubuah itu penting. Para
tetua Minang (tuo adaik) mengatakan, “baradaik tu sapanjang hiduik,
Nak” (artinya: beradat itu sepanjang hayat, Nak).
Terakhir, bisakah konsep “mangaji tubuah” di atas dihubungkan
dengan konsep keilmuan?
Konsep mangaji tubuah dapat dihubungkan setidaknya
dengan dua konsep keilmuan. Pertama, dengan teori ilmu budaya homo
humanus, homo sapient, homo eticus, homo esteticus, atau teori
sistem budaya Koentjaraningrat. Misalnya, jika dihubungkan dengan teori budaya
Koentjaraningrat, maka adaik adalah sistem nilai, dan limbago adalah sistem
sosial dan sistem karya.
Kedua, dengan teori pembelajaran. Misalnya, teori disain kurikulum dan pembelajaran yang
mengatakah bahwa kegiatan pembelajaran harus memperhatikan gradasi, yaitu
dimulai dari yang mudah ke yang sudah, dari yang sederhana ke yang komplet,
dari yang konkret ke yang abstrak (dari tubuh ke marwah=dari yang konkret ke yang abstrak). Artinya, mangaji tubuah sebenarnya bentuk
implementasi dari prinsip disain pembelajaran kebudayaan yang sejalan dengan
teori tentang disain kurikulum dan pembelajaran.