Tuesday, December 31, 2013

Aksara Minangkabau, Di Mana? Di Mana? Di Mana?

1.   Dilema Aksara Minangkabau
Membicarakan tentang aksara asli Minangkabau sama seperti membicarakan tentang masa depan. Karena, sampai saat ini aksara tersebut belum ditemukan. Ada beberapa klem yang manyatakan tentang penemuan aksara asli Minangkabau. Setidaknya ada tiga klem, yaitu; pertama, aksara di dalam buku Datoek Toeah, kedua, aksara tambo rueh yang pernah dipajang di museum Adityawarman Padang. Sedangkan yang ketiga, yaitu  klem yang berasal dari buku yang berjudul Pelakat Pandjang.
Ketiga aksara di atas tidak punya sumber yang jelas, yaitu naskah aslinya. Artinya, aksara dilampirkan tersusun diiringi penjelasan pihak yang mengklem tanpa adanya kopian naskah atau foto naskah aslinya. Padahal, ketiga data tersebut merupakan naskah utuh yang punya cerita di dalamnya. Seperti; aksara dalam buku Datoek Toeah dengan tambo Datoek Suri Dirajo dan Datoek Bandaro Kajo, aksara di museum Adityawarman dengan tambo rueh, dan buku “Pelakat Pandjang” dengan kitab undang-undangnya.
Pada tanggal 05 September 2010, saya pernah mengamati sebuah foto aksara Mingangkabau fersi Datoek Toeah yang dimuat di link http://batam.tribunnews.com/index.php/2010/09/05/huruf-asli-minangkabau-raib. Pada bagian berita fotonya tertulis keterangan bahwa foto tersebut adalah “bagian” dari aksara asli Minangkabau, dengan sumber: Datoek Toeah. Lalu, pada awal Mei 2012, saya membaca buku yang tidak memiliki halaman muka (tidak ditemukan nama penulis) yang berjudul Pelakat Pandjang yang juga melampirkan aksara asli Minangkabau tanpa naskah aslinya.  
Setelah dibandingkan, saya menemukan foto bagian aksara yang dilampirkan sama dengan sebuah bagian aksara di buku Pelakat Pandjang. Hal ini tentu menggiring opini saya pada dugaan bahwa kedua aksara berasal dari sumber yang sama. Namun, saya tidak berani mengasumsikan bahwa buku yang saya baca adalah bukunya Datoek Tuah. Karena, saya juga pernah membaca tulisan Uli Kozok yang menyatakan bahwa buku Datoek Tuah berisi tentang tambo. Lalu, manakah yang asli? Untuk itu, akan kita coba mengupasnya pada sub judul berikutnya.       

2.   Aksara Sumatra
Aksara di Sumatra lebih dikenal sebagai aksara Melayu. Aksara ini lalu berkembang menjadi jenis-jenis baru sesuai dengan daerahnya. Setidaknya, ada tiga jenis aksara Melayu yang telah ditemukan di pulau Sumatra, yaitu; a) surat ulu/rencong, b) surat Lampung, dan c) surat incung. Namun, pada kesempatan ini, karena keterbatasan, hanya akan dikupas tentang aksara melayu surat ulu (a) surat lampung (c) dan surat incung.   
a.    Surat Ulu
Aksara surat ulu ditemukan di Sumatra Bagian Tengah, khususnya daerah Melayu Palembang, Riau, dan Jambi. Aksara ini juga disebut dengan aksara rencong, khususnya di daerah Palembang. Sedangkan di Batak disebut aksara Batak. Menurut para ahli paleografi, aksara ulu kemungkinan besar merupakan cikal bakal aksara asli Sumatra Barat yang hingga saat ini masih menjadi misteri. Alasannya, yaitu hubungan kedekatan pada aspek budaya, aspek linguistik, dan aspek ekonomi/perdagangan. Apalagi, asumsi ini didukung oleh fakta bahwa aksara surat ulu berkembang/menurun ke dalam bentuk baru yang secara linguistic bisa diurai turunannya.
Aksara surat ulu bentuknya mirip dengan aksara-aksara pasca palawa seperti yang ditemukan pada prasasti Adityawarman dan prasasti Ombilin. Sedangkan aksara surat incung, menurut keterangan beberapa ahli paleografi yang diminta Kozok untuk menyelidiki aspek linguistiknya menyatakan bahwa aksara ini merupakan turunan dari aksara surat ulu. Hal ini terlihat jelas pada aspek bentuk aksara dan sistem fonetiknya. Sehubungan dengan itu, aksara Batakpun dianggap sebagai turunan dari aksara surat ulu ini.
Berdasarkan penemuan aksara surat incung ini, bisa diasumsikan bahwa aksara Minangkabau memang ada. Kemungkinan besar, aksara Minangkabau juga merupakan turunan dari aksara surat ulu seperti halnya aksara surat incung di Kerinci dan aksara Batak. Bukan seperti turunan aksara latin, seperti aksara Minangkabau di tambo rueh, bukan pula seperti aksara Minangkabau dalam buku Datoek Toeah yang tidak jelas asal-usul/naskah aslinya.
b.   Surat Incung
Surat incung adalah aksara yang ditemukan di kerinci dalam naskah kitab undang-undang Tanjung Tanah. Naskah ini, sampai saat ini dianggap sebagai naskah Melayu tertua. Karena, melalui uji karbon terhadap bahannya mengindikasikan naskah tersebut ada pada abad ke-12-14, atau sebelum masa berkembangnya Islam di Sumatra Barat. Naskah ini sebenarnya merupakan kitab undang-undang yang ditulis oleh seorang Dipati di hadapan Maharaja Darmasraya, atas perintah Maharaja Melayu di Saruaso yaitu Adityawarman untuk Rajo kerinci yang merupakan daerah kekuasaannya Maharaja Darmasraya.
Secara struktur, naskah ini terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian pembuka, isi, dan penutup. Khusus untuk bagian pembuka dan penutup, aksara yang ditemukan adalah aksara Sanksekerta. Sedangkan pada bagian isi, ditemukan dua aksara, yaitu aksara surat ulu dan aksara surat incung. Di samping itu, di dalam aksara ini, tidak ditemukan satupun kata serapan dari Arab. Kata serapan yang jumlahnya sedikit umumnya berasal dari bahasa Sanksekerta. Begitu juga dengan turunan aksara, umunya turunan dari aksara jawa kuno dan pasca palawa.
Menurut Kozok, peneliti naskah Tanjung tanah, jenis aksara pada naskah dan alur proses pembuatan naskah mengindikasikan bentuk pemakaian ketiga jenis aksara. Aksara Sanksekerta merupakan simbol raja Melayu Adityawarman (pusat Melayu waktu itu di Saruaso) bergelar Maharaja Diraja, dan aksara surat ulu simbol raja Darmasraya (pemimpin daerah cabang) bergelar Maharaja.  Sedangkan aksara surat incung merupakan simbol raja kerinci (daerah terbawah dalam gradasi pemerintahan) bergelar Rajo. Dengan demikian, aksara surat incunglah yang merupakan aksara asli Kerinci.
c.    Aksara Minangkabau
Seperi disinggung pada bagian awal pembahasan bahwa ada ada tiga klem tentang aksara Minangkabau yang saya temukan. Pertama, aksara dalam tambo “Datuak Suri Dirajo jo Datuak Bandaro Kayo” dalam buku Datoek Tuah yang katanya ditemukan di Pariangan Padang Panjang, kedua, aksara dalam tambo rueh di museum Adityawarman yang katanya ditemukan di Sulik Aia, ketiga, klem dalam “Kitab Undang-Undang Pelakat Pandjang”.
Mengenai aksara yang dikatakan berasal dari tambo rueh dan pernah dipajang di museum Adityawarman, Kozok (2006:) jelas mengatakan sebagai rekayasa. Alasannya, bagi seorang ahli paleografi, aksara di museum Adityawarman itu dibuat oleh orang yang tidak tahu tentang aksara Sumatra sehingga kelihatan sekali asas-asas aksara latin di dalamnya. Pendek kata, aksara itu merupakan turunan aksara latin.
Selanjutnya, mengenai aksara dalam “Kitab Undang-Undang Pelakat Pandjang” dan aksara dalam tambo “Datoek Suri Dirajo jo Datoek Bandaro Kajo” juga sangat meragukan. Alasannya, 1) aksara ini memiliki aksara khusus “a” dan “ha”. Padahal, bahasa Melayu/Minangkabau tidak selalu membedakan “a” dan “ha”, seperti; hadang=adang, hati=ati, bahkan kadang-kadang=adang-adang. Apa lagi, didalam aksara surat ulu melayu, aksara “ha” dan “a” ditulis oleh satu aksara saja yang bisa dibaca dengan kedua cara tersebut.
Alasan yang kedua, yaitu bahwa di dalam aksara ini tidak ada sandangan “ng”, yang ada justru “nga” sehingga kata gadang ditulis dengan tiga aksara (ga-da-nga) ditambah tanda bunuh seperti cara baca dalam bahasa Arab. Padahal, seluruh aksara Sumatra menulis kata padang dengan dua aksara (pa-da) ditambah sandangan “ng”. Jadi, sangat disayangkan, aksara ini telah dimuat begitu saja di museum Adityawarman tanpa penelusuran mendalam.
Penemuan aksara surat incung, aksara rencong, aksara batak sebagai turunan dari aksara ulu sudah selayaknya diapresiasi. Karna, penemuan ini bisa menjadi semacam pencerahan bahwa aksara Minangkabau memang ada. Dari segi bentuk, kemungkinan besar aksara Minangkabau merupakan turunan dari aksara ulu (aksara melayu), seperti halnya aksara Batak, rencong, dan aksara surat incung di Kerinci. Masalahnya, bagaimana caranya untuk meningkatkan penemuan dan penelitian tentang aksara Minangkabau serta meningkatkan kesadaran masyarakat untuk membuka diri sehingga tradisi dan benda-benda budaya tidak hancur di makan waktu begitu saja.
  
3.   Lampiran
a.    Beberapa Bagian Aksara Tambo Rueh

b.   Aksara Pelakat Pandjang, Datuak Tuah

Sumber: Pelakat Pandjang
c.    Aksara Surat Incung, rencong, Tanjung tanah


Sumber: Uli Kozok. Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah

No comments:

Post a Comment