Saturday, April 21, 2012

Perkawinan menurut Adat Minangkabau


A.   Pendahuluan

Malam-malam bainai yo mamak

Malam-malam bajapuik yo sayang

Sambanyo lamak yo mamak

Si Gulai paku

Petikan syair lagu di atas adalah salah satu dari lagu yang memang secara langsung menyoroti prosesi perkawinan tradisional di Minangkabau.  Petikan syair di atas adalah bagian dari cerminan kemeriahan pesta perkawinan di Minangkabau.  Ada cerita tentang senangnya mengikuti prosesi malam bainai, ada cerita tentang masakan yang enak-enak, dan ada cerita tentang keramaian yang penuh dengan kebahagiaan.  Ada pula cerita tentang kerinduan muda-mudi dengan suasana selama prosesi malam bainai.

Petikan lagu di atas sengaja saya angkat guna menimbulkan suasana senang dan lapang sebelum memasuki pembahasan tulisan ini.  Siapa tahu, lagu tersebut bisa mencairkan suasana sehingga membuat tulisan ini akan mengalir dengan lancar, dan memberikan pencerahan kepada yang membacanya.  Paling tidak, untuk menjernihkan pemikiran penulis sendiri supaya bisa menyampaikan pendapat dengan objektif, baik, dan tidak menyinggung orang lain.

Menikah adalah satu dari beberapa kebahagiaan yang mendapatkan tempat istimewa di dalam kehidupan bermasyarakat.  Ini bisa dilihat jelas dari acara selamatan yang dilakukan ketika seseorang menikah.  Seorang bujangan akan menabung buat “membesarkan” hari pernikahannya, orang tua bahkan akan rela berutang demi pesta pernikahan putranya, sanak saudara juga tak ketinggalan beriuran untuk menunjukkan perannya masing-masing.  Hal ini saja cukup rasanya untuk menunjukkan bahwa momentum perubahan status dari bujangan menjadi suami/istri merupakan sesuatu momentum yang tak terlupakan, sehingga semua tidak mau ketinggalan dan ingin berkontribusi di dalamnya.

Karena pesta pernikahan tradisional ini, dari kalangan seniman Minangkabau lahirlah kidung “malam bainai”, dari tokoh adat itu sendiri lahirlah “pidato siriah-pinang”, kepada pihak yang terkait langsung dialamatkan gelar “rajo-ratu sahari”.  Antusiasme menyambut dan melaksanakan pernikahan ini kadang membuat banyak orang lupa untuk melihat ke dalam dirinya sendiri.  Lupa akan keadaan diri, lupa akan lingkungan, bahkan lupa akan hakikat pernikahan itu sendiri.  Setidaknya, pandangan ini sudah banyak muncul dari pihak yang berada di luar lingkup pernikahan dan pesta tersebut.  Akibatnya, “kebiasaan” pelaksanaan pesta pernikahan ini menjadi catatan tersendiri yang harus “tidak boleh dibiasakan”.  Ujung-ujungnya, karena sudah menjadi kebiasaan, adat setempatpun jadi kambing hitam.  Adat perkawinan Minangkabau mulai dijadikan perdebatan.  Mulai dari proses prapernikahan hingga proses pascapernikahan.

Akibatnya, pada saat seperti sekarang ini, masa di mana pengaruh modernisasi datang dari segala arah, orang mulai mengenyampingkan adat tanpa proses peradilan yang benar.  Peradilan yang benar di sini adalah tidak mencari akar permasalahan dan menelusuri aturan adat yang sebenarnya.  Orang-orang langsung saja menghakimi “Malam Bainai” sebagai tradisi yang bertentangan dengan ajaran Islam.   Begitu juga dengan proses “Manukuak Hari Mancari Ukua Jangko”, prosesi acara “Maminang”, hingga proses “Baralek” setelah pernikahan.  Oleh karena itu, melalui tulisan ini, saya bermaksud untuk meluruskan pemahaman tentang proses pernikahan menurut pemahaman saya tentang adat perkawinan Minangkabau.


B.   Pembahasan

Pembahasan tentang perkawinan menurut adat Minangkabau ini akan saya kelompokkan pada tiga (3) sub pokok bahasan, yaitu; 1) Hakikat Perkawinan, 2) Prapernikahan, 3) Pascapernikahan.

1.   Hakikat Perkawinan

Motif saya menggunakan kata “perkawinan”, bukan “pernikahan” pada bahasan tentang hakikat perkawinan ini adalah berhubungan langsung dengan “maqom” adat sebagai kebenaran yang sifatnya kelompok.  Sedangkan pernikahan adalah bahasa agama tentang masalah ini, kebenarannya bersifat mutlak.  Sungguh, saya tidak sanggup dan tidak mau untuk membicaran kebenaran yang sifatnya mutlak.  Karena saya manusia, hanya bisa bertanggung jawab pada manusia, belum siap jika saat ini dihadapkan kepada Tuhan.

Dari pidato pasambahan adaik tentang perkawinan, nikah dikatakan sebagai proses peralihan mandat dari orang tua pihak perempuan kepada laki-laki yang akan menjadi suami anaknya.  Hal ini dibunyikan dengan kata-kata “ijab nikah kabua bajawek, hukum putuih tampek bagantuang”.  Sementara itu, perkawinan dianggap sebagai ikatan antara kedua belah pihak sebagai tindak lanjut dari rencana pernikahan tersebut.  Tidak tentang kedua pengantin, tapi tentang kedua keluarga, tentang kedua kampung, bahkan tentang kedua daerah, jika daerahnya berbeda.  Hal ini dikatakan dengan ungkapan “nikah jo parampuan, kawin korong jo kampuang”.  Karena itu pula, di dalam konteks adat perkawinan Minangkabau ada istilah “adaik nan taradaik”.  Yaitu, lembaga adat yang menfalisitasi peleburan, penyesuaian, demi menyatukan dua kutub dengan latar dan kebiasaan yang berbeda.  Disebut “adaik nan taradaik” adalah karena sifat kelembagaannya yang sementara.  Yang abadi adalah hakikat adatnya, yaitu perkawinan kedua pihak yang ditandai oleh proses pernikahan anak, kemenakan, cucu mereka.

Hal di atas di dalam pidato adat dibunyikan dengan kata-kata “rundingan bajuru baso, bakawua niniak jo mamak, urang sumando korong jo kampuang, mancari ukua jo jangko, ukua jangko bapatuik jo mungkin”.  Artinya, seluruh pihak terlibat dalam proses perkawinan, proses penyatuan untuk menyongsong hari depan yang lebih baik.  Oleh karena itu, dalam proses perkawinan adat Minangkabau, banyak sekali pihak yang terlibat langsung mulai dari persiapan hingga setelahnya.  Semua pihak tersebutpun sudah jelas peran dan fungsinya masing-masing.  Niniak mamak sebagai kepala acara, urang sumando dengan fungsi siaganya “manyilau nan dakek manjalang nan jauah”, bako dengan peran dan fungsi perlengkapannya, dan masih banyak fungsi dan peran lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu karena merupakan bagian dari “adaik salingka nagari”, lain lubuk lain ikannya.

Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa hakikat perkawinan yang tercermin dalam ungkapan pidato pasambahan adaik, dari peran dan fungsi pihak-pihak yang terkait adalah proses penyatuan dua keluarga, dua kampung, pendeknya dua pihak, demi untuk mempersiapkan hari depan yang lebih baik.  Jadi, wajar sebuah proses perkawinan di Minangkabau terkesan seperti sebuah seremoni yang besar dan menguras banyak energi.  Namun, meskipun demikian, bukan berarti kita bisa menilai bahwa prosesi perkawinan menurut adat Minangkabau tersebut sebagai sebuah proses pemborosan dan proses yang bertele-tele.  Seperti isu yang sengaja diangkat oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Menanggapi isu tersebut, menurut adat Minangkabau, prosesi perkawinan itu sendiri dikelompokkan pada tiga jenis.  Yaitu; 1) Perkawinan Kulansiang Batu/Hari, 2) Perkawinan Kulansiang Bulan, 3) Perkawinan Kulansiang Matohari.  Tingkatan ini berhubungan langsung dengan keadaan ekonomi kedua pihak yang menyelenggarakan acara perkawinan.  Di dalam adat, kelanjutan dari pengelompokan ini ditandai dengan jumlah pihak yang akan diundang serta perlakuan yang akan dilakukan pada pihak-pihak tertentu, dalam hal ini niniak mamak dan pihak-pihak yang menurut status adatnya adalah yang mulia atau ditinggikan.  Berdasarkan ini, isu yang mencuat seperti di atas layak dikatakan sebagai sebuah kesalah-pahaman.  Wajar jika mencuat dalam kepala orang luar Minangkabau, tidak jika mencuat dalam kepala orang Minangkabau.  Karena, isu yang seharusnya adalah, tentang keMinangkabauan si penyebar dan pengompor isu. Bukan tentang kelayakan adat perkawinan Minangkabau. 

  

2.   Prapernikahan

Ada banyak bentuk prosesi yang dilaksanakan sebelum proses pernikahan dilaksanakan.  Seperti “Maresek”, “Maminang”, “Balatak Tando/Batimbang Tando/Babaluak/Basaluak Tando/Batuka Tando”, “Malam Bainai”, dan lain sebagainya.  Akan tetapi, karena keterbatasan, saya hanya membahas beberapa hal yang pernah saya pelajari dan pahami dengan baik dari beberapa tokoh tradisional adat Minangkabau.  Yaitu; a) Maminang, b) Manukuak Hari Mancari Ukua Jangko, 3) Balatak Tando, Batuka Tando, Batimbang Tando, Babaluak/Basaluak Tando, 4) Malam Bainai.

a.   Maminang

Maminang ini bisa dipadankan dengan kata melamar dalam bahasa Indonesia.  Hanya saja, kata maminang ini secara pragmatis mengacu kepada makna dan relasi makna yang terkait dengannya.  Di dalam adat Minangkabau, kata maminang ini merujuk kepada benda-benda yang disajikan dalam proses maminang tersebut.  Benda-benda itu disebut dengan “urang nan limo badunsanak”, yaitu; siriah, pinang, gambia, sadah, tambakau.  Benda ini adalah bahan yang nantinya akan dicampurkan sedemikian rupa untuk dicicipi oleh pihak yang akan dilamar, sekaligus sebagai pertanda maksud kedatangan si pelamar.  Oleh karena itu tata-saji sirih-pinang cs ini mesti betul-betul diperhatikan.

Mengenai tata-saji ini, perhatian utama biasanya akan tertuju kepada siriah.   Sedangkan yang lainnya cukup disajikan dengan memperhatikan nilai estetika umum.  Penyajian siriah harus dalam bentuk susunan secara berderet dengan rapi, dengan bagian gagang siriah menghadap ke atas.  Susunan siriah ini tidak boleh diikat.  Namun, jika diikat dengan tujuan supaya susunannya tidak kacau, jangan lupa melepaskan ikatannya sebelum diberikan kepada pihak yang akan dilamar.  Orang yang arif dan ketat tentang adat Minangkabau biasanya akan memperhatikan betul tata-saji siriah ini.  Karena hal ini berhubungan dengan jalannya proses rundingan nantinya.

Susunan siriah seperti dikatakan di atas mengandung makna bahwa telah ada kesepakatan dan perencanaan dari pihak keluarga yang datang.  Tidak adanya ikatan menunjukkan bahwa kesepakatan dan rencana mereka itu sifatnya adalah draf, bukan harga mati.  Sedangkan gagangnya menghadap ke atas berhubungan dengan tujuan kemudahan dalam mengambil satu atau dua lembar dari daun siriah tersebut tampa mengganggu keelokan susunannya.  Hal ini mengandung makna bahwa pihak yang datang bersedia menerima masukan dan perubahan berdasarkan hasil musyawarah dan rundingan bersama kedua belah pihak.  Pada akhirnya, ketika proses pelamaran selesai, siriah tersebut akan diikat dengan sistem simpul khusus (buhua sentak).  Lalu, perwakilah pihak yang dilamar akan mengambil satu atau beberapa lembar daun siriah dan benda lainnya untuk membuat satu “pakapuran”, satu porsi siriah yang akan dicicipi.  Simpul ikatan buhua sentak mengandung makna bahwa segala sesuatunya bisa saja berubah demi kebaikan bersama, karena semuanya tergantung Tuhan.  Sedangkan proses mencicipi siriah menunjukkan bahwa pihak yang dilamar menerima lamaran dengan senang hati.

b.   Manukuak Hari Mancari Ukua Jangko

Manukuak Hari Mancari Ukua Jangko sebenarnya adalah salah satu falsafah tertua di Minangkabau yang mengandung nilai yang sangat universal sehingga bisa bertahan dan memasuki seluruh aspek kehidupan manusia.  Salah satunya adalah aspek prosesi perkawinan.  Disebut tertua karena falsafah ini awalnya berkembang dari jaman manusia Minangkabau hidup dari hasil hutan.  Berhubungan dengan mitos pembukaan lahan, memecah bebatuan, menebang kayu, yang sulit dijelaskan karena identik dengan logika mistika.  Akan tetapi, karena nilai utamanya yang sesuai dan tidak luntur oleh perkembangan pemikiran manusia.  Falsafah ini bertahan bahkan menjelma ke dalam segala aspek kehidupan.  Nilai tersebut adalah sikap untuk selalu mempersiapkan diri, siaga terhadap segala kemungkinan demi kelancaran dan hasil yang baik. Layaknya “hope for the best, plan for the worst”nya manusia sekarang.

Ciri khas dari prosesi Manukuak Hari Mancari Ukua Jangko dalam konteks adat perkawinan ini adalah harus dilaksanakan di tempat pihak perempuan, tidak boleh di tempat laki-laki.  Hal ini berhubungan dengan topik utama yang akan dimusyawahkan, yaitu mengenai waktu pernikahan, dan kodrat perempuan itu sendiri.  Artinya, dilaksanakan di tempat pihak perempuan supaya pemilihan hari nantinya benar-benar hari di mana kedua calon pengantin berada dalam kondisi yang siap.  Kondisi ini lebih mengacu kepada pihak perempuan karena kodrat perempuan yang memang mengalami kondisi yang membuatnya kadang tidak siap secara bathin alias tidak suci.

Pembicaraan lainnya pada saat prosesi ini adalah menyatakan tentang jenis dan bentuk acara yang akan dilaksanakan oleh kedua belah pihak, agar keduanya siap dan tahu apa yang mesti dilakukan nantinya.  Saat inilah sebenarnya kejujuran dan keterbukaan sangat dibutuhkan.  Jika kemampuan hanya untuk melaksanakan perkawinan kulansiang hari, maka jangan katakan kulansiang bulan, apalagi kulansiang matohari.  Kenyataannya, karena rasa malu dan ego yang tidak berdasar, prosesi ini banyak menjadi ajang pamer.  Efeknya, nilai utama hilang berganti dengan nilai ekonomis.  Hari yang dipilih bukan hari terbaik buat para calon pengantin, tapi hari terbaik buat pihak-pihat terkait.  Seperti hari setelah gajian bagi pegawai, hari panen buat petani, dan hari pasar buat pedagang.  Sayangnya lagi, hal ini diwariskan, sehingga generasi muda tidak lagi menangkap makna utama dari prosesi manukuak hari mancari ukua jangko.

c.   Balatak, Batuka, Batimbang, Babaluak/Basaluak Tando

Proses lamaran/meminang atau manukuak hari biasanya diakhiri dengan sebuah prosesi penanda bahwa telah terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak calon pengantin. Penanda kesepakatan tersebut tidak selalu sama bentuk dan aturannya di seluruh wilayah Minangkabau.  Setidaknya, ada empat (4) bentuk pennda kesepakatan, yaitu; 1) Balatak Tando, 2) Batuka Tando, 3) Batimbang Tando, 4) Babaluak/Basaluak Tando.

1) Balatak tando adalah penanda kesepakatan di mana hanya pihak pelamar yang memberikan sesuatu benda sebagai tanda kesepakatan. 2) Batuka Tando ditandai dengan tukar-menukar benda penanda antara kedua belah pihak. Tidak ada aturan khusus mengenai mutu dan bentuk barang pada dua istilah penanda ini (1 dan 2).

Sementara itu, untuk 3) Batimbang Tando, kedua belah pihak saling bertukar benda yang mutu dan bentuknya sama. Biasanya berupa perhiasan. Lalu, 4) Babaluak/Basaluak Tando memiliki konsep tersendiri. Pihak laki-laki menyerahkan keris, pihak perempuan menyerahkan kain panjang/songket. Di samping sebagai penanda proses kesepakatan, keempat bentuk penanda kesepakatan ini juga mengandung makna bahwa kedua belah pihak bersedia menerima keputusan adat jika ternyata di belakang hari pihak mereka melanggar/menciderai kesepakatan.     

d.   Malam Bainai

Malam bainai merupakan malam di mana calon pengantin wanita didandani dengan memasangkan cat kuku dari daun inai.  Malam ini mirip dengan malam melepas masa lajang.  Karena pada malam tersebut biasanya calon pengantin wanita akan dikunjungi oleh kawan-kawan dekatnya.  Pengantin wanita akan diberi kesempatan untuk berbincang-bincang dan berbagi kebahagiaan dengan teman-temannya.  Tentunya dalam ikatan norma dan etika yang sesuai dengan etika perempuan sebagai limpapeh rumah nan gadang.  Bukan kesempatan untuk bersenang-senang menghabiskan malam.

Malam bainai ini biasanya dilaksanakan sehari sebelum proses pernikahan dilaksanakan.  Prosesinya dimulai semenjak sore hari, di mana calon pengantin perempuan akan dimandikan oleh beberapa orang wanita.  Wanita-wanita yang memandikan ini biasanya adalah bako yang telah memasuki usia tidak produktif.   Selanjutnya, setelah proses pemandian selesai, pada waktu kira-kira selepas Isya sebelum tamu berdatangan, wanita-wanita tadi memasangkan inai ke kuku calon pengantin perempuan.

Ada dua objek yang sangat menarik untuk diperhatikan pada prosesi malam bainai ini, yaitu; wanita-wanita yang terlibat memandikan dan memasangkan inai, pemilihan inai itu sendiri sebagai hiasan jari.  Menurut penjelasan beberapa tokoh adat, malam bainai itu sendiri mengandung makna penyucian.  Makanya ada proses memandikan sampai mendandani dengan inai.  Selanjutnya, pelaksana dari prosesi ini adalah para wanita-wanita yang telah tidak produktif berkaitan langsung dengan logika bahwa yang melaksanakan prosesi penyucian harus yang suci pula.  Oleh karena itu, pelaksananya adalah wanita-wanita yang secara biologis tidak lagi akan kedatangan tamu “bulanan”.

Terakhir, pemilihan inai mengandung dua makna, yaitu makna lahiriah dan makna bathiniah.  Makna lahiriah adalah karena inai tidak akan menghalangi wudhuk.  Sedangkan makna bathiniah adalah karena inai adalah jenis tumbuhan yang bisa menghalangi aliran pengaruh jahat yang bisa mengganggu si pemakai inai.  oleh karena itu, bisa diasumsikan bahwa inai dipilih karena multiguna yang terkandung di dalamnya.  Jadi, jika nanti ada yang was-was ketika mendaki gunung, camping, dan lainya.  Lebih baik menggunakan inai dari pada magnet, tanpa lupa tentunya bahwa yang paling utama adalah berserah diri kepada Tuhan.   


3.   Pascapernikan

Berbicara masalah pascapernikahan tentunya topik utamanya adalah hal yang berkaitan dengan pesta perkawinan itu sendiri dan proses pemberian gelar sebagai tanda pengakuan terhadap perubahan status dari bujangan menjadi suami, dari seorang anak menjadi seorang laki-laki yang telah matang.  Prosesi pesta perkawinan ini sendiri disebut dengan baralek, sedangkan untuk prosesi pemberian gelar disebut dengan batagak gala.

a.   Baralek

Baralek ini di dalam adat Minangkabau dibagi dalam dua kategori utama, yaitu menurut kondisi kemampuan dan menurut wilayah adat.  Menurut kondisi kemampuan, ada tiga jenis baralek, yaitu; kulansiang hari, kulansiang bulan, kulansiang matohari.   Sedangkan menurut wilayah adat, alek itu terdiri dari alek larak lereang, alek jamuan, alek cancang tandeh Alek larak lereng merupakan alek dari daerah luhak Tanah Data, alek jamuan dari luhak Agam, dan alek cancang tandeh dari luhak Limopuluah koto.

Selanjutnya, alek kulansiang hari merupakan jenis alek yang dilaksanakan jika kondisi kemampuan terbilang rendah.  Artinya, alek ini sifatnya kecil secara ekonomi dan hanya melibatkan pihak terkait saja.  Sedangkan alek kulansiang bulan adalah alek yang secara ekonomi bersifat menengah dan melibatkan undangan yang terbatas.  Terakhir, alek kulansiang matohari adalah jenis alek yang secara ekonomi bersifat besar dan melibatkan banyak sekali undangan.

Poin utama yang bisa dipetik di sini adalah, bahwa adat Minangkabau tidaklah kaku.  Akan tetapi, mencermati perbedaan kemampuan masyarakat yang tentunya berbeda-beda.  Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa aturan adat kadang memaksa orang untuk berhutang ketika hendak menikah, bahkan terkadang membuat takut muda-mudi untuk menikah secara beradat.

b.   Batagak Gala

Seperti yang disinggung di atas bahwa batagak gala dalam konteks adat perkawinan ini berhubungan dengan perubahan status seorang anak laki-laki menjadi laki-laki dewasa.  Artinya, gelar ini bisa dikatakan sebagai semacam pengakuan terhatap kematangan seorang laki-laki, sekaligus identitas sosialnya.  Karena, gelar yang diberikan adalah gelar dari salah seorang mamak dalam kaum.  Biasanya pemberian gelar tersebut dilakukan dengan terlebih dahulu mempertimbangkan kedekatan karakter antara pemegang gelar pendahulu dengan yang akan dianugerahi gelar.

Hal yang harus diingat, bahwa dengan melekatnya gelar ini pada diri sesorang. Berarti dia telah dihargai oleh adat sebagai seorang laki-laki Minangkabau dewasa, bukan anak-anak lagi.  Bagi yang mendapat gelar harus bisa menjaga sikap dan berfikir, berkata, dan berlaku layaknya orang dewasa.  Sedangkan bagi masyarakat sekitar, juga harus mulai untuk melibatkan dan memperlakukan dia dalam acara adat dan keseharian sesuai dengan status dan tempatnya.  Yaitu sebagai seorang dewasa yang punya tanggung jawab.


E.   Penutup

Dari penjabaran di atas dapat ditarik beberapa poin penting yang agaknya memiliki nilai yang tinggi, sekaligus akan menjadi daya tarik yang luar biasa tentang adat perkawinan Minangkabau.  Poin-poin tersebut tentunya merupakan potensi adat yang mesti terus dijaga dan dilestarikan.  Jika perlu dikembangkan agar nilai-nilai yang terkandung di dalamnya terus bertahan.  Poin-poin tersebut adalah;

1.   Hakikat adat perkawinan Minangkabau bukanlah tentang pernikahan laki-laki dengan perempuan saja.  Tetapi tentang penyatuan dua pihak/kubu yang berbeda untuk menuju hari depan yang lebih baik.

2.   Prosesi adat perkawinan Minangkabau bukanlah seremoni tanpa arti yang tidak sesuai dengan nilai kemajuan.  Melainkan, prosesi yang kaya akan nilai-nilai kemajuan itu sendiri.  Seperti yang terkandung dalam prosesi Mancari Ukua Jangko dan prosesi Maminang.   

3.   Malam Bainai itu memiliki makna yang mirip dengan berwuduk sebelum shalat.  Yaitu untuk menyucikan diri sebelum beribadah, dan bukankah menikah itu ibadah?

4.   Adat perkawinan Minangkabau bisa dikatakan sebagai wujud dari kebersamaan yang apik.  Karena, meskipun tidak ada aturan tertulis, semua pihak terkait secara spontan memahami peran, fungsi dan apa yang mesti dilakukan jika salah seorang yang terkait dengannya akan menikah.


F.   Referensi
Dahrizal, Musra Kt. Jo. Mangkuto. 2008. Wawancara/Diskusi.
Zalman, Hendri. 2010. "Kumpulan Pidato Pasambahan Adaik Minangkabau Nagari Batubanyak" (tidak diterbitkan).

No comments:

Post a Comment