Thursday, November 1, 2012

Dunia yang Terjangkit Sindrom Mak Erot


Saya memang tidak tertarik masalah politik. Bagi saya, menikmati segelas kopi dan mendengar celotehan “tukang angkek” dalam mengolah nomor kode buntut togel lebih mencerahkan ketimbang celoteh dalam “Jakarta Lawyers Club” sekalipun. Di kedai kopi saya bisa melihat langsung anak-anak bangsa yang terintimidasi membenci diri mereka sendiri hingga melakukan hal-hal yang meningkatkan kebencian itu.  Sedangkan di Jakarta lawyers club, saya melihat om-om dan tante-tante beradu argumentasi tentang nasib kedai kopi dengan menggunakan dasi dan rok mini. Saya yakin, bahwa mereka tidak pernah bergelut bersama nuansa kedai kopi seperti yang saya lakukan hampir setiap hari. Asumsinya, saya setuju dengan pernyataan seorang raja Odysseus ketika membujuk Achiles, “abaikanlah politik, karna politik itu berisi orang besar sibuk menyusun pidato di tengah-tengah orang kecil yang sekarat”.
Pada jaman Achiles, peran manusia dalam kehidupan dikelompokkan sekurang-kurangnya menjadi tiga. Yaitu; 1) Bangsawan kerajaan, 2) Prajurit, 3) Kaum religius/ terpelajar. Politik adalah mainannya kaum bangsawan kerajaan dan membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan masalah kerajaan dan kedaulatannya. Prajurit adalah orang-orang yang memainkan peran sebagai penjaga keamanan dan ketertiban dari segala macam ancaman. Kaum religius dan terpelajar adalah orang-orang yang berperan dalam mengembangkan cara berfikir masyarakat menuju pemikiran yang lebih maju dan religius.  Sedangkan masyarakat umum, berada di bawah lindungan tiga unsur di atas. Mereka bekerja, mereka belajar, mereka bermain, tampa harus memikirkan keamanan, kenyamanan, dan ketertiban. Mereka hanya perlu membayar pajak, dan bersiap jika sewaktu-waktu kerajaan memanggil untuk berjuang membela negara.
Saya menyampaikan ini bukan untuk membandingkan. Poin yang ingin saya sampaikan adalah bahwa segalanya mempunyai wilayah dan waktunya masing-masing. Politik punya wilayah sendiri, pendidikan punya wilayah sendiri, agama punya wilayah sendiri.  Tidak campur baur seperti yang terjadi di negara kita ini. Politik menjadi penguasa tunggal yang mempunyai jurus pamungkas ajian sapujagat.  Saat sekarang ini, rasanya tidak ada lagi ruang di Indonesia ini yang luput dari pantauan politik. Pendidikan dipolitisasi, budaya dipolitisasi, bahkan agamapun dipolitisasi. Asumsinya, politik di negeri ini adalah Joker merah, raja yang bertahta sendiri.
Status politik sebagai joker merah sangat nyata terasa di wilayah manapun.  Penandanya sederhana saja, yaitu proyek atau program cepat saji. Padahal yang mau disajikan adalah yang “itu-itu” juga.  Lalu siapakah yang mengarahkan politik ke hal-hal seperti ini? Untuk mengetahuinya gampang-gampang-susah.  Gampang karena selalu ada kontrak politik, susah karena pemegang kontrak dan yang membuat kontrak kadang tidak pernah kontak. Semuanya disubkan, sama seperti lintasan jalan yang sengaja dibuat berliku-liku. Biar sopir tidak terlalu heboh dengan kenaikan BBM, biar masyarakat kelamaan di angkutan umum dan memaklumi membayar ongkos yang mahal.  Jika tidak demikian, tentunya semua tidak akan bisa bergerak, sama seperti jalanan Jakarta yang terus macet. Begitulah politik di Indonesia mendidik dengan menjajah anak bangsanya sendiri.
Untuk lebih sahih, saya akan memberikan beberapa contoh kasus.  Kasus tersebut dikelompokkan berdasarkan dua subjek, yaitu kalangan atas (decision makers) dan kalangan bawah (masyarakat dan pelaksana).  Untuk menyorot kalangan atas, saya akan mengetengahkan kasus proyek di dunia pendidikan, untuk kalangan bawah saya ketengahkan kasus krisis akal sehat dan kemanusiaan yang menyeret dunia keagamaan.  Akan tetapi, hebatnya, baik kasus di dunia pendidikan, agama, ataupun di masyarakat umum, menunjukkan solusi yang identik. Identik jika dilihat dari sudut pandang pendekatan yang digunakan dalam menyelesaikan masalah. Untuk lebih jelasnya, berikut pembahasannya.
1.   Kasus di Ranah Pendidikan dan Solusinya
Isu tentang rendahnya mutu pendidikan membangkitkan birahi para elitis dunia pendidikan Indonesia untuk berkaca ke dunia luar dan merancang berbagai program. Program tersebut bermuara pada tiga komponen utama pendidikan, yaitu guru, siswa, dan metodologi.  Khusus untuk masalah utak-atik metodologi saya tidak akan membahasnya, karna dalam masyarakat akademik sudah mendarah-daging pameo “ganti mentri ganti kurikulum”. Jadi, pembahasan difokuskan pada guru dan siswa.
Pemerintah, DPR, dan para elitis dunia pendidikan gerah melihat rendahnya mutu pendidikan Indonesia. Kambing hitam yang pertama adalah peserta didik atau siswa itu sendiri.  Untuk itu, perlu diadakan pemerataan pendidikan. Standarnya adalah proyek yang namanya Ujian Nasional (UN). Lucunya, program ini terputus begitu saja, sama seperti siswa yang lulus UN, coret baju, selamat tinggal SMA. Padahal masalah yang sering dihadapi oleh Perguruan Tinggi (PT) adalah terputusnya komunikasi pendidikan antara SMA dengan PT, seperti yang disampaikan oleh Prof. Dr. Chaedar Awasilah.
Di sisi lain, faktor untuk menunjang UN itu sendiri hanya bisa dilihat di atas kertas lewat buku laporan bantuan dana pendidikan, dana BOS, dan lain-lain. Kenapa saya katakan demikian? Karna kenyataannya, jangankan di daerah-daerah Indonesia bagian barat seperti di Sumatra atau Indonesia bagian timur seperti di Sulawesi dan Irian, di wilayah pulau Jawa saja, unsur-unsur penting penunjang perbaikan pendidikan itu masih terabaikan di sana-sini. Kita masih sering melihat di televisi tentang sekolah yang tidak layak di pulau Jawa, bahkan yang terakhir, sampai dunia dihebohkan oleh pelajar di Banten yang terpaksa menyabung nyawa melewati jembatan sekarat demi bisa bersekolah.
Selanjutnya, kambing hitam yang kedua adalah guru. Guru dianggap tidak profesional di bidangnya. Oleh karena itu perlu diprofesionalkan. Muncullah proyek atau program sertifikasi dan Pendidikan Profesi Guru (PPG). Seluruh calon guru mesti mengikuti PPG selama satu sampai dua tahun, dan yang sudah menjadi guru mesti mengikuti program sertifikasi jika mereka menginginkan kesejahteraan. Motif dan program yang aneh jika kita memandang dari sisi kemanusiaan, dan bukankah hakikat pendidikan itu untuk memanusiakan manusia.
Dari deskripsi singkat di atas, kita akan menyorot dua hal, yaitu UN dan PPG. UN adalah alat ukur yang telah distandardisasi di tingkat pusat, telah teruji validitas dan realibilitasnya. Begitu juga dengan PPG, kedua menu ini adalah masakan ahli-ahli  di bidang pendidikan itu sendiri. Fakta ini tidak akan terbantahkan. Akan tetapi, menjadikan UN ataupun PPG sebagai syarat mutlak kelulusan adalah hal yang sangat menggelikan. Mungkin banyak para ahli pendidikan yang akan membantah, terutama mereka yang menjadi PR dari proyek ini.  Jika itu terjadi, saya tentu tidak berdaya. Saya hanya mengatakan, “lihatlah mata anak-anak itu sebelum UN, maka Anda akan stres menunggu saat pengumuman kelulusan datang. Lihatlah mata mereka yang gagal, kalau Anda sanggup, katakan bahwa inilah yang terbaik, demi bangsa, demi negara”. Itu jawaban saya secara kemanusiaan.
Secara logika, saya akan mempertanyakan status Perguruan Tinggi pencetak guru. Setahu saya, sebelum ada PPG, sebuah PT Kependidikan setidaknya butuh tiga sampai empat tahun untuk mencetak tenaga pengajar/calon guru.  Sementara PPG hanya butuh paling lama dua tahun untuk melaksanakannya. Asumsinya, jika sistem PT Kependidikan bisa dimetaforakan dengan sistem manual penetasan telur yang butuh waktu kurang lebih dua sampai tiga mingguan, PPG adalah sistem mekanik Jepang yang bisa menetaskan telur hanya dalam hitungan hari. Akan tetapi, pendidikan tentunya bukanlah sebuah mesin, dan peserta didik bukanlah sebuah anak ayam yang jika sudah menetas hubungannya dengan cangkang dan mesin penetas akan terputus begitu saja.
Saya yakin, gambaran saya di atas sudah tergambar dengan sangat jelas pula di dalam kepala para elitis pemerintahan, DPR, dan pendidikan. Lalu apa yang membuat program ini tetap bertahan? Asumsi saya ialah karena ini adalah proyek, ada “kepentingan” yang menjadi motif utamanya. Berdasarkan asumsi ini, saya mengatakan bahwa ini adalah pertanda manusia telur. Manusia yang lupa terhadap cangkang dan induknya karena lahir tidak melalui proses alami, tapi dimekanisasikan lewat pendekatan industrialisasi.  Karna, manusia produksi rahim, melalui proses yang panjang, proses pemasukan ruh, proses pematangan rasa, dan proses-proses lainnya.
Manusia telur tidak akan memiliki sensitivitas, karena mereka tidak memiliki rasa. Logika mereka tidak liar, karena semuanya berjalan secara mekanis dan ekonomis. Manusia ini sama dengan manusia yang terjangkit sindrom Mak Erot. Mementingkan hasil dari pada proses. Lebih mementingkan mekanisasi atau birokrasi laporan pembukuan dari pada manusia-manusia yang tertulis di dalam buku. Lupa bahwa tujuan dari tes ataupun standar adalah untuk mencari poin. Poin itu singkatnya adalah tentang kesimpulan apa yang diperoleh sebagai bagian dari proses belajar. Bukan angka-angka di atas kertas. Poin itu berhubungan dengan faktor paedagogik, kognitif, dan psikomotor. Apa gunanya tes, jika tidak ada yang dipelajari, jika tidak ada perubahan pada ketiga faktor ini.
  
2.   Proyek di Ranah Agama dan Solusinya
Isu kekerasan dan moralitas biasanya cenderung memojokkan ranah agama dan pendidikan. Jika masalah kekerasan terjadi di kalangan pelajar, seperti tawuran, perkelahian seorang siswa dengan siswa lain yang direkam temannya, dan lainnya jelas mengkerdilkan dunia pendidikan. Sudah banyak kepala sekolah, guru yang dikorbankan gara-gara masalah ini. Siswa yang berkelahi, guru, bahkan kepala sekolah yang dimutasikan. Seolah-olah masalah tersebut adalah tanggung-jawab mutlak pihak sekolah.  Sedangkan jika masalah ini terjadi di tengah-tengah masyarakat umum, seperti tawuran antar-warga, pemuda gara-gara acara dangdutan, kambing hitamnya adalah agama. Isu yang mengemuka adalah rendahnya pemahaman keagamaan.
Belakangan, masalah kenakalan remaja ataupun masyarakat umum ini bergeser dari isu kekerasan ke isu-isu moralitas seperti kekerasan seksual, pergaulan bebas, dan lain sebagainya. Masalah ini biasanya langsung mengkerdilkan pemuka agama. Buruknya pendidikan agama membuat rendahnya pemahaman agama, sehingga moralitas bangsapun turut rendah.  Hal ini biasanya dipicu oleh penangkapan pasangan selingkuh oleh satpol PP, pergaulan bebas di antara remaja, sampai penemuan bayi hasil hubugan gelap di parit-parit.
Tidak ada solusi yang jelas dari pemerintah. Biasanya solusi diusulkan oleh kelompok-kelompok tertentu layaknya pengajuan proposal sebuah proyek. Jika presentasinya bagus, bisa diatur kontraknya, maka jalanlah proyek yang disebut solusi tersebut. Solusi yang paling sering adalah pelatihan ESQ ataupun pesantren kilat. Sebuah program hebat yang cara kerjanya tak jauh beda dengan sim salabim abra kadabra. Kenapa saya katakan demikian? Karena program ini biasanya dilaksanakan pada momen-momen tertentu saja, seperti masa liburan, sebelum UN, momen penerimaan mahasiswa baru, ada bencana, dan momen-momen lainnya.
Mengenai solusi ESQ dan pesantren kilat ini, seorang guru besar psikologi Universitas Indonesia (maaf, saya lupa nama beliau) mengatakan bahwa beliau tidak menemukan satupun tulisan di jurnal Ilmiah dari seluruh Negara di dunia, khususnya yang punya koneksi dengan UI yang membahas tentang ESQ dan khasiat-khasiatnya yang dahsyat tersebut. Keterangan yang ada tentang ESQ dan pesantren kilat hanyalah berupa testimoni dari beberapa orang saja.
Artinya, kita menyelesaikan masalah pendidikan dan social dengan cara yang aneh. Karena, kata Tan Malaka, masalah pendidikan dan masalah social tidak bisa diselesaikan oleh kekuatan sebesar apapun, oleh otak sehebat apapun, selain melalui proses yang logis, sistematis, dan membutuhkan waktu. UN, PPG, ESQ, dan Pesatren kilat jelas tidak memenuhi syarat logis, sistematis, dan membutuhkan waktu tersebut. Sebab, dari segi waktu, semua solusi ini jelas instan sekali. Sedangkan dari segi sistematika, proses/ cara kerja semua solusi inipun jelas susah untuk diterima oleh logika. Apa bedanya dengan Mak Erot atau obat-obat alternatif yang sering muncul di iklan-iklan belakangan ini? Yang penting ada yang mengeluarkan testimony tentang keampuhannya, tak peduli logis atau tidak, apa lagi ilmiah atau tidak.
Akhirnya, sampailah kita pada kesimpulan yang tidak bisa untuk ditolak. Dunia pendidikan kita, dunia agama kita, dunia social-budaya kita, dunia politik kita telah terjangkit sindrom Mak Erot. Lebih baik hasil sesaat dari pada melakukan proses yang menyita waktu.     

No comments:

Post a Comment